Suhu di ruangan itu mendadak meningkat, atau mungkin hanya tubuhnya yang bereaksi panik. Alina menunduk, menatap bayangan wajahnya yang memantul di permukaan susu.
“A-aku… tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Oma,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar seperti bisikan, nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri. “Aku takut.”
Amarantha hanya mengangguk pelan, seolah kalimat itu sudah cukup menjelaskan segalanya. “Sekarang Oma tahu kenapa Gallen begitu memaksa ingin menikahimu, bahkan setelah kakaknya baru saja berpulang.”
Alina refleks mengangguk, meski pikirannya terasa kosong. Jika Gallen yang ada di hadapannya, mungkin ia masih bisa bersikap defensif. Tapi di hadapan Amarantha—wanita yang matanya selalu teduh dan suaranya begitu sabar—Alina kehilangan keberanian.
Ia tak tega menyakitinya. Tapi bukankah dia sudah melakukannya? Dengan kebohongan ini?
Tiba-tiba, sentuhan hangat mendarat di pundaknya. Amarantha mengusapnya perlahan.
“Gallen sudah menjelaskan semuanya padaku,” katanya. “Katanya... kalian tidak sengaja. Tentu ini bukan salahmu seorang. Cucuku juga bersalah. Oma harap kamu bisa memaafkan Gallen.”
Jantung Alina mencelos. Ia menatap Amarantha dengan kening berkerut, mencoba mengurai makna di balik kalimat itu.
“Aku tidak mengerti, Oma. Maafkan Gallen... untuk apa?”
Amarantha menghela napas panjang, seakan mencoba menahan kecewa. “Dasar anak muda… kalau sudah dibutakan cinta, hamil pun tak lagi dianggap masalah. Bukankah dia melakukannya saat mabuk? Dia sudah menghamilimu, sayang… dan merusak masa depanmu.”
Untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar. Suara Amarantha menggantung di udara, lebih lama dari yang seharusnya.
Jantung Alina kembali mencelos, kali ini lebih keras hingga membuatnya sulit bernapas.
Ia menatap wajah Amarantha yang penuh kasih itu, tapi hatinya justru makin kacau.
Skenario apa yang sedang Gallen bangun? Pria itu dingin, kaku, bahkan tajam saat berbicara dengannya… lalu mengapa sekarang dia malah bersedia menanggung semuanya?
Andai saja Amarantha tahu, semuanya jauh lebih rumit dari cerita sederhana yang Gallen karang.
Alina bahkan tak tahu mana yang lebih mengejutkan, keputusannya menyembunyikan kebenaran, atau keberanian Gallen menanggung semuanya sendirian.
Ia mengaku bersalah. Ia bahkan mengaku sebagai ayah dari anak yang bukan miliknya.
Tapi kenapa?
“Dia... bilang begitu pada Oma?” tanya Alina nyaris tak terdengar.
Amarantha mengangguk sambil menggenggam tangannya dengan lembut. “Kamu mungkin belum mengenal dia sepenuhnya. Aku harap kamu bisa bersabar dengan sifat cucuku yang kaku itu.”
Alina tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti permintaan maaf daripada ungkapan terima kasih.
“Sekarang yang terpenting, kamu jaga kehamilanmu, ya?”
Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri yang sesaat tadi begitu kacau. Namun, tetap bersikap baik-baik saja meski, hatinya tak kunjung menemukan titik tenang.
“Iya, Oma,” bisiknya lirih. “Aku… aku akan berusaha menjaga ini sebaik mungkin.”
“Itulah yang oma harapkan.” Amarantha tersenyum, satu tangannya beranjak mengusap perut Alina. “Bagaimanapun anak ini punya hak untuk hidup.”
Alina menatap langit-langit ruangan dari tempat duduknya. Ia tersenyum pasrah sebelum meneguk susu yang dibuatkan Belinda.
Bagaimana bisa menjaganya tetap hidup kalau janinnya saja tidak ada?
***
Setelah Amarantha kembali ke kediaman, Alina baru bisa bernapas lega.
Wanita tua itu sama seperti Gallen. Tidak mengijinkannya melakukan banyak hal. Hanya mengambil minum di dapur pun dilarang. Ia diperlakukan seperti ratu.
Untung saja, hanya beberapa jam beliau berkunjung.
Meski begitu, kegelisahan masih bersarang di benak Alina. Bukannya tenang, pikirannya justru semakin dipenuhi kekhawatiran. Layar televisi di depannya menyala, tapi tak satu pun tayangan benar-benar ditangkap matanya.
Sejak kemarin, rasanya hari terus berjalan cepat dan Alina belum menemukan solusi yang tepat untuk mengakhiri sandiwaranya. Sekarang ia makin terjerat kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Di satu sisi ia ingin semua ini selesai. Tetapi di sisi lain banyak pihak yang menantikan anak dari rahimnya. Meski hanya pura-pura ia pun tak sanggup mengakhirinya sekarang.
Namun, apa yang harus ia lakukan? Cepat atau lambat Gallen akan membawanya ke dokter kandungan.
Jika sampai pada hari itu tiba Alina tidak bisa mendapatkan alasan yang tepat … tak perlu ditanya lagi apa yang akan terjadi padanya.
Alina mengambil ponselnya lagi, berusaha mencari beberapa referensi tapi semua artikel itu sebagian besar sudah ia baca.
Pandangannya lalu menyapu ruangan. Di pojok ruangan, Andreas tampak tenang, tenggelam dalam sebuah buku.
Buku?
Mungkin buku bisa membantunya, pikir Alina cepat.
Tanpa menunggu lebih lama, ia berseru, “Andreas!”
Lelaki itu segera menoleh dan, beberapa saat kemudian, berjalan mendekat dengan langkah tenang.
“Ya, Nyonya? Anda perlu sesuatu?” Andreas bertanya usai tiba di hadapannya.
Senyum kecil merekah di wajah Alina. “Aku bosan menonton. Bisa tolong carikan beberapa buku tentang kehamilan?”
Andreas tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Saya bisa tugaskan seseorang untuk mencarinya di toko buku, Nyonya. Tapi jika Nyonya berkenan, saya juga dapat meminjamkan tablet kerja milik Tuan Gallen untuk membeli versi digitalnya.”
Tanpa banyak pikir, Alina mengangguk cepat. “Antarkan ke kamar,” pintanya sebelum berbalik dan melangkah menuju kamarnya.
Andreas bergerak sigap, mengambil tablet kerja milik Gallen, lalu menyusul Alina.
“Silakan, Nyonya. Sudah saya aktifkan,” ucapnya singkat sambil menyerahkan perangkat itu dengan hormat.Begitu Alina menerimanya, Andreas pun pamit tanpa suara dan meninggalkan ruangan dengan langkah ringan.
Alina duduk di tepi ranjang, membuka aplikasi buku digital, lalu mulai membaca. Matanya menelusuri setiap paragraf dengan saksama, sesekali mencatat poin penting di buku kecilnya.
“Kalau saja aku bisa tunggu sampai datang bulan…” gumamnya lirih, diiringi helaan napas berat. Tapi ia tahu itu hanya harapan kosong. Siklus haidnya masih jauh.
Dan sementara itu, waktu terus berjalan. Gallen sudah merencanakan kunjungan ke dokter minggu depan.
Kalau dokter tahu tidak ada tanda kehamilan, semua akan terbongkar. Maka saat itu, hidupnya akan benar-benar selesai.
Ia meraup wajahnya, frustrasi.
Kini, ruang geraknya sangat terbatas.
Jika pun nekat menggunakan obat-obatan, tak ada yang bisa menjamin itu aman. Kemungkinan besar hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Terlalu banyak risiko medis yang tak bisa ia kendalikan.
Alina lalu membuka buku lain. Tangannya berhenti menggulir saat ia menemukan sebuah bab yang sedang membahas masa subur dan ovulasi di mana itu adalah waktu paling memungkinkan untuk terjadi kehamilan.
Alina membaca cepat, lalu menghitung dalam hati.
“Sekarang, seharusnya aku sedang masa subur ....”
Ia menelan ludahnya sendiri. Semua opsi sudah ia telusuri, dan tak satu pun yang menjanjikan jalan aman.
Alina menatap layar gawai yang mulai redup, napasnya tersendat saat sebuah gagasan tiba-tiba menerobos benaknya.
“Apa aku harus hamil anak Gallen?” bisiknya, nyaris tak percaya pada pikirannya sendiri.
“Tapi… bagaimana caranya?”
Alina menggigit bibirnya sendiri, mengingat jarak yang terbentang di antara dirinya dengan Gallen juga keadaan mereka yang tidur terpisah.
Lalu, bagaikan kabut yang perlahan menghilang, pikirannya mulai jernih, keraguan itu berubah menjadi tekad.
Jika kebohongan ini tak bisa lagi dipertahankan, maka satu-satunya cara untuk menyelamatkannya… adalah dengan menjadikannya kenyataan.“Aku harus membuatnya terjadi. Apa pun caranya!”
Alina segera meraih ponselnya dari atas meja, jari-jarinya lincah menari di layar mencari cara yang bisa membantunya menjalankan rencana.Bagaimana bisa membuat Gallen tertarik padanya?Sementara setiap kali menatap Alina, yang tampak di matanya hanyalah sorot dingin dan ekspresi datar.Hingga matanya menangkap sebuah artikel tentang obat penambah gairah.Aina lantas membaca ulasan, mencari toko online terdekat, lalu memilih yang paling terpercaya dengan pengiriman tercepat.Tanpa terasa, waktu pun berlalu, jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore.Ia baru saja selesai mengeringkan gelas terakhir di dapur saa
Suhu di ruangan itu mendadak meningkat, atau mungkin hanya tubuhnya yang bereaksi panik. Alina menunduk, menatap bayangan wajahnya yang memantul di permukaan susu.“A-aku… tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Oma,” ucapnya pelan. Suaranya terdengar seperti bisikan, nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri. “Aku takut.”Amarantha hanya mengangguk pelan, seolah kalimat itu sudah cukup menjelaskan segalanya. “Sekarang Oma tahu kenapa Gallen begitu memaksa ingin menikahimu, bahkan setelah kakaknya baru saja berpulang.”Alina refleks mengangguk, meski pikirannya terasa kosong. Jika Gallen yang ada di hadapannya, mungkin ia masih bisa bersikap defensif. Tapi di hadapan Amarantha—wanita yang matanya selalu teduh dan suaranya begitu sabar—Alina kehilangan keberanian.
