Share

Nanny Kesayangan Mas Duda
Nanny Kesayangan Mas Duda
Penulis: Ana_miauw

Bab 1: Jadi Nanny?

Taksi baru saja melesat setelah menurunkan seorang gadis elite. Roda koper mewah yang biasanya berputar di lantai licin itu kini harus diseret di atas aspal kering mengikuti ke mana pun pemiliknya pergi.

Aspal jalan menghitam pekat. Basah menimbulkan becek dan genangan air sana sini. Langit masih kelabu, dan dari bayang suram awan tersebut masih menebarkan percikan air menimpa wajah cantiknya.

“Sial banget sih, hidup gue. Tenyom tenyom tenyom!” ujarnya terus mengumpat. Tenyom adalah kata monyet yang dibalik.

Gadis muda itu bernama Laura Stepin, masih sangat muda berusia dua puluh dua tahun. Dia sedang menjalani masa-masa sulit. Akibat kecurangan rekan kerja Ayahnya, perusahaan Adinata Grup mengalami kerugian yang sangat besar hingga nyaris gulung tikar.

Sebenarnya—ada dua orang rekannya yang lain menawarkan bantuan, namun karena jumlahnya terlalu besar, Adinata, Ayah dari Laura menolaknya dengan berbagai alasan. Entah apa penyebab yang lain, Laura tidak tahu dan enggan mengetahuinya. Apa yang dilihatnya, sudah bisa mewakili semua pertanyaan.

Laura seperti terhempas begitu dalam, kehidupannya sekarang begitu menyedihkan. Laura pikir kehidupannya akan selalu menyenangkan bagai seorang putri raja yang bisa memiliki apa pun dalam sekejap saja hanya dengan satu jentikan jari. Tapi kini—lihatlah nasibnya menyedihkan sekali. Dia seperti seorang gelandangan.

Teman-temannya menjauhinya begitu tahu ia sudah Jatuh miskin. Bahkan tidak mau menggubris teleponnya sama sekali. Benar-benar teman kurang ajar.

Sekarang Laura baru tahu, bagaimana mereka sebenarnya. Mereka bukan sebenar-benarnya teman karena semua meninggalkannya di saat sedang kesusahan begini.

Laura menatap rumah bercat tembok warna abu-abu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Rumah sepupunya yang bernama Yuna.

Dia mengambil gawainya, lalu menghubungi seorang gadis yang umurnya hampir sama dengannya, “Yun, aku ada di dekat rumah kamu sekarang.”

“Hah, kamu ada di sekitar sini? Di mana?”

“Depan rumah kamu, ada di bawah pohon.”

“Tunggu-tunggu, sebentar.”

Tak berapa lama kemudian, suara dari seberang kembali menyahut, “Kamu lihat ke atas deh sekarang.”

Laura mendongakkan kepalanya ke atas, dia melihat sebelah tangan melambai-lambai. Milik seorang gadis yang sedang ia hubungi sekarang ini.

“Kamu ngapain bawa-bawa koper?”

"Nanti aku ceritain. Aku masuk, ya.”

“Masuklah. Rumah nggak aku kunci, kok. Soalnya aku lagi nungguin kesayanganku.”

Panggilan ditutup, Laura masuk ke dalam gerbang. Lantas masuk ke dalam rumah untuk menemui sang sepupu yang kini berada di atas balkon.

“Yuna,” ucap Laura begitu mereka bertemu. Keduanya langsung berpelukan erat.

Yuna merenggangkan pelukan, “Aku udah, tahu kemaren Papa aku bilang katanya Om Adi bangkrut. Tapi aku nggak tahu kamu sampai pergi dari rumah begini.”

“Iya, aku mau mandiri, Yun. Boleh ‘kan? Selama beberapa hari ini aku nginap di sini?”

“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya aku malas menampung orang terlalu lama di rumahku. Aku juga punya privasi yang nggak boleh kamu tahu,” jawab Yuna.

Dari kasak-kusuk yang Laura dengar, katanya Yuna sering memasukkan para pejabat masuk ke dalam rumah. Pekerjaannya memang begitu setelah orang tuanya tiada—untuk apalagi kalau bukan untuk bertahan hidup?

