Jam istirahat telah berbunyi, semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas.
Ada yang pergi ke kelas gebetan, ada yang memilih pergi ke perpustakaan, ada yang memilih bergosip di kelas serta 90 persen pergi ke kantin untuk menenangkan cacing-cacing yang sudah berdemo di dalam perut, dan itu yang Nature Squad lakukan setiap jam istirahat."
Bu, baksonya 5, es teh manisnya 5 jangan pakai es." Samudra sedang memesankan menu untuknya dan juga teman-temannya.
"Maksudnya gimana?" tanya ibu kantin dengan ekspresi bingungnya.
"Hmm sudah Bu, bakso sama teh manisnya 5," balas Bintang membenarkan pesanannya.
Setelah mengerti dengan apa yang dipesan ibu kantin itu langsung pergi untuk membuatkan pesanan mereka.
"Astaga parah banget ibu kantin saja dikerjain," lanjutnya, sedangkan Samudra hanya tertawa seperti biasanya.
Ya, pemuda itu memang paling ceria dan seperti tidak memiliki beban hidup.
Tampan, kaya, memiliki keluarga yang sangat harmonis dan memiliki otak yang cerdas.
Jika seorang manusia setelah mati bisa berekarnasi, maka mereka pasti menginginkan menjadi pemuda itu.
Apa yang harus dikhawatirkan untuk seorang Samudra? Mungkin itu yang dipikirkan semua orang tentang bagaimana enaknya menjalani kehidupan seperti Samudra.
"Eh, tumben adikmu belum terlihat batang hidungnya," ujar Samudra dengan kedua bola mata yang bergerak-gerak mencari keberadaan seseorang.
"Aku ini kakak kelasmu. Jadi sopan sedikit bisa? Panggil aku Kak Dirga," protes Dirgantara sifat seniornya mulai datang kembali.
"Malas. Kalau manggil Abang baru mau." Timpal Samudra seraya menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda salah satu sahabatnya itu.
Dirgantara berdecak. "Sejak kapan aku punya adik sepertimu?"
"Di masa depan," Jawab Samudra seraya menopang sebelah pipinya dengan tangan lalu tersenyum aneh kala wajah Rain mulai menari-nari di atas kepalanya.
"Aaw!!" Injakan seseorang menyadarkan lamunan indahnya. Samudra berteriak sembari memegangi kaki kirinya yang sedikit berdenyut-denyut.
"Itu buat balasan kemarin." Setelah menginjaknya, Rain si pelaku langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi di belakangnya.
Yang lainnya nampak bingung kecuali Dirgantara yang sudah tertawa mengingat bagaimana wajah konyol adiknya kemarin.
"Aaw!! Kok aku juga?" Tanya sekaligus pekiknya sembari memegangi kaki kanannya yang juga diinjak oleh Rain.
"Karena Bang Di udah ketawa." Jawab gadis itu seraya membenarkan rok sekolahnya yang sedikit terangkat.
Tidak lama kemudian ibu kantin datang membawa pesanan mereka. “Silakan.”
"Kok aku tidak kebagian?" tanya Rain sadar tidak mendapatkan jatah.
"Pesan sendiri." Balas Dirgantara langsung menyantap baksonya tidak memedulikan ekspresi adiknya yang meminta makanan-makanan di depannya.
Rain mendengkus seraya mengerucutkan bibirnya. "Kenapa Rain tidak di pesankan sekalian. Ih kalian sungguh menyebalkan."
"Ya sudah nih kamu makan punya aku saja." Tawar Baskara seraya menyodorkan mangkuk miliknya.
Senyum Rain langsung mengembang melihat mangkuk bakso di depannya. Kemudian dengan cepat ia mengambil mangkuk tersebut.
"Babas memang yang paling baik," ucapnya pada Baskara atau mereka lebih senang memanggilnya dengan sebutan Babas.
"Eh, sudah lama nih kita tidak main ke basecamp. Ke sana yuk!" ajak Angkasa yang sudah menghabiskan sepotong baksonya.
"Boleh tuh, bosan juga di Rumah terus," balas Dirgantara dengan potongan bakso di dalam mulutnya yang belum sempat ia telan sepenuhnya.
"Yang lainnya gimana?" tanya Angkasa lagi meminta pendapat dari sahabat-sahabatnya.
