Aku hanya menatapnya dengan senyum masam, kemudian kembali ke ruang tengah, Ibu belum juga terlihat datang. Bunda masih asyik melihat tayangan infotainment di tv.
"Bund, itu barang-barang ampe kapan taruk di depan?" tanyaku. Bunda menoleh melihat ke teras depan, kemudian mengangkat bahunya.Aku melangkah ke depan, mengamati barang-barang yang baru dibeli Indah. Sebuah tempat tidur, melihat merek yang melekat di sana jelas itu harganya puluhan juta. Meja rias, lemari pakaian dan beberapa barang lain. Aku menggelengkan kepala pelan, apa dia tak mengukur luas kamarnya. Mana muatlah barang sebanyak ini di masukkan ke dalam kamar."Ngapain?" tanya Ibu, entah kapan dia datang. Suara dan tepukan di bahu cukup membuatku kaget."Nggak, Bu. Cuma bingung mau ditaruh dimana barang sebanyak ini. Kamar kita kan sempit," jawabku."Oh, tenang. Ibu sudah mengaturnya, tadi Ibu sudah nyari orang buat bantu beberes.""Maksud Ibu?""Nih, ya"Halah, anak mu yang nggak bakalan tahan. Kamu pikir kenapa tadi Rena pulang siang, karena ulang anakmu, yang sudah nggak tahan," ucap Bunda tanpa saring.Mas Aris melihat ke arahku dengan wajah memerah, aku menggeleng. Aku merasa tidak menceritakan apapun. Berarti Bunda menyimpulkan sendiri saat mengendus rambut setengah basahku tadi.Ibu melihat ke arah Mas Aris dan padaku bergantian. Telapak tangan kanan menutup sebagian wajah Mas Aris. Indah beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar. Terdengar pintu terbanting dengan keras."Hahaha." Tawa Bunda terdengar, "Udah, ah. Sudah pasti anakku yang menang. Tidur dulu, hmm wanginya aroma kemenangan."Dengan pandangan dan senyum meremehkan Bunda bangun dari duduknya, dan berjalan ke kamar depan."Jangan sombong, semua bisa terjadi." Ibu mengikuti langkah Bunda masuk ke dalam kamar."Aris, jangan kecewakan Ibu," teriak Ibu sebelum menutup pintu.Mas Aris melihat ke
"Mas, Rena akan selalu bersama Mas, kita hadapi bersama. Kita bicarakan dengan semua keluarga, kita cari jalan keluar untuk masalah ini." Aku mendekati lelaki yang sejak tiga tahun lalu menjadi Imamku itu. Menggenggam tangannya erat."Tapi, katakan padaku. Kenapa Mas Aris tak membantah ucapanku? seolah memang Mas pernah meniduri gadis itu.""Apa kau akan percaya padaku? sedangkan yang terlihat tak seperti itu. Dan lagi mas juga masih bingung, sengaja mas bersikap seperti itu. Karena mas belum menemukan jalan keluar lain." jawab pria itu."Logika saja mas, mana ada kucing nolak dikasih ikan, singa nolak dikasih daging segar," ucapku."Tapi, mas bukan kucing, apalagi singa.""Tapi, tetap saja tindakan mas ini salah, banyak hati dipertaruhkan di sini. Harusnya tak sampai seperti ini, apalagi sebuah pernikahan lain hadir di tengah sebuah hubungan pernikahan.""Mas tau mas salah, mas bingung," jawab pria itu, terlihat sekali dia sed
"Begini, Rena akan buat surat pernyataan, yang isinya tentang keringanan hutang, nanti kita cari tau, gimana supaya Indah tandatangani surat itu."Aku mulai menjelaskan ke Mas Aris, termasuk peran Ibu di sini, dan juga Mas Aris harus baik pada gadis itu."Mas, paham kan?" Mas Aris mengangguk. "Tapi sebelumnya, buat Indah mau menyerahkan surat pernyataan utang Mas, yang asli. Itu tugas Mas," jelasku.Sejenak Mas Aris terdiam, terlihat sedang memikirkan sesuatu."Jadi suaminya Indah beneran?""Iya, ya itu caranya buat ambil surat itu dari dia, tanyakan juga apa ada salinannya. Pokoknya pintar-pintar Mas Aris Lah buat meyakinkan dia," terangku lagi."Yakin?" Mas Aris menatapku berbeda."Yakin.""Tapi …." Mas Aris menggaruk kepalanya.Aku menatapnya dengan seksama."Jangan pernah berpikir bisa melakukan hal itu dengan wanita lain, itu tak akan terjadi setelah hari ini," ucapku.Mas Aris tampak terkejut mendengarku."Jangan kataka
Drama pagi hari ini akhirnya usai untuk sementara. Aku kembali ke kamar, bersiap untuk berangkat ke kantor. Mas Aris menyusul kemudian, dia menutup pintu rapat."Aku semakin pusing," ucapku sambil memijat kedua pelipis. Semua yang terjadi membuat kepalaku menjadi sakit."Maafkan Mas, ya," pinta Mas Aris untuk kesekian kali. Entah sudah berapa kali pria yang menjadi suamiku itu mengucapkan kalimat yang sama."Sekarang bukan masalah maaf memaafkan, seharusnya segala hal dibicarakan agar tidak terjadi hal seperti ini." Aku mulai mengomel."Setidaknya pelajaran juga untuk Mas Aris jangan mudah percaya pada orang lain, apalagi urusan uang. Teman, bahkan keluarga sendiri sering bermasalah karena hal itu. Untuk lain kali, tolong lebih terbuka, aki istri Mas, harusnya Mas Sharing dulu denganku, bicara dulu. Kalau ada masalah kita bisa pecahkan bersama-sama, kita cari jalan keluar bersama. Jangan kek gini, ini bukan masalah kecil."Panjang lebar aku mengomel pagi itu, sambil menyapukan make up
