Share

Teror

Suara kaca pecah mengusik ketenanganku malam ini. Terlihat Mbok Iroh berlari khawatir ke arahku, wajahnya pucat pasi, seperti telah melihat hantu.

"Non, i-itu.. itu.. ada yang ngelempar batu sampe kacanya pecah. Terus ada.... " kata Mbok Iroh terbata tak mampu melanjutkan perkataannya.

"Ada apa mbok?" tanyaku ikut merasakan ketakutan yang dirasakan Mbok Iroh.

" Non lihat sendiri saja." Katanya yang lantas bergegas pergi. Aku pun mengikuti kemana arah kakinya melangkah.

Halaman depan rumahku benar-benar berantakan, banyak batu-batu kerikil yang memenuhi teras depan rumah. Lalu ada sebuah kertas yang membungkus sebuah batu, kertas itu terletak di bawah jendela yang kacanya sudah pecah. Aku memungutnya. Tersentak. Pantas saja Mbok Iroh ketakutan setelah melihat benda ini. 

Di setiap sudut kertas itu terdapat bercak kemerahan mirip dengan darah yang mengering, ketika aku membuka dan mengambil kertas itu bertuliskan

'KAU HARUS MATI?!! KAU HARUS MATI!!!'

Tubuhku lemas seketika, tapi aku tetap mencoba berpikir positif, mungkin itu hanya seorang anak kecil yang sedang bermain. Itu tak mungkin sebuah teror, bukan?

"Mungkin cuma orang iseng Mbok, mending kita masuk ke dalam." Kata ku bergetar. Mungkin saat ini wajahku pun pucat pasi seperti mbok Iroh tadi. Bahkan mungkin lebih pucat dibanding Mbok Iroh. Pikiran aneh kembali mengusikku, rasa takut yang sempat menguap tadi kini kembali mencuat.

Siapa yang melakukan itu?

Benakku terus mempertanyakan walau berkali-kali aku meyakinkan bahwa itu hanya perbuatan orang jahil. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah larut malam. Orang iseng mana yang mau melakukan hal semacam itu selarut ini? Kadang manusia sering membuat prasangka buruk. Bukan. Bukan karena dia tak bisa berpikir positif, hanya saja itu dilakukan sebagai perlindungan dirinya terhadap sesuatu hal. Itu naluri alamiah manusia. Itu menurutku, sama seperti yang sedang terjadi saat ini, siapa juga yang tidak akan berpikiran negatif. Sialnya lagi karena papah tak bisa pulang malam ini, ada hal penting yang harus dilakukannya untuk proyek yang sedang beliau kerjakan. 

Apa yang harus kulakukan? 

Sepertinya rasa takut ini akan membuatku terjaga kembali semalaman. Aku masih mencoba menenangkan diriku sendiri.

"Itu cuma kerjaan orang iseng. Iya cuma orang iseng! Cuma orang iseng!" berpuluh kali aku mengucapkan kata itu, mencoba mensugesti diriku sendiri. Bak sebuah mantra yang akan membuatku tenang setelah mengatakannya.

Aku bergidik ngeri ketika melihat kembali kertas yang ada bercak merah itu,  tiba tiba saja layar di Hpku berkedip beberapa kali. Aku menatapnya sekilas, mengabaikannya. Namun ada sebuah nomor tak kukenal yang terpajang di layar tersebut, beberapa kali. Hingga dengan terpaksa aku pun mengangkatnya. Diujung telpon sana terdengar sebuah lagu yang begitu asing di telingaku. Reverse. Lagu yang tak begitu jelas dan hanya berisi sebuah jeritan-jeritan tak jelas seperti suara kelelawar, suara seorang perempuan bersenandung dan bahkan suara tawa anak kecil.

Oh tuhan?!

Bulu kudukku meremang seketika. Aku melemparkan ponselku seiring dengan jeritan yang keluar dari mulutku begitu saja. Kepalaku mendadak pusing, iringan suara musik di seberang telpon tadi terus berputar di kepalaku. 

"Non, non kenapa?"

Aku terus memalingkan wajahku dari Mbok Iroh, telingaku kututup rapat dengan kedua tanganku. Aku benar-benar frustasi.

Orang gila mana yang melakukan hal ini?! Sial!

Hpku kembali berdering beberapa kali, rasa takut semakin menjadi menghampiri. Tubuhku gemetar hebat, tanpa kusadari kini peluh sudah memenuhi setiap bagian wajahku. Sekilas terlintas dalam benakku aku berpikir ‘pasti dari nomor yang tak dikenal itu lagi’

"Non kenapa? Hpnya bunyi, kenapa ga diangkat?"

