Baru saja aku membuka cerbungku di platform. Kebiasaanku setelah malam hari posting, paginya aku memastikan respon pembaca. Bagiku, respon pembaca menyuntik semangat untuk terus menulis. Ada rasa bangga dan puas di hati. Apalagi saat pembaca menyatakan ikut bahagia, hati berbunga-bunga, senyum-senyum, atau mengatakan tidak sabar menunggu bab selanjutnya. Aku mendapatkan tenaga ekstra dengan menebar energi positif kepada pembaca.Seperti sekarang. Tadi malam sepulang keluar dengan Den Langit, tulisan aku sempurnakan dan langsung aku posting di platform.Menceritakan tentang persamaan kedudukan antara majikan dan pembantu. Si pembantu berusaha up-grade dirinya dengan prestasi, sehingga saat bersama majikan yang mencintainya dia bisa berjalan dengan tegak dan membanggakan.Hubungan laki-laki dan perempuan, tidak sekadar berdasarkan cinta apalagi hasrat, namun ada rasa kebanggaan saat membersamainya.Dalam semalam, bab ini mendulang ratusan like. Beberapa komentar mengatakan ini cerita
Dari sudut mataku menangkap dia yang tersenyum sambil menyunggar rampurnya yang panjang. Seakan tahu gerakan itu menunjukkan pesonanya."Memang siapa yang menanyakan pekerjaan? Saya sudah lihat dan pekerjaanmu rapi. Terima kasih," ucapnya dengan tatapan sendu. Aku tidak berani menerjemahkan tatapan ini, yang aku tahu, ini tidak seperti biasanya. "Sebenarnya, saya tidak menganggapmu pembantu di rumah ini. Bersama kamu, saya seperti mempunyai teman kembali. Bisa berbicara apa saja tanpa ada batasan. Sayang sekali kamu akan segera pergi." Dia menghela napas dan melanjutkan berbicara. "Bisakah malam ini menjadi waktu bebas buat kita. Saya bukan majikan dan kamu juga bukan orang yang bekerja di sini. Kita menjadi teman, dan tidak ada panggilan Den, cukup panggil namaku saja. Toh, kita juga seumuran."Aku menatapnya, mencerna apa yang dimaksud. Jujur, aku merasa bungah, karena ini berarti aku bisa menjadi diriku sendiri. Walaupun hanya malam ini, karena besuk aku sudah tidak di sini.*S
Aku pergi meninggalkan rumah yang sarat dengan kenangan setelah dia pergi. Diantarkan Bulek Ningsih dan Pak Salim, saat mobil jemputan yayasan datang. Tentu saja ini kerjaan Laila sahabatku sekaligus pemilik yayasan ini.Seperti yang dibilang Mbak Rahmi, setiba di rumah dia melarangku ke kantor. Aku harus menanggalkan peran Astuti si tukang bersih-bersih, dan itu membutuhkan dua sampai tiga hari. Itu waktu tercepat.Kemarin, aku dipaksa seharian di spa. Mulai, pijat, lulur, berendam, bahkan manicure pedicure. Aku tidak boleh keluar sebelum perawatan usai. Memang, badan menjadi segar dan wangi. Namun, diriku seperti dipenjara, sampai-sampai makan pun sudah disiapkan di dalam. Hari berikutnya, jadwalnya perawatan wajah. Kegiatan yang paling membosankan. Kecantikan yang dibayar dari rasa sakit, dan jenuh. Aku harus pasrah dengan apa yang dilakukan mereka. "Kamu ini seorang Lintang Astuti, wajah dari perusahaan ini. Sebagai pemilik sekaligus designer fashion, penampilan itu sangat perlu
"Yang akan aku ceritakan, merupakan jawaban pertanyaan ini. Aku akan bercerita nanti malam, setelah kegiatanmu usai. Karena ini membutuhkan waktu lama," ucapku merasa di atas angin. "Jadi, aku tunggu nanti!""Dasar anak nakal! Pinter menjebak orang! Aku turuti kemauan kamu, asal besuk malam mau mendampingiku gala dinner," pintanya dan akupun mengangguk riang. Barter yang menyenangkan, toh aku juga sudah rindu keriuhan acara itu."Jangan terjebak dengan ketenaran, nanti tidak sempat mendapatkan pasangan beneran. Buruan pilih satu, jangan ganti terus. Kalah sama sandal jepit, yang sepasang selamanya!" selorohku sambil tertawa. Dia diam menatapku sesaat, memicingkan mata, kemudian tertawa lebih keras dibandingkan aku."Kamu mentertawakan aku? Bukankan kamu sendiri juga begitu? Sandal jepit yang masih teronggok sendirian! Ha-ha-ha!"***Semalam, kami begadang saling bercerita tentang keseharian selama tidak bertemu. Mahardika menceritakan kesibukan mengembangkan butik dengan membuka beb