Dalam sekejap, ruang makan itu berubah seperti arena uji nyali. Gallen hanya menatapnya tapi ia merasa seolah pria itu akan mengulitinya tanpa ampun.Alina spontan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia meremas ujung bajunya di pangkuan. Semuanya terasa sudah ia perhitungkan, sebisa mungkin alasan disusun rapi, logis, dan tak seharusnya menimbulkan kecurigaan, tapi tetap saja Gallen ragu terhadapnya.Gallen, oh Gallen ...Kenapa pria ini semacam teka-teki yang tak bisa Alina pecahkan?Tak ingin Gallen membaca ketakutannya, Alina merilekskan wajahnya. Ia menarik napas pelan, lalu berdehem ringan, mengusir gugup yang menyelinap dan membangun kembali kepercayaan dirinya.Sedikit saja salah langkah, kecurigaan Gallen bisa memun
Tanpa membuang waktu, Alina segera turun ke lantai satu. Ia mulai menata makan malam di meja dengan rapi. Segelas air putih, sepiring nasi hangat, dan lauk kini tersusun rapi di tempat biasa Gallen duduk.Alina menatap hasil kerjanya itu, lalu tersenyum kecil.Entah Gallen peduli atau tidak, setidaknya kali ini ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pembuat onar. Suara lift yang terbuka memutus lamunannya. Langkah berat dan tegas terdengar semakin dekat. Alina buru-buru kembali ke tempat duduknya, berusaha bersikap tenang.Tak lama, Gallen muncul di hadapannya. Tubuh tegap pria itu dibalut piyama hitam. Rambutnya masih setengah basah, dan Alina bisa mencium samar aroma sabun mandi dari tubuhnya.Seperti yang ia duga, pandangan Gallen langsung tertuju pada meja makan.Alina menelan ludah, lalu berkata pelan, “Tenang saja. Ini semua masakan Bibi. Aku cuma menyajikan.”Gallen tak mengucap sepatah kata pun. Hanya menarik kursi perlahan, duduk, lalu mulai makan dengan tenang
Alina ingin mengelak, ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahnya terasa kelu. Detik berikutnya, ia baru menyadari para pelayan berhamburan ke dapur, termasuk Andreas yang tergesa dari halaman depan.“Tuan, Nyonya, apakah baik-baik saja?” tanya Andreas, matanya menatap ke lantai yang kini dipenuhi pecahan beling dan tepung.Gallen menoleh singkat ke arah Andreas. "Tak apa," gumamnya.Sementara Alina masih terpaku, berdiri kaku di dekat meja dapur. Namun, Gallen sudah lebih dulu melangkah. Dengan tatapan tajam dan dingin, ia menggenggam lengan Alina dan menariknya menjauh dari pecahan.Tatapan pria itu kini menyapu seluruh ruangan. Memindai wajah para pelayan yang kini berbaris di hadapannya.“Apa kalian tidak punya mata sampai tidak melihat nyonya hampir jatuh?!” Tidak perlu volume keras, suara rendah Gallen sudah cukup membuat satu ruangan tak sanggup mengangkat wajah.Keheningan menyelimuti dapur. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Alina pun menahan napas, merasa bersalah karena t
Sementara di sisi lain, Alina bisa merasakan tatapan Gallen yang terus mengarah padanya. Ia tahu pria itu masih memperhatikannya, bahkan ketika dirinya pura-pura fokus pada benda-benda di hadapannya.Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha tetap tenang, tapi pikirannya kacau. Sepasang mata itu menyipit. Alina menangkapnya dari sudut matanya. Bukan marah, bukan juga peduli... tapi seakan sedang menimbang sesuatu.Sikapnya terlalu tenang.Dan itu justru membuat Alina semakin panik.Apa dia curiga?Apa wajahnya terlalu jelas menunjukkan sesuatu?“Alina?”Nada suara Gallen membuat tengkuknya menegang. Seakan tersadar dari lamunannya, Alina buru-buru mengangkat kepala.“Jangan ke dokter kandungan!” serunya refleks dan itu membuat pria di hadapannya kembali mengernyit.Menyadari kekeliruannya, Alina cepat-cepat memperbaiki ucapannya. “Maksudku... aku baru beberapa hari lalu ke dokter kandungan. Rasanya belum perlu periksa lagi, kan?”“Kamu bilang kandunganmu lemah. Kita perlu tahu ko