Sementara di sisi lain, Alina bisa merasakan tatapan Gallen yang terus mengarah padanya. Ia tahu pria itu masih memperhatikannya, bahkan ketika dirinya pura-pura fokus pada benda-benda di hadapannya.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha tetap tenang, tapi pikirannya kacau.
Sepasang mata itu menyipit. Alina menangkapnya dari sudut matanya. Bukan marah, bukan juga peduli... tapi seakan sedang menimbang sesuatu.
Sikapnya terlalu tenang.
Dan itu justru membuat Alina semakin panik.
Apa dia curiga?
Apa wajahnya terlalu jelas menunjukkan sesuatu?
“Alina?”
Nada suara Gallen membuat tengkuknya menegang.
Seakan tersadar dari lamunannya, Alina buru-buru mengangkat kepala.
“Jangan ke dokter kandungan!” serunya refleks dan itu membuat pria di hadapannya kembali mengernyit.
Menyadari kekeliruannya, Alina cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku... aku baru beberapa hari lalu ke dokter kandungan. Rasanya belum perlu periksa lagi, kan?”
“Kamu bilang kandunganmu lemah. Kita perlu tahu kondisi janin,” ujar Gallen sembari menelusuri wajah Alina yang tampak semakin gelisah.
“T–tapi, aku trauma—”
Brakk!
Alina terdiam sejenak, napasnya terhenti seiring dentuman keras yang menggetarkan meja. Pemandangan Gallen yang berdiri, tubuhnya menjulang di atasnya, membuatnya merasa semakin kecil.
‘Alasan apa itu? Bodoh, Alina!!’ batin Alina merutuki dirinya sendiri.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat tubuh Gallen mendekat, menutup jarak di antara mereka yang terasa semakin menyesakkan.
“Saya tidak butuh alasan!” ucap pria itu.
Suaranya rendah dan terukur, tapi setiap katanya penuh penekanan.
“A–ah, ya... baiklah kalau begitu,” jawab Alina terbata.
Perempuan itu buru-buru menarik napas dan memaksakan senyum tipis. Berusaha terlihat tenang, meski detak jantungnya tak karuan.
Gallen tak berkata apa-apa. Hanya mengemasi barang-barangnya, tampak tak memberi perhatian lagi pada dirinya.
Seiring pria itu meninggalkan meja makan, Alina merasakan darahnya kembali mengalir.
Namun, suara langkah berat Gallen yang menjauh justru lebih menggetarkan daripada seribu omelan ibunya.
Ia memijat kepalanya sendiri, mencoba mengusir rasa pening yang mulai merayap.
“Tsk! Apa aku perlu menyewa seorang pria untuk menghamiliku?” bisiknya seraya memandang perutnya yang datar.
Dia tahu itu bukan solusi, tapi di saat seperti ini, pikirannya mulai kacau, mencari cara untuk keluar dari kebohongan yang ia buat.
“Kurasa kau sudah gila, Alina ….”
Ia tertawa pelan, namun tertahan di tenggorokan. Dirinya benar-benar konyol!
Dalam hati, ia hanya bisa berdoa. Semoga Gallen belum benar-benar mencium kebohongan ini.
***
Alina sengaja bangun lebih pagi keesokan harinya. Semalaman ia bergelut dengan pikirannya, memutar otak mencari cara agar bisa pura-pura mengalami keguguran. Dan pagi ini, akhirnya sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya.
Gallen memang melarangnya bekerja di luar rumah, tapi bukan berarti ia tak bisa mencari kesibukan di dalam rumah ini, bukan?
Rumah seluas istana ini tak mungkin hanya diurus oleh Belinda seorang. Pasti ada celah yang bisa dimanfaatkan.
“Yang kubutuhkan hanya kesempatan,” gumamnya sambil menatap bayangan dirinya di cermin. “Kalau perlu, aku akan memilih pekerjaan paling berat di rumah ini. Apa saja… asal rencanaku berhasil.”
Ia menarik napas panjang, menyelipkan rambut ke belakang telinga, lalu tersenyum tipis.
