07:00
“Sampai. Ini rumahnya,” kata Fero saat mobil baru saja berhenti.
Mobil ini berhenti tepat di depan rumah yang cukup besar, berlantai dua dan di dominasi cat tembok warna putih. Halamannya cukup luas yang permukaan tanahnya ditutup paving block.
Sedang ditengah-tengahnya berdiri air mancur setinggi kepala orang dewasa. Beberapa tanaman cantik berjejer tak beraturan di sekitar rumah itu. Dari keseluruhan rumah ini—bisa Laura katakan mewah. Ya, meskipun masih lebih mewah dari rumahnya sendiri.
“Aku harap kali ini abangku cocok denganmu.”
Ucapan Fero barusan membuatnya bertanya-tanya. Segalak apa Abangnya sehingga orang itu terdengar pemilih?
“Apa anaknya bandel?” Laura memberanikan diri untuk bertanya. “Atau Ayahnya yang galak?”
“Bukan begitu maksudku, tapi Abangku orang yang cukup pemilih untuk mengasuh anaknya. Dia kurang percaya sama Agency atau Yayasan. Dia ingin mendapatkan Nanny yang kira-kira orang terdekatnya itu mengenalnya dengan baik,” jelas Fero menatap ke samping, “seperti aku mengenalmu lewat Yuna, begitulah kiranya.”
“Iya, Kak.”
“Sebelumnya, kamu sudah pernah berpengalaman mengasuh anak?” tanya Fero.
“Belum, kan aku belum punya anak.”
“Tapi suka sama anak kecil?”
“Ya, aku suka.”
“Bagus, modalnya itu dulu. Nanti kalau pengalaman bisa menyusul. Ya, sudah, daripada banyak cingcong kita turun saja untuk menemui Ivan langsung. Mumpung orangnya masih ada di rumah.”
“Oke, Kak. Makasih.” Laura mengikuti Fero di belakangnya. ‘Mudah-mudahan nggak ketemu temen babu yang galak,’ batinnya berharap.
Sesampainya di rumah, Laura langsung mendapati ruang tamu yang berantakan. Mainan ada di mana-mana dan bekas-bekas makanan tercecer begitu saja. ‘Ih, jorok sekali. Pasti nanti aku yang di suruh beresin ini semua kalau aku benar-benar diterima kerja.’
“Om Felo!” teriak seorang bocah yang menyembul dari balik sofa.
Fero sontak menoleh ke sumber suara, “Hey, kamu ngumpet, ya, ternyata.”
“Aku lagi main, Om Felo.” Bocah itu mendekati Fero dan mengulurkan tangannya. Tetapi setelah itu sang bocah menoleh kepada Laura. Melihatnya dari atas ke bawah. “Tante itu siapa, Om?”
“Tante itu, yang mau tinggal di sini,” jawab Fero, “Papa kamu ke mana?”
“Papa lagi mandi.”
“Oh, lagi mandi.” Fero mengalihkan pandangannya kepada Laura, “Duduk, Ra. Nanti kakimu menjalar.”
“Memangnya aku ubi, Kak?”
“Om, aku punya banak cokat, loh. Mau ngga?”
“Om nggak suka coklat. Sukanya es klim.”
“Es klim juga puna banak di kulkas.”
Fero mencium pipi gembul bocah ini, “Kenalan dulu sama Tante, ya.”
Anak itu mendekat malu-malu, lantas mengulurkan tanganmu mungilnya, “Nama aku, Kenjo.”
Laura tersenyum. “Namanya bagus,” pujinya sambil mengusap pipi Kenzo. “Nama Tante Laura.”
Setelah bersalaman, Kenzo langsung berlari mendekap Omnya. Dia menyembunyikan kepalanya di dada bidang Fero cukup lama karena malu sekali bersalaman dengan seorang gadis cantik.
“Alah, kecil-kecil udah tahu aja yang bening-bening. Dasar Kanjul!” Fero mengangkat tinggi-tinggi tubuh kecil keponakannya dan membawanya ke arah belakang, tepatnya ke arah kolam renang dan meninggalkan Laura sendiri di sana.