“Tunggu sampai aku dapat kerja, ya. Kasih waktu aku tiga hari, gimana?”

Yuna tampak berpikir.

“Aku kan saudaramu, Yun. Bukan orang lain. Jadi tolong dipertimbangkan,” sambung Laura lagi.

“Kartu kreditku dah mencapai limit karena aku terlalu boros.” Itu juga salah satu penyebab Ayahnya tak memiliki tabungan yang cukup untuk menopang perusahaan yang kolaps.

“Baiklah, maksimal hanya tiga hari. Setelah itu, dapat kerjaan atau nggak, kamu tetap harus pergi. Tapi aku nggak mau melepasmu begitu aja, kok. Pasti aku bantu carikan kamu tempat tinggal yang murah di sekitar sini. Aku bakalan kasih kamu pegangan juga.”

‘Baiknya jangan, deh. Takut uang haram,' batin Laura. “Nggak usah, sedikitnya aku masih pegang, kok, Yun. Makasih, ya.”

Selanjutnya, Yuna memberitahukan Laura, di mana dia harus beristirahat sekarang. Mereka juga terlibat obrolan ringan seputar apa tujuan ke depannya nanti. Ya, paling tidak, Laura harus segera melamar kerja untuk menopang hidupnya sendiri.

***

Laura kini sedang berada di depan laptopnya matanya menatap awas layar berukuran kurang lebih enam belas inci tersebut. Satu tangannya memegangi kepalanya.

Pusing. Sudah dua hari berlalu, namun masih belum menemukan lowongan kerja yang cocok. Belum lagi ia memikirkan nasib ayahnya yang sekarang tinggal di rumah adiknya yang lain.

Ting tong!

Bel berbunyi, Laura sontak menghentikan aktivitasnya. Menuju ke pintu melihat siapa yang datang. “Ya, cari siapa ya, Mas?”

“Kamu siapa? Yuna mana?”

“Aku sepupunya, Yuna ada di dalam.”

Tanpa izin, tanpa bas-basi lelaki itu masuk begitu saja ke dalam rumah.

“Aku pacarnya, udah biasa. Jadi nggak usah heran,” katanya tanpa Laura bertanya. “Sayang!” panggil lelaki itu kepada Yuna, “turun, aku dah di bawah.”

“Ya sebentar!” seru Yuna dari atas, tak berapa lama kemudian gadis itu turun, tetapi sudah dengan memakai pakaian siap pergi.

“Tumben datang lebih cepat,” kata Yuna menatap lelaki di depannya.

“Iya, aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu.”

“Receh banget, sih.” Yuna memutar bola matanya malas. “Eh, kenalin, ini sepupuku. Kamu udah kenalan?”

Lelaki yang bertubuh sedang itu langsung mengulurkan tangannya, “Fero.”

“Laura,” balas Laura yang juga menjabat tangannya.

“Dia lagi tidur di sini, sementara,” Yuna menyahut.

“Pantas aku nggak boleh tidu—”

“Sstttt!” sergah Yuna. Namun terlambat, Laura sudah mengetahui maksud ucapan Fero barusan.

“Kamu ada info lowongan nggak? Dia butuh lowongan. Secepatnya.” Sambil menatap ke arah Laura.

“Aku nggak punya info lowongan pekerjaan yang cocok untukmu. Nyari kerja itu nggak gampang. Lagi pula gadis berpenampilan sepertimu, memangnya mau kerja serabutan?”

“Aku bisa apa aja, kok,” Laura menyela. “Yang penting secepatnya.”

“Secepatnya?” ulang Fero sambil mengernyit. Agak lama pria itu berpikir, setelahnya mengatakan, “Jadi Nanny di rumah abangku, mau?”

Laura tampak berpikir. Bukankah Nanny adalah pengasuh anak-anak?

“Abangku bukan duda bukan seorang suami juga. Entah apa sebutan yang pas buat dia. Tapi dia lagi nyari nanny buat anaknya yang berumur tiga tahunan kalau aku nggak salah. Kalau kamu mau, aku antarkan kamu ke rumahnya besok.”

“Ya, aku mau,” kata Laura tanpa pikir panjang. Yang terpenting adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Dia tidak enak jika terus-terusan menumpang.

***

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status