Alina ingin mengelak, ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahnya terasa kelu. Detik berikutnya, ia baru menyadari para pelayan berhamburan ke dapur, termasuk Andreas yang tergesa dari halaman depan.
“Tuan, Nyonya, apakah baik-baik saja?” tanya Andreas, matanya menatap ke lantai yang kini dipenuhi pecahan beling dan tepung.
Gallen menoleh singkat ke arah Andreas. "Tak apa," gumamnya.
Sementara Alina masih terpaku, berdiri kaku di dekat meja dapur. Namun, Gallen sudah lebih dulu melangkah. Dengan tatapan tajam dan dingin, ia menggenggam lengan Alina dan menariknya menjauh dari pecahan.
Tatapan pria itu kini menyapu seluruh ruangan. Memindai wajah para pelayan yang kini berbaris di hadapannya.
“Apa kalian tidak punya mata sampai tidak melihat nyonya hampir jatuh?!” Tidak perlu volume keras, suara rendah Gallen sudah cukup membuat satu ruangan tak sanggup mengangkat wajah.
Keheningan menyelimuti dapur. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Alina pun menahan napas, merasa bersalah karena telah menciptakan kekacauan ini.
Alina mengikuti pandangan Gallen yang kini menatap tajam pada Kepala Pengurus Rumah.
"Bisa kamu jelaskan ini semua, Belinda?"
Dari barisan belakang, Belinda melangkah pelan ke depan. Wajahnya tetap tenang, tapi Alina bisa menangkap kegelisahan di matanya.
“Tuan, tadi saya sudah melarang Nyonya melakukan pekerjaan rumah, tapi Nyonya bersikeras ingin memasak untuk Tuan jadi—”
“Apa perintah saya kurang jelas?” potong Gallen datar.
Belinda menunduk. “Maaf, Tuan. Saya hanya menghormati permintaan Nyonya.”
Alina ingin membela, ingin bicara, tapi semuanya terlalu cepat. Gallen sudah lebih dulu menjatuhkan hukuman pada Belinda. “Bersihkan itu dan kembali ke kediaman. Kamu tidak boleh bekerja satu minggu!”
Alina merasa tenggorokannya mengering. Semuanya salahnya. Belinda tidak seharusnya menerima hukuman itu.
Namun, sebelum sempat berkata lebih, Gallen kembali menarik lengan Alina menjauh menuju ke arah Lift. Di saat yang bersamaan, Gallen juga memanggil Andreas dan pria itu pun mengikuti mereka.
“Gallen, tunggu!” seru Alina tapi tidak ada respons.
“Tolong jangan hukum Bibi Belinda. Ini salahku, aku yang memaksa. Dia hanya menuruti permintaanku…” Alina masih menunggu jawaban. Namun, tak ada satu kata pun keluar dari mulut pria itu.
Hanya kesunyian dan langkah kaku menyertainya sampai pintu lift terbuka. Gallen membawanya ke sofa dan melepaskan genggamannya, tapi tatapannya belum beranjak dari wajah Saira.
Beberapa detik berlalu dalam hening sebelum akhirnya suara Gallen terdengar. “Sudah tahu salahmu?”
Alina menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menunduk, tubuhnya masih gemetar karena kejadian barusan. Gallen berdiri tegak di hadapannya, tangan terlipat di dada, ekspresinya sulit diterka tapi jelas mengandung amarah yang tertahan.
"Aku cuma ingin mengambil tepung," jawab Alina kemudian.
Gallen terdengar menghela napas kasar. "Ada begitu banyak pelayan di rumah ini, kamu bisa minta bantuan mereka!"
“A–aku lihat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing… aku hanya tidak ingin merepotkan siapapun,” lanjut Alina lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat rahang Gallen mengeras.
"Kalau saya tidak datang tepat waktu, apa kamu masih bisa bicara seperti itu?" Nada Gallen terdengar tenang, tapi justru itu yang membuat Alina merasa semakin bersalah.