"Ayo. Itu bukan ide yang buruk." Setelah melihat pemandangan yang membuatnya sedikit panas, Samudra kembali mengeluarkan suaranya.
Sementara yang lainnya hanya mengacungkan jempolnya tanda mereka setuju.
"Eh, Rain, sebelum ke basecamp, kamu ke supermarket dulu jangan lupa." Ingat Angkasa mengingatkan tugas gadis itu.
"Iya, tapi aku tidak mau pergi sendiri," pinta Rain secara halus meminta ditemani berbelanja.
"Siap. Nanti aku yang menemanimu," ucap Samudra menawarkan diri atau lebih tepatnya percaya diri gadis itu mau berbelanja dengannya.
"Tidak mau!" Tolaknya dengan cepat. Ia masih kesal dengan kejahilan pemuda itu.
"Aku mau pergi sama Babas saja." Lanjutnya seraya mengedipkan sebelah matanya pada Baskara dengan cepat sehingga terlihat begitu menggemaskan dan menghidupkan api di hati Samudra.
"Kenapa aku?" tanya Baskara gelagapan karena tingkah menggemaskan gadis itu sudah berhasil membuat jantungnya berdebar cepat.
"Astaga, kenapa kamu begitu menggemaskan, Rain?" pikirnya.
"Iyakan saja Bas," suruh Angkasa yang sudah tahu bagaimana sifat sahabat cantiknya itu jika sudah memiliki keinginan.
Setelah pemuda itu berhasil mengendalikan jantungnya. Ia hanya menganggukkan kepalanya. "Ya sudah, iya."
"Nah gitu dong." Rain tersenyum penuh kemenangan.
"Terus Bintang bawa gitar, Dirga bawa bola basket." Ingat pemuda itu lagi.
Angkasa sudah seperti seorang pemimpin di Nature Squad tersebut.
"Dan aku mau kali ini semuanya ikut main." Lanjutnya sembari melirik Samudra yang sedang asyik dengan baksonya.
***
"Stop! Stop!!" Pinta Samudra seraya membungkukkan badan dengan napas yang terengah-engah karena terlalu lelah bermain.
"Ah elah, padahal sebentar lagi masuk," protes Dirgantara yang sudah siap untuk mencetak poin.
Tanpa berkata apapun lagi, pemuda itu keluar dari lapangan dan langsung berlari masuk ke dalam Basecamp.
"Baru juga setengah jam." Kini giliran Bintang yang mengeluh karena sifat semaunya Samudra.
"Pasti mau berduaan sama si Rain tuh," tebak Angkasa menimpali.
Seperti yang direncanakan kemarin, mereka pergi ke basecamp untuk bermain basket dan lagi-lagi Samudra menghindar dari permainan bola memantul itu.
Rain sedang membuat roti bakar di dapur, gadis itu dikejutkan dengan kedatangan Samudra yang tiba-tiba.
"Eh badut ancol, badut ancol! Gak bikin orang kaget bisa?" Rain terperanjat saking terkejutnya dengan kedatangan pemuda itu.
Tidak seperti biasanya Samudra hanya melewatinya begitu saja dan masuk ke dalam kamar mandi kemudian menguncinya dengan cukup keras.
"Tumben." Gadis itu merasa keheranan dengan sikap pemuda itu yang terlihat sangat aneh.
"Woy di dalam ngapain saja sih? Lama banget," teriak Rain dari luar.
Beberapa menit kemudian Samudra keluar. Pemuda terlihat tidak bersemangat, bahkan biasanya ia sangat senang menggoda gadis di depannya itu kini hanya diam dan justru langsung pergi begitu saja.
"Ih dasar aneh." Cibir Rain mengerucutkan bibirnya karena merasa diabaikan.
***
"Saatnya camilan." Teriak Rain membawa sepiring roti bakar yang baru saja keluar dari panggangan.
"Akhirnya." Angkasa mengelus perutnya yang sudah berbunyi minta diisi.
"Si Sam mana?" tanya Baskara yang sedari tadi hanya menjadi pendengar saat sahabat-sahabatnya bercerita.
"Emang dari tadi tidak sama kalian?" Tanya gadis itu sembari menaruh roti bakar di atas meja.
"Tidak. Tadi kan dia masuk ke dalam. Aku pikir sama kamu." Bukan Baskara yang menjawab melainkan Bintang.
