Share

Bab 2

 

 

Hampir satu Minggu Rara melalui Malam dan siang dalam kesepian, kala malam datang ia kedinginan begitupun dengan siang ia diselimuti kehampaan, seolah tak berujung dan tak bertepi.

 

Kadang ia lupa sudah diceraikan sosok Wira, perempuan yang selalu mengenakan gamis dan hijab lebar tatkala keluar itu selalu menunggu kepulangannya di balkon atas.

 

Berharap mobil BMW hitam itu masuk ke dalam carport-nya yang luas, lalu ia akan keluar untuk membuka pintu dan menyambut dengan senyuman juga makanan kesukaannya.

 

'Oh angan, kau sungguh menyiksa. Kenapa move on itu sulit sekali?'

 

Rara menggeleng cepat, ia harus terbiasa hidup tanpa naungannya, bisa mandiri cari uang sendiri, juga bisa tegar melihat yang dicinta bergandengan tangan dengan perempuan itu.

 

[Ra, perusahaan mertuamu bangkrut. Sudah kuduga sebelumnya hal ini bakal terjadi, dan ternyata beneran PT Sinarwangi kalap ga bisa bayar hutang plus bunganya ke bank dalam jumlah besar]

 

Pesan masuk ke ponsel Rara, ia sedikit terkejut lalu mengulang istighfar di hatinya, firman Allah itu benar jika riba akan menghancurkan hidup kita.

 

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah Ayat 278-280:

 

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

[Qodarullah, Fris. Semoga mereka bisa ikhlas dan tabah mengetahui situasi ini] balasan dari Rara pada temannya Friska yang bekerja di perusahaan keluarga Wijaya.

 

[Kamu juga yang sabar ya, ini pasti karma karena Wira udah tega sama kamu] Dengan cepat Friska mengirimkan balasan.

 

Bukan hanya Friska tapi orang sekantor pun ikut geram dan tak terima dengan pernikahan kedua Wira, bagaimana bisa seorang Rara yang shalihah harus digantikan dengan sosok Diandra yang tak bisa menjaga Izzah dan muru'ah.

 

Rara tak lagi membalas, ia tak ingin larut dalam dendam takut di hatinya akan ada setitik rasa dengki, ia gegas menelpon teman lamanya sesama dosen.

 

Mengabarkan jika ia mau menerima tawarannya untuk kembali menjadi tenaga pengajar di sebuah universitas Islam di kota tersebut.

 

Semenjak menikah dengan Wira perempuan berkulit kuning Langsat itu memang berhenti total dari pekerjaannya yakni sebagai seorang dosen, dan mengabdikan diri sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.

 

Handle pintu kamar yang berbunyi membuat Rara menoleh, seseorang yang selalu ia rindukan telah pulang. Namun, sayang kini ia tak lagi memiliki hak terhadapnya.

 

Rara hanya menatap dingin, tanpa senyuman dan sambutan seperti biasa. Perempuan berhidung mancung dan bibir tipis itu segera memakai jilbab karena kini rambut indah miliknya tak lagi halal dipandang seorang Wira.

 

"Kamu sudah tahu 'kan tentang perusahaanku?" tanya Wira memecah keheningan.

 

Rara hanya menganggukkan kepala tanpa suara.

 

"Jadi selama masa iddah ini aku ga bisa kasih kamu uang, dan aku juga bebaskan kamu untuk cari kerjaan sendiri."

 

Rara masih terdiam. Memang itu yang ia harapkan. dengan kembali bekerja ia akan menemukan teman dan bertemu banyak orang, sehingga luka hatinya bisa sedikit terobati.

 

"Aku akan kembali ngajar seperti dulu, Mas. Kamu jangan khawatir aku tak akan pernah lagi minta uang padamu."

 

Usai memberikan jawaban Rara bergegas keluar, terlalu lama bersama di dalam membuat lukanya semakin terasa.

 

Hati Rara makin terkoyak kala melihat seorang perempuan berbaju ungu Lilac duduk manis di sofa ruang keluarga.

 

"Ga tahu diri juga kamu ya, udah dicerai masih aja tinggal di sini, apa kamu belum tahu kalau aku ini sudah nikah sama Wira?" tanya Diandra sambil mengayunkan langkah perlahan.

 

Tatapan wanita berambut hitam berkilau itu begitu bengis, ia benci mantan istri suaminya masih menguasai istana ini.

 

Kalau Wira masih kaya sih tak masalah ia bisa meminta rumah yang lebih megah.

 

Rara tersenyum sinis. Nyalinya sama sekali tak menciut berhadapan dengan pelakor licik itu.

 

"Aku ga akan pergi sebelum masa Iddah selesai, lagian ini juga permintaan Mas Wira, dia yang nyuruh aku tinggal di sini sebelum masa Iddah selesai," ujar Rara dengan pandangan menantang.

 

"What?! Wira nyuruh kamu kaya gitu?" 

 

Jelas saja Diandra syok dan tak terima, pengetahuan agamanya sangat minim, ia beranggapan jika seorang wanita sudah dicerai maka saat itu juga harus kembali pada orang tuanya.

 

"Tanyakan aja sama sama suamimu." Rara menyeringai, puas sekali sudah membuat hatinya terbakar.

 

"Wiraaa!" jerit Diandra menggema, Rara sampai menutup kedua telinga saking berisiknya.

 

"Apaan sih teriak-teriak?!" tanya Wira sambil tergopoh-gopoh menghampiri.

 

"Kamu tuh kenapa ga usir perempuan udik ini hah? apa masih cinta sama dia?!"

 

"Pokoknya aku ga mau tahu, usir dia dari sini karena aku mau tenang tinggal di rumah ini!" tegas Rara sambil mengambil koper besar miliknya.

 

"Dan kamu, udik! Sekarang rumah ini menjadi milikku, jadi jangan banyak ngayal ingin tinggal di rumah ini selamanya," sergah Diandra sambil menatap bengis ke arah Rara.

 

Rara masih berdiri dengan tenang, ia hadapi kesombongan wanita berpakaian sexy itu dengan tatapan menantang.

 

"Siapa juga yang ngayal ingin tinggal di rumah ini selamanya, silakan tinggal di sini dan jangan lupa bayar cicilan perbulannya," balas Rara dengan pandangan remeh.

 

Diandra terkejut, lalu berbalik badan dan menatap heran.

 

Sedangkan Rara tertawa sambil menggelengkan kepala.

 

"Kamu ga tahu ya kalau sertifikat rumah ini sudah digadaikan sama suamimu jauh-jauh hari, dan ciccilannya kurang lebih dua tahunan lagi, iya 'kan Mas?" tanya Rara sambil melempar pandangan ke arah mantan suaminya.

 

"Apa? ini ga mungkin," lirih Diandra sambil geleng-geleng kepala

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status