“Hanya perlu satu insiden kecil… dan semuanya akan selesai. Keguguran palsu bukan hal yang sulit, Alina. Kau pasti bisa.”
Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, ia melangkah mantap menuruni tangga.
Alina menuruni anak tangga dengan langkah ringan, senyum kecil menggantung di bibirnya. Di dalam kepalanya, satu rencana sudah tersusun rapi. Ia hanya perlu sedikit keberanian... dan sedikit rasa sakit.
Namun, senyumnya langsung pudar saat melihat pemandangan di lantai satu.
Ruang tengah ramai oleh para pelayan. Ada yang sedang menyapu, ada yang menata vas bunga, mengangkat beberapa barang, bahkan terdengar suara mesin alat pel lantai dari arah dapur.
Entah berapa banyak pembantu yang dibawa ke rumah ini tetapi hampir semua pekerjaan sudah dilakukan oleh mereka.
Astaga! Bahkan untuk pura-pura kelelahan pun dia tidak punya kesempatan?
Melihat Alina, Belinda langsung menghampiri, meninggalkan keranjang sayuran. “Selamat pagi, Nyonya.”
“Pagi, Bi,” jawab Alina, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah. “Kenapa tiba-tiba banyak sekali orang di rumah ini?”
“Tuan Gallen meminta saya membawa beberapa pelayan di kediaman untuk membersihkan rumah setiap pagi dan sore hari. Nyonya kurang berkenan dengan mereka? Saya akan menggantinya, jika demikian,” jawab Belinda.
“Bu—bukan begitu. Aku hanya merasa … belum terbiasa? Biasanya aku melakukan semuanya sendiri,” kata Alina berusaha untuk terlihat tidak mencurigakan.
Belinda tersenyum lembut. “Sekarang Nyonya tidak perlu lagi. Tuan tidak membiarkan Nyonya kelelahan mengurus rumah.”
Tidak punya jawaban lain, Alina lantas mengangguk. Tetapi kemudian dia melihat meja makan masih kosong. Dia lantas menoleh ke arah Belinda lagi. “Bi, apa sarapan belum siap?”
“Mohon Nyonya menunggu sebentar, menu sarapan sedang dipersiapkan.” Belinda hendak mundur dari hadapan Alina tetapi buru-buru wanita itu meraih tangannya.
“Eh, tunggu, Bi! Biar aku saja yang memasak,” cegah Alina.
Belinda mengangkat wajah. Raut wajahnya berubah. “Maaf, Nyonya, Tuan Gallen berpesan tidak memperbolehkan Nyonya untuk melakukan pekerjaan rumah.”
Sejenak Alina menarik napas panjang. Baik Andreas maupun Belinda ini sungguh terlalu loyal dengan Gallen!
Tapi bagaimana merayunya? Belinda tidak tahu tentang dirinya yang diyakini sedang hamil dan Alina tidak akan memberitahunya. Itu hanya akan mempersulit keadaannya.
“Hanya memasak saja,” kata Alina meyakinkan. Ia kembali meraih tangan Belinda, tersenyum seolah penuh semangat, lalu membisikkan sesuatu, “Aku sedang berusaha membuat Gallen terkesan padaku. Aku ingin membuatnya senang. ”
Mendengar itu, Belinda terlihat berpikir sejenak. “Jika demikian, saya siapkan bahan—”
“Tidak perlu,” potong Alina dengan senyum lebar. “Aku ingin menyiapkannya sendiri.”
Ragu-ragu, Belinda akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya, jika demikian, saya akan bereskan ruang tamu dulu.” Belinda melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu.
Sementara Alina segera mengambil tempat di dapur. Tangannya terulur membuka buku menu harian, dibacanya catatan khusus untuk suaminya pagi ini: Omelet putih telur isi sayuran dan keju feta.
Sementara menu yang lain nasi merah organik, tumis brokoli, dan sapi lada hitam.
Meski tidak familiar, Alina cukup cekatan mengikuti resepnya. Ia menyelesaikan beberapa makanan dengan cukup cepat. Hanya tinggal menyajikannya di meja.