Laura menatap sekeliling, memperhatikan seisi rumah ini. Namun di saat yang bersamaan, dia juga melihat seorang lelaki dewasa baru saja membuka pintu depan yang ia yakini adalah kamar utama.
Lelaki itu menatapnya, matanya sekilas menyorot tajam seraya berjalan melintas di depannya tanpa bicara sepatah kata pun. Membuat Laura enggan menyapanya lebih dulu. ‘Ih, sombong amat!’
Laura meyakini dia adalah ayah dari si bocah yang akan menjadi anak asuhnya tersebut.
Sementara di dekat kolam renang.
“Kamu bawa siapa?”
Mendengar suara berat dari belakang punggungnya membuat Fero menoleh, “Eh, Bang!” ucapnya menyapa. “Kenzo main di depan lagi, ya.”
“Oke, Om.” Anak itu berlari segera menuju ke dalam.
“Dia melamar kerja di sini.”
“Jadi apa?”
“Ya—sesuai yang Abang butuh kan, lah.”
“Yakin dia bisa melakukannya? Bahkan dalam sekali lihat saja aku sudah bisa menilai dia tak bisa melakukan hal remeh temeh.” Ivan melihat gadis tersebut mempunyai kuku-kuku yang cukup panjang. Dia juga berpakaian tak selayaknya seorang pengasuh yang berpenampilan sederhana.
Gadis itu sangat terawat dan tubuhnya tercium parfum sangat harum. Dari keseluruhan tubuh si gadis yang tampak di wajahnya malah justru seperti seorang wanita penggoda.
“Jangan lihat dia dari covernya yang elite. Tapi kemampuannya.”
“Dari mana kamu bisa menilai?”
“Dia suka anak kecil. Bukankah itu modal utama seorang Nanny?”
“Aku tidak yakin. Kamu bawa pulang saja dia.” Ivan membalikkan tubuhnya hendak pergi, namun Fero menahan.
“Bang!”
Ivan menoleh, “Kamu dapat dari mana dia?”
“Aku mengenalnya dari pacarku, Yuna. Kau tidak perlu khawatir. Aku tahu di mana rumahnya dan siapa keluarganya. Anakmu akan aman bersamanya.”
“Tapi aku tidak suka. Kamu bawa balik saja dia.”
“Ivan!” Saking kesalnya Fero sampai memanggil nama Abangnya pada sebutan. “Kenapa kamu selalu begini? Kau boleh tak menerimanya saat dia tak menunjukkan kemampuan apa-apa di matamu.”
“Dari mataku dia sudah terlihat nol, Fero!” tukas Ivan meninggi. Lelaki itu enggan menggubrisnya lagi sehingga dia berlalu dari belakang. Meninggalkan seorang adik yang terus mengikuti di belakangnya.
“Aku mau berangkat sekarang, kau bawa pulang saja dia aku tidak peduli,” kata Ivan lagi. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Ivan berhenti di ruang tengah. Dia menahan diri melihat pemandangan menarik tak jauh dari tempatnya berdiri.
Maniknya menangkap putranya sedang disuapi sarapan oleh Laura. Anak itu tampak diam dan terus melihat Laura dengan sorot mata kagum. Baru kali ini Kenzo bisa sedekat itu dengan orang yang pertama kali dia kenal.
“Lagi, Tante. Mau ayamnya,” pinta Kenzo menunjuk ke piring makan yang sedang Laura pegang.
“Oke, siap Tuan muda!”
Melihat pemandangan ganjil tersebut membuat Ivan berpikir ulang. Dia menoleh menatap Fero di belakangnya, “Baiklah. Aku menerimanya bekerja di sini. Tolong gantikan dulu apa yang dia kerjakan sekarang. Aku tunggu gadis itu di ruanganku. Aku ingin berbicara dengannya.”
