Share

Bab 4

last update Last Updated: 2025-06-10 09:43:42

Sementara di sisi lain, Alina bisa merasakan tatapan Gallen yang terus mengarah padanya. Ia tahu pria itu masih memperhatikannya, bahkan ketika dirinya pura-pura fokus pada benda-benda di hadapannya.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha tetap tenang, tapi pikirannya kacau. 

Sepasang mata itu menyipit. Alina menangkapnya dari sudut matanya. Bukan marah, bukan juga peduli... tapi seakan sedang menimbang sesuatu.

Sikapnya terlalu tenang.

Dan itu justru membuat Alina semakin panik.

Apa dia curiga?

Apa wajahnya terlalu jelas menunjukkan sesuatu?

“Alina?”

Nada suara Gallen membuat tengkuknya menegang. 

Seakan tersadar dari lamunannya, Alina buru-buru mengangkat kepala.

“Jangan ke dokter kandungan!” serunya refleks dan itu membuat pria di hadapannya kembali mengernyit.

Menyadari kekeliruannya, Alina cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku... aku baru beberapa hari lalu ke dokter kandungan. Rasanya belum perlu periksa lagi, kan?”

“Kamu bilang kandunganmu lemah. Kita perlu tahu kondisi janin,” ujar Gallen sembari menelusuri wajah Alina yang tampak semakin gelisah.

“T–tapi, aku trauma—”

Brakk!

Alina terdiam sejenak, napasnya terhenti seiring dentuman keras yang menggetarkan meja. Pemandangan Gallen yang berdiri, tubuhnya menjulang di atasnya, membuatnya merasa semakin kecil.

‘Alasan apa itu?  Bodoh, Alina!!’ batin Alina merutuki dirinya sendiri.

Jantungnya berdetak lebih cepat saat tubuh Gallen mendekat, menutup jarak di antara mereka yang terasa semakin menyesakkan.

“Saya tidak butuh alasan!” ucap pria itu.

Suaranya rendah dan terukur, tapi setiap katanya penuh penekanan.

“A–ah, ya... baiklah kalau begitu,” jawab Alina terbata.

Perempuan itu buru-buru menarik napas dan memaksakan senyum tipis. Berusaha terlihat tenang, meski detak jantungnya tak karuan.

Gallen tak berkata apa-apa. Hanya mengemasi barang-barangnya, tampak tak memberi perhatian lagi pada dirinya. 

Seiring pria itu meninggalkan meja makan, Alina merasakan darahnya kembali mengalir. 

Namun, suara langkah berat Gallen yang menjauh justru lebih menggetarkan daripada seribu omelan ibunya.

Ia memijat kepalanya sendiri, mencoba mengusir rasa pening yang mulai merayap.

“Tsk! Apa aku perlu menyewa seorang pria untuk menghamiliku?” bisiknya seraya memandang perutnya yang datar.

Dia tahu itu bukan solusi, tapi di saat seperti ini, pikirannya mulai kacau, mencari cara untuk keluar dari kebohongan yang ia buat.

“Kurasa kau sudah gila, Alina ….”

Ia tertawa pelan, namun tertahan di tenggorokan. Dirinya benar-benar konyol!

Dalam hati, ia hanya bisa berdoa. Semoga Gallen belum benar-benar mencium kebohongan ini.

***

Alina sengaja bangun lebih pagi keesokan harinya. Semalaman ia bergelut dengan pikirannya, memutar otak mencari cara agar bisa pura-pura mengalami keguguran. Dan pagi ini, akhirnya sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya.

Gallen memang melarangnya bekerja di luar rumah, tapi bukan berarti ia tak bisa mencari kesibukan di dalam rumah ini, bukan? 

Rumah seluas istana ini tak mungkin hanya diurus oleh Belinda seorang. Pasti ada celah yang bisa dimanfaatkan.

“Yang kubutuhkan hanya kesempatan,” gumamnya sambil menatap bayangan dirinya di cermin. “Kalau perlu, aku akan memilih pekerjaan paling berat di rumah ini. Apa saja… asal rencanaku berhasil.”

Ia menarik napas panjang, menyelipkan rambut ke belakang telinga, lalu tersenyum tipis.

“Hanya perlu satu insiden kecil… dan semuanya akan selesai. Keguguran palsu bukan hal yang sulit, Alina. Kau pasti bisa.”

Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, ia melangkah mantap menuruni tangga. 

Alina menuruni anak tangga dengan langkah ringan, senyum kecil menggantung di bibirnya. Di dalam kepalanya, satu rencana sudah tersusun rapi. Ia hanya perlu sedikit keberanian... dan sedikit rasa sakit.

Namun, senyumnya langsung pudar saat melihat pemandangan di lantai satu.

Ruang tengah ramai oleh para pelayan. Ada yang sedang menyapu, ada yang menata vas bunga, mengangkat beberapa barang, bahkan terdengar suara mesin alat pel lantai dari arah dapur. 

Entah berapa banyak pembantu yang dibawa ke rumah ini tetapi hampir semua pekerjaan sudah dilakukan oleh mereka.

Astaga! Bahkan untuk pura-pura kelelahan pun dia tidak punya kesempatan?