"Sudah paling dia pulang duluan dan tidak sempat pamit." Timpal Dirgantara menyomot satu roti bakar yang sedari tadi seperti melambai-lambai padanya meminta untuk di makan.
"Tapi, tadi sikapnya beda Bang Di. Lagi pula itu motornya saja masih ada di depan," kata gadis itu seraya menujuk kuda besi yang masih terparkir di luar bersama kuda besi yang lainnya.
"Beda gimana?" tanya Bintang menjadi penasaran dengan ucapan gadis itu.
"Biasanya kalau aku bercandain tuh dia suka balas, tapi ini tidak. Dia langsung pergi begitu saja." Rain membuang napasnya saat mengingat kejadian tadi.
Andai saja ia peka bahwa pemuda itu berbeda dari biasanya, mungkin ia tidak akan mengajaknya bercanda.
Rain bodoh, pikirnya.
"Apa lagi ada masalah ya?" Pikir Angkasa. Karena sejak bermain basket pun pemuda itu lebih banyak diam dan berulang kali meminta berhenti.
"Bintang cari solusi dong. Ayo keluarkan otak jeniusmu itu," lanjutnya meminta pendapat dari pemuda terpintar di perkumpulan mereka.
Bintang menepuk-nepuk hidungnya dengan jari telunjuk, menandakan sedang berpikir keras.
Namun, kali ini dia benar-benar tidak mendapatkan ide, kejeniusannya seakan hilang secara tiba-tiba.
"Coba telepon," saran Baskara.
"Ah ide bagus tuh." Balas Rain langsung mengeluarkan ponselnya.
Dreett! Dreett!
"Eh ponsel siapa itu yang bunyi?" Tanya Bintang celingukan mencari sumber suara tersebut.
"Jangan-jangan--" kata mereka secara bersamaan.
Apakah pikiran mereka semua sama?
Mereka pun mencari asal suaranya dan sampailah di ruangan yang biasa menjadi tempat Rain beristirahat.
Saat membuka pintu, mata mereka membulat sempurna lalu mempercepat langkahnya untuk melihat dalam jarak yang lebih dekat.
"Tuh kan dugaanku benar," celetuk Dirgantara ketika melihat seseorang yang sedari tadi mereka cari sedang terlelap di atas kasur kecil di ruangan tersebut.
"Woy! Bangun!" Angkasa memukul pelan lengan Samudra.
"Kok tidak bangun-bangun sih?" tanya Rain masih tampak khawatir pada pemuda itu.
"Sam." panggil gadis itu pelan seraya menyentuh punggung tangannya yang terasa dingin.
Mata Samudra mulai terbuka lalu mengerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
"Giliran dia yang panggil langsung bangun." Dumel Angkasa seraya berkacak pinggang.
"Sam, kamu tidak apa-apa?" tanya gadis itu sama sekali tidak mengindahkan dumelan salah satu sahabatnya.
Samudra masih terdiam, beberapa detik kemudian ia meringis dan perlahan-lahan kelopak matanya kembali tertutup rapat. Sontak semua yang ada di sana menjadi panik, terlebih Rain yang kini sudah menangis.
"Eh nih anak kenapa? Sam bangun! Sam!" Baskara menepuk-nepuk pipinya pelan, "bangun! Sumpah ini gak lucu Samudra!!"
"Eh ini dia beneran pingsan?" tanya Angkasa dengan wajah yang berubah panik.
"Iya lah bego!" balas Dirgantara tidak kalah paniknya.
"Panggilkan ambulance!" Perintah Rain seraya terus menggenggam erat tangan dingin pemuda itu.
"Sam kamu kenapa?" racaunya.
Baru saja Bintang akan menelpon ambulance, mereka kembali dikejutkan oleh teriakan seseorang.
"Prank!!" teriak Samudra membuat semua yang ada di sana terlonjak kaget.
"Kamu menipu kita?" marah Bintang tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Sama sekali tidak lucu bangsat!" marah Baskara mengeluarkan bahasa kasarnya, mungkin mewakili yang lainnya.
Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah panik para sahabatnya. "Bodoh. Kalian gampang banget ditipu."
Mereka langsung pergi meninggalkannya dengan perasaan kesal yang menggunung.
Perlahan tawa Samudra berhenti dan sorot matanya berubah menjadi sendu.
Ia lelah terus berpura-pura baik-baik saja.
