"Mel, tolong dengarkan aku!"
Sia-sia, Meliana tutup pintu kamarnya rapat, ia tidak ingin satu orang pun masuk ke sana, termasuk Rika.
Air matanya kembali jatuh, lenyap sudah bayang santai yang Meliana tampilkan akhir-akhir ini, semua seolah kembali pada masa lalu di mana ia tertawa sembari bersandar pada bahu Arga.
Dia, pria terbaik waktu itu, sebelum semuanya berakhir dan mereka terpisah karena satu hal yang tidak bisa Meliana jelaskan.
Perasaan yang ada di hati dan tertanam subur di sana tidak pernah tersampaikan, terpaksa Meliana kubur dalam-dalam dan tidak berminat untuk menggalihnya kembali.
Arga dan semua kenangan itu pun telah pergi seiring dengan keputusan Arga dan keluarganya meninggalkan kota ini.
Tidak pernah Meliana bayangkan hari ini, pertemuan ini terjadi kembali. Ada duka yang mereka simpan, Arga pun merasa sakit hati tidak jelas pada Meliana yang dulu tiba-tiba menjauh dan tidak mau kenal lagi dengannya, bahkan dalam kurun waktu dekat, Meliana datang bersama seorang pria yang dijanjikan akan menikahinya.
"Iya, Jun?" Rika mengapit ponsel itu dengan bahunya.
"Bagaimana keadaan Amel?" tanya Juna khawatir, seperti itulah dulu mereka memanggil Meliana akrab.
Rika menghela nafas panjang nan berat, "Aku tidak tahu betul apa yang terjadi di antara mereka, aku hanya tahu Meliana pernah berkata ia tidak pernah mau bertemu dengan Arga karena mereka mempunyai masa lalu yang buruk, dia sedang ingin sendiri sekarang, aku yakin dia masih menangis."
"Arga sendiri?" tambah Rika, ia ingat Arga tadi juga tidak baik-baik saja.
Sama dengan Rika yang merasa berat, Juna juga begitu, dia tidak tahu fakta jelasnya tentang Arga dan Meliana, dia hanya sempat mendengar cerita pendek Arga yang sering mengatakan kalau Meliana menyampakkannya di masa lalu, padahal mereka sudah sangat dekat.
"Baru kali ini aku melihat Meliana menangis, selama sidang perpisahannya dengan Natan, Meliana sama sekali tidak menangis, dia peserta tersantai di sana," ungkap Rika.
"Aku rasa Arga juga tidak jauh beda, dia diam, tapi dari sorot matanya bisa aku tebak kalau bertemu Meliana saat ini antara tidak suka dan sudah menunggu terlalu lama."
Panggilan itu berakhir ketika Meliana ke luar kamar, Rika simpan ponselnya, ia tidak mau ketahuan kalau tengah bertukar kabar dengan Juna.
Tidak ada tujuan lain, Rika dan Juna hanya ingin mereka berteman baik lagi, memutus hubungan pertemanan yang sangat baik itu teramat disayangkan.
Dan Rika yakin, Meliana pasti juga menunggu saat ini, di mana matanya kembali melihat wajah Arga.
Walau tak banyak, pasti di dalam hati itu nama Arga masih terukir jelas dan setitik harapan masih mekar di sana.
Sampai larut malam, tidak ada satu kata pun yang ke luar dari mulut Meliana, pancingan Rika tidak dia dengar sama sekali, dia seperti hidup sendiri di rumah ini.
***
"Kau jadi mengundurkan diri hari ini?" tanya Rika.
Pagi ini Rika usahakan ada percakapan di antara mereka.
Meliana mengangguk, dia rapikan kucir rambutnya lalu mengambil tas dan amplop coklat besar berisi surat pengunduran dirinya.
Hari ini juga akan menjadi hari terakhir Meliana bekerja, dia sudah pernah membicarakan masalah ini dengan pimpinannya sebelum resmi berpisah dengan Natan.
"Setelah ini kau mau usaha apa?" Rika kejar langkah kaki Meliana, gadis itu tidak akan menyerah.
