Matahari telah terbit. Ternyata, hari sudah berlalu. Carrista membuka matanya saat ia merasa sang suami sudah tidak berada di sampingnya.
“Ke mana Mas Reno?” gumamnya.
Carrista menatap jam dinding, sudah memasuki pukul sembilan pagi. Pantas saja sang suami sudah tidak berada di dalam kamar, pikirnya.
“Padahal, kami jarang lakukan itu. Tapi, kenapa cuma aku yang kelelahan? Kenapa sepertinya Mas Reno sudah biasa?”
Pikiran buruk pun mulai merajalela. Dia menggelengkan kepala. Sesaat kemudian, Carrista memilih untuk membersihkan dirinya.
Setengah jam berlalu, akhirnya wanita ini sudah selesai mandi dan berpakaian dengan rapi. Pagi ini, dia ingin segera ke butiknya untuk bertemu dengan klien. Semakin cepat dia pergi, semakin cepat pula selesainya nanti. Dan pada akhirnya dapat berkumpul lagi dengan keluarga.
Carrista pun menuruni anak tangga dan pergi ke dapur. Begitu sampai di dapur, ia tercengang melihat pemandangan aneh di depan mata.
“Bella!” seru Carrista dengan wajah tercengang. Dia tak menyangka sahabatnya datang saat ini.
Carrista diam di tempat. Lalu, ia melihat jam di dinding. “Masih jam segini, kamu udah datang? Ada acara apa?” lanjutnya bertanya kembali.
Suasana kembali hening seakan Carrista merusak suasana. Wanita bernama Bella tersebut menjadi salah tingkah. Dia tak tahu, Carrista sudah pulang ke rumah.
Tyara langsung turun dari kursi lalu berlari untuk mendapatkan pelukan dari ibunya. “Mama!” teriak gadis kecil nan cantik itu.
Carrista menyambut pelukan sang buah hati, “sudah makan, Sayang?”
“Belum! Tante Bella lucu banget, Ma. Tya dan Papa ketawa dengar cerita Tante. Sini deh, Ma … Gabung sama kami!”
Reno berdehem lalu ia mendekati mereka, “ekhm. Sayang, kenapa baru turun? Teman kamu udah sampai, loh!”
Carrista berusaha tersenyum. “Oh, iya? Bel, kamu nungguin aku?”
“I—iya. Kok baru bangun? Sarapannya dingin nanti. Aaa aku rindu banget sama kamu, Carris!”
“Sorry, but dari mana kamu tahu kalau aku pulang? Btw, aku nggak ada bilang sama kamu, loh.”
“I—itu … hm, dari—”
Carrista tersenyum melihat gelagat sahabatnya itu. Lalu, dia melepaskan pelukan sang buah hati dan berdiri kembali.
“Mas yang kasih tahu.” Suara Reno membuat Carrista dan Bella langsung menoleh ke arahnya.
Carrista pun melirik Bella kembali, ia melihat sang sahabat menghela napasnya seakan nasibnya terselamatkan kali ini.
“Kenapa?” tanya Carrista.
“Karena ….” Kali ini Reno terdiam, dia pun tidak tahu alasan apa yang harus ia pakai lagi.
“Aku rindu sama kamu, Carrista! Gila, gitu aja pakai ditanya? Kemarin aku kesini, ternyata belum pulang kamu. Aku mau sharing tentang persiapan married.”
Carrista langsung menepuk jidatnya. Untuk kesekian kalinya dia sudah menaruh curiga pada Bella. Sedetik kemudian, dia menyadari kekeliruannya. Ia mengira di antara Bella dan Reno telah terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
Namun, ternyata dia salah sangka. Bella tak mungkin tega menusuknya dari belakang. Tentu saja itu tidak mungkin, mengingat status sosial calon pasangan sahabatnya tersebut lebih tinggi dari pada suaminya.
“Astaga, kenapa nggak bilang dari tadi?” Carrista mendekati Bella dan langsung memeluknya.
“Gimana hubungan kamu dengan calonmu? Astaga, sorry banget nih, aku nggak datang kemarin. Oh, iya … aku lupa namanya. Siapa namanya?”
