Diandra diam deg-degan, sementara dokter masih fokus ke layar monitor, sebelah tangannya berputar di atas perut Diandra."Sepertinya jenis kelamin janinnya perempuan, Bu, selamat ya."Bagai gelegar petir yang menggema di telinga Diandra, tak terbayang setelah ini kehidupan ia dan putrinya akan seperti apa.Bagaimana pun juga Diandra ingin merebut hati mertuanya, tak ingin ada permusuhan diantara mereka "Perempuan?" gumam Mama Sandra, delikan mata tak suka memancar dari wajahnya."Iya, Bu, ini hanya prediksi alat, kita lihat aja setelah lahir nanti ya." Dokter setengah baya itu tersenyum hangat lalu menyuruh Diandra untuk bangun kembali.Ia memberikan resep obat-obatan yang harus ditebus di bagian farmasi."Loh Jeng Sandra, abis ngapain dari dokter kandungan rame-rame gini?" tanya seorang wanita menyapa, ia adalah teman arisannya Mama Sandra."Ini 'kan mantu barumu, kok perutnya." Perempuan itu menunjuk Diandra dengan tatapan keheranan."Mantu baru Jeng Sandra hamil? 'kan baru semingg
Ia sudah mencoba untuk diam dan bersabar, tapi hatinya tak bisa sekuat itu, jika yang dihadapannya ini bukan orang tua, sudah pasti ia menghajarnya habis-habisan."Mama pulang duluan, kasihan Winda mau berangkat kerja tar kesiangan."Diandra memandang mertuanya dengan jengkel, giliran di skak balik langsung kabur, gerutunya dalam hati."Ga apa-apa Mama pergi aja, biar kita berdua yang ngambil obat. Yuk, Mas." Diandra menggandeng tangan suaminya."Ya dah sana." Mama Sandra menyunggingkan sebelah bibir lalu pergi dengan perasaan muak.Rasa tak suka pada Diandra mulai menggelayuti hatinya, jika bisa ia ingin menukar Rara dengan wanita tak tahu malu itu.**Tiba di appartemen yang terletak di lantai delapan itu, Diandra kembali dibuat jengkel oleh ulah ibu mertuanya."Wira, mulai sekarang kamu ga boleh tidur seranjang sama Diandra," ujar Mama Sandra sedikit tegasMereka saling berpandangan, merasa jengah dengan keribetan wanita berusia menginjak kepala lima itu."Kenapa emangnya?" tanya W
"Kevin! Maksud loh apa hah?!" tanya Wira dengan nada membentak.Di sebrang sana mendadak senyap."Kevin, apa maksud omongan loh barusan?" tanya Wira lagi dengan geram Hatinya sudah panas tak karuan, tubuhnya bergetar menahan amarah, awas saja jika ada sesuatu diantara mereka, fikir Wira."Eh sory sory, ini siapa ya?" tanya Kevin gelagapan."Gue Wira, dan barusan lo ngomong soal Diandra dan bayinya, apa maksud semua itu hah?!" tanya Wira menahan murka."Oh Wira, sorry aku salah orang berarti.""Ga usah ngeles!" tegas Wira, ia memiliki firasat jika lelaki di sebrang sana sedang berbohong."Tadi tuh aku kira Sandra mantanku, padahal ini nomor Diandra, sorry ya kamu tenang aja istrimu ga ada hubungannya sama aku kok." Kevin meyakinkan.Tapi hati Wira masih tak percaya, ia dengar betul tadi Kevin menyebut nama Diandra bukan Sandra."Apa bayi yang ada di kandungan Diandra itu anak lo?" tanya Wira tanpa basa-basi, hatinya penasaran sekali."Kamu tuh apa-apaan sih, ya bukan lah, Wira. Tadi t
Rara memandang bola mata suaminya dengan dingin dan datar, luka hati masih ia rasakan.Rara duduk di sofa, diikuti oleh Wira yang kemudian duduk di hadapannya terhalang oleh meja kaca."Mau ngapain, Mas? kamu lapar mau makan? ke dapur aja di sana ada makanan kamu tinggal hangatkan."Wira mengusap wajah sedih melihat luka batin istrinya, jika bukan lelaki ingin saja ia menangis meratapi nasibnya ini."Bukan itu, Ra.""Lalu?" Rara memandang wajah murung suaminya, ia faham betul jika Wira sedang dalam masalah dan tidak baik-baik saja."Aku ... aku minta maaf."Lidah Wira mendadak kelu, rasanya tak pantas kata itu ia ucapkan, karena semuanya percuma takkan bisa mengobati hati Rara."Minta maaf atas apa?" tanya Rara tanpa menolehnya."Atas pengkhianatanku, juga atas perpisahan kita."Mata Rara mulai menghangat, bola mata bening itu kini mulai berkaca-kaca.Cinta, sayang dan benci bercampur jadi satu di hatinya, entah mengapa sangat sulit menghilangkan rasa yang sudah melekat lima tahun lam
