Share

Bab 6

Penulis: widiabd
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-22 20:17:41

Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.

Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri.

"Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya.

Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil.

"Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus,"

Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabnya jujur.

Pak Bakti melirik sekilas ke arah Nala, senyum hangat terbit di sudut bibirnya. "Ya udah, asal jangan sampai kecapekan. Nanti Papa yang disalahin sama Mama,"

"Capeknya juga nggak seberapa. Orang aku kebanyakan duduk," sahut Nala ringan.

Kemudian, mereka masuk ke dalam rumah. Langit di luar mulai berubah jingga keunguan, tanda senja hampir habis. Nala meletakkan tas di sofa, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Namun, lagi-lagi pikirannya kembali melayang pada sosok Hanggara. Cara bicaranya yang tenang, tatapan matanya yang sulit ditebak, dan aroma parfum yang seolah-olah menempel di hidungnya. Ia menggeleng kecil, menertawakan dirinya sendiri.

'Kenapa sih jadi kepikiran?' batinnya.

Nala membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin. Ia meneguknya langsung dari botol, lalu mengembuskan napas pelan. Mungkin itu hanya rasa penasaran sesaat, karena sebelumnya ia belum pernah bertemu dengan laki-laki seperti Hanggara.

Bagaimana tidak? Tubuhnya tinggi besar, menjulang dan kokoh, dengan bahu lebar serta dada bidang yang langsung mencuri perhatian. Wajahnya tegas dengan rahang kuat, garis-garis dewasa terlihat jelas di sekitar mata dan sudut bibir. Rambutnya hitam, dipotong pendek sederhana, nyaris tanpa gaya. Tatapan matanya dalam dan tajam, memberi kesan intimidatif pada pandangan pertama, namun jika diperhatikan lebih lama, ada ketenangan dan kedewasaan yang menenangkan. Sangat menarik bukan? Bagaimana Nala tidak penasaran kalau begitu?

"Loh, sudah pulang?" Bu Raras yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terkejut saat mendapati bungsu dan suaminya sudah berada di rumah. Ia mengambil segelas air untuk diberikan pada sang suami, lalu menatap Nala dengan raut penasaran. "Gimana tadi hari pertamanya? Nala bisa?" tanyanya pada sang bungsu.

Nala menganggukan kepalanya, "Bisa, tapi masih banyak tanya-tanya sama Papa. Aku lupa terus harganya," keluhnya lalu duduk di samping sang ayah yang sudah sedari tadi duduk manis di kursi meja makan.

"Nggak apa-apa, kan baru pertama kali. Besok masih mau ikut Papa?" tanya bu Raras.

"Mau, dong."

"Padahal besok Mama mau ajak kamu ke pasar, mau belanja bahan makanan."

Mendengar itu, mata Nala langsung berbinar. Ia duduk lebih tegak, lalu menoleh ke arah ibunya dengan senyum lebar. "Ke pasar? Mau! Aku pengen beli jajanan pasar, udah lama banget nggak makan." katanya tanpa ragu.

Bu Raras terkekeh melihat reaksi putrinya. "Kamu ini, belum apa-apa udah semangat aja."

"Soalnya udah lama nggak ikut Mama ke pasar," sahut Nala cepat. Ia lalu melirik Pak Bakti. "Abis dari pasar, aku nyusul Papa ke warung, ya. Jadi tetep bisa bantu."

Pak Bakti mengangguk, senyum bangga tersungging di wajahnya. "Boleh, tapi jangan dipaksain ya. Kalau capek, agak siangan aja ke warungnya."

"Oke!"

Bu Raras menggeleng pelan sambil tersenyum. "Yo wis. Besok kita berangkat pagi, jangan susah bangun."

Nala mengangguk bersemangat. "Siap!"

---

Pagi harinya, suasana pasar sudah sangat riuh meski matahari baru saja mengintip di ufuk timur. Aroma pasar yang khas menyambut kedatangan Nala dan ibunya. Nala dengan setia mengekor di belakang Bu Raras, mengikuti kemanapun ibunya pergi.

Setelah cukup lama berkeliling, tas belanja yang mereka bawa, pelan-pelan mulai terisi penuh. Nala membawa dua kresek hitam berukuran sedang, sedangkan ibunya membawa satu kresek dengan ukuran yang lebih besar.