“William! Jangan lupakan itu lagi, paham?”
“Ah, iya. Pak William!”
“Kok harus Pak, sih?”
“Presdir, cuy! Masa' aku panggil bro mentang-mentang calon istrinya sis aku?”
Carrista bergurau membuat keduanya terkekeh sendiri. Lalu, tiba-tiba saja Reno berdehem. Hm, merusak suasana saja.
“Tya, sepertinya ada sahabat lama yang saling rindu sampai akhirnya kita dicuekin. Iya, ‘kan?” Ucap Reno pada putrinya. Dia hanya berbasa-basi saja. Padahal, dalam hati Reno, dia berharap sang buah hati tidak menjawabnya.
“Sampai lupa,” ucap Carrista. Lalu ia lanjutkan kembali, “ayo sarapan dulu! Kamu bawa apa, Bel?”
“Benar juga. Aku bawa spagheti bolognese, khusus buat kalian semua. Ini aku masak sendiri, loh!” sahut Bella.
Carrista mendekati meja makan. Hanya ada tiga porsi spagheti di atas sana. Bukan hanya itu, Bella pun sedang membuat juice apel yang masih berada di dalam juicer.
Carrista terkejut, “cuma tiga porsi?”
“I—iya. Kan aku bilang, khusus! Kamu harus cobain masakan aku, Car. Sekarang aku bisa masak dikit-dikit. Oh, iya, spagheti ini kesukaannya kesayangan aku loh, Carris!”
Reno tersedak. Padahal dia tidak memakan apapun, mereka langsung menoleh. “Kenapa, Mas?” tanya Carrista.
“Nggak pa-pa, Sayang. Aku lagi lihat berita di ponsel, ternyata harga emas lagi naik!”
“Terus?”
“Ya nggak pa-pa. Kaget aja. Masa' sampai hampir dua juta per gramnya. Ngeri, ‘kan?”
“Bukannya Papa lagi—” Tyara membuka suaranya. Namun, langsung terhenti ketika Reno memasukkan satu sendok mie spaghetti tersebut ke mulutnya.
“Gimana, Nak? Enak?” ucap Reno.
Tyara mengangguk. Ingin membuka mulut lagi, tetapi tak mampu karena Reno terus memotong ucapannya.
Mereka pun melanjutkan makannya. Sementara Bella, dia sedang memainkan ponselnya. Ia mengirim beberapa pesan dengan seseorang sambil sesekali meminum juice yang dibuatnya tadi.
Beberapa menit kemudian, Carrista telah selesai sarapan. Ia melihat jam di dinding sambil melototkan matanya.
“Ah, ya ampun!”
Reno menatap istrinya, “kenapa, Sayang?”
“Aku udah telat, Mas!”
“Ya sudah, langsung aja gerak. Biar aku antar ke depan!”
Carrista terdiam sejenak. Lalu, ia tatap sahabatnya itu. “Kamu tetap di sini, Bel? Maaf, aku ada kerjaan.”
Bella menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Lama, kah? Kalau aku tungguin di sini, gimana?”
“What? Kayaknya nggak bisa, deh. Aku juga nggak tahu pastinya selesai jam berapa.”
“Ya sudah, aku minta jemput William aja nanti.”
“Nggak pa-pa, Bel?”
“Nggak pa-pa, kok. Tenang aja!”
“Aku nggak enak banget sama kamu. Maaf, ya?”
“Nggak pa-pa, Carrista. Santai aja! Astaga, mecem bukan sahabat aja. Aku paham, kok. William juga sering gitu. You know ‘lah, dia super sibuk nya gimana.”
“Nanti kalau udah selesai aku telpon kamu. Okay?”
Bella mengangguk. Keduanya tersenyum sebelum Carrista pergi. Carrista mencium Tyara terlebih dahulu. Padahal, baru saja ia bertemu putrinya, tetapi sudah harus berpisah kembali meskipun hanya beberapa jam saja.
“Mas, aku pergi dulu.” Carrista mencium tangan Reno, lalu dibalas dengan kecupan singkat dari Reno untuknya.
Carrista pun pergi keluar, Reno berniat untuk mengantarkan istrinya hingga sampai di pintu keluar rumah. Sebelum itu, Bella meliriknya dengan sekilas.
