Share

Kita Orang Asing

 "Amel?" gumam Arga. 

 Ia tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Meliana lagi, di tempat ia bekerja dan ternyata satu kantor dengan Meliana. 

 Ada hati yang berkhianat saat ini, wajah dan mulutnya keras menyatakan tidak mau bertemu lagi, tapi dalam hati tidak ada yang tahu. 

 Arga berlari menghampiri Meliana, tidak ia hiraukan Juna yang tertinggal di belakang dengan wajah bingung. 

 "Mel," sapanya gugup. 

 Meliana menoleh, ia bawa kerutan kening yang sedari tadi terpajang di wajahnya, Meliana sudah sah ke luar dari kantor ini, hanya saja dia tidak mendapat izin untuk pulang lebih awal. 

 "Kau," ucap Meliana lirih, ia berbalik lagi dan berjalan acuh. 

 Arga tarik tangan yang mengayun itu. 

 "Lepaskan!" pinta Meliana, ia tepis tangan Arga yang menggenggam tangannya. 

 Tidak, Arga seperti orang kerasukan yang kali ini bersumpah tidak akan melepaskan Meliana. 

 Tidak peduli orang menilai dia seperti apa, tapi kesedihan di mata Meliana bisa ia lihat jelas dan hanya dia yang bisa membuat semua itu mengalir ke luar. 

 "Lepaskan aku! Mereka bisa mengira kau berselingkuh denganku nanti," ucap Meliana tegas. Sontak tangan Arga lepas dan mereka saling bersitatap serius.

 Nafas Meliana memburu seolah tengah mengobarkan emosi dan rindu bercampur menjadi satu, sedang Arga tampak penuh tanda tanya, entah itu untuk Meliana atau dirinya sendiri yang tanpa sadar melawan ucapannya selama ini. 

 Dia tidak akan menemui Meliana, tapi nyatanya, hari ini dia menarik dan menahan langkah Meliana, dia ingin hentikan dan membuat gadis itu kembali menjadi temannya. 

 Apa Arga siap memulai hidup baru dengan hubungan yang baru juga? 

 Bukankah dia bertekad untuk tidak menikah dan menghapus niatan itu? 

 Entahlah, saat ini keduanya sama-sama melawan apa yang mereka pertahankan sejak lama, berdiri dan berhadapan dekat sama seperti beberapa tahun lalu disaat semua masih begitu terasa dekat dan menjadi satu. 

 "Aku tidak mau bicara denganmu dan jangan pernah menemui aku lagi, anggap saja seperti dulu, kita orang asing yang tidak saling mengenal, oke!" tegas Meliana. 

 "Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu? Kita orang asing, begitu maksudmu? Kau tidak mengenalku dan aku tidak mengenalmu, kenapa?"

 "Hah, apa perlu aku ulang ucapanmu di taman sore itu? Aku janda dan kau akan malu bicara denganku, aku tidak pantas untuk kau ajak bicara, jadi sekarang biarkan aku pergi dan hiduplah dengan damai!"

 "Mel," cegahnya, sekali lagi menahan tangan Meliana. 

 "Lepaskan! Aku bilang jangan seperti ini, kau sudah menikah dan aku seorang diri, mereka bisa mengatakan hal yang tidak-tidak."

 "Kalau begitu dengarkan aku!"

 "Apa?" Meliana kibaskan tangan yang tadi Arga genggam lagi.

 "Istriku sudah meninggal, Mel."

 Duar, 

 Meliana duduk termenung di ayunan depan rumahnya, pandangan Meliana kosong dan telinganya terus memutar pengakuan miris Arga tadi pagi. 

 Ia tahan kesedihan yang bergemuruh di dalam dadanya, bukan hanya dia yang merasa sakit, tapi Arga juga, mereka memiliki nasib yang sama meskipun jalan perpisahan ini berbeda. 

 Untuk apa Arga mengatakan hal itu, benak Meliana masih bertanya-tanya dengan keberanian Arga. 

 Dia kira pria itu tidak mau menemuinya lagi atau berbagi kabar, dia kira Arga membencinya seperti wajah keras yang ia lihat di taman sore itu, dia kira setelah dia pergi hidup Arga menjadi lebih baik seperti yang ibu Arga katakan. 