Kaki ini pegal, berkeliling mengikuti kemanapun Mahardika menyapa rekan-rekannya. Beberapa aku mengenalnya, namun banyak juga wajah-wajah asing. Tempat pertemuan ini begitu luas dan dihias megah. Hotel yang menjadi lambang kemewahan di kota ini. Walaupun sesama designer baju, aku tidak terlalu mengikuti acara seperti ini. Semua sudah ditangani tim pemasaran garmen. Bahkan, beberapa menjadi pembeli tetap di Lintang Soul, namun tidak pernah bertemu denganku. "Dika, aku capek sekali. Aku duduk dulu, ya. Kamu lanjutin tebar pesona, sana!" Aku merengut, memaksanya untuk mengerti. Dia terkekeh dan berputar akan mengantarku ke meja kami. Namun, sebelum melangkah ada seseorang memanggil Dika. "Sudah. Tidak usah diantar. Kamu temuin mereka saja. Pasti ada yang penting. Good luck, ya!" Aku mendorong pelan, memaksanya untuk pergi. "Tapi ...." "Sst! Go!" Aku mendelik dan disambut anggukan menyetujuiku. Meja kami lumayan di ujung depan. Aku harus melewati beberapa meja dengan keadaan ka
Hasil pemeriksaan, pergelanganku terkilir saja. Tidak ada yang retak apalagi patah. Awalnya, Mahardika memaksaku untuk di rawat di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Namun untuk apa? Semalaman Mahardika menungguiku. Dia tidak mau pulang, bahkan dia rela tidur di sofa sebelah ranjangku. "Ini tanggung jawabku. Kalau aku tidak meninggalkanmu, pasti tidak akan terjadi seperti ini," jawabnya. "Ada Mbak Rahmi." "Tidak, aku harus memastikan sendiri sampai besuk pagi. Aku kawatir, nanti kamu kesakitan saat sendirian." Benar, pada tengah malam aku terbangun. Rasa nyeri menyiksaku. Aku merasa pergelangan kaki berkedut dan membengkak. Tak sadar, aku merintih sambil mengusap kaki ini. "Lintang! Sakit?" teriak Mahardika. Dia terbangun dan dengan sigapnya mengambil kaki ini dan mengusap-usap berusaha mengurangi rasa sakit. Mungkin ini terasa karena pengaruh penghilang rasa sakit sudah habis. "Dika .... Sakit!" "Minum ini, sebentar lagi, pasti sakitnya berkurang," ucapnya setelah meny
"Langit ...."Aku menatap mata yang berangsur-angsur sendu. Mencoba hanyut dalam sorot kehangatan. "Kamu mengharapkan aku tinggal?" ucap Langit seraya menyelipkan rambutku di telinga.Aku yang berpegang erat pundaknya, hanya bisa mengangguk. Lidah ini kelu, seiring dengan degup jantung yang bertalu indah. Terlebih ketika dahi ini dikecup olehnya.Napas hangat yang menerpa wajah, membuat hati ini menuntut perlakuan lebih. Dengan sendirinya, mata ini terpejam dan hanyut dalam sentuhannya. Dengan sendirinya, tangan ini ingin mengalung di lehernya. Memberikan ruangan lebih untuk membersamainya."Auuw!" teriakku mengaduh.Saat tangan ini berpindah, tumpuan tanganku pun terlepas. Pergelangan kaki ini ternyata belum kuat untuk berdiri tegak, dan nyeri kembali menyerang."Kakimu masih sakit? Sini aku periksa!"Pelan, dia mendudukkan aku di sofa, kemudian memastikan keadaan kakiku yang ternyata menghangat kembali. Pertanda, baru saja memaksakan kaki untuk berdiri."Aku ke sini tidak menemui
"Wajah Mbak Lintang cerah sekali. Dari tadi senyum-senyum terus. Padahal lagi sakit," tanya Mbak Rahmi. Dia pulang untuk memastikan makan siangku. Hanya selisih beberapa menit dengan pulangnya Langit."Masak, sih. Biasa saja," jawabku sambil menyeruput jus strawberry sampai tandas. Aku menatap kabinet berpintu cermin, menatap bayanganku yang ternyata benar. Senyuman terbayang di sana. Wajahku bersemburat merah, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Langit.Nama yang kembali memenuhi hati, bahkan di kepala ini hanya teringat sosoknya. Kami tadi saling bercerita. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya sebelum disibukkan dengan pekerjaan.Benar cerita Pak Salim, dia dulu anak band. "Aku pegang bass, yah sesekali jadi vokalis," ucapnya sambil tertawa. "Aku hanya penikmat lagu. Oya! aku pernah dengar lagunya Padi. Tetaplah menjadi bintang di langit .... Agar cinta kita abadi ...," ucapku yang diakhiri menyanyikan cuplikan lagu. "Bagaimana kalau ini menjadi lagu kita?""Tidak!"