Mas Aris terdiam."Itu, mau ditaruh dimana barang sebanyak itu," ucap Ibu yang tiba-tiba muncul di pintu."Barang apa lagi, Bu?" tanya Mas Aris."Mesin cuci, karpet tebal, sama meja makan. Yang tempat tidur, meja makan, meja rias, sama lemari aja nggak tau mau ditaruh mana," ucap Ibu kemudianMas Aris, mengacak rambutnya kemudian keluar, aku masih bergeming. Ibu mendekat, menaikkan dagunya."Rena lelah, Bu," ucapku. Ibu mengusap lenganku."Sabar ya, kita beri pelajaran bocah tak tau diri itu. Ibu minta maaf atas kelakuan anak Ibu," ucap Ibu pelan, masih mengusap lenganku. Ibu beranjak setelah menepuk bahuku dua kali untuk menguatkan. Aku masih berdiam, kepalaku sakit. Melipat tangan di dada, berjalan mondar mandir. Sekalipun Mas Aris mau meninggalkan Indah, apa Indah akan diam saja. Sepertinya tidak mungkin, dia pasti akan tetap mengejar mas Aris, bisa jadi tambah penasaran.Aku mengacak rambutku sendiri, pikiranku kacau.Tak berapa lama, mas Aris masuk kembali. Baru akan beranjak ma
"Iya, besok Bunda kabari. Ga sabar lihat besok," ucap Bunda tersenyum."Kok ada ya Bund, perempuan seperti itu. Kayak nggak ada laki-laki lain saja yang masih lajang," ucapku."Yah, godaan buat yang punya wajah tampan seperti Aris. Tapi, tidak sedikit kok pria tampan yang setia pada pasangannya, saking aja Aris juga gatel, minta di sunat lagi kayaknya," ucap Bunda geram."Tangan tak akan bisa bertepuk tanpa di sambut satu tangan lainnya, kaya orang selingkuh, kalau Aris tak menyambut, tak mungkin terjadi juga perselingkuhan. Tak melulu salah dari pihak penggoda, yang tergoda juga bersalah. Istri juga harus introspeksi kenapa suami bisa sampai tergoda, kalau dirasa tidak ada yang kurang, dalam pelayanan dan lainnya, berarti emang lakinya yang kurang ajar, dan perlu di kasih pelajaran," ucap Bunda panjang lebar.Bunda benar, kalau saja mas Aris tidak terlalu berambisi dia tak akan sebutan ini. Andai saja, mas Aris kuat iman, dan tahan godaan aku pasti akan menjadi wanita paling beruntun
"Sarapan di luar aja," ucap Mas Aris, "Sekalian berangkat." Aku mengangguk pelan. Mas Aris menuju kamar depan untuk mengambil laptop dan tas kerjanya. Aku juga mengambil barangku di kamar. "Bund, Rena berangkat dulu. Bu, Rena berangkat " pamitku pada Bunda, kemudian Ibu. Indah masih belum keluar dari kamar mandi. Setelah mas Aris berpamitan, kami berjalan bersisian menuju mobil."Mau makan apa?" tanya Mas Aris."Udah nggak lapar" jawabku."Mas yang lapar.""Terserah mas aja," jawabku."Terserah aku kan?" tanyanya kemudian.Mas Aris tiba-tiba menepikan mobilnya, kemudian membuka layar ponselnya. Tanganya mengusap layar benda pipih itu. Senyum tipis terbit setelahnya.Tak berapa lama mas Aris kembali melajukan kembali mobilnya. Aku sedikit mengernyitkan kening, saat mobil dibelokkan memasuki sebuah hotel."Mau sarapan di sini?" tanyaku heran."Iya," jawab mas Aris.Aku menur
Aku hanya menatapnya dengan senyum masam, kemudian kembali ke ruang tengah, Ibu belum juga terlihat datang. Bunda masih asyik melihat tayangan infotainment di tv."Bund, itu barang-barang ampe kapan taruk di depan?" tanyaku. Bunda menoleh melihat ke teras depan, kemudian mengangkat bahunya.Aku melangkah ke depan, mengamati barang-barang yang baru dibeli Indah. Sebuah tempat tidur, melihat merek yang melekat di sana jelas itu harganya puluhan juta. Meja rias, lemari pakaian dan beberapa barang lain. Aku menggelengkan kepala pelan, apa dia tak mengukur luas kamarnya. Mana muatlah barang sebanyak ini di masukkan ke dalam kamar."Ngapain?" tanya Ibu, entah kapan dia datang. Suara dan tepukan di bahu cukup membuatku kaget."Nggak, Bu. Cuma bingung mau ditaruh dimana barang sebanyak ini. Kamar kita kan sempit," jawabku."Oh, tenang. Ibu sudah mengaturnya, tadi Ibu sudah nyari orang buat bantu beberes.""Maksud Ibu?""Nih, ya