“Kamu hutang penjelasan sama aku!” seru Bella pelan. Sangat pelan, bahkan Tyara pun tidak sempat mendengarnya.
Reno mengangguk lalu pergi dari hadapan Bella. Dia mengejar istrinya yang akan pergi. Entah seperti apa nantinya, tetapi ini harus ia hadapi sekarang.
"Kamu hati-hati, ya. Udah sampai kabarin aku!" seru Reno pada Carrista.
Carrista pun tersenyum. "Baik, Mas. Kejujuran yang utama, 'kan?"
"Hah? Maksudnya?"
Keduanya bersitegang menggambarkan ada sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. Beberapa saat kemudian, Reno mengalihkan pandangannya m wajahnya pucat, berkeringat dingin terlihat jelas. Carrista pun merasa bingung. Dia langsung menepuk tangannya satu kali sambil mengatakan, “udah pada kenal?”Reno membuka mulutnya. “U—” tetapi terhenti saat mendengar ucapan Bramasta. “Tidak. Tapi seperti tak asing, memang.”Carrista tersenyum. “Padahal wajahnya langka, kenapa bisa jadi pasaran?”Niatnya ingin memecahkan keheningan, Bramasta berdehem untuk berpamitan pulang. “Cepat sekali, apa nggak mau mampir dulu?” tanya Carrista. “Sepertinya suami kamu sibuk. Hm, maksudnya kamu perlu istirahat. Semoga lekas sembuh!” seru Bramasta. Lalu, dia melihat Reno. “Bisa pegang janji, ‘kan?”Reno mengangguk. Bramasta menatap Carrista. “Carrista, i wanna say, jangan percaya seratus persen dengan laki-laki. Sekalipun ia pasangan sendiri.”Setelah mengatakan itu, Bramasta pun masuk ke dalam mobil. Ia pergi
Butik dua lantai bernuansa gold adalah milik Carrista. Butik tersebut mencerminkan ciri khas kemewahan dan keanggunan setiap produknya. Carrista memiliki nuansa butik yang berbeda di setiap cabang. Semua tergantung minat yang disuka oleh konsumennya. Mobil sudah terparkir di depan. Mang Udin membukakan pintu mobilnya. Carrista pun keluar sambil mengatakan, “nggak perlu ditunggu, Mang! Nanti saya telepon kalau sudah selesai.”“Baik, Bu.”Mang Udin pun pergi dari butik tersebut. Carrista masuk ke dalam dan langsung disambut oleh seorang pria bernama Diva di siang hari sedangkan Deva merupakan namanya di malam hari. “Carrista, yuhuuu!” Diva yang merupakan asisten pribadi Carrista pun mendekatinya. “Dev, ya ampun. Kamu ngagetin aku aja!”“Dev Dav Dev Dav Dev. You know sekarang jam berapa? Ini siang bolong, Shay. Call me—”“Diva! Yes, i know. Padahal aku sengaja panggil Dev. Tuh, lihat! Pelanggan ada yang cantik, siapa tahu—”“Siapa bilang aku suka wanita? Errgh!” Deva tampak kesal den
“Mas!”Suara ketukan pintu berbunyi. Terdengar suara manis dari istri tercinta di ambang pintu. Olahraga belum selesai dilakukan, keringat jagung pun masih keluar. Namun, kedua insan ini terpaksa harus menghentikan kegiatannya dengan terengah-engah. “Shit! Kenapa dia pulang?” gerutu Bella. “Lekas pakai pakaian kamu, sebelum ketahuan!” Reno mengecup kening Bella, “nanti kita sambung lagi, Sayang.”Bella pun menjadi luluh. Ia langsung memakai kembali pakaiannya. “Mas, sedang apa kamu?” teriak Carrista. “Aku ketiduran, Sayang. Sebentar aku bukain!” sahut Reno. Bella yang di sampingnya langsung berbisik, “terus aku harus ke mana?”Reno menjadi bingung. Dilihatnya pintu kamar mandi terbuka, “masuk ke kamar mandi aja!”Satu menit berlalu, Bella pun sudah masuk ke dalam toilet. Sudah merasa aman, Reno mengatur napas lalu perlahan ia buka kuncinya.“Sayang, kenapa cepat sekali pulangnya?”Carrista mengernyitkan alis. “Mas nggak suka aku pulang?”Reno mengecup bibirnya. “Biar nggak bawel!