Melihat Alina, Belinda langsung menghampiri, meninggalkan keranjang sayuran. “Selamat pagi, Nyonya.”

“Pagi, Bi,” jawab Alina, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah. “Kenapa tiba-tiba banyak sekali orang di rumah ini?”

“Tuan Gallen meminta saya membawa beberapa pelayan di kediaman untuk membersihkan rumah setiap pagi dan sore hari. Nyonya kurang berkenan dengan mereka? Saya akan menggantinya, jika demikian,” jawab Belinda.

“Bu—bukan begitu. Aku hanya merasa … belum terbiasa? Biasanya aku melakukan semuanya sendiri,” kata Alina berusaha untuk terlihat tidak mencurigakan.

Belinda tersenyum lembut. “Sekarang Nyonya tidak perlu lagi. Tuan tidak membiarkan Nyonya kelelahan mengurus rumah.”

Tidak punya jawaban lain, Alina lantas mengangguk. Tetapi kemudian dia melihat meja makan masih kosong. Dia lantas menoleh ke arah Belinda lagi. “Bi, apa sarapan belum siap?”

“Mohon Nyonya menunggu sebentar, menu sarapan sedang dipersiapkan.” Belinda hendak mundur dari hadapan Alina tetapi buru-buru wanita itu meraih tangannya. 

“Eh, tunggu, Bi! Biar aku saja yang memasak,” cegah Alina.

Belinda mengangkat wajah. Raut wajahnya berubah. “Maaf, Nyonya, Tuan Gallen berpesan tidak memperbolehkan Nyonya untuk melakukan pekerjaan rumah.”

Sejenak Alina menarik napas panjang. Baik Andreas maupun Belinda ini sungguh terlalu loyal dengan Gallen! 

Tapi bagaimana merayunya? Belinda tidak tahu tentang dirinya yang diyakini sedang hamil dan Alina tidak akan memberitahunya. Itu hanya akan mempersulit keadaannya. 

“Hanya memasak saja,” kata Alina meyakinkan. Ia kembali meraih tangan Belinda, tersenyum seolah penuh semangat, lalu membisikkan sesuatu, “Aku sedang berusaha membuat Gallen terkesan padaku. Aku ingin membuatnya senang. ”

Mendengar itu, Belinda terlihat berpikir sejenak. “Jika demikian, saya siapkan bahan—”

“Tidak perlu,” potong Alina dengan senyum lebar. “Aku ingin menyiapkannya sendiri.”

Ragu-ragu, Belinda akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya, jika demikian, saya akan bereskan ruang tamu dulu.” Belinda melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu. 

Sementara Alina segera mengambil tempat di dapur. Tangannya terulur membuka buku menu harian, dibacanya catatan khusus untuk suaminya pagi ini: Omelet putih telur isi sayuran dan keju feta.

Sementara menu yang lain nasi merah organik, tumis brokoli, dan sapi lada hitam.

Meski tidak familiar, Alina cukup cekatan mengikuti resepnya. Ia menyelesaikan beberapa makanan dengan cukup cepat. Hanya tinggal menyajikannya di meja.

Ia melirik Belinda yang masih berkutat dengan pekerjaannya merangkai bunga di ruang tamu. Masakan sudah beres, sekarang hanya perlu menjalankan misi. 

Dia mengamati barang-barang apa yang ada di kabinet tinggi itu. Hanya ada beberapa toples kosong dan bahan kue. 

Akhirnya, ia mengambil sebuah kursi tinggi dan memanjatnya. Ia mengamati beberapa benda tak berguna di hadapannya sambil memperhitungkan semuanya. 

Tatapannya segera mengarah ke sebuah toples kaca berisi tepung yang diletakkan di kabinet paling atas. 

Sangat tinggi. Sangat sempurna untuk menyusun skenarionya.

Tangannya sudah menyentuh pinggiran toples. Ia menarik napas. 

Ia sudah memperkirakan seberapa sakitnya ia jatuh dari ketinggian itu. Mungkin nyeri di punggung. Mungkin lecet di siku. 

Namun, saat ia mencoba menjatuhkan diri, sebelum tubuhnya menyentuh lantai seseorang menarik pinggangnya dengan kasar.

Tubuhnya langsung jatuh ke dalam dekapan yang panas dan kaku. Sementara toples yang hendak diambilnya jatuh dan pecah berserakan di atas lantai.

Alina membeku ketika ia tiba-tiba berada dalam pelukan Gallen.

“Apa yang kamu lakukan?” Ia bisa merasakan napas pria itu memburu di lehernya, kasar dan tidak beraturan. 

Manik mata Gallen berubah penuh kilatan bara, ia menatap Alina seakan ingin menelanjangi isi kepalanya.

Alina tak bisa berpikir jernih. Yang ia tahu, semua rencananya berantakan. 

Pelukan itu mungkin menyelamatkannya dari jatuh tapi tidak dari kecurigaan Gallen. 

Dan itu … jauh lebih menakutkan.

“Naik kursi setinggi itu… Apa kamu tidak memikirkan kehamilanmu!?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuna Wijaya
jd kepikiran gimana kalau gallen tahu alina gak hamil
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 93

    Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 92

    Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 91

    Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 90

    Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 89

    Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 88

    Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status