"Mama mau ke tukang daging dulu, kamu beli jajanan pasar sana, biar nggak kehabisan lupis kesukaanmu," ujar Bu Raras sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.

Nala mengangguk semangat. "Siap, Kanjeng Mami!" candanya yang langsung dibalas cubitan gemas di lengannya.

Nala melangkah riang menuju lapak jajanan pasar yang paling ramai. Namun, tepat saat ia sampai di depan meja kayu yang penuh dengan aneka jajanan, seorang pria dari arah berlawanan juga berhenti di titik yang sama secara bersamaan. Bahu mereka hampir bersenggolan. Nala refleks mundur satu langkah untuk memberi jalan, sementara pria itu dengan sigap menahan lengan Nala agar tidak menabrak keranjang anyaman besar milik ibu-ibu di belakangnya.

"Maaf," ucap Nala otomatis tanpa mendongak.

"Sama-sama. Loh, Mbak Nala?"

Suara berat dan tenang itu membuat Nala mendongak seketika. Di hadapannya, Hanggara berdiri mengenakan jaket denim pudar dengan tudung kepala yang ia biarkan turun. Aroma parfum maskulin yang kemarin sore tertinggal di warung kini kembali menyerbu indra penciuman Nala, terasa begitu nyata di tengah pengapnya udara pasar.

"Mas Hanggara?" Nala mengerjapkan mata, sedikit tidak percaya. "Beli jajan juga?"

Hanggara melepaskan pegangannya di lengan Nala, lalu mengangguk tipis. "Iya. Titipan Ibu," jawabnya singkat. Ia melirik wajah Nala yang tampak sedikit berkeringat namun terlihat cerah. "Sama siapa?"

"Sama Mama, tapi lagi beli daging, saya disuruh ke sini duluan," jawab Nala, berusaha mengatur degup jantungnya yang mendadak tidak beraturan.

Hanggara mengangguk paham. Keheningan singkat tercipta di antara mereka, di tengah hiruk-pikuk orang yang saling tawar-menawar harga. Nala merasa canggung, namun entah mengapa ia tidak ingin beranjak.

"Mau beli apa?" tanya Hanggara memecah kesunyian.

"Cenil sama lupis, Mas. Itu jajanan wajib kalau ke sini," jawab Nala sambil menunjuk nampan berisi lupis yang berlumur parutan kelapa. "Mas Hanggara sendiri titipan ibunya apa?"

"Sama. Beliau juga suka lupis," sahut Hanggara. Tatapannya beralih ke penjual. "Bu, lupisnya dua porsi ya."

"Aduh, Mas, lupisnya tinggal satu porsi terakhir ini!" seru si Ibu penjual sambil mengangkat sisa lupis dari dalam bakul.

Nala tersentak. Ia menatap sisa lupis itu dengan binar kecewa yang tak bisa disembunyikan. Rupanya ia datang sedikit terlambat. "Wah, keduluan Mas Hanggara ya..." gumamnya pelan, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya sedikit nelangsa membayangkan cenil tanpa lupis.

Hanggara sempat melirik ke arah Nala, memperhatikan raut wajah gadis itu yang mendadak lesu. Tanpa diduga, pria itu justru menoleh kembali ke penjual.

"Bu, buat Mbaknya saja. Saya beli tiwul saja satu porsi, sama klepon satu porsi," ujar Hanggara tenang.

Nala terbelalak. "Loh, jangan Mas! Kan itu titipan Ibu Mas Hanggara. Saya nggak apa-apa kok, masih ada cenil dan yang lainnya." Ia pun mengambil beberapa jajanan yang terbungkus mika, lalu dikumpulkan menjadi satu ke dalam bakul yang tersedia, untuk kemudian dihitung. "Kasih ke Masnya aja, Bu. Saya ini aja," Katanya sambil menunjuk jajanan yang ia kumpulkan tadi.

"Ibu saya bisa makan yang lain," balas Hanggara santai. Ia merogoh saku jaket denimnya, mengeluarkan uang dari dompet, lalu memberikannya kepada si Ibu penjual. "Jadi berapa, Bu?" Sekalian punya Mbaknya juga, cukup kan?"

"Sek, tak itung dhisik."

"Eh, Mas! Nggak usah!" Nala panik, ia berusaha menyodorkan uangnya sendiri, tapi Hanggara justru melangkah mundur, memberi ruang bagi Nala untuk menerima kantong plastik dari si penjual.

Si Ibu penjual tersenyum sambil menyerahkan dua kantong plastik berisi jajanan kepada Nala dan Hanggara. "Masih ada sisa dua ribu. Saya tambahin donat saja ya, biar pas." ujar si Ibu sambil memasukkan satu bungkus donat ke dalam salah satu plastik. "Makasih ya, Mas. Semoga rezekinya lancar."

Hanggara mengangguk sopan. "Amin."

Nala menerima kantong itu dengan wajah serba salah. "Mas, ini kebanyakan. Saya ganti uangnya ya—"

"Nggak usah," sahut Hanggara tenang. "Disimpan saja uangnya,"

Belum sempat Nala membalas, sebuah suara terdengar dari belakangnya.

"Nala?"

Nala menoleh. "Eh, Mama!"

Bu Raras berdiri beberapa langkah di belakang mereka, tas belanja sudah tampak penuh. Pandangannya berpindah dari wajah Nala ke pria di depannya. Seketika, rautnya berubah cerah.

"Mas Hanggara? Beli jajanan pasar juga?"

Hanggara mengangguk hormat, sedikit menundukkan kepalanya kepada Bu Raras. "Iya, Bu. Kebetulan ketemu Mbak Nala di sini."

"Oh, jadi sudah saling kenal?" Bu Raras melirik Nala dengan kerlingan goda yang membuat pipi gadis itu mendadak terasa panas. "Mama nggak tahu kalau kalian sudah akrab."

"Cuma sempat ketemu di sawah sama di warung Papa kemarin, Ma," sela Nala cepat, berusaha meredam kecurigaan ibunya. "Tadi Mas Hanggara malah bayarin semua jajanan Nala, padahal aku mau ganti tapi nggak dibolehin."

Bu Raras menatap Hanggara dengan tatapan apresiasi. "Aduh, Mas Hanggara ini baik sekali. Jadi merepotkan ya? Lain kali main ke rumah ya, Mas. Biar nanti Ibu masakin sesuatu buat balas kebaikannya."

Hanggara tersenyum tipis—jenis senyum yang tidak sampai memperlihatkan gigi, namun cukup untuk membuat matanya terlihat lebih lembut. "Tidak merepotkan sama sekali, Bu. Hanya kebetulan saja. Saya pamit duluan, ya, Bu."

"Iya, iya, hati-hati ya, Mas." Ucap Bu Raras ramah.

Nala hanya bisa terpaku melihat punggung Hanggara yang perlahan menjauh, tenggelam di antara kerumunan orang. Ia masih menggenggam erat plastik berisi banyak jajanan itu. Aroma parfum pria itu seolah masih tertinggal di sana.

"Ganteng ya, Dek? Sopan lagi," celetuk Bu Raras sambil menyenggol lengan Nala, membuyarkan lamunannya.

"Mama apaan sih, ayo ah pulang, nanti Papa kelamaan nunggu di warung," kilah Nala, meski ia tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terbit di bibirnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Nala terus memikirkan kejadian tadi. Hanggara yang terlihat dingin dan kaku ternyata bisa bersikap begitu perhatian hanya karena urusan seporsi lupis. Ada sesuatu di balik jaket denim pudar dan sikap hemat bicaranya yang membuat Nala semakin penasaran.

***

Tbc.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 6

    Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabny

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 5

    Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 4

    Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 3

    Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 2

    Nala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 1

    Setelah perjalanan panjang yang diisi keheningan, kereta yang membawa Nala dari ibu kota akhirnya tiba di stasiun kecil yang letaknya tidak jauh dari kampung halamannya. Dengan ransel di punggung dan koper kecil di tangan, Nala melangkah keluar dari peron, menghirup udara pedesaan yang lembap dan dingin yang menusuk paru-parunya, jauh berbeda dari asap knalpot yang selama ini ia hirup. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Lalu matanya berbinar saat melihat sosok yang tinggi besar dengan kaus oblong yang terlihat lusuh dan sedikit belepotan oli di bagian lengan. Itu Banyu—kakak keduanya—yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tengil khas miliknya. "Mas Banyu!" seru Nala, segera melompat ke pelukan sang kakak. Pelukan Banyu terasa hangat dan sedikit berbau oli mesin, aroma yang familiar yang langsung mengendurkan sedikit ketegangan di pundak Nala. Banyu membalas pelukan Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status