"Halah, anak mu yang nggak bakalan tahan. Kamu pikir kenapa tadi Rena pulang siang, karena ulang anakmu, yang sudah nggak tahan," ucap Bunda tanpa saring.Mas Aris melihat ke arahku dengan wajah memerah, aku menggeleng. Aku merasa tidak menceritakan apapun. Berarti Bunda menyimpulkan sendiri saat mengendus rambut setengah basahku tadi.Ibu melihat ke arah Mas Aris dan padaku bergantian. Telapak tangan kanan menutup sebagian wajah Mas Aris. Indah beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar. Terdengar pintu terbanting dengan keras."Hahaha." Tawa Bunda terdengar, "Udah, ah. Sudah pasti anakku yang menang. Tidur dulu, hmm wanginya aroma kemenangan."Dengan pandangan dan senyum meremehkan Bunda bangun dari duduknya, dan berjalan ke kamar depan."Jangan sombong, semua bisa terjadi." Ibu mengikuti langkah Bunda masuk ke dalam kamar."Aris, jangan kecewakan Ibu," teriak Ibu sebelum menutup pintu.Mas Aris melihat ke
"Mas, Rena akan selalu bersama Mas, kita hadapi bersama. Kita bicarakan dengan semua keluarga, kita cari jalan keluar untuk masalah ini." Aku mendekati lelaki yang sejak tiga tahun lalu menjadi Imamku itu. Menggenggam tangannya erat."Tapi, katakan padaku. Kenapa Mas Aris tak membantah ucapanku? seolah memang Mas pernah meniduri gadis itu.""Apa kau akan percaya padaku? sedangkan yang terlihat tak seperti itu. Dan lagi mas juga masih bingung, sengaja mas bersikap seperti itu. Karena mas belum menemukan jalan keluar lain." jawab pria itu."Logika saja mas, mana ada kucing nolak dikasih ikan, singa nolak dikasih daging segar," ucapku."Tapi, mas bukan kucing, apalagi singa.""Tapi, tetap saja tindakan mas ini salah, banyak hati dipertaruhkan di sini. Harusnya tak sampai seperti ini, apalagi sebuah pernikahan lain hadir di tengah sebuah hubungan pernikahan.""Mas tau mas salah, mas bingung," jawab pria itu, terlihat sekali dia sed
"Begini, Rena akan buat surat pernyataan, yang isinya tentang keringanan hutang, nanti kita cari tau, gimana supaya Indah tandatangani surat itu."Aku mulai menjelaskan ke Mas Aris, termasuk peran Ibu di sini, dan juga Mas Aris harus baik pada gadis itu."Mas, paham kan?" Mas Aris mengangguk. "Tapi sebelumnya, buat Indah mau menyerahkan surat pernyataan utang Mas, yang asli. Itu tugas Mas," jelasku.Sejenak Mas Aris terdiam, terlihat sedang memikirkan sesuatu."Jadi suaminya Indah beneran?""Iya, ya itu caranya buat ambil surat itu dari dia, tanyakan juga apa ada salinannya. Pokoknya pintar-pintar Mas Aris Lah buat meyakinkan dia," terangku lagi."Yakin?" Mas Aris menatapku berbeda."Yakin.""Tapi …." Mas Aris menggaruk kepalanya.Aku menatapnya dengan seksama."Jangan pernah berpikir bisa melakukan hal itu dengan wanita lain, itu tak akan terjadi setelah hari ini," ucapku.Mas Aris tampak terkejut mendengarku."Jangan kataka
Drama pagi hari ini akhirnya usai untuk sementara. Aku kembali ke kamar, bersiap untuk berangkat ke kantor. Mas Aris menyusul kemudian, dia menutup pintu rapat."Aku semakin pusing," ucapku sambil memijat kedua pelipis. Semua yang terjadi membuat kepalaku menjadi sakit."Maafkan Mas, ya," pinta Mas Aris untuk kesekian kali. Entah sudah berapa kali pria yang menjadi suamiku itu mengucapkan kalimat yang sama."Sekarang bukan masalah maaf memaafkan, seharusnya segala hal dibicarakan agar tidak terjadi hal seperti ini." Aku mulai mengomel."Setidaknya pelajaran juga untuk Mas Aris jangan mudah percaya pada orang lain, apalagi urusan uang. Teman, bahkan keluarga sendiri sering bermasalah karena hal itu. Untuk lain kali, tolong lebih terbuka, aki istri Mas, harusnya Mas Sharing dulu denganku, bicara dulu. Kalau ada masalah kita bisa pecahkan bersama-sama, kita cari jalan keluar bersama. Jangan kek gini, ini bukan masalah kecil."Panjang lebar aku mengomel pagi itu, sambil menyapukan make up