Kriiing! Kriiing!
"Thanks, God," ucap Samudra ketika suara melengking itu membangunkannya dari kematian sementaranya.
Pemuda itu selalu mengucap syukur ketika membuka mata karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk hidup, ia tidak akan lalai dengan perintah-Nya.
Waktu masih menunjukan pukul 04.30 WIB dan tidak lama terdengar lantunan suara adzan yang sangat indah. Samudra segera bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh, setelah itu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
"Den, bangun, sudah pagi." Panggil Teti mengetuk pintu kamar.
"Iya, aku sudah bangun kok, Bi." Samudra sedikit berteriak agar wanita paruh baya itu mendengarnya kemudian ia mulai memasangkan alat ECG di badannya seperti yang sudah Dokter Leon ajarkan.
Pemuda itu tersenyum miris menatap pantulan dirinya di cermin, alat itu sudah terpasang di dada bidangnya. Dia terlihat seperti seorang robot yang memerlukan rangkaian kabel agar teta
Setelah berjam-jam belajar matematika yang membuat kepala serasa ingin pecah itu akhirnya mereka dapat bernapas lega ketika bel istirahat berbunyi. Kelas yang tadinya penuh, seketika kosong ditinggalkan penghuninya. "Ayo ke kantin! Anak-anak pasti senang banget kamu sudah masuk sekolah lagi," ajak Bintang. Samudra masih diam di tempatnya, dia yakin teman-temannya akan menginterogasinya karena beberapa hari ini selalu absen. Jujur saja, pemuda itu belum menyiapkan jawaban. "Masih banyak yang belum aku salin, kamu duluan saja." Tolaknya seraya kembali membuka buku catatannya. Bintang mengerutkan alis, bingung. Lalu menarik paksa sahabatnya itu untuk ikut bersamanya. *** Refleksmereka semua berdiri ketika Samudra dan Bintang datang. Dan benar saja pemuda itu langsung dicercar berbagai pertanyaan. "Kamu sebenarnya sakit apa sih? Perasaan sering banget absen." Angkasa mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jaraknya
"Dirga," panggil Wira dari ruang keluarga."Iya, Pa?" Pemuda itu keluar dari tempat favoritnya."Ikut Papa ke kantor, sekarang." Pria dewasa itu mulai beranjak dari posisi terakhirnya serta langsung meminta anak sulungnya ikut dengannya.Ah, bukan meminta, lebih tepatnya memaksa. Karena Dirgantara tidak diberi kesempatan untuk berbicara.Dirgantara hanya mengerucutkan bibir, kesal. Lantas dengan langkah gontai dia menuju kamarnya untuk mengganti pakaiannya.Tidak selang beberapa lama, pemuda itu sudah siap dengan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilapnya. Sangat cocok dijuluki sebagai pengusaha muda.Sang ayah berdecak kagum melihat penampilan anak sulungnya itu. Dirgantara benar-benar cerminan dirinya saat muda dulu."Kita mau ngapain sih, Pa? Gerah tahu." Protes pemuda itu membuka kembali jas yang telah ia kenakan.Wira hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah putra sulungnya itu. Pria dew
Hari ini Samudra mengajak Rain pergi ke sebuah taman hiburan. Bahkan, pemuda itu sudah menyewa tempat ini khusus untuk mereka berdua agar bebas bermain apa saja tanpa gangguan dari siapapun."Sam, kamu seriusbookingtempat ini?" tanya Rain masih tidak percaya.Pemuda itu hanya nyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapih."Ih, kebiasaan. Ngapain sih? Buang-buang uang tahu," lanjutnya."Apa sih yang enggak buat kamu," kata pemuda itu berhasil membuat Rain tersipu."Sudah, dari pada kamu terus ngoceh mending sekarang nikmatin saja semua permainannya." Samudra memegang tangannya dan menariknya pergi.Semua permainan menyenangkan sudah ada di depan mata, gadis itu bebas memilih wahana apa saja yang akan ia naiki. Namun, Rain ingat kalau sebagian permainan ini berbahaya untuk pemuda itu. Jadi dia memilih permainan yang kira-kira aman juga untuk Samudra."Aku mau naik komedi putar," ucap Rain dengan mata berbinar ka