Sekilas Alina melihat wajah Gallen yang menyorotnya penuh penghakiman. Perlahan, ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Andai saja ia benar-benar mengandung, tanpa diminta pun, ia takkan pernah melakukan kebodohan sebesar itu.
“Mungkin kamu tidak menginginkan anak itu. Tapi saya cuma minta kamu lahirkan dia dengan selamat. Setelahnya, saya tidak akan menuntut apapun darimu,” ucap Gallen dengan tegas.
Alina mendongak ke arah Gallen yang kini berdiri di hadapannya. Wajah pria itu tak berubah, tetapi nada dalam ucapannya kali ini terasa sedikit mengandung ketulusan.
“Kamu mengerti atau tidak?” Suara Gallen menariknya kembali dari lamunan.
Alina mengangguk pelan, terpaksa kali ini ia menahan diri. Cara ini tidak berhasil, mungkin cara lain akan berhasil.
Tanpa menunggu jawaban lebih, Gallen melanjutkan dengan nada dingin yang menusuk, “Mulai hari ini. Kamu tidak boleh turun dari lantai dua sampai saya izinkan.”
Manik mata hitam milik Alina melebar sempurna. Ia nyaris bangkit dari posisi duduknya. “Apa...? Ini terlalu berlebihan, kan?”
Gallen tetap diam, tatapannya tak berkurang sedikitpun. “Andreas akan berjaga di sini. Kalau butuh apa-apa, minta padanya.”
Usai berkata demikian, Gallen segera beranjak pergi, meninggalkan Alina yang kini hanya bisa menatap punggungnya dengan tatapan pasrah.
***
Seharian penuh Alina terkurung di lantai dua.
Hidupnya tak berbeda dengan ayahnya yang sakit stroke. Hanya berdiam diri di kamar dan semua keperluannya dilayani.
Jangankan untuk kabur, hanya berjalan ke ruang tengah saja sepasang mata Andreas selalu mengawasinya dan melaporkannya kepada Gallen.
“Nyonya sudah makan siang dan sekarang sedang menonton televisi, Tuan.”
Setidaknya begitulah suara Andreas yang terdengar siang tadi. Meski samar tapi telinga Alina cukup peka.
Satu-satu hiburan yang bisa dia dapatkan hanya menonton televisi.
Hingga sore menjelang, entah sudah berapa episode yang diputar hanya untuk menghabiskan waktu. Namun, terlalu lama di depan layar pun ia jenuh.
“Ternyata menjadi Nyonya Sankara sungguh membosankan!” gumamnya seraya memeluk sebuah bantal.
Alina membuang napas panjang. Pandangannya menatap layar ukuran 100 inci itu, tetapi pikirannya berkelana mencari cara bagaimana mengusir kebosanan ini. Juga cara untuk melanjutkan aksi selanjutnya.
Hingga tiba-tiba, layar televisi menampilkan iklan produk kehamilan. Seorang wanita hamil muda tersenyum bahagia di layar.
Pikiran Alina langsung berputar cepat.
Sebelum ia merancang keguguran, mungkin lebih baik memahami terlebih dulu bagaimana kondisi seorang ibu hamil.
Informasi itu bisa membantunya menciptakan kebohongan yang lebih meyakinkan.
Ia segera meraih ponsel, membuka peramban, dan mulai mencari berbagai artikel tentang kehamilan. Dari makanan, perubahan fisik, sampai gejala umum trimester pertama.
Semakin banyak artikel ia baca, semakin terang pula rona semangat di wajahnya.
Senyum tipis bahkan terbit di sudut bibirnya.
Seolah menemukan peluang baru.
“Kalau aku bisa buat Gallen percaya kalau aku benar-benar jaga kandungan ini, pasti pengawasan Andreas pelan-pelan akan longgar,” pikirnya dalam hati.
Matanya menyipit, bayangan rencana yang sudah lama disusun mulai terasa semakin nyata.
Dengan begitu ia bisa bebas mencari cara untuk pura-pura keguguran.
“Seribu jalan menuju Roma! Kalau jalan ini buntu, yang lain belum tentu,” gumamnya penuh keyakinan.
Baru saja ia menyusun skenario baru di benaknya, suara Andreas terdengar usai denting lift terbuka.
“Tuan, selamat malam.”
Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Gallen muncul di saat yang paling tepat—saat Alina baru saja menemukan secercah harapan dari kebuntuan panjangnya.
Langkah kaki berat itu mendekat, dan ketika Gallen melewati ruang tengah Alina langsung bangkit dari duduknya.
“Gallen!” panggilnya cepat.
Gallen pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Alina. Seperti biasa, pria itu tak menjual ekspresi apapun selain sepasang mata gelap yang menatap tajam dengan kerutan samar di dahinya.
“Aku... bisa bicara sebentar denganmu?” tanyanya hati-hati.
Gallen tidak langsung menjawab. Hanya diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Sampaikan saja pada Andreas.”
Alina terkesiap. “Eh, tidak bisa! Kita harus bicara langsung. Ini soal anak dalam perutku. Mana mungkin aku diskusi dengan Andreas?”
Gallen menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang bergerak di balik matanya. Alina hanya menebak-nebak apa yang akan terjadi.
Mungkinkah pria itu akan menolak?
Namun, yang Alina lihat justru Gallen tang menghela napas pelan sebelum berkata datar, “Saya mandi dulu. Tunggu saya di meja makan.”
Lalu pria itu melangkah pergi.
Alina menatap punggung Gallen yang menjauh, ia sempat diliputi ragu. Tapi senyum tipis perlahan merekah di bibirnya.
Suhu di ruangan itu mendadak meningkat, atau mungkin hanya tubuhnya yang bereaksi panik. Alina menunduk, menatap bayangan wajahnya yang memantul di permukaan susu.“A-aku… tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Oma,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar seperti bisikan, nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri. “Aku takut.”Amarantha hanya mengangguk pelan, seolah kalimat itu sudah cukup menjelaskan segalanya. “Sekarang Oma tahu kenapa Gallen begitu memaksa ingin menikahimu, bahkan setelah kakaknya baru saja berpulang.”Alina refleks mengangguk, meski pikirannya terasa kosong. Jika Gallen yang ada di hadapannya, mungkin ia masih bisa bersikap defensif. Tapi di hadapan Amarantha—wanita yang matanya selalu teduh dan suaranya begitu sabar—Alina kehilangan keberanian.
Dalam sekejap, ruang makan itu berubah seperti arena uji nyali. Gallen hanya menatapnya tapi ia merasa seolah pria itu akan mengulitinya tanpa ampun.Alina spontan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia meremas ujung bajunya di pangkuan. Semuanya terasa sudah ia perhitungkan, sebisa mungkin alasan disusun rapi, logis, dan tak seharusnya menimbulkan kecurigaan, tapi tetap saja Gallen ragu terhadapnya.Gallen, oh Gallen ...Kenapa pria ini semacam teka-teki yang tak bisa Alina pecahkan?Tak ingin Gallen membaca ketakutannya, Alina merilekskan wajahnya. Ia menarik napas pelan, lalu berdehem ringan, mengusir gugup yang menyelinap dan membangun kembali kepercayaan dirinya.Sedikit saja salah langkah, kecurigaan Gallen bisa memun
Tanpa membuang waktu, Alina segera turun ke lantai satu. Ia mulai menata makan malam di meja dengan rapi. Segelas air putih, sepiring nasi hangat, dan lauk kini tersusun rapi di tempat biasa Gallen duduk.Alina menatap hasil kerjanya itu, lalu tersenyum kecil.Entah Gallen peduli atau tidak, setidaknya kali ini ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pembuat onar. Suara lift yang terbuka memutus lamunannya. Langkah berat dan tegas terdengar semakin dekat. Alina buru-buru kembali ke tempat duduknya, berusaha bersikap tenang.Tak lama, Gallen muncul di hadapannya. Tubuh tegap pria itu dibalut piyama hitam. Rambutnya masih setengah basah, dan Alina bisa mencium samar aroma sabun mandi dari tubuhnya.Seperti yang ia duga, pandangan Gallen langsung tertuju pada meja makan.Alina menelan ludah, lalu berkata pelan, “Tenang saja. Ini semua masakan Bibi. Aku cuma menyajikan.”Gallen tak mengucap sepatah kata pun. Hanya menarik kursi perlahan, duduk, lalu mulai makan dengan tenang
Alina ingin mengelak, ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahnya terasa kelu. Detik berikutnya, ia baru menyadari para pelayan berhamburan ke dapur, termasuk Andreas yang tergesa dari halaman depan.“Tuan, Nyonya, apakah baik-baik saja?” tanya Andreas, matanya menatap ke lantai yang kini dipenuhi pecahan beling dan tepung.Gallen menoleh singkat ke arah Andreas. "Tak apa," gumamnya.Sementara Alina masih terpaku, berdiri kaku di dekat meja dapur. Namun, Gallen sudah lebih dulu melangkah. Dengan tatapan tajam dan dingin, ia menggenggam lengan Alina dan menariknya menjauh dari pecahan.Tatapan pria itu kini menyapu seluruh ruangan. Memindai wajah para pelayan yang kini berbaris di hadapannya.“Apa kalian tidak punya mata sampai tidak melihat nyonya hampir jatuh?!” Tidak perlu volume keras, suara rendah Gallen sudah cukup membuat satu ruangan tak sanggup mengangkat wajah.Keheningan menyelimuti dapur. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Alina pun menahan napas, merasa bersalah karena t
Sementara di sisi lain, Alina bisa merasakan tatapan Gallen yang terus mengarah padanya. Ia tahu pria itu masih memperhatikannya, bahkan ketika dirinya pura-pura fokus pada benda-benda di hadapannya.Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha tetap tenang, tapi pikirannya kacau. Sepasang mata itu menyipit. Alina menangkapnya dari sudut matanya. Bukan marah, bukan juga peduli... tapi seakan sedang menimbang sesuatu.Sikapnya terlalu tenang.Dan itu justru membuat Alina semakin panik.Apa dia curiga?Apa wajahnya terlalu jelas menunjukkan sesuatu?“Alina?”Nada suara Gallen membuat tengkuknya menegang. Seakan tersadar dari lamunannya, Alina buru-buru mengangkat kepala.“Jangan ke dokter kandungan!” serunya refleks dan itu membuat pria di hadapannya kembali mengernyit.Menyadari kekeliruannya, Alina cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku... aku baru beberapa hari lalu ke dokter kandungan. Rasanya belum perlu periksa lagi, kan?”“Kamu bilang kandunganmu lemah. Kita perlu tahu ko
Kalimat terakhir Gallen sore tadi masih terngiang di kepala Alina. Hingga malam menjelang, perempuan itu masih menatap lembar perjanjian yang telah ia tandatangani. Frustasi, bingung memikirkan cara untuk mengakhiri kebohongan tentang kehamilan palsu ini.Segalanya sudah terlanjur runyam.Di satu sisi, Gallen tak akan segan melakukan apapun padanya jika tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia sendiri telah lebih dulu memilih jalan yang keliru.Empat bulan.Hanya itu waktu yang tersisa sebelum Gallen mulai bertanya—kenapa perutnya belum juga membesar?Tepat saat Alina menghembuskan napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.Ia cepat menyimpan dokumen dan membuka pintu.Seorang wanita dengan seragam rapi dan rambut yang ditata sederhana berdiri dengan senyum ramah.Alina mengenalnya.Itu adalah Belinda, kepala pengurus rumah tangga kediaman Sankara yang diminta Gallen membantu di rumah ini.“Selamat malam, Nyonya,” ujar wanita berusia sekitar empat puluhan itu. “Makan mala