Mobil sudah berangkat meninggalkan rumah. Tiba-tiba seseorang memeluk Reno dari belakang. “Aku yang kamu bohongi, kenapa dia yang kamu temani sampai pergi? Bahkan dia udah nggak kelihatan.”“B—bel, l—lepasin. Nanti ke—”“Ke apa? Ketahuan?”Bella melepaskan tangannya. Reno pun berbalik arah. Dilihatnya Bella yang sedang melipat tangan ke arahnya. “Sayang, hei … bukan gitu. Aku cuma khawatir aja kalau nanti—”“Khawatir? Baik … kamu khawatir dengan dia. Terus kamu nggak khawatir sama aku? Kamu nggak hargain aku, Mas?”“Bel! Astaga, ikut aku!”Reno menarik tangan Bella ke dalam. Meski para pelayan melihat, keduanya tidak perduli. Karena ternyata ini bukan merupakan kali pertama mereka menunjukkan bahwa keduanya benar-benar memiliki hubungan yang lain. Tak ada satupun pelayan yang berani mengatakan itu pada Carrista. Karena mereka sudah diancam oleh Reno. “Papa … Tante … Mau ke mana?”Keduanya berhenti saat mendengar suara Tyara di sana. Reno menoleh ke sumber suara. Terlihat sang buah
Matahari telah terbit. Ternyata, hari sudah berlalu. Carrista membuka matanya saat ia merasa sang suami sudah tidak berada di sampingnya. “Ke mana Mas Reno?” gumamnya. Carrista menatap jam dinding, sudah memasuki pukul sembilan pagi. Pantas saja sang suami sudah tidak berada di dalam kamar, pikirnya. “Padahal, kami jarang lakukan itu. Tapi, kenapa cuma aku yang kelelahan? Kenapa sepertinya Mas Reno sudah biasa?”Pikiran buruk pun mulai merajalela. Dia menggelengkan kepala. Sesaat kemudian, Carrista memilih untuk membersihkan dirinya. Setengah jam berlalu, akhirnya wanita ini sudah selesai mandi dan berpakaian dengan rapi. Pagi ini, dia ingin segera ke butiknya untuk bertemu dengan klien. Semakin cepat dia pergi, semakin cepat pula selesainya nanti. Dan pada akhirnya dapat berkumpul lagi dengan keluarga. Carrista pun menuruni anak tangga dan pergi ke dapur. Begitu sampai di dapur, ia tercengang melihat pemandangan aneh di depan mata. “Bella!” seru Carrista dengan wajah tercengang
“Kota ini masih sama, tak ada yang berubah!”Wanita ini menatap di sekitar jalan yang ia kelilingi dengan mobilnya. Mang Udin — supir yang sedang menyetir pun menatap dari kaca. Ia merasa kasihan dengan majikannya tersebut. “Benar ‘kan, Mang? Bangunannya nggak ada yang berubah!” lanjutnya lagi. “Iya, Bu. Cuma keadaan yang berubah.”“Maksudnya?” Carrisa Dealova, namanya. Dia sedikit bingung dengan ucapan Mang Udin yang sedikit memberi tanda padanya. Sementara Mang Udin, dia terlihat gelisah saat ini. Ada kebenaran yang sedang ditutupi olehnya.“Mang Udin?” Carrista memanggilnya setelah beberapa detik tak ada sahutan dari supirnya. “I—iya, Bu?”“Mamang kenapa? Lagi ada problem?”“E—enggak, Bu. Anu, maksudnya tadi keadaannya itu kayak yang lalu-lalang yang beda. Karena ‘kan tiap detiknya pasti yang lewat beda-beda.”Entah apa yang dibicarakan Mang Udin saat ini. Dia memang menjawab tanpa berpikir terlebih dahulu. Membiarkan lisannya berbicara dengan kata-kata yang tidak begitu penti