Arga sugar rambutnya ke belakang berulang kali, ia mengesah tanpa henti karena keberaniannya menahan langkah Meliana tadi.
"Kau yakin hanya membayangkan saja tadi?" Juna lebih panik dari Arga.
"Hem, aku hanya membayangkan saja saat aku melihat wajanya."
"Sungguh, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kau benar-benar mengatakan hal itu pada Meliana, dia bisa saja pergi dari kota ini," jelas Juna, menguap sudah kepanikannya.
"Aku juga berfikir seperti itu." Arga menunduk, ia hela nafas berulang kali sampai dirasa ia benar-benar tenang.
Tadi, dia memang menahan Meliana dan memojokkan gadis itu, tapi belum sempat ia berkata apa-apa, bayangan buruk dari ucapan yang jujur dari hatinya itu sudah membuatnya ketakutan.
Meliana pasti tidak akan pernah mau menemuinya lagi meskipun itu tidak sengaja, Arga mau tidak mau harus menahan diri yang mulai sadar kalau sampai detik ini dia masih sangat mencintai Meliana.
Bahkan, dia tidak peduli bila banyak orang nanti membicarakannya, entah itu cinta lama bersemi kembali atau yang lain, intinya masa depan itu ada bersama Meliana.
"Jangan merasa bersalah pada Nia," ucap Juna mendadak, kening Arga sontak terlipat mendengarnya.
"Apa maksudmu?"
"Kau selama ini takut membuka diri pada wanita lain karena takut menyakiti hati Nia, dia sudah tenang di sana dan dia pasti juga ingin kau bahagia di sini, hidup ini harus terus berjalan dan mendengarkan ocehan orang tidak akan pernah ada habisnya."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Meliana tidak akan pernah bisa aku temui begitu saja," balas Arga pasrah, ia tidak mau membuat Meliana tidak nyaman melakukan apapun.
Arga mau senyum itu terus terbit di wajah Meliana meskipun ia hanya bisa melihat dari jauh untuk saat ini dan entah sampai kapan.
Sekali lagi, hatinya tidak bisa berbohong, kalau dulu dia menyembunyikan rasa ini, sekarang tidak akan lagi, bila kesempatan itu tiba dan Meliana sudah bisa menerima pertemuan mereka, Arga akan katakan semua isi hatinya.
Mungkin ini jodoh, bisa saja ....
"Pagi dan di taman matahari tenggelam itu, Meliana dan Rika akan berjualan daster di sana. Kau bisa mendekati dia, tapi jangan terlihat kalau semua itu sengaja," ucap Juna.
"Rika yang memberitahumu?"
Juna mengangguk, siapa lagi yang bisa berbagi seperti ini kalau bukan Rika, gadis itu juga ingin melihat Meliana kembali sumringah seperti dulu, melupakan semua luka yang selalu Meliana tutupi dengan topeng kuatnya.
***
Meliana ambil berkas resmi perpisahannya dengan Natan, ia tidak tersenyum sama sekali bertemu mantan suaminya itu, ia justru muak kala mengingat mereka pernah hidup bersama selama tiga tahun.
Makan, pergi, tidur dan melakukan banyak hal bersama. Meliana bergegas menandatangi surat tanda terima dan beranjak pergi meninggalkan Natan yang masih ingin membaca isi surat itu, bahkan pria itu sudah menanyakan perihal ketentuan untuk mengurus dokumen bila ia menikah lagi.
"Kau," ucap Meliana, ia terkejut melihat teman belanjanya di komplek perumahan Natan dulu, mereka selalu bertemu saat membeli sayuran.
"Hai, Mel. Apa kabar?"
"Baik, Fir. Sedang apa di sini?" Meliana tidak melihat apapun, selain tas tenteng yang ada di tangan Fira, bisa ia tebak harga tas mahal itu.
Fira cengar-cengir, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menunjuk samar punggung Natan di dalam sana.
"Kau datang bersama Natan?"
"Iya, aku menemaninya."