Rara berbalik badan, mata pucat itu menatapnya sedikit tajam."Engga! Kamu berzina dengan perempuan itu hingga hamil, lalu sekarang seenaknya mau kembali padaku? enak betul kamu!" sentak Rara lalu ia menyeringai sinis.Wira menunduk dalam, hatinya dilanda rasa gelisah dan penyesalan."Tapi aku nyesel, Ra," jawab Wira masih menundukkan wajah.Malu sebenarnya mengatakan hal ini, tapi bagaimana lagi dari pada ia memendam rasa itu sendiri."Nyeselmu ga ada gunanya, sekarang lebih baik lepaskan aku, biarkan aku hidup bebas meraih kebahagiaan di luar sana, dan jangan pernah berfikir untuk kembali lagi."Sambil menahan air mata Rara melangkah menjauh, hatinya perih saat bibir tipis itu mengucap kata perpisahan, sedangkan dalam hatinya masih ada setitik cinta yang enggan musnah."Rara!" teriak Wira sambil menyusul.Kini mereka saling berhadapan."Aku minta maaf, aku harus gimana supaya kamu mau memaafkan," tutur Wira dengan raut penuh penyesalan.Rara menyeka air mata yang menetes ke pipi puc
"Kok diem? Ayo, katanya mau salat," titah Rara sedikit membentak.Wira menyeringai seperti orang bo_d*h lalu berkata. "Emang bisa ya salat tanpa kopiah?"Rara mengembuskan napas jengkel."Ya bisa dong, gimana sih kamu ini gitu aja ga tahu. Sana minggir! Lemarinya mau aku rapikan lagi."Akhirnya pria jangkung itu yg takbiratul ihram, setelah rujuk ponselnya berdering lagi, tak ingin Wira terganggu lantas Rara membawa ponsel itu keluar.Ia pun mengangkat panggilan dari Diandra."Halo, Mas, ini udah sore kamu kapan pulang sih?" tanya Diandra dengan nada ketus.Hatinya jengkel, karena sejak siang ia jadi bahan gosip teman-teman mama mertuanya yang sedang asyik arisan di appartemen mewah itu."Mas Wira lagi salat ashar, jangan ganggu dulu," sahut Rara, membuat panas hati Diandra.Hatinya merutuk, mengapa Mas Wira harus ke sana? bukankah tadi ia bilang mau mencari pekerjaan? awas kau, Mas, siap-siap saja pulang ke rumah langsung kuhajar dengan kata-kata pedas."Awas ya kalau elo kecentilan
"Kurang ajar!" teriak Rara.Plakk!Akhirnya satu tamparan melayang ke pipi kinclong Diandra, menimbulkan jejak merah membara, pun dengan pipi sebelah kiri Rara yang tak sama merahnya, juga di sudut bibir menitik setetes darah."Dasar penggoda! Lont*!" teriak Diandra lagi, sukses membangunkan Wira yang tengah tertidur lelap."Ada apa ini?" tanya Wira dengan dada deg-degan, mata merahnya memandang Diandra dan Rara bergantian."Kamu, kamu kenapa, Ra?" Wira berlari menghampiri istri yang sudah ia talak dua Minggu yang lalu."Ditampar sama perempuan itu," jawab Rara sambil menunjuk gundik suaminya.Seketika rahang Wira mengeras, dadanya bergejolak tak terima istrinya diperlakukan kasar bak seorang penjahat."Wira! Dia itu penuh topeng, jilbabnya ini cuma buat nutupi kebusukannya aja tahu ga!" teriak Diandra, sukses mengalihkan perhatian pejalan kaki yang lewat."Diam! Kamu yang penuh topeng!" teriak Wira berhasil membuat Diandra bungkam."Kamu tampar istriku sampai berdarah gini? ga ingat
"Tanya aja sama orangnya." Wira mendengkus lalu melangkah keluar kamar, di depan pintu lelaki bermata jernih itu berbalik lalu berkata."Awas ya kalau kamu macam-macam atau berbuat kasar lagi sama Rara, aku ga segan-segan usir kamu dari sini!"Diandra menatap penuh kecewa, lelaki yang dulu begitu memujanya, kini telah banyak berubah, fikirannya melayang memikirkan cara agar lelaki itu tunduk kembali padanya.Segerombolan wanita berhijab syar'i mengetuk pintu rumah Rara, Wira yang sedang di ruang tamu pun terpaksa membukanya."Assalamualaikum, maaf apa Rara ada di rumah?" tanya salah satu diantara mereka."Wa'alaikumus'salam, ada di kamarnya, bentar aku panggilkan dulu."wanita berjumlah empat orang itu mengangguk semua, dan menunggu di teras lumayan lama."Maa syaa Allah, Aisyah, Fatma, Khalila, Zulfa." Rara menyebut teman pengajiannya satu persatu, lalu mereka saling merangkul karena rindu."Ayo masuk, suamiku udah ke atas kok."Mereka masuk dan duduk di ruang tamu, sementara Rara ke