Tubuhku masih gemetar hebat. Suara-suara aneh tadi masih memenuhi gendang telingaku, tapi aku mencoba memberanikan diri dan bangkit untuk mencari benda berbentuk persegi itu. 

Terdapat nama Papah dalam layar handphone yang sempat kulempar. 

"Iya, pah. Nggak apa-apa kok Pah. Ga usah Pah, Itu cuma kerjaan orang iseng doang. Ga usah khawatir."

Aku boleh saja mengatakan hal itu pada papah, tapi nyatanya tubuhku bergetar hebat saat ini. Mungkin papah pun bisa menyadarinya karena suaraku yang bergetar saat berbicara dengannya.

"Iya, nanti devlin telpon papah kalo ada apa-apa."

Aku menekan tombol berwarna merah untuk mengakhiri percakapan ku dengan Papah. Papah sudah tahu semua peristiwa malam ini, mungkin mbok Iroh yang menceritakannya. Aku kembali melihat nomor tak dikenal yang tadi menelponku, lalu melirik pada kertas bergantian.

Sebuah pertanyaan muncul di benakku apakah Fadil yang melakukan ini? Apa dia begitu mendendam padaku? Mana mungkin dia tahu rumahku? Bukankah Fadil hanya bilang bahwa dia bakal bikin aku tak nyaman bersekolah? 

***

"Eh cewek sok jagoan dan pemberani! lo udah mulai ketakutan,ya?" suara serak itu membuatku menghentikan langkah kaki, aku berbalik dan menatapnya tajam. Terlihat dia tersenyum mengejek.

"Jadi lo serius soal ancaman yang kemarin ?" kataku mencoba untuk tetap tenang menghadapinya.

"Lo mulai ketakutan, kan? Keliatan dari gimana lo pertama kali datang ke sekolah. Lo gelisah banget tadi pas masuk ke gerbang."

Aku mengutuk dalam hati. Dia melihatnya rupanya. Kejadian tadi malam membuatku benar-benar syok hingga rasanya ingin sekali aku membolos hari ini. Dengan acuh aku mengangkat bahu dan bergegas pergi dari hadapannya. Ketika beberapa kali aku melangkah, kaki kiriku terantuk sesuatu di hadapanku. Hal tersebut sukses membuat tubuhku terjatuh membentur kerasnya paving block parkiran sekolah. Sialan. Dia menyandung kakiku.

"Gimana? sakit kah?"

"Lo ..." aku kehabisan kata-kata, dia segera pergi meninggalkanku begitu saja. Lelaki macam apa dia? Aku segera bangkit dan mencoba membalas perbuatannya, tapi rasa panas tiba-tiba menyerang lututku, aku merabanya pelan. Darah segar mengalir di sana. Lukanya kecil, tapi rasa perihnya benar-benar terasa.

"Devlin--" terdengar teriakan dari kejauhan, lalu Benny segera menghampiriku. Raut wajahnya jelas terlihat khawatir,"lo nggak apa-apa?"

"nggak kok Ben, cuma lecet biasa."

"Gue antar ke ruang kesehatan, ya?" aku mengangguk pelan.

Sepanjang perjalanan Benny terus mengintrogasi ku.  Dia terus bertanya apakah Fadil benar-benar melakukan hal buruk padaku atau tidak. Beberapa kali pula aku hanya diam. Aku tak bisa menceritakannya pada Benny, aku masih bingung apakah kejadian tadi malam memang ulah Fadil atau justru orang lain. 

Ketika sampai di belokan terakhir menuju ruang kesehatan aku bertemu dengan Satria. Dia kembali menatapku intens dengan bola mata hitam bulatnya. Tatapan yang selalu meneduhkan.  Dia sahabat terbaikku yang selalu ada untukku. Kami sudah bersahabat sejak kami masih SD hingga sekarang. Rumahku dengannya hanya berbeda satu blok saja dan jika boleh jujur aku sempat menyukainya. Kau tahu, bukan? Seorang lelaki dan perempuan memang tak pernah bisa berteman karena itu akan menimbulkan sebuah rasa yang tak pernah diharapkan oleh keduanya.

"Lo, enggak apa-apa ‘kan, Dev?" tanya Satria berkali-kali padaku, walau sudah kujawab dengan gelengan beberapa kali juga.

"Serius?" aku mengangguk pelan.

"Lututnya berdarah gara-gara Fadil." Benny menjelaskan.