"Pekan depan Bintang diundang untuk mengisi acara di kafé Kenanga. Mama sama Papa datang, kan?" tanya Bintang kepada orang tuanya. "Pasti. Papa pasti datang dong," jawab Bram, ayahnya. "Mama datang, kan?" tanya Bintang pada ibunya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, tidak memedulikan perbincangan antara suami dan anak laki-laki yang kini sedang menunggu jawaban darinya. "Bima, kamu dari mana saja? Apa kamu tidak melihat jam? Ini sudah larut malam," tanya Bram marah ketika melihat anak sulungnya baru pulang seraya menenteng jaket kulitnya. "Biasalah Pa, anak muda," jawab putra sulungnya itu dengan santai. "Kamu ini--" "Sudah sekarang kamu pergi mandi, ya," suruh Rita memotong ucapan suaminya. Wanita paruh baya itu selalu menjadi tameng untuk membela si sulung. "Bima! Papa belum selesai bicara," geram Bram ketika putra sulungnya malah naik ke atas. "Sudahlah Mas, Bima juga baru saja pulang," lerai sang istri.
Sudah menjadi rutinitas setiap jam istirahat anak-anak Nature Squad selalu berkumpul di kantin untuk berbagi cerita selama di kelas atau hanya sekadar untuk menyusun rencana sepulang sekolah. Sama halnya dengan hari ini, mereka berkumpul untuk membahas rencana selepas pulang sekolah nanti. "Nanti siang kumpul di rumahku, ok," ucap Dirgantara memulai pembicaraan. "Bahas apa nih? Jahat banget gak ngajak," kata Samudra yang entah muncul dari mana. "Ngapain ke sini?" tanya Bintang dengan ketus. "Ya ampun kalian masih marah?" Tanya pemuda itu seraya menempelkan kedua tangannya di pipi mulusnya serta memasang ekspresi sok terkejut. "Iya deh,sorry.” Lanjutnya seraya menatap satu persatu sahabatnya lalu menempelkan telapak tangannya, membuat gerakan seperti menyembah. "Dir," panggil Samudra. "Apa?" tanya Dirgantara masih bernada ketus. "Sorry," ucap Samudra dengan tulus. "hhh, Iya," jawab Dirgantara walaup
Haha ... Dirgantara tertawa ngakak melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh dengan jepitan jemuran, sementara yang ditertawakan hanya mendengkus kesal. "Puas banget ketawanya, Bang Di," ujar Rain dari arah dapur. "Camilan hari ini bakso goreng ala Rain dan Sarah," lanjutnya sangat bangga dengan kreasi yang ia buat kali ini. Setelah menaruh piring dan gelas-gelas itu di meja, tawa Rain langsung menggelegar kala melihat wajah kedua sahabatnya yang sudah penuh dengan jepitan. Baik Samudra maupun Bintang hanya bisa mendengkus kesal menerima kekalahan. "Mainnya sudah dulu, sekarang ayo makan," perintah Rain sudah seperti seorang ibu yang mengingatkan anak-anaknya yang keasyikan bermain. Bintang membuang napasnya dengan sangat keras seraya melepaskan jepitan-jepitan yang masih menempel di wajahnya, begitupun dengan Samudra. Namun, pemuda itu dikejutkan dengan pergerakan Rain yang tiba-tiba duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan
Baskara benar-benar terpukul dengan meninggalnya nenek tercinta, apalagi ia tidak diijinkan untuk sekadar mengantar neneknya ke peristirahatan terakhirnya. "Babas." Panggil Wina mengetuk pintu kokoh tersebut, "ada teman-teman kamu datang." "Gimana?" tanya Bintang berbisik karena tidak sabar ingin melihat kondisi sahabatnya yang terus mengurung diri di dalam kamar. "Dari semalam dia belum keluar-keluar kamar," jawab Wina tampak sangat khawatir dengan kondisi pemuda itu. "Babas." Kini Rain yang mencoba memanggilnya, tetapi hasilnya tetap sama, pemuda itu tidak mau keluar dari kamarnya bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. "Bas, kamu harus makan, nanti kamu sakit." Wina kembali mengetuk pintu kamar dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya. "Bas buka! Kamu tidak sendiri. Ada kita-kita yang selalu siap menjadi sandaran buatmu," seru Angkasa berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa dia tidak sendiri. Sedangkan kondisi di dala