Ia melirik Belinda yang masih berkutat dengan pekerjaannya merangkai bunga di ruang tamu. Masakan sudah beres, sekarang hanya perlu menjalankan misi.
Dia mengamati barang-barang apa yang ada di kabinet tinggi itu. Hanya ada beberapa toples kosong dan bahan kue.
Akhirnya, ia mengambil sebuah kursi tinggi dan memanjatnya. Ia mengamati beberapa benda tak berguna di hadapannya sambil memperhitungkan semuanya.
Tatapannya segera mengarah ke sebuah toples kaca berisi tepung yang diletakkan di kabinet paling atas.
Sangat tinggi. Sangat sempurna untuk menyusun skenarionya.
Tangannya sudah menyentuh pinggiran toples. Ia menarik napas.
Ia sudah memperkirakan seberapa sakitnya ia jatuh dari ketinggian itu. Mungkin nyeri di punggung. Mungkin lecet di siku.
Namun, saat ia mencoba menjatuhkan diri, sebelum tubuhnya menyentuh lantai seseorang menarik pinggangnya dengan kasar.
Tubuhnya langsung jatuh ke dalam dekapan yang panas dan kaku. Sementara toples yang hendak diambilnya jatuh dan pecah berserakan di atas lantai.
Alina membeku ketika ia tiba-tiba berada dalam pelukan Gallen.
“Apa yang kamu lakukan?” Ia bisa merasakan napas pria itu memburu di lehernya, kasar dan tidak beraturan.
Manik mata Gallen berubah penuh kilatan bara, ia menatap Alina seakan ingin menelanjangi isi kepalanya.
Alina tak bisa berpikir jernih. Yang ia tahu, semua rencananya berantakan.
Pelukan itu mungkin menyelamatkannya dari jatuh tapi tidak dari kecurigaan Gallen.
Dan itu … jauh lebih menakutkan.
“Naik kursi setinggi itu… Apa kamu tidak memikirkan kehamilanmu!?”
Suhu di ruangan itu mendadak meningkat, atau mungkin hanya tubuhnya yang bereaksi panik. Alina menunduk, menatap bayangan wajahnya yang memantul di permukaan susu.“A-aku… tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Oma,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar seperti bisikan, nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri. “Aku takut.”Amarantha hanya mengangguk pelan, seolah kalimat itu sudah cukup menjelaskan segalanya. “Sekarang Oma tahu kenapa Gallen begitu memaksa ingin menikahimu, bahkan setelah kakaknya baru saja berpulang.”Alina refleks mengangguk, meski pikirannya terasa kosong. Jika Gallen yang ada di hadapannya, mungkin ia masih bisa bersikap defensif. Tapi di hadapan Amarantha—wanita yang matanya selalu teduh dan suaranya begitu sabar—Alina kehilangan keberanian.
Dalam sekejap, ruang makan itu berubah seperti arena uji nyali. Gallen hanya menatapnya tapi ia merasa seolah pria itu akan mengulitinya tanpa ampun.Alina spontan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia meremas ujung bajunya di pangkuan. Semuanya terasa sudah ia perhitungkan, sebisa mungkin alasan disusun rapi, logis, dan tak seharusnya menimbulkan kecurigaan, tapi tetap saja Gallen ragu terhadapnya.Gallen, oh Gallen ...Kenapa pria ini semacam teka-teki yang tak bisa Alina pecahkan?Tak ingin Gallen membaca ketakutannya, Alina merilekskan wajahnya. Ia menarik napas pelan, lalu berdehem ringan, mengusir gugup yang menyelinap dan membangun kembali kepercayaan dirinya.Sedikit saja salah langkah, kecurigaan Gallen bisa memun