Sedari tadi pemuda itu terus menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam selimut tebal. Bibirnya bergetar, matanya terasa begitu panas.Pemuda malang itu terserang demam."Dek, makan dulu, ya. Dari pulang sekolah kamu belum makan lho," ucap Bianca. Baskara hanya menggeleng lemah sembari meringkukkan tubuhnya.Wanita itu membuka selimut yang menutupi tubuh adiknya, pupil matanya membesar ketika menyadari kondisi adiknya cukup mengkhawatirkan.Keringat dingin bercucuran dari keningnya, wajahnya pucat dan bibirnya bergetar."Dingin, Kak," lirih Baskara."Astagfirullah, badan kamu panas banget. Sebentar!" Bianca berlari mengambil jaket untuk adiknya."Kita ke dokter, ya." Pinta wanita itu seraya memakaikan jaket ke tubuh panas sang adik.Lagi-lagi Baskara hanya menggeleng. Dan ini sifat yang tidak disukai oleh Bianca. Adiknya begitu keras kepala sama seperti ayahnya. Dia hanya menghela napas, jikalau pun berdebat, Bianca pasti akan kalah
Keesokan harinya keluarga Wiratmaja sudah berkumpul untuk sarapan bersama. Sedari tadi Dirgantara terus mencuri-curi pandang pada adiknya dan ternyata seseorang menyadari itu."Abang," panggil Wira. Pemuda itu langsung melihat ayahnya dengan ekspresi sedikit terkejut."Dari tadi Papa perhatikan kamu terus lirik-lirik Rain. Ada apa?" tanya pria dewasa itu.Rain yang merasa namanya disebut sontak menoleh seraya menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Ada apa Bang Di?"Dirgantara hanya menggaruk tengkuknya, bingung mau memberi alibi apa."Mmm, bukan hal yang penting kok," jawabnya, "Ma, Pa, Di berangkat. Assalamu'alaikum."Rain mengerutkan kedua alisnya seraya melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Lho, baru juga jam segini. Eh, Bang Di tunggu!"***Napas gadis itu masih naik-turun, belum beraturan. Maklum saja langkah kakaknya itu panjang dan juga cepat sehingga ia mengejarnya harus dengan berlari jika tidak ingin berangkat
Setelah semalaman Bianca tidak sadarkan diri, akhirnya pagi ini ia membuka matanya dan orang pertama yang dia cari adalah sang adik."Aku kenapa? Babas mana?" tanya Bianca pada Brisia dan juga ayahnya."Tadi malam aku menemukanmu sudah pingsan di bawah tangga," jawab Brisia acuh tak acuh."Pingsan?" Gadis itu mengernyit memegang belakang kepalanya yang terasa sakit."Babas mana?" tanya Bianca lagi.Brisia mendelik tidak suka mendengar nama Baskara disebut. "Untuk apa sih masih menanyakan anak pembawa sial itu? Tidak guna."Mata Bianca melotot, gadis itu tidak suka adiknya disebut sebagai anak pembawa sial. Rasanya sekarang ini ia ingin sekali membungkam mulut kakaknya agar berhenti mengatakan hal yang dapat menyakiti perasaan adiknya."Sudah, adik kamu baru saja siuman jangan mengajaknya bertengkar," ucap Nugroho."Babas mana Yah?" tanya gadis itu untuk kesekian kalinya."Babas di rumah," jawab pria dewasa itu seraya men
"Rain mana sih?" Pemuda itu terus menggerutu seraya celingukan mencari keberadaan sang adik."Kak Dirga," sapa Tia, "lagi nunggu Rain ya?""Iya. Kamu melihatnya tidak?" tanyanya.Setelah menunggu jawaban yang tidak kunjung dia dapatkan dari gadis di depannya itu, Dirga menyadari ada sesuatu yang tidak beres terlebih melihat tingkah Tia yang sedari tadi hanya memainkan ujung rambutnya seperti bingung harus menjawab apa."Hey!" Dirgantara mengibaskan tangannya di depan wajah gadis itu."Eee–ee sebenarnya dari tadi Rain tidak masuk kelas Kak," tuturnya."Hah? Maksudmu adikku bolos?" tanya Dirgantara tampak sekali terkejut dengan penuturan salah satu teman adiknya itu.Gadis itu semakin bingung harus memberi jawaban apa. Di satu sisi Tia yakin kalau Rain bukan tipikal siswi seperti itu, tapi di sisi lain dia melihat sendiri gadis itu ijin untuk pergi ke WC dan tidak kembali lagi sampai jam sekolah berakhir."Hallo," panggil D
Samudra mendongak memandang langit yang tidak secerah tadi pagi."Sepertinya akan turun hujan," ucapnya.Rain ikut mendongakkan kepala dan benar saja tidak lama kemudian air hujan mulai membasahi mereka.Ekspresi gadis itu langsung berubah serta langsung menarik Samudra untuk segera pergi dari sana."Ada apa?" tanya pemuda itu."Tidak apa-apa. Ayo!" balas Rain sembari semakin mempercepat langkahnya.Tidak apa-apa jika dikatakan oleh seorang mahluk yang bernama perempuan bisa seribu arti,setidaknya itu yang pernah Dokter Leon katakan padanya.Jika bisa memilih lebih baik dia bermain teka-teki yang ada di youtube dari pada menebak arti sebenarnya dari perkataan perempuan.Satu hal yang tidak Samudra sadari, bahwa diapun sama saja dengan Rain, selalu mengatakan tidak apa-apa meski keadaannya tidak baik-baik saja.Saking terlalu dipikirkan ia tidak sadar bahwa sekarang ini mereka sudah berteduh di sebuah halte bi