 Tidak, semua tidak seperti bayangan Meliana, hari ini ucapan Arga seolah ingin merobohkan dinding besar yang telah ia bangun di dalam dirinya selama ini. 

 Membuka kembali lembaran di mana namanya menjadi sejajar bersama Arga. 

 "Tidak, aku tidak boleh kembali, jalanku dan Arga tidak sama, kami bukan dan tidak ditakdirkan untuk kembali dekat!" Meliana tegaskan pada dirinya sendiri. 

 Dia dan Arga adalah dua orang asing yang tidak sengaja bertemu dan tidak ada yang perlu mereka kenang. 

 Tidak peduli dengan nasib Arga saat ini, mau dia menjadi duda atau masih istri orang, semua itu bukan urusan Meliana, begitu juga apa yang terjadi dalam hidupnya, bukan urusan Arga. 

 "Kau bertemu dengan Arga tadi?"

 "Hem," sahut Meliana singkat. 

 "Apa dia menyapamu?"

 "Hem."

 "Apa dia mengatakan sesuatu, mungkin kalian sempat bertengkar di sana?"

 "Hem, dia mengatakan hal yang tidak ingin aku dengar dan aku katakan hal yang seharusnya dia dengar."

 "Apa, Mel?" Rika semakin penasaran. 

 Meliana letakkan secangkir kopi susu hangatnya, malam ini dia akan memulai usaha online, mencari suplier dan membuat akun baru di media sosial, dia tidak mau memakai akun lama karena di sana banyak teman Natan. 

 "Dia mengatakan kalau istrinya sudah meninggal dan aku bilang kalau kita adalah orang asing yang tidak saling mengenal," jawab Meliana. 

 Sontak kripik di tangan Rika jatuh dan remuk tanpa sengaja ia duduki, tubuhnya merosot mendengar kabar duka dari Arga, pantas saja Juna ingin mendekatkan Meliana dengan Arga kembali, ternyata mereka sama-sama sendiri dan bisa saling berbagi.

 "Mel, apa sebaiknya kalian jalin hubungan baik lagi?" Rika bertanya lirih. 

 "Kenapa? Apa karena kami sudah sama-sama sendiri lalu kembali bersama, begitu? Aku dan dia tidak pernah ada hubungan spesial apa-apa dan aku tidak mau menjadi omongan buruk orang di luar sana. Janda bertemu dengan duda, belum lagi kalau mereka menduga perpisahan ini adalah bagian dari doa kami, itu bodoh!"

 Meliana masuk ke kamarnya, semua semangat yang tadi ia bangun bersama Rika tentang bisnis online lenyap dan mengudara entah ke mana. 

 Kepalanya pusing sampai ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, mata Meliana terus terbuka, bayangan Arga dan ucapan pria itu terus berputar, memaksa Meliana untuk terus mengingatnya. 

 Beruntung dia sudah resign dari kantor itu, kalau tidak, dia akan bertemu Arga setiap harinya dan mau tidak mau, telinganya harus mendengar ocehan dan tuduhan dari rekan yang lain.

 "Aku tidak peduli istrimu sudah meninggal atau tidak, yang terpenting saat ini kita adalah orang asing, jangan lihat atau panggil aku kalau kita tidak sengaja bertemu di luar sana, oke!" 

 Itu ucapannya tadi sebelum meninggalkan Arga. 

 Meliana beringsut duduk, ia buka dompet yang ada di nakas samping ranjangnya. Di sana ada foto kecil di mana wajah Arga berada, masih ia simpan sampai detik ini. 

 Ia mengedipkan mata dalam dan lama, air mata itu sudah ia tahan, tapi masih turun juga, entah mendapat celah dari mana. 

 "Aku tidak setuju kalau Arga jadi sama kamu, apa yang kamu punya? Hidup kamu yang serba kurang sama Ayahmu itu, apa bisa menjadi jaminan membuat Arga bahagia? Aku tidak yakin kau akan memberi anakku keturunan, makan saja tidak bergizi!"

 Hiks ... Hiks ....

 Meliana tutup telinganya, suara ibu Arga waktu itu kembali berputar, menusuknya pedih dan bertubi-tubi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status