Tanpa membuang waktu, Alina segera turun ke lantai satu. Ia mulai menata makan malam di meja dengan rapi. Segelas air putih, sepiring nasi hangat, dan lauk kini tersusun rapi di tempat biasa Gallen duduk.Alina menatap hasil kerjanya itu, lalu tersenyum kecil.Entah Gallen peduli atau tidak, setidaknya kali ini ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pembuat onar. Suara lift yang terbuka memutus lamunannya. Langkah berat dan tegas terdengar semakin dekat. Alina buru-buru kembali ke tempat duduknya, berusaha bersikap tenang.Tak lama, Gallen muncul di hadapannya. Tubuh tegap pria itu dibalut piyama hitam. Rambutnya masih setengah basah, dan Alina bisa mencium samar aroma sabun mandi dari tubuhnya.Seperti yang ia duga, pandangan Gallen langsung tertuju pada meja makan.Alina menelan ludah, lalu berkata pelan, “Tenang saja. Ini semua masakan Bibi. Aku cuma menyajikan.”Gallen tak mengucap sepatah kata pun. Hanya menarik kursi perlahan, duduk, lalu mulai makan dengan tenang
Alina ingin mengelak, ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahnya terasa kelu. Detik berikutnya, ia baru menyadari para pelayan berhamburan ke dapur, termasuk Andreas yang tergesa dari halaman depan.“Tuan, Nyonya, apakah baik-baik saja?” tanya Andreas, matanya menatap ke lantai yang kini dipenuhi pecahan beling dan tepung.Gallen menoleh singkat ke arah Andreas. "Tak apa," gumamnya.Sementara Alina masih terpaku, berdiri kaku di dekat meja dapur. Namun, Gallen sudah lebih dulu melangkah. Dengan tatapan tajam dan dingin, ia menggenggam lengan Alina dan menariknya menjauh dari pecahan.Tatapan pria itu kini menyapu seluruh ruangan. Memindai wajah para pelayan yang kini berbaris di hadapannya.“Apa kalian tidak punya mata sampai tidak melihat nyonya hampir jatuh?!” Tidak perlu volume keras, suara rendah Gallen sudah cukup membuat satu ruangan tak sanggup mengangkat wajah.Keheningan menyelimuti dapur. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Alina pun menahan napas, merasa bersalah karena t
Sementara di sisi lain, Alina bisa merasakan tatapan Gallen yang terus mengarah padanya. Ia tahu pria itu masih memperhatikannya, bahkan ketika dirinya pura-pura fokus pada benda-benda di hadapannya.Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha tetap tenang, tapi pikirannya kacau. Sepasang mata itu menyipit. Alina menangkapnya dari sudut matanya. Bukan marah, bukan juga peduli... tapi seakan sedang menimbang sesuatu.Sikapnya terlalu tenang.Dan itu justru membuat Alina semakin panik.Apa dia curiga?Apa wajahnya terlalu jelas menunjukkan sesuatu?“Alina?”Nada suara Gallen membuat tengkuknya menegang. Seakan tersadar dari lamunannya, Alina buru-buru mengangkat kepala.“Jangan ke dokter kandungan!” serunya refleks dan itu membuat pria di hadapannya kembali mengernyit.Menyadari kekeliruannya, Alina cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku... aku baru beberapa hari lalu ke dokter kandungan. Rasanya belum perlu periksa lagi, kan?”“Kamu bilang kandunganmu lemah. Kita perlu tahu ko
Kalimat terakhir Gallen sore tadi masih terngiang di kepala Alina. Hingga malam menjelang, perempuan itu masih menatap lembar perjanjian yang telah ia tandatangani. Frustasi, bingung memikirkan cara untuk mengakhiri kebohongan tentang kehamilan palsu ini.Segalanya sudah terlanjur runyam.Di satu sisi, Gallen tak akan segan melakukan apapun padanya jika tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia sendiri telah lebih dulu memilih jalan yang keliru.Empat bulan.Hanya itu waktu yang tersisa sebelum Gallen mulai bertanya—kenapa perutnya belum juga membesar?Tepat saat Alina menghembuskan napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.Ia cepat menyimpan dokumen dan membuka pintu.Seorang wanita dengan seragam rapi dan rambut yang ditata sederhana berdiri dengan senyum ramah.Alina mengenalnya.Itu adalah Belinda, kepala pengurus rumah tangga kediaman Sankara yang diminta Gallen membantu di rumah ini.“Selamat malam, Nyonya,” ujar wanita berusia sekitar empat puluhan itu. “Makan mala