Laura menggantikan aktivitas Si Mbak senior yang sedang menyuapi Kenzo lantaran wanita paruh baya itu sedang menuju ke kamar kecil. Namun aktivitasnya kini terhenti pada saat Fero memanggilnya."Laura,” ucapnya seraya berjalan mendekat.Laura menoleh, “Ya, kenapa, Kak?”“Kamu dipanggil sama Abang di ruangannya.”Laura terdiam beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu menjawab dengan suara pelan, “Aku takut,” katanya Laura tanpa bisa menyembunyikan raut wajahnya yang demikian.“Dia emang punya wajah yang lebih seram daripada aku, tapi aslinya baik.”Laura menyerahkan piring makan Kenzo kemudian menatap Fero. “Aku akan menemuinya,” ujar Laura kemudian setelah membulatkan tekad. 'Hanya begitu saja kamu takut, jangan cengeng! Kamu pemberani!'“Ya, itu ruangannya.” Fero menunjuk ke arah samping kolam renang, tepat di bagian paling ujung. “Kamu ketuk saja pintunya.”Laura beranjak berdiri, lantas mendekati pintu tersebut. Dalam hatinya meneriaki nasibnya yang begitu buruk. Kenapa ia bisa sa
Ivan yang telah berpakaian rapi itu kini mendekati putranya yang sedang sarapan bersama adiknya. “Papa mau berangkat dulu, Ken,” pamit Ivansembari mencium salah satu pipi Kenzo yang tumpah-tumpah.Ya, dia memang bocah yang berat badannya lumayan berat. Matanya sipit, rambut kepalanya lebat serta mempunyai gigi yang ompong di bagian tengahnya karena terlalu banyak makan coklat dan candy.“Dadah, Papa,” balas Kenzo dengan suara yang kurang jelas lantaran mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.“Apa kamu tidak bisa menyuapi anak-anak, Fer? Mulut Kenzo sampai penuh seperti ini?” Ivan keheranan melihat bagaimana Fero menyuapi anaknya yang terlihat asal-asalan. “Bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?”“Ah, buktinya dia diam saja, tidak protes. Hanya kau saja yang terlalu banyak aturan,” balas Fero tak mau mengalah.“Dia diam karena dia tidak mengerti,” kata Ivan kemudian.Fero hanya mengangkat bahunya. “I dont care,” ucapnya sambil meletakkan piring makanan ke meja."Sudahlah, aku
“Ini kamarmu, Laura,” kata Mira menunjukkan kamar untuk teman barunya.Sebuah kamar petak berukuran tiga kali dua meter. Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di sana terletak kasur singgle bed, pas untuk ditempati sendiri.Lumayan bersih dan nyaman meskipun tidak menggunakan AC. Namun, apakah Laura bisa tahan tidur di tempat seperti ini? Tetapi ia juga tidak mungkin melayangkan protes, sebab memang tidak sepatutnya dia mengatakan hal itu mengingat siapa dirinya sekarang yang juga sama dengan posisi Mira.“Kenapa? Jelek ya, kamarnya,” ujar Mira lagi lantaran sekian lama gadis itu berdiri terdiam tanpa melihat ke dalam tanpa menyahuti perkataannya.“Tidak, Mbak Mira. Ini cukup untukku,” kata Laura kemudian. Memasuki kamarnya dan meletakkan kopernya di sana.“Ya sudah, kau bereskanlah dulu pakaianmu. Ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bekerja. Agar langkahmu tidak kesusahan.”Mira melihat keseluruhan pakaian yang Laura kenakan. Dress merah dengan poto
Takut? Tentu saja. Bahkan bukan hanya itu yang Laura rasakan. Tetapi juga sangat malu karena kedapatan masuk ke kamar orang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang pemilik.‘Kenzo ... kamu kecil-kecil udah pinter ngerjain orang!’ Laura bersungut-sungut dalam hati. Dan apabila dilihat menggunakan mata batin, mungkin telinganya juga berasap.Laura masih menutup matanya rapat-rapat. Sebab dia mendapati lelaki itu tadi tengah bertelanjang dada. Astaga, ternoda sudah matanya yang bersih suci, dan murni itu.Bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia membuka matanya. Namun ternyata sudah tidak ada lagi orang di depannya. Ivan telah pergi.Laura menggigit bibirnya, pikirannya kalut dan bercabang tak karu-karuan. Hari pertama kerja sudah ketiban banyak sekali kesialan-kesialan.Ia hanya terus berdoa mudah-mudahan lelaki itu tak marah atau menuduhnya dengan prasangka yang tidak-tidak. Hanya berniat mengambil tisu basah saja jadi panjang begini ceritanya.Gadis itu mulai kelu