Sarah langsung pergi ke rumah sakit ketika mendapat kabar sepupunya masuk rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya saat manik matanya melihat tantenya yang sedang duduk di depan ruang ICU. "Tante, Sam kenapa?" tanya Sarah. "Dia habis menerima panggilan dari Rain, tiba-tiba--" Wanita paruh baya itu bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Sa, Tante takut." Lanjutnya diiringi dengan isak tangis yang kembali pecah. Gadis itu hanya memeluk wanita itu untuk memberikannya kekuatan. Dewi langsung menghampiri Dokter Leon yang baru saja keluar dari ruang ICU, dia adalah dokter yang menangani Samudra selama ini, sekaligus kakak dari Sarah. Jadi, mereka masih satu keluarga besar. "Kondisinya masih sangat lemah dan belum sadarkan diri, tapi Tante jangan khawatir, Sam laki-laki yang kuat, dia tidak akan kalah hanya karena ini," tutur Dokter Leon menenangkan wanita yang sedang dilanda kecemasan itu. *** Baskara sudah di pindahkan ke rua
Keadaan Samudra sudah mulai membaik. Oleh karenanya pemuda itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. "Sayang, yakin mau sekolah hari ini?" tanya Dewi khawatir ketika melihat putranya sudah siap dengan seragam sekolahnya. "Iya, Sam sudah ketinggalan banyak pelajaran Bun," jawabnya, "kalau kelamaan tidak masuk, nanti Sam jadi bodoh." Jujur, dia sangat merindukan para sahabatnya. Selama hampir satu minggu tidak mendengar dan tidak melihat kekonyolan mereka rasanya ada yang kurang. Pemuda itu juga rindu mengendarai motor kesayangannya. "Ya sudah, tunggu, Bunda bawa kunci mobil dulu." Pinta Dewi hendak mengambil kunci mobil yang tergantung di tempatnya. "Eh, mau ngapain?" tanya Samudra mengernyitkan kening. "Bunda mau antar kamu lah, apa lagi," jawab wanita itu gemas dengan sikap Samudra yang terlihat menggemaskan. "Jangan mulai Bun. Sam tidak suka Bunda memperlakukan Sam seperti anak kecil seperti ini." Pemuda itu mengerucutkan b
"Selamat siang anak-anak," sapa Bu Mita, guru Seni Budaya. "Siang, Bu," jawab mereka serempak. "Baik, materi kali ini tentang seni peran. Hari ini Ibu akan membagi kelompok, satu kelompok terdiri dari dua sampai tiga orang--" "Kelompoknya bebas atau ditentukan sama Ibu?" potong salah satu siswa di kelas XI IPA 1. Bu Mita mendengkus seraya menatap siswa yang memotong ucapannya itu, kesal karena sudah memotong perkataannya saat beliau masih menjelaskan. "Makanya jika Ibu sedang bicara jangan dulu disela. Untuk anggotanya Ibu yang akan menentukan. Di kotak ini sudah ada nomor kelompok, silakan kalian pilih dan bagi siapapun yang nomornya di panggil harap ke depan," jelas Bu Mita kembali serius. "Semoga aku bisa satu kelompok dengan Bintang," harap beberapa siswa di sana. Sementara para siswinya berharap bisa satu kelompok dengan Samudra, siswa yang dijuluki sebagaimostwantedsekolah. "Semoga sama bebeb Sam
"Angka, tunggu!" Teriak Sarah sedikit berlari untuk mengejarnya sampai ke dekat parkiran. "Angkasa!" panggilnya lagi dengan penekanan berharap pemuda itu berhenti. "Apa?" sahut Angkasa sedater dan sedingin mungkin. "Kamu aneh," ujar gadis itu membuat pemuda itu menaikkan sebelah alisnya. “Maksudmu?” tanya pemuda itu. Kenapa kamu tidak pernah peka? Aku tuh suka sama kamu, Angka. Gadis itu mengerjap beberapa kali. "Ya, aneh. Kamu kan marahnya sama Sam, kenapa aku juga kena?" "Padahal, aku ingin ngobrol sama kamu seperti dulu, tapi kamu malah seperti ini." Protesnya seraya mengerucutkan bibirnya seperti anak bebek. Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. Mungkin lebih baik ia jujur saja pada gadis di depannya ini. Berbohong juga tidak ada gunanya, pikirnya. "Karena kamu terus saja membelanya, terus pakai bentak aku segala lagi," jawab Angkasa dengan sangat jujur. Kening