PoV Indah.Cinta, siapa yang bisa meminta akan dilabuhkan pada siapa. Begitu juga dengan rasa cinta yang ada dalam hatiku, mengaguminya sejak pertama kali melihatnya. Sosok rupawan itu telah cukup lama mengusik hatiku, bahkan sejak aku masih duduk di bangku SMU.Jatuh cinta pada pria dewasa, aku sendiri tak tau kenapa. Hanya saja setiap waktu setiap saat hasrat tertuju padanya. Sebagai anak pemilik perusahaan tempat Mas Aris bekerja, aku dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk kantor Papa.Pria itu sama sekali tak menganggapku, aku semakin penasaran dibuatnya. Semua bisa aku miliki, berarti cinta Mas Aris juga bisa aku dapatkan. Semakin aku mendekat semakin pria itu membuat jarak. Kenyataan dia memiliki istri tak mengurungkan niatku. Diri ini justru semakin tertantang, untuk dapat mendekapnya dalam pelukan. Pendekatan Tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya keberuntungan berpihak padaku. Waktu itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan Papa den
Mendapat perlakuan manis seperti ini, dari Mas Aris bagai mimpi rasanya,bagiku. Wajah itu terlihat sangat tampan, dengan jarak sedekat ini semakin jelas kulihat pesona suamiku ini. Aku mendekatkan wajahku, kemudian memejamkan mata. Berharap dia memberikan ciuman pertamanya untukku. Kenapa pria ini tidak peka, setelah menunggu beberapa saat aku membuka sebelah mataku. Aku mendecak kesal, bisa-bisanya dia malah asyik mengusap-usap ponselnya."Mas …!" Panggilku setengah berseru. "Ada apa?" tanyanya seolah tak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa dia mengabaikan bibir ranumku yang telah siap menyambutnya."Ihh," ucapku kesal, Mas Aris malah menggaruk kepalanya."Mas ada pekerjaan kantor, mas kerjain dulu ya," pamit Mas Aris hendak beranjak. "Kerjakan di sini aja, Mas. Indah temenin," ucapku manja. "Mas takut nggak konsen, pengennya liatin kamu terus." "Ihh, Mas bisa aja," ucapku tersipu."Mas, di depan aja.
Sengaja aku tak memberi tahu Mas Aris kalau aku sudah mendapatkan surat itu. Akan kuberitahu malam ini, sebagai kejutan, sekaligus minta hadiahku. Kadang sebel, apa kurangnya aku di banding Rena, kenapa dia tak mau menyentuhku. Aku lebih cantik, lebih muda, dan lebih kaya.Dengan hal ini, aku berharap Mas Aris terbuka mata hatinya dan menyadari betapa besarnya cintaku padanya. Setelah itu, kami bisa bahagia hidup bersama dan melempar Rena jauh. Tak akan lama lagi.••Tak seperti biasa, Mas Aris pulang larut malam, sama seperti Rena. Hanya saja Rena sudah datang dari satu jam yang lalu, ini sudah hampir jam sepuluh, Mas Aris belum datang juga, ponselnya pun mati.Aku sudah bingung. Tapi, Rena terlihat biasa saja, bagaimana Mas Aris lebih memilih istri yang tak peduli padanya dibanding aku. Rena terlihat bercanda dengan Bunda nya di depan tv. Ibu tak terlihat, karena mengaku sakit kepala.Tak berapa lama kudengar mobil Mas Aris datang. Ak
Semua selesai mandi dan bersiap ke kantor aku masih belum selesai juga."Pamerkan masakanmu, pada Rena sama Bundanya. Mereka harus mengakui keunggulan kamu," ucap Bunda padaku. "Tapi, Indah belum selesai. Nggak bisa temenin Mas Aris sarapan," ucapku sedikit kecewa."Nggak papa, biar Ibu yang ladenin sama yang nemenin," ucap Ibu kemudian.Tak berapa lama, semua sudah berkumpul.di meja makan. "Indah, nggak sarapan? Tanya Mas Aris padaku. Diperhatikan seperti itu saja hatiku sudah senang sekali, nampak Rena melihat ke arahku dengan wajah malas. Aku membalasnya dengan senyum kemenangan. Daguku terangkat, lambat laun perhatian Mas Aris pasti aku dapatkan."Belum selesai, Mas duluan saja," balasku manis."Ehem," terdengar Bunda Rena berdehem, melihatku sinis."Nih, masakan mantu kesayangan, terbukti untuk kesekian kalinya, anakmu tak ada apa-apanya," ucap Ibu, kemudian melirik ke arahku dengan senyumnya. Aku membalas dengan senyum yang sama."Halah, palingan rasa alakadarnya," cibir wan