Seorang wanita cantik sedang berjalan dengan lesu di trotoar jalan sambil menggenggam map berwarna merah di tangannya yang sudah ada seharian ini bersamanya. Wajah lelah, langkah kaki yang pelan dan lemah, dan pakaian kerja berupa kemeja dan rok span yang kusut, cukup membuktikan jika ia sudah berusaha melamar pekerjaaan di berbagai perusahaan namun tak kunjung berhasil.
Bahkan rasanya ia ingin menyerah saja jika ia tak ingat bahwa adik perempuannya butuh biaya hidup dan sekolah, wanita itu pun hanya bisa menghela nafas kasar lalu mengusap keringat yang mengalir di keningnya.
"Mau kemana lagi aku mencari kerja? Tak ada satu pun perusahaan yang mau menerima diriku."
Mengeluh, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita itu apalagi saat melihat langit yang mulai gelap yang berarti akan segera malam dan ia harus pulang tanpa pekerjaan.
Belum cukup penderitaannya hari ini, sebuah mobil mewah melintas di sampingnya dengan kecepatan tinggi dan melewati genangan air di jalan hingga air itu terkena ke arahnya dan membasahi baju serta wajahnya.
"Nasib sial apalagi ini?!"
"Tidak cukup menjadi pengangguran, aku pun harus terkena genangan air?!"
Rasanya Namiya ingin menangis saja melihat keadaannya yang sudah mirip seperti gembel, ia ingin marah pada pemilik mobil namun mobil itu sudah pergi tanpa menyadari telah melakukan kesalahan padanya, lagi pula saat melihat jenis mobil itu membuatnya mengurungkan niatnya untuk marah-marah karena ia tahu itu adalah mobil mewah dari kalangan atas, dirinya tak mau mencari masalah dengan orang kaya.
"Sudahlah, lebih baik aku pulang atau nanti aku akan mendapat kesialan yang bertubi-tubi lagi."
Namiya atau disapa Nami pun berjalan ke arah rumahnya yang masih sekitar lima kilometer lagi dari tempatnya saat ini, ia lebih memilih berjalan dan capek dari pada harus naik kendaraan umum dan menghabiskan uang yang bisa digunakan untuk makan malam ini bersama adiknya.
"Nasya."
"Kakak pulang."
Akhirnya setelah berjalan cukup jauh dan rasanya kakinya ini ingin patah, ia sampai juga di rumahnya yang sederhana dan sedang. Ia bersyukur karena rumah sudah bersih dan semua pekerjaan rumah sudah selesai, pasti adiknya yang melakukannya.
"Kakak sudah pulang? Lama sekali, apa Kakak dapat pekerjaan?"
Raut wajah senang terpatri di wajah cantik adiknya, ia pun tak tega untuk mengatakan yang sebenarnya namun berbohong hanya akan memperumit keadaan, ia pun akhirnya jujur dan menggelengkan kepalanya, hal itu membuat senyum adiknya luntur dengan wajah sedih, ia pun segera menghibur adiknya.
"Tidak apa-apa, nanti Kakak akan berusaha lebih giat lagi dalam mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan kita."
"Iya, Kak."
"Kakak sudah mau makan? Aku sudah masak makan malam yaitu tahu dan tempe."
Adiknya terlihat begitu senang saat mengatakan makan malam, hal itu membuatnya bingung sekaligus kaget mendengarnya. Nasya pun tersadar dengan kesalahannya yang mengucapkan hal itu.
"Dari mana kau dapat uang?"
"Aku .... aku ...
"Kau bekerja sampingan lagi?"
Melihat ekspresi terkejut dari wajah adiknya saat ia menerka-nerka, ia pun tahu bahwa itu benar. Ia tak menyangka jika adiknya masih saja melanggar ucapannya dengan bekerja sampingan, sedangkan Nasya hanya bisa menundukkan kepala karena merasa bersalah.
"Sudah berapa kali Kakak katakan, jangan bekerja apa pun. Cukup Kakak yang bekerja dan mencari uang, tugasmu hanya sekolah dan belajar."
"Tapi Kak, aku hanya ingin membantumu."
"Kakak tak butuh bantuan, Kakak tidak ingin sekolahmu terganggu, lagi pula kau masih di bawah umur dan tak boleh bekerja!"
Nami yang sudah kesal dan marah akan kelakuan adiknya akhirnya berteriak pada adiknya dan membuat adiknya itu langsung diam karena tak berani lagi bicara setelah melihat amarahnya. Ia hanya tak mau adiknya harus menanggung beban kehidupan ini juga seperti dirinya, ia ingin adiknya tumbuh sama seperti anak lainnya yang tak mengenal beban hidup.
Seketika rasa bersalah pun hingga di hatinya saat melihat adiknya meneteskan air mata, ia pun langsung memeluk adiknya dengan lembut dan meminta maaf.
"Maafkan aku, aku tadi hanya marah karena kau tak mendengarkan ucapan aku."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku juga minta maaf karena sudah melanggar perintah dirimu, aku janji tak akan melakukannya lagi."
Kakak beradik itu saling memeluk satu sama lain dan menguatkan satu sama lain untuk menghadapi Dunia yang kejam ini. Mereka sebenarnya bukan saudara kandung, namun mereka adalah anak yatim piatu dari sebuah panti asuhan yang sepuluh tahun lalu hancur saat tsunami melanda kota mereka, hanya mereka yang selamat dari panti asuhan itu dan yang lainnya meninggal, sejak saat itu mereka berdua bersama untuk menjalani kehidupan ini.
"Sudah, ayo makan."
"Iya, Kak."
Keduanya pun berjalan ke arah dapur lalu makan malam bersama walaupun memakan menu makanan yang sederhana seperti tahu dan tempe namun mereka tetap bersyukur karena malam ini perut mereka bisa terisi dan tak perlu merintih kesakitan di malam hari ketika kelaparan melanda.
[][][][][][][][][][][][][][]
Seorang wanita cantik dengan pakaian rapi seperti karyawan kantoran sedang duduk di terminal bus sambil membaca sebuah koran di tangannya dan menandai hal-hal yang menurutnya bermanfaat untuknya, contohnya lowongan pekerjaan.
Ia sedang beristirahat sebentar sambil mencari lowongan pekerjaan, ia sudah lelah dsri tadi mencari dan berjalan dari satu perusahaan ke perusahaan lain namun tak kunjung mendapatkan satu pun pekerjaan.
"Perusahaan Pradipta Group sedang membutuhkan sekretaris baru."
Nami membaca berita yang ada di koran dengan mata berbinar-binar senang, akhirnya ia menemukan pekerjaan yang cocok untuk dirinya. Seketika ia pun berdiri dan kembali bersemangat untuk berjalan ke arah Perusahaan Pradipta, ia berharap jika lowongan pekerjaan ini berjodoh dengannya.
"Semangat, Namiya, kau pasti bisa. Demi Nasya."
Namiya pun melangkahkan kakinya menuju Perusahaan Pradipta yang jaraknya tidak terlalu jauh dari terminal ini, ia tak peduli dengan sinar matahari yang begitu panas siang ini, ia tak peduli dengan lelehan keringat di keningnya, atau perutnya yang berbunyi karena lapar bahkan tenggorokannya pun terasa begitu kering.
Baru setengah jalan namun langkah wanita itu sudah goyah, ia hampir saja terjatuh jika saja tangannya tak bertumpu pada tiang listrik yang ada di sampingnya, rasa pusing di kepalanya membuat pandangannya kabur dan hampir saja jatuh pinhsan jika saja ia tak berusaha untuk tetap membuka matanya.
"Kau harus mendapatkan pekerjaan, Nami. Jangan menyerah, kau tidak boleh lemah. Tidak ada kesempatan kedua dalam lowongan."
Nami menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya walaupun percuma karena rasa pusing itu malah semakin hebat, ia memaksakan kakinya untuk terus melangkah dan berdoa semoga saja ia bisa sampai di kantor Pradipta tepat waktu dengan kondisi sehat.
Seorang pria tampan sedang sibuk dengan pekerjaannya yang harus menandatangani dan memeriksa berbagai macam berkas kantor, hari ini ia begitu sibuk karena sekarang ia tak memiliki sekretaris lagi. Entah sudah keberapa kalinya ia memecat sekretarisnya, ia pun tak ingat.Ia tak akan memecat sekretarisnya jika wanita-wanita cantik nan seksi itu tidak meminta hal lebih dari hubungan intim mereka, baru tiga hari Nana bekerja padanya namun wanita itu ingin ia melamarnya dengan alasan mereka sudah tidur bersama. Rasanya begitu menjijikan dan sangat memuakkan saat jalang seperti wanita itu mempermasalahkan tidur dengannya padahal tubuhnya sudah dipakai puluhan pria. Nana dan sekretaris lainnya bukan perawan saat tidur dengannya.Ingatannya pun tertuju pada kejadian kemarin malam.Flashback ....Sepasang insan manusia sedang tidur di kasur dengan keadaan tubuh polos, tanpa satu pun helai pakaian, mereka be
Setelah seorang dokter wanita memeriksa kondisi Namiya dan memberi obat, dokter itu pun pamit pulang dan diantar oleh Wulan karena Gilbert terlalu malas untuk bersikap baik di depan dokter yang merupakan pekerjanya. Ia masih diam dan menatap tubuh kurus dari wanita berwajah polos yang baru saja pingsan tadi.Entah kenapa ia menyukai ketenangan yang terpancar saat wanita itu tertidur di atas ranjang, dari dulu memang ia menyediakan ranjang jika ia lelah dan butuh waktu istirahat, atau jika tiba-tiba saja nafsu mulai menguasai dirinya dan harus segera dituntaskan.Tangannya bergerak perlahan-lahan untuk mengusap pipi yang dipoles sedikit riasan, ia tahu ini lancang karena menyentuh seorang gadis tanpa persetujuannya dan daat sedang tidur, namun tetap saja tangannya terus mengusap lembut pipi gadis itu."Wajah yang terlalu polos untuk jadi mainan saya."Karena terlalu sibuk memandangi wajah gadis itu, ia sampai t
Aku berjalan ke arah meja resepsionis untuk mengambil dan menandatangani kontrak kerjaku, senyum tak pernah luntur dari bibirku saat membayangkan akan bekerja dan mendapatkan gaji dari perusahaan sebesar ini yang aku tahu memberikan gaji tak sedikit, bisa dua kali lipat dari perusahaan biasa.Setelah sampai di meja resepsionis, aku pun menatap ke arah wanita cantik yang tadi menyeleksi kandidat sekretaris lalu menyapanya dan memberi tahu tujuanku."Selamat siang.""Siang, ada apa?""Saya disuruh Pak Gilbert untuk minta kontrak kerja dan menandatanganinya, Bu.""Oh gitu, tunggu dulu.""Baik, Bu."Entah hanya ia yang merasakan atau memang benar adanya, ia bisa melihat tatapan kasihan sejenak di mata resepsionis itu, ia merasa tidak seperti gembel yang tersesat di kantor megah ini, walaupun pakaiannya dan riasan wajahnya tidak semewah para pekerja di sini, namun ia
Setelah kejadian beberapa hari dulu, sekarang Namiya jadi lebih menjaga jarak atau lebih tepatnya menjauh dariku, sudah aku duga ini akan terjadi namun bagaimana pun aku harus menyadarkan gadis itu akan pasal terakhir dalam kontrak kami.Aku selalu berusaha mendekati gadis itu dengan perlahan-lahan, walaupun terlihat tidak profesional dalam bekerja, namun aku tetap melakukannya, menarik perhatian seorang gadis bukanlah diriku, namun saat melihat gadis itu menjauh dariku membuat aku risih, contohnya seperti saat ini.Mereka sedang makan siang bersama klien, namun gadis itu malah mengambil tempat duduk di samping klien, ketimbang di sampingku. Hal itu pun membuat aku kesal dan langsung memerintah kembali gadis itu."Namiya, duduk di samping saya.""Baik, Pak."Terlihat sekali bahwa gadis itu terpaksa menuruti keinginannya, sebelum gadis itu duduk, ia sengaja mendekatkan kursi di sampingnya ke ara
Entah sudah berapa menit aku berdiri di depan lemari pakaianku yang sudah rusak dan kayunya mulai rapuh oleh rayap, wajar saja karena umur lemari ini sudah sepuluh tahun, ia belum punya uang untuk mengganti lemari usang ini. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang, masalahnya adalah isi lemari itu.Ia sedang mencari mana baju yang kayak untuk ia pakai ke Club, meskipun itu tempat yang penuh maksiat, namun ia percaya bahwa pertemuan yang melibatkan Pak Gilbert di dalamnya pasti pertemuan yang mewah dan elegan, yang berisi ratusan orang dengan setelan jas mahal, gaun indah, dan perhiasaan yang berharga fantastis.Membayangkan betapa mewahnya acara nanti malam dan membedakan pakaian semua orang di sana nantinya dengan pakaian di lemarinya membuat ia menghela nafas kasar dan kembali menutup lemari tersebut. Tak ada satu pun baju atau gaun yang layak pakai, dari pada mempermalukan diri sendiri di pesta mahal itu, lebih baik i
Akhirnya kami pun sampai di dalam Club yang sudah dipenuhi lautan manusia yang bergoyang dan berpesta ria dengan minuman dan pasangan mereka. Tanganku dengan sengaja memeluk pinggang sekretarisku, dia terlihat risih dengan keberadaan tanganku di pinggangnya dan beberapa kali menurunkan tanganku dengan halus agar aku tidak tersinggung dengan penolakannya.Namun bukan Gilbert namaku jika dengan cepat mengalah, setiap kali ia turunkan tanganku maka saat itu juga aku naikkan lagi tanganku. Akhirnya dia mengalah karena lelah untuk menurunkan tanganku yang nakal. Diam-diam aku memperhatikan dirinya yang terlihat memukau malam ini, sebenarnya Namiya itu seksi dengan tubuh langsingnya dan beberapa aset unggulan para wanita yang ada di tubuhnya sangat menggoda untuk disentuh. Namun sayangnya dia sepertinya anak rumahan yang lugu sehingga masih memakai gaun selutut yang sopan itu."Ayo kita duduk di pojok.""Duduk di sini saja, Pak. Di
Pagi ini, aku bersiap-siap untuk bekerja ke kantor. Seperti biasanya aku sibuk menyiapkan segala hal dan bersih-bersih rumah agar nantinya saat aku pulang dengan keadaan lelah maka rumah sudah bersih. Aku mulai menyapu, mengepel, mencuci baju, masak, mencuci piring, menjemur dan menyetrika. Sebelum akhirnya aku mandi dan berpakaian dengan kemeja dan rok span yang sama saat aku melamar kerjaan karena aku hanya punya dua setelan baju kerja."Mungkin nanti jika sudah gajian maka aku akan membeli setelan kemeja dan rok untuk kerja," ucapku sambil menatap pantulan diriku di kaca yang terlihat tak menarik dan biasa saja."Apa yang Pak Gilbert lihat dariku? Cantik pun tidak, seksi juga tidak, pintar pun biasa saja. Mungkin mata bosku itu sedang sakit saat memutuskan memilih aku menjadi sekretarisnya.""Tapi seharusnya aku bersyukur jika mata bosku sakit saat itu, sehingga aku bisa dapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi."
Waktu jam istirahat pun dimulai, aku memilih tetap berada di mejaku saja karena aku bawa bekal jadi tak perlu turun ke lantai bawah yang terdapat kantin. Pandanganku sejenak tertuju ke arah pintu ruangan bosku yang belum terbuka sejak tadi, dia pasti sedang melakukan kegiatan mesum sehingga lupa waktu dan membatalkan makan siang dengan rekan kerja. Aku memilih tak mempedulikan mereka dan hendak makan namun gerakan tanganku terhenti ketika melihat seorang pemuda cukup tampan dengan senyum ramah berdiri di depanku dengan berkas di tangannya."Selamat siang, Namiya.""Selamat siang, Pak Andres.""Lagi makan siang ya?""Iya, Bapak ada keperluan apa di sini? Mau kirim berkas ke Pak Gilbert?"Keningku berkerut bingung saat pria itu menggelengkan kepalanya dan malah menarik kursi di depanku lalu duduk di depanku. Aku yang canggung dengan keadaan ini pun jadi tak enak hati lanjut makan saat ada Manajer