Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-06-10 09:43:50

Alina ingin mengelak, ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahnya terasa kelu. Detik berikutnya, ia baru menyadari para pelayan berhamburan ke dapur, termasuk Andreas yang tergesa dari halaman depan.

“Tuan, Nyonya, apakah baik-baik saja?” tanya Andreas, matanya menatap ke lantai yang kini dipenuhi pecahan beling dan tepung.

Gallen menoleh singkat ke arah Andreas. "Tak apa," gumamnya.

Sementara Alina masih terpaku, berdiri kaku di dekat meja dapur. Namun, Gallen sudah lebih dulu melangkah. Dengan tatapan tajam dan dingin, ia menggenggam lengan Alina dan menariknya menjauh dari pecahan.

Tatapan pria itu kini menyapu seluruh ruangan. Memindai wajah para pelayan yang kini berbaris di hadapannya.

“Apa kalian tidak punya mata sampai tidak melihat nyonya hampir jatuh?!” Tidak perlu volume keras, suara rendah Gallen sudah cukup membuat satu ruangan tak sanggup mengangkat wajah.

Keheningan menyelimuti dapur. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Alina pun menahan napas, merasa bersalah karena telah menciptakan kekacauan ini.

Alina mengikuti pandangan Gallen yang kini menatap tajam pada Kepala Pengurus Rumah.

"Bisa kamu jelaskan ini semua, Belinda?"

Dari barisan belakang, Belinda melangkah pelan ke depan. Wajahnya tetap tenang, tapi Alina bisa menangkap kegelisahan di matanya.

“Tuan, tadi saya sudah melarang Nyonya melakukan pekerjaan rumah, tapi Nyonya bersikeras ingin memasak untuk Tuan jadi—”

“Apa perintah saya kurang jelas?” potong Gallen datar.

Belinda menunduk. “Maaf, Tuan. Saya hanya menghormati permintaan Nyonya.”

Alina ingin membela, ingin bicara, tapi semuanya terlalu cepat. Gallen sudah lebih dulu menjatuhkan hukuman pada Belinda. “Bersihkan itu dan kembali ke kediaman. Kamu tidak boleh bekerja satu minggu!”

Alina merasa tenggorokannya mengering. Semuanya salahnya. Belinda tidak seharusnya menerima hukuman itu.

Namun, sebelum sempat berkata lebih, Gallen kembali menarik lengan Alina menjauh menuju ke arah Lift. Di saat yang bersamaan, Gallen juga memanggil Andreas dan pria itu pun mengikuti mereka.

“Gallen, tunggu!” seru Alina tapi tidak ada respons.

“Tolong jangan hukum Bibi Belinda. Ini salahku, aku yang memaksa. Dia hanya menuruti permintaanku…” Alina masih menunggu jawaban. Namun, tak ada satu kata pun keluar dari mulut pria itu.

Hanya kesunyian dan langkah kaku menyertainya sampai pintu lift terbuka. Gallen membawanya ke sofa dan melepaskan genggamannya, tapi tatapannya belum beranjak dari wajah Saira.

Beberapa detik berlalu dalam hening sebelum akhirnya suara Gallen terdengar. “Sudah tahu salahmu?”

Alina menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menunduk, tubuhnya masih gemetar karena kejadian barusan. Gallen berdiri tegak di hadapannya, tangan terlipat di dada, ekspresinya sulit diterka tapi jelas mengandung amarah yang tertahan.

"Aku cuma ingin mengambil tepung," jawab Alina kemudian.

Gallen terdengar menghela napas kasar. "Ada begitu banyak pelayan di rumah ini, kamu bisa minta bantuan mereka!"

“A–aku lihat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing… aku hanya tidak ingin merepotkan siapapun,” lanjut Alina lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat rahang Gallen mengeras.

"Kalau saya tidak datang tepat waktu, apa kamu masih bisa bicara seperti itu?" Nada Gallen terdengar tenang, tapi justru itu yang membuat Alina merasa semakin bersalah.

Sekilas Alina melihat wajah Gallen yang menyorotnya penuh penghakiman. Perlahan, ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Andai saja ia benar-benar mengandung, tanpa diminta pun, ia takkan pernah melakukan kebodohan sebesar itu.

“Mungkin kamu tidak menginginkan anak itu. Tapi saya cuma minta kamu lahirkan dia dengan selamat. Setelahnya, saya tidak akan menuntut apapun darimu,” ucap Gallen dengan tegas. 

Alina mendongak ke arah Gallen yang kini berdiri di hadapannya. Wajah pria itu tak berubah, tetapi nada dalam ucapannya kali ini terasa sedikit mengandung ketulusan. 

“Kamu mengerti atau tidak?” Suara Gallen menariknya kembali dari lamunan.

Alina mengangguk pelan, terpaksa kali ini ia menahan diri. Cara ini tidak berhasil, mungkin cara lain akan berhasil. 