Menuju ke belakang, Laura kembali melihat sosok Ivan lagi yang sedang berada di meja makan menikmati makan siangnya. Namun berbeda dengan tadi karena dia sudah mengenakan bajunya secara lengkap.Rupanya, lelaki itu pulang pada saat dia tengah tertidur pulas di atas. Kemudian mandi pada saat Laura turun dan tanpa sengaja terpergok olehnya.Kerja apa dia jam segini pulang tapi banyak duit?Jangan-jangan dia punya pesugihan babi ngepet.Astaga! Laura langsung menggeleng menghilangkan pikiran buruknya yang sedang semena-mena menuduh orang lain. Mana mungkin Om tua itu ngepet? Masa ganteng-ganteng jadi ....Laura melintas menuju ke belakang dan menarik kursi di sana, serta merta mengisi perutnya dengan makan siang yang sebelumnya sudah Mira masakkan. Tidak terbayang sebelum ia datang, bagaimana repotnya wanita itu sendirian mengurus rumah sebesar ini sambil menjaga Kenzo. Kasihan sekali.***Selesai sudah pekerjaannya hari ini. Tepat pukul jam sembilan malam, Laura naik ke kamarnya dan men
“Astaga!”Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.Jangan-jangan....Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin ke
Usai dasi terpasang dengan rapi di pakaiannya, Laura memundurkan tubuhnya. Berada di dekat lelaki dewasa seperti Ivan membuat tubuhnya tidak baik-baik saja. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan meski tak tahu apa penyebabnya.Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya terasa jadi lebih pendek-pendek, otaknya jadi bodoh, hidungnya pun seperti tersumbat mencium harum parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki di depannya.‘Lagian nyuruhnya aneh-aneh aja. Masa disuruh pakein dasi. Ini mah tugasnya seorang istri. Amit-amit jabang kura-kura jangan sampai aku nikah sama si Om tua ini. Meskipun lumayan, tapi memangnya nggak ada boejangan lagi di dunia ini? Wekk!’“Makasih,” kata Ivan terhadapnya. Sedangkan Laura hanya mengangguk.Tetapi kali ini dapat Laura akui bahwa mereka sudah bisa sedikit mencair. Keakrabankah yang terjalin? Atau memang Laura sendiri tipe gadis yang gampang akrab dengan setiap orang?Mendengar Kenzo menangis membuat keduanya sontak menoleh. Ternyata bos kecil tersebut s
Kurang lebih lima menit kemudian Laura turun dengan keadaan sudah berganti pakaian. Gadis itu memakai dress warna peach dengan pita yang terikat di belakangnya. Sedangkan rambutnya yang agak pirang dan panjang itu dibiarkan tergerai begitu saja.Untuk menambah kesan manis dan simpel, Laura hanya mengambil sedikit rambut bagian luar kanan kirinya, lalu di satukan ke belakang dengan memakai jepit rambut yang berukuran kecil.Ivan menatap gadis yang baru saja tersebut. Tanpa Laura ketahui, Ielaki itu sudah memandanginya selama beberapa lama karena merasa ‘tersepona’ dengan penampilan Laura saat ini.Laura tidak tampak berumur 23 tahun, dia malah justru seperti seorang gadis SMA yang baru saja tamat sekolah. Wajahnya imut, tubuhnya kecil, bulu matanya lentik dan bibirnya ... merah, kecil, namun sedikit tebal di bagian bawahnya seperti bibir Donald Duck yang sering di tonton anaknya di televisi, begitulah yang sedang Ivan umpamakan.“Jadi berangkat nggak, sih?” Laura bertanya kepada lelaki