MasukKeesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah.
Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tanya sang ibu. "Nyenyak banget, Ma. Ini aja rasanya pengen tidur lagi, tapi nggak bisa." Ujar Nala yang diakhiri dengan cengiran lebarnya. Nala berjalan ke meja makan, duduk di samping sang ayah yang sedang menyesap kopi sambil membalikkan lembar demi lembar kertas yang entah apa isinya. "Apa itu, Pa?" tanya Nala. "Daftar barang-barang di warung yang harus di restock, udah banyak yang kosong." "Papa hari ini ke warung jam berapa?" tanya Nala lagi, tangan kanannya terulur untuk mencomot tahu isi buatan Mama Raras yang baru diletakkan di meja, lalu menyantapnya. Benar kata Mbak Tari kemarin, masakan Mana Raras itu juara. Apapun yang dimasak, selalu enak. Selama di Jakarta, Nala belum menemukan makanan yang seenak bikin mamanya. "Jam delapan, kenapa? Nala mau ikut?" tanya papanya yang langsung dibalas anggukan oleh Nala. "Mau! Boleh, kan?" "Apa nggak capek, Dek? Istirahat aja dulu, besok-besok aja ke warungnya." Ujar Mama Raras. "Nggak apa-apa kok, Ma. Aku cuma mau lihat-lihat aja," Nala menjawab sambil tersenyum kecil. Ia menyesap teh hangat yang baru saja diletakkan di depannya, membiarkan rasa manisnya menenangkan tenggorokan. Papa Bakti melirik putrinya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ikut aja, sekalian belajar jadi kasir. Belum pernah kan kamu?" Nala tertawa kecil. "Belum pernah, Pa. Selama ini setia jadi pembeli aja," ujarnya. Mama Raras, yang kini sudah duduk di seberang mereka setelah selesai menyiapkan hidangan, menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Dasar kamu ini, jajan terus pasti ya di sana?" Tanyanya yang dibalas cengirian lebar oleh si bungsu. "Tapi bagus kalau mau membantu Papa. Sudah lama Papa nggak ada yang menemani di warung," ucapnya lembut. "Tapi jangan capek-capek, ya." Sambungnya yang dibalas anggukan cepat oleh Nala. Setelah kenyang makan gorengan, Nala pun bangkit dari duduknya. "Aku mau bangunin Mas Banyu, ah." Ujarnya yang langsung dilarang oleh Mama Raras. "Masmu baru tidur jam dua, semalam begadang nonton bola sama temen-temennya." Katanya. Nala mendengus sebal, padahal niatnya ia ingin menjaili kakaknya. Namun, mendengar perkataan ibunya, Nala pun mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk keluar rumah untuk mencari udara segar. "Mama, aku mau jalan-jalan ya ke depan!" Tanpa mendengar sahutan dari ibunya, Nala pun memakai sandal milik Mana Raras yang tergeletak di teras. Setiap malam, sandal-sandal itu memang sering dipindahkan ke atas teras. Jaga-jaga agar tidak hanyut saat hujan. Nala menuruni teras, merasakan udara pagi yang sejuk dan bersih menyentuh kulitnya. Udara di sini terasa sangat berbeda, jauh dari polusi dan hiruk pikuk Jakarta yang selalu berbau knalpot dan sampah. Ia menghirupnya dalam-dalam, menikmati aroma tanah basah bercampur embun pagi dan sedikit wangi masakan dari rumah tetangga. Ia berjalan pelan di atas jalanan kampung yang masih sepi. Beberapa rumah terlihat masih tertutup rapat, namun beberapa lainnya sudah menyambut pagi dengan jendela terbuka dan suara aktivitas dapur yang samar-samar. Matahari sudah mulai naik, sinarnya yang masih keemasan memantul lembut di dedaunan hijau. Langkah Nala terhenti saat ia tiba di tikungan. Matanya menangkap pemandangan yang sudah lama sekali tidak ia lihat: lapangan desa yang luas, kini dipenuhi kabut tipis yang bergerak perlahan seperti selendang putih. Di ujung lapangan, tampak siluet beberapa orang dewasa yang sedang berolahraga ringan, dan anak-anak kecil sedang berlarian mengejar satu sama lain. Bahkan anak-anak sudah beraktivitas di waktu sepagi ini. Nala kembali melanjutkan langkahnya. Ia menyapa beberapa orang yang ia temui. Ada beberapa dari mereka yang langsung mengenalinya, ada juga yang tidak mengenalinya sama sekali. Langkah kecil Nala membawanya ke hamparan sawah yang sangat luas. Saat kecil, ia sering diajak ke sini oleh kedua kakaknya untuk bermain layangan. Mereka bahkan tidak akan pulang sebelum dijemput Mama Raras. Mengingat momen itu, Nala tersenyum tipis. Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa momen itu sudah berlalu lebih dari 10 tahun. "Saya baru lihat kamu. Orang baru?" Nala tersentak. Ia menoleh cepat, menemukan seorang pria muda berdiri tidak jauh di belakangnya. Pria itu mengenakan kaus polos berwarna gelap dan celana training, tampak baru selesai berolahraga, dengan handuk kecil tergantung di lehernya. Nala terpaku, laki-laki di hadapannya ini memiliki paras yang sesuai dengan tipenya. Alis tebal, hidung mancung, bibir tipis namun penuh, dan garis rahang yang tegas menghiasi wajahnya, ditambah rambut hitam yang sedikit basah karena keringat menambah daya tarik tersendiri. Namun, tatapan matanya yang tajam dan ekspresi wajahnya yang datar tidak menunjukkan keramahan sama sekali. Nala segera menarik kesadarannya kembali. Ia merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan itu. "Bukan," jawabnya, berusaha terdengar biasa saja. "Saya orang sini, kok. Saya anaknya Pak Bakti. Kebetulan saya baru pulang dari Jakarta." Jelasnya. "Masnya... orang sini? Soalnya saya juga baru kali ini lihat Mas...?" "Hanggara," ujarnya singkat. "Saya dari desa sebelah, ke sini mau ngecek sawah." Nala menganggukan kepalanya, tidak berniat untuk ikut memperkenalkan diri. Toh, laki-laki itu juga tidak bertanya. "Umm... kalau begitu saya duluan ya, Mas. Udah ditunggu di rumah," pamit Nala. Laki-laki itu pun mengangguk lalu mempersilakan Nala untuk pergi. Nala segera berbalik arah, berjalan cepat meninggalkan pematang sawah dan Hanggara yang masih berdiri tegak di sana. Ia tidak menoleh lagi, khawatir Hanggara akan salah paham atau menganggapnya genit. Aura dingin dan datar yang dipancarkan pria itu membuatnya merasa sangat canggung. 'Hanggara,' batin Nala, mengulang nama itu. Ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya di desa ini, apalagi mengetahui ada orang asing dari desa sebelah yang datang pagi-pagi untuk mengecek sawah. Namun, ia tidak mau ambil pusing. Fokus utamanya sekarang adalah kembali ke rumah dan siap-siap membantu Papa di warung. Saat Nala kembali ke rumah, jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Aroma masakan yang lebih kuat kini memenuhi udara, didominasi oleh wangi gurih dari tumisan. "Lho, dari mana aja kamu, Nduk? Lama sekali," tegur Mama Raras dari dapur, sedikit nada khawatir terdengar dalam suaranya. "Sarapan dulu, Nak. Tadi Papa sudah nyariin, katanya mau siap-siap ke warung." "Jalan-jalan sebentar, Ma, ke lapangan sama sawah," jawab Nala sambil melangkah ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan muka. Ia kembali ke meja makan dan mendapati Papa Bakti sudah rapi dengan kemeja kotak-kotak andalannya dan celana bahan yang bersih. Di piringnya sudah tersedia nasi dengan lauk tempe mendoan, sayur lodeh, dan oseng cumi. Sedangkan Mas Banyu mungkin masih tidur. "Waah, oseng cumi!" Oseng cumi adalah salah satu makanan favorit Nala setelah brongkos kemarin. Ia bisa menghabiskan dua piring nasi kalau lauknya adalah makanan favoritnya. "Makan yang banyak ya, habis ini mandi dan siap-siap berangkat ke warung." Nala menganggukan kepalanya cepat-cepat, tanpa disuruh pun ia akan makan banyak pagi ini. ***Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabny
Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu
Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k
Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan
Nala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia
Setelah perjalanan panjang yang diisi keheningan, kereta yang membawa Nala dari ibu kota akhirnya tiba di stasiun kecil yang letaknya tidak jauh dari kampung halamannya. Dengan ransel di punggung dan koper kecil di tangan, Nala melangkah keluar dari peron, menghirup udara pedesaan yang lembap dan dingin yang menusuk paru-parunya, jauh berbeda dari asap knalpot yang selama ini ia hirup. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Lalu matanya berbinar saat melihat sosok yang tinggi besar dengan kaus oblong yang terlihat lusuh dan sedikit belepotan oli di bagian lengan. Itu Banyu—kakak keduanya—yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tengil khas miliknya. "Mas Banyu!" seru Nala, segera melompat ke pelukan sang kakak. Pelukan Banyu terasa hangat dan sedikit berbau oli mesin, aroma yang familiar yang langsung mengendurkan sedikit ketegangan di pundak Nala. Banyu membalas pelukan Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan







