Share

NAMIYA -2-

Seorang wanita cantik sedang berjalan dengan lesu di trotoar jalan sambil menggenggam map berwarna merah di tangannya yang sudah ada seharian ini bersamanya. Wajah lelah, langkah kaki yang pelan dan lemah, dan pakaian kerja berupa kemeja dan rok span yang kusut, cukup membuktikan jika ia sudah berusaha melamar pekerjaaan di berbagai perusahaan namun tak kunjung berhasil.

Bahkan rasanya ia ingin menyerah saja jika ia tak ingat bahwa adik perempuannya butuh biaya hidup dan sekolah, wanita itu pun hanya bisa menghela nafas kasar lalu mengusap keringat yang mengalir di keningnya.

"Mau kemana lagi aku mencari kerja? Tak ada satu pun perusahaan yang mau menerima diriku."

Mengeluh, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita itu apalagi saat melihat langit yang mulai gelap yang berarti akan segera malam dan ia harus pulang tanpa pekerjaan.

Belum cukup penderitaannya hari ini, sebuah mobil mewah melintas di sampingnya dengan kecepatan tinggi dan melewati genangan air di jalan hingga air itu terkena ke arahnya dan membasahi baju serta wajahnya.

"Nasib sial apalagi ini?!"

"Tidak cukup menjadi pengangguran, aku pun harus terkena genangan air?!"

Rasanya Namiya ingin menangis saja melihat keadaannya yang sudah mirip seperti gembel, ia ingin marah pada pemilik mobil namun mobil itu sudah pergi tanpa menyadari telah melakukan kesalahan padanya, lagi pula saat melihat jenis mobil itu membuatnya mengurungkan niatnya untuk marah-marah karena ia tahu itu adalah mobil mewah dari kalangan atas, dirinya tak mau mencari masalah dengan orang kaya.

"Sudahlah, lebih baik aku pulang atau nanti aku akan mendapat kesialan yang bertubi-tubi lagi."

Namiya atau disapa Nami pun berjalan ke arah rumahnya yang masih sekitar lima kilometer lagi dari tempatnya saat ini, ia lebih memilih berjalan dan capek dari pada harus naik kendaraan umum dan menghabiskan uang yang bisa digunakan untuk makan malam ini bersama adiknya.

"Nasya."

"Kakak pulang."

Akhirnya setelah berjalan cukup jauh dan rasanya kakinya ini ingin patah, ia sampai juga di rumahnya yang sederhana dan sedang. Ia bersyukur karena rumah sudah bersih dan semua pekerjaan rumah sudah selesai, pasti adiknya yang melakukannya.

"Kakak sudah pulang? Lama sekali, apa Kakak dapat pekerjaan?"

Raut wajah senang terpatri di wajah cantik adiknya, ia pun tak tega untuk mengatakan yang sebenarnya namun berbohong hanya akan memperumit keadaan, ia pun akhirnya jujur dan menggelengkan kepalanya, hal itu membuat senyum adiknya luntur dengan wajah sedih, ia pun segera menghibur adiknya.

"Tidak apa-apa, nanti Kakak akan berusaha lebih giat lagi dalam mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan kita."

"Iya, Kak."

"Kakak sudah mau makan? Aku sudah masak makan malam yaitu tahu dan tempe."

Adiknya terlihat begitu senang saat mengatakan makan malam, hal itu membuatnya bingung sekaligus kaget mendengarnya. Nasya pun tersadar dengan kesalahannya yang mengucapkan hal itu.

"Dari mana kau dapat uang?"

"Aku .... aku ...

"Kau bekerja sampingan lagi?"

Melihat ekspresi terkejut dari wajah adiknya saat ia menerka-nerka, ia pun tahu bahwa itu benar. Ia tak menyangka jika adiknya masih saja melanggar ucapannya dengan bekerja sampingan, sedangkan Nasya hanya bisa menundukkan kepala karena merasa bersalah.

"Sudah berapa kali Kakak katakan, jangan bekerja apa pun. Cukup Kakak yang bekerja dan mencari uang, tugasmu hanya sekolah dan belajar."

"Tapi Kak, aku hanya ingin membantumu."

"Kakak tak butuh bantuan, Kakak tidak ingin sekolahmu terganggu, lagi pula kau masih di bawah umur dan tak boleh bekerja!"

Nami yang sudah kesal dan marah akan kelakuan adiknya akhirnya berteriak pada adiknya dan membuat adiknya itu langsung diam karena tak berani lagi bicara setelah melihat amarahnya. Ia hanya tak mau adiknya harus menanggung beban kehidupan ini juga seperti dirinya, ia ingin adiknya tumbuh sama seperti anak lainnya yang tak mengenal beban hidup.

Seketika rasa bersalah pun hingga di hatinya saat melihat adiknya meneteskan air mata, ia pun langsung memeluk adiknya dengan lembut dan meminta maaf.

"Maafkan aku, aku tadi hanya marah karena kau tak mendengarkan ucapan aku."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku juga minta maaf karena sudah melanggar perintah dirimu, aku janji tak akan melakukannya lagi."

Kakak beradik itu saling memeluk satu sama lain dan menguatkan satu sama lain untuk menghadapi Dunia yang kejam ini. Mereka sebenarnya bukan saudara kandung, namun mereka adalah anak yatim piatu dari sebuah panti asuhan yang sepuluh tahun lalu hancur saat tsunami melanda kota mereka, hanya mereka yang selamat dari panti asuhan itu dan yang lainnya meninggal, sejak saat itu mereka berdua bersama untuk menjalani kehidupan ini.

"Sudah, ayo makan."

"Iya, Kak."

Keduanya pun berjalan ke arah dapur lalu makan malam bersama walaupun memakan menu makanan yang sederhana seperti tahu dan tempe namun mereka tetap bersyukur karena malam ini perut mereka bisa terisi dan tak perlu merintih kesakitan di malam hari ketika kelaparan melanda.

[][][][][][][][][][][][][][]

Seorang wanita cantik dengan pakaian rapi seperti karyawan kantoran sedang duduk di terminal bus sambil membaca sebuah koran di tangannya dan menandai hal-hal yang menurutnya bermanfaat untuknya, contohnya lowongan pekerjaan.

Ia sedang beristirahat sebentar sambil mencari lowongan pekerjaan, ia sudah lelah dsri tadi mencari dan berjalan dari satu perusahaan ke perusahaan lain namun tak kunjung mendapatkan satu pun pekerjaan.

"Perusahaan Pradipta Group sedang membutuhkan sekretaris baru."

Nami membaca berita yang ada di koran dengan mata berbinar-binar senang, akhirnya ia menemukan pekerjaan yang cocok untuk dirinya. Seketika ia pun berdiri dan kembali bersemangat untuk berjalan ke arah Perusahaan Pradipta, ia berharap jika lowongan pekerjaan ini berjodoh dengannya.

"Semangat, Namiya, kau pasti bisa. Demi Nasya."

Namiya pun melangkahkan kakinya menuju Perusahaan Pradipta yang jaraknya tidak terlalu jauh dari terminal ini, ia tak peduli dengan sinar matahari yang begitu panas siang ini, ia tak peduli dengan lelehan keringat di keningnya, atau perutnya yang berbunyi karena lapar bahkan tenggorokannya pun terasa begitu kering.

Baru setengah jalan namun langkah wanita itu sudah goyah, ia hampir saja terjatuh jika saja tangannya tak bertumpu pada tiang listrik yang ada di sampingnya, rasa pusing di kepalanya membuat pandangannya kabur dan hampir saja jatuh pinhsan jika saja ia tak berusaha untuk tetap membuka matanya.

"Kau harus mendapatkan pekerjaan, Nami. Jangan menyerah, kau tidak boleh lemah. Tidak ada kesempatan kedua dalam lowongan."

Nami menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya walaupun percuma karena rasa pusing itu malah semakin hebat, ia memaksakan kakinya untuk terus melangkah dan berdoa semoga saja ia bisa sampai di kantor Pradipta tepat waktu dengan kondisi sehat.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status