"Apa! Apa Ibunya tidak akan marah, dia kan mau menjodohkan Natan dengan gadis pilihannya, dia jug-"
"Itu aku, Mel. Aku adalah gadis yang akan menikah dengan mantan suamimu."
Hah,
Meliana tidak bisa berkata apa-apa, ia terperanga mendengar pengakuan gila dari gadis yang selama ini menjadi teman belanjanya di komplek perumahan Natan-mantan suaminya itu, bahkan Fira sempat berbicara buruk tentang kebiasaan ibu Natan di sana.
Meliana raup wajahnya berulang kali, dia sunguh tidak percaya.
"Kau-"
"Tidak masalah kalau kau anggap aku ini tukang tikung atau pengkhianat, tapi satu hal yang penting dalam hidup ini ... Uang, Mel. Aku bisa memberinya anak, tidak seperti dirimu yang mandul!"
Plak,
Kali ini Meliana terpancing untuk membakar dirinya dengan emosi, dia tidak peduli dengan siapa suaminya akan menikah lagi, selama wanita itu tidak membahas masalah kekurangannya, apalagi mereka pernah bersama dulu.
Fira usap pipinya yang sontak memerah, ia meringis dan mulai memanggil Natan. Pria itu sontak berlari ke luar dan mendorong tubuh Meliana menjauh, Meliana jatuh tersungkur dengan lampiran berkas yang berhamburan.
"Berani sekali kau!" tuding Natan bengis, cinta untuk Meliana sudah tidak ada di sana.
Kalau bisa memutar waktu, Meliana tidak akan sudi jatuh cinta dengan Natan ataupun menikah dan tidur dengan pria itu.
Sayang, nasi telah menjadi bubur, pada kenyataannya harta berharga itu telah menjadi milik Natan selama tiga tahun, Meliana ingin membersihkan diri dari bekas menjijikkan itu.
"Natan, dia membahas kekuranganku dan itu wajar kalau aku marah!" Meliana bangun dan membalas tegas.
Natan mengangguk, "Kekurangan yang benar kan? Aku juga mau menambahkan kalau aku tidak pernah bisa merasa puas denganmu yang kurang ahli dalam berhubungan itu," jawab Natan.
"Kau-"
"Aku tidak mau banyak bicara denganmu, Mel. Jadi, sekarang pergilah seperti saat persidangan terakhir kita waktu itu, kau bisa berjalan ringan dan sampai bertemu dengan pria yang bisa menerima kekuranganmu itu, bye!"
Ingin Meliana lempar kepala Natan dengan batu besar di dekatnya itu, ucapan Natan kali ini lebih parah dan terparah dari sebelumnya.
Bagaimana bisa Natan mengatakan hal intim seperti itu sedangkan selama ini dia yang selalu bersemangat mengajak Meliana melakukan hubungan suami-istri, bahkan Meliana masih ingat wajah puas Natan dan pujian yang pria itu berikan dulu karena sikapnya selama di ranjang.
Astaga, Meliana usap dadanya yang memburu karena emosi, satu saja kesalahan yang ia punya, semua keburukan muncul ke permukaan meskipun itu tidak benar adanya.
"Aku sama sekali tidak marah kalau kau mau menikah dengan gadis manapun, tapi ... Dasar pengkhianat!" gumam Meliana mengumpat geram.
Ia rapikan rambutnya yang terburai acak saat terjatuh tadi, lalu berjalan cepat menuju parkiran, mimik kesal di wajahnya masih saja ada, dia bersumpah tidak akan mau bertemu dengan mereka lagi meskipun mereka datang untuk menyesal dan meminta maaf.
"Apa dia harus mengatakan hal itu? Aku bahkan tidak pernah membongkar keburukannya, kepada Ayahku saja tidak." Meliana hapus air matanya yang jatuh untuk pertama kali dan itu berhubungan dengan Natan.
Dia terlalu kuat sampai tidak tahu kalau sebagian dari dirinya sudah rapuh, Meliana putar kemudi motornya, berkeliling sepanjang jalan yang selalu ia rasa tidak pernah memihak kepadanya.
"Aku juga ingin punya anak," gumam Meliana lirih, batinnya tercabik kembali.
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.