"Cuma lecet doang kok, gak parah-parah banget."

Terlihat perubahan air muka Satria, wajahnya memerah dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Kini tatapannya lebih tajam seakan mampu mengintimidasi siapapun yang ditatap olehnya. 

"Biar gue kasih obat lukanya."

Kami memasuki ruang kesehatan yang baunya selalu hampir sama dengan rumah sakit. Aku duduk tepat di samping satria yang tengah mencari betadine untuk mengobati lukaku.

"Sat, sebenarnya kemarin rumah gue diteror. Gue ga tahu siapa yang ngelakuin itu. Tadinya gue sempet mikir kalo itu ulah Fadil, tapi mana mungkin dia tahu alamat rumah gue? Sat, lo bantuin gue nyari pelakunya, ya?"

"Diteror? Pasti gue bantuin. Gue udah pernah bilang kan sebelumnya kalo gue bakal jagain lo. Jadi lo ga usah takut." Katanya sambil sesekali mengolesi obat berwarna merah pada luka lututku, sesekali aku pun dibuat meringis karenanya.

"Kita juga bakal bantuin lo kok, Dev." Sahut Sarah dan Benny bersamaan. Mereka selalu saja kompak. Ah iya aku sampai lupa dengan kehadiran mereka.

"Makasih, ya." Aku tersenyum pada mereka bertiga, beruntungnya aku memiliki mereka.

Hatiku kembali dibuat tenang oleh pernyataan Satria. Aku bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain. Aku yakin sekali Satria memang tulus saat mengatakan hal tersebut. Perlu kalian tahu, sejak kecil dia selalu menjagaku bak seorang ksatria ketika aku terluka atau pun dilukai oleh orang lain, dia lah yang selalu melindungiku. Kami sudah seperti saudara, dia sudah aku anggap sebagai sahabat dan kakakku sekaligus. Jadi aku benar-benar mempercayai perkataannya.

****

" Dev, di laci meja lo ada darah tuh." Rendi se ketua kelas menyambut aku dan Satria begitu kami sampai di depan kelas. 

"Darah?" gumam ku tak jelas, seolah tak percaya bahwa aku akan berhadapan dengan teror dan darah lagi di sekolah.

Aku masih terpaku di tempat. Satria lah yang pertama kali berlari dan melihat keadaan laci meja kami, dia mengambil sebuah boneka beruang dengan leher yang terputus dan terdapat cairan merah seperti darah. Lagi. Entah untuk kesekian kali. 

"Ini bukan darah. Cuma cairan cat biasa." Satria berlalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku. Dia membuang boneka tersebut.

Aku melangkah menuju tempat dudukku setelah kurasa tak ada lagi benda aneh di sana.

Kini kulihat seisi ruangan riuh dengan peristiwa yang terjadi. Beberapa siswa perempuan ketakutan dengan wajah pucat pasi. Sedang kulihat Suci pergi berlalu begitu saja saat ruangan semakin riuh. Aku sempat melihat tatapannya yang sarat akan kemarahan dan ketakutan. 

"Ada surat kalengnya juga nih." Rendi kembali menyahut menunjukan kertas yang telah dilipat rapi. Aku yakin sekali pasti isinya sama dengan yang tertulis tadi malam. Aku segera meremas kertas tersebut tanpa membacanya lagi. Sayangnya,  Satria segera merebut nya dan membaca tulisan tersebut dengan lantang.

'KAU HARUS MATI!!!KAU HARUS MATI.'

Seisi ruangan semakin ramai. Terdengar bisikan-bisikan yang mempertanyakan pelaku teror yang kualami. Tak ingin semakin memperunyam keadaan, Satria akhirnya meremas kertas itu kuat dan membuangnya begitu saja. Dia bergegas berlari keluar kelas entah hendak pergi kemana. 

Aku membatin seorang diri, mulai detik ini hidupku berantakan. Mimpi buruk kembali menghantuiku lagi, bahkan lebih dari sekedar mimpi buruk. 

"Cewek itu! Dia bakal jatuh." Bisikku tak jelas. Setengah sadar, tiba-tiba saja aku melihat berkelebatan bayangan yang memperlihatkan seorang gadis tengah berdebat hebat dengan seseorang di dekat tangga lantai tiga, lalu detik berikutnya dia terjatuh dan terkapar begitu saja di lantai dasar dengan darah yang mengalir deras di kepalanya.

Tidak! apa ini? Siapa yang terjatuh? Bayangan apa ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status