Tanpa menunggu jawaban lebih, Gallen melanjutkan dengan nada dingin yang menusuk, “Mulai hari ini. Kamu tidak boleh turun dari lantai dua sampai saya izinkan.”

Manik mata hitam milik Alina melebar sempurna. Ia nyaris bangkit dari posisi duduknya. “Apa...? Ini terlalu berlebihan, kan?”

Gallen tetap diam, tatapannya tak berkurang sedikitpun. “Andreas akan berjaga di sini. Kalau butuh apa-apa, minta padanya.”

Usai berkata demikian, Gallen segera beranjak pergi, meninggalkan Alina yang kini hanya bisa menatap punggungnya dengan tatapan pasrah.

***

Seharian penuh Alina terkurung di lantai dua. 

Hidupnya tak berbeda dengan ayahnya yang sakit stroke. Hanya berdiam diri di kamar dan semua keperluannya dilayani.

Jangankan untuk kabur, hanya berjalan ke ruang tengah saja sepasang mata Andreas selalu mengawasinya dan melaporkannya kepada Gallen.

“Nyonya sudah makan siang dan sekarang sedang menonton televisi, Tuan.” 

Setidaknya begitulah suara Andreas yang terdengar siang tadi. Meski samar tapi telinga Alina cukup peka. 

Satu-satu hiburan yang bisa dia dapatkan hanya menonton televisi. 

Hingga sore menjelang, entah sudah berapa episode yang diputar hanya untuk menghabiskan waktu. Namun, terlalu lama di depan layar pun ia jenuh. 

“Ternyata menjadi Nyonya Sankara sungguh membosankan!” gumamnya seraya memeluk sebuah bantal.

Alina membuang napas panjang. Pandangannya menatap layar ukuran 100 inci itu, tetapi pikirannya berkelana mencari cara bagaimana mengusir kebosanan ini. Juga cara untuk melanjutkan aksi selanjutnya. 

Hingga tiba-tiba, layar televisi menampilkan iklan produk kehamilan. Seorang wanita hamil muda tersenyum bahagia di layar.

Pikiran Alina langsung berputar cepat.

Sebelum ia merancang keguguran, mungkin lebih baik memahami terlebih dulu bagaimana kondisi seorang ibu hamil.

Informasi itu bisa membantunya menciptakan kebohongan yang lebih meyakinkan.

Ia segera meraih ponsel, membuka peramban, dan mulai mencari berbagai artikel tentang kehamilan. Dari makanan, perubahan fisik, sampai gejala umum trimester pertama.

Semakin banyak artikel ia baca, semakin terang pula rona semangat di wajahnya.

Senyum tipis bahkan terbit di sudut bibirnya.

Seolah menemukan peluang baru.

“Kalau aku bisa buat Gallen percaya kalau aku benar-benar jaga kandungan ini, pasti pengawasan Andreas pelan-pelan akan longgar,” pikirnya dalam hati. 

Matanya menyipit, bayangan rencana yang sudah lama disusun mulai terasa semakin nyata.

Dengan begitu ia bisa bebas mencari cara untuk pura-pura keguguran.

“Seribu jalan menuju Roma! Kalau jalan ini buntu, yang lain belum tentu,” gumamnya penuh keyakinan.

Baru saja ia menyusun skenario baru di benaknya, suara Andreas terdengar usai denting lift terbuka.

“Tuan, selamat malam.”

Bagai pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Gallen muncul di saat yang paling tepat—saat Alina baru saja menemukan secercah harapan dari kebuntuan panjangnya.

Langkah kaki berat itu mendekat, dan ketika Gallen melewati ruang tengah Alina langsung bangkit dari duduknya. 

“Gallen!” panggilnya cepat.

Gallen pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Alina. Seperti biasa, pria itu tak menjual ekspresi apapun selain sepasang mata gelap yang menatap tajam dengan kerutan samar di dahinya. 

“Aku... bisa bicara sebentar denganmu?” tanyanya hati-hati.

Gallen tidak langsung menjawab. Hanya diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Sampaikan saja pada Andreas.”

Alina terkesiap. “Eh, tidak bisa! Kita harus bicara langsung. Ini soal anak dalam perutku. Mana mungkin aku diskusi dengan Andreas?”

Gallen menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang bergerak di balik matanya. Alina hanya menebak-nebak apa yang akan terjadi. 

Mungkinkah pria itu akan menolak? 

Namun, yang Alina lihat justru Gallen tang menghela napas pelan sebelum berkata datar, “Saya mandi dulu. Tunggu saya di meja makan.”

Lalu pria itu melangkah pergi.

Alina menatap punggung Gallen yang menjauh, ia sempat diliputi ragu. Tapi senyum tipis perlahan merekah di bibirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 93

    Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 92

    Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 91

    Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 90

    Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 89

    Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 88

    Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status