Rika pun terus bertanya, "Apa kau mau membuka online shop denganku?"
"Bagaimana kalau kita jualan daster online saja, ibu-ibu banyak yang membutuhkan itu, bahkan remaja yang berhijab pun mulai memakai trend daster di luar sana, bagaimana?"
Meliana letakkan tas dan amplop coklatnya itu, ia kemudian tersenyum dan memeluk Rika.
"Maaf kalau aku kejam kemarin, tapi sungguh ... Suatu saat nanti aku akan ceritakan semua, sekarang biarkan aku berjalan sendiri seperti ini," ujar Meliana.
"Aku yang minta maaf karena memaksamu bertemu Arga, aku tidak ada tujuan lain selain membuat kalian berteman baik lagi, kalaupun ada masalah yang selama ini kau bilang gawat, jelaskan kepadanya ... Semua harus jelas, Mel."
"Aku mengerti, nanti kalau aku sudah siap, kau tahu perpisahan ini tidak sesantai wajahku, bukan?"
Rika mengangguk, ia lepas dekapan itu lalu mengantar Meliana pergi ke kantornya.
Kalau boleh jujur, ketika mata Meliana melihat Arga, ia ingin berlari dan memeluk pria itu.
Ia ingin mengadu pada Arga tentang perlakuan Natan dan keluarganya selama mereka menikah, Meliana ingin menangis dan bersandar di bahu Arga.
Tapi, kenyataan di masa lalu dan penolakan rahasia itu tidak bisa Meliana abaikan sampai detik ini, bahkan ia tidak berani mengatakan pada Arga yang sesungguhnya.
Arga bukan sekedar teman baiknya, dia lebih dari seorang teman dan sahabat, dia tempat Meliana hidup selama ini, dia seperti hamparan bumi di mata Meliana.
Apa dia mencintai Arga? Iya, dulu dia sempat mencintai Arga. Tapi, bukan berarti ia mencintai dua orang saat menikah dengan Natan, rasa itu pernah ada dan Meliana kubur dalam, kini muncul kembali.
Sementara itu, Arga mulai lanjut bekerja kembali hari ini.
Ada semangat membara dalam dirinya untuk memulai hari baru dan di tempat kerja baru, dia ingin menata hidup sendiri tanpa Nia.
"Jadi move on?" goda Juna.
"Jangan bahas itu di sini!" balas Arga ketus.
"Aku senang kau akhirnya membuka diri dan menjadikan masa lalu kenangan, Nia pasti sedih melihatmu tidak jelas setiap harinya," jelas Juna.
Sontak gerakan Arga terhenti, ia letakkan tas kerja yang sudah siap ia tenteng itu.
"Kenapa?"
"Kau membahas siapa tadi?" tanya Arga.
"Nia, aku sedang membahas Nia. Kau kira aku sedang membahas Meliana, begitu? Apa kau semalaman memikirkan Meliana?" tuduh Juna dengan seringai tipisnya.
Arga hanya mendengus kesal, ia melangkah lebih dulu meninggalkan. Juna yang tampak sumringah.
Tapi, itu benar bila Arga terus didesak, jelas dia akan mengaku, semalaman dia tidak bisa melupakan raut wajah Meliana sore itu.
Kalau saja hubungan mereka baik-baik saja, Arga pasti sudah duduk di depan gadis itu dan mendengarkan semua keluh kesahnya.
Pasti ada hal yang Meliana sembunyikan dan ingin dia bagi, semua bisa Arga baca jelas dari sorot matanya.
Dari dulu seperti inilah Arga, dia begitu lemah bila melihat sorot mata Meliana, dia bahkan dulu jatuh cinta karena mata itu sampai menikahi Nia yang memiliki mata yang sama dengan milik Meliana.
Jujur, setelah Meliana menikah, Arga bertekad mencari istri yang mirip dengan Meliana, entah kebetulan dari mana Nia-gadis yang dikenalkan ibunya sangat mirip dengan Meliana waktu itu.
"Amel?" gumam Arga, dia melihat gadis mirip Meliana di kantor barunya.
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga