Dalam sekejap, ruang makan itu berubah seperti arena uji nyali. Gallen hanya menatapnya tapi ia merasa seolah pria itu akan mengulitinya tanpa ampun.
Alina spontan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia meremas ujung bajunya di pangkuan. Semuanya terasa sudah ia perhitungkan, sebisa mungkin alasan disusun rapi, logis, dan tak seharusnya menimbulkan kecurigaan, tapi tetap saja Gallen ragu terhadapnya.
Gallen, oh Gallen ...
Kenapa pria ini semacam teka-teki yang tak bisa Alina pecahkan?
Tak ingin Gallen membaca ketakutannya, Alina merilekskan wajahnya. Ia menarik napas pelan, lalu berdehem ringan, mengusir gugup yang menyelinap dan membangun kembali kepercayaan dirinya.
Sedikit saja salah langkah, kecurigaan Gallen bisa memuncak, dan seluruh rencananya bisa gagal.
“Tentu saja masuk akal,” katanya dengan suara yang sengaja dibuat ringan, menghindari nada defensif. “Sejak kecil aku terbiasa melakukan semuanya sendirian. Dan itu, membuatku lebih nyaman.”
Matanya menatap Gallen, mencari secercah keyakinan dalam tatapannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah lorong-lorong hampa, tanpa sedikit pun petunjuk tentang apa yang sebenarnya dirasakan pria itu.
Alina mengernyit, ragu apakah kata-katanya cukup meyakinkan. Setelah menarik napas, ia melanjutkan, “Aku tahu kamu khawatir tentang anak ini, tapi kamu sudah berikan susu dan vitamin mahal. Aku rasa itu cukup membuatku merasa sehat.”
Gallen masih bergeming. Sepatah kata pun masih enggan keluar dari bibirnya. Meski begitu, Alina bisa melihat pandangan mata lelaki itu kini mengendur.
“Aku janji akan menjaga bayi ini, sebaik mungkin.” Alina meyakinkannya sekali lagi. Ini usaha terakhirnya.
Beberapa detik kemudian, Gallen bersuara. “Belinda bisa kembali besok pagi.”
Kelopak mata Alina berkedip pelan, tak menyangka permintaannya diterima.
“Pelayan lain tetap bekerja seminggu sekali. Kamu bisa minta Belinda mengatur jumlahnya.”
Dalam sekejap, wajah Alina kembali berubah penuh antusias. “Jadi, aku sudah boleh membantu pekerjaan rumah?”
Gallen tak mengangguk maupun menggeleng. Matanya tetap dingin saat berkata, “Saya yang menentukan mana yang kamu kerjakan”
Kedua sudut bibir Alina terangkat bersamaan. “Tidak masalah, yang penting aku tidak dikurung lagi!”
***
Gallen memang pria yang menepati setiap ucapannya.
Setelah semalam Alina berusaha keras meyakinkan pria itu untuk menyingkirkan semua pembantu yang ada di rumah ini, pagi harinya saat ia turun ke lantai satu, rumah itu terasa berbeda.
Sepi.
Saking sunyinya, Alina bisa menangkap suara gemericik air dari arah dapur. Ia pun melangkah pelan ke sana, dan mendapati Belinda sedang mencuci beberapa alat masak dan sebuah piring yang bisa ia pastikan bekas makan Gallen.
Ya, sudah pukul tujuh lebih, pria itu pasti sudah berangkat kerja.
“Bibi!” serunya riang. Wanita itu segera berjalan cepat menghampiri pengurus rumah andalan keluarga Sankara itu.
Belinda menoleh setelah meletakkan cucian terakhir ke mesin pengering. Wajahnya hangat seperti biasa.
“Nyonya, selamat pagi,” sapanya.
“Akhirnya Bibi kembali bekerja,” kata Alina dengan senyum lega. “Maafkan aku karena sempat membuat Bibi dihukum Gallen.”
Belinda mengangguk sopan. “Sejak kecil, Tuan Gallen memang tegas seperti itu. Tapi saya justru berterima kasih pada Nyonya... karena telah memanggil saya kembali.”
“Sudah seharusnya aku lakukan. Bibi tidak perlu berterima kasih untuk itu,” ujar Alina kemudian.
Tiba-tiba saja suara lain menyambutnya. “Bagaimana bisa kamu menyambut Belinda, tapi tidak denganku?”
Sontak saja Alina menoleh ketika mendengar suara yang familiar di telinganya. Suara serak yang khas milik seorang wanita paruh baya. Amarantha, Oma Gallen.
Sepasang mata Alina terbuka lebar kala mendapati wanita dengan rambut putih itu berdiri di belakangnya dengan senyum lebar.
“Oma?” Alina langsung bertolak ke arahnya dan berjalan mendekat. “Sejak kapan Oma datang ke sini?”
Amarantha hanya tertawa kecil. Betapa senang raut wajahnya ketika melihat Alina. Beliau bahkan tidak keberatan cucu menantunya itu masih mengenakan piyama tidur dan rambut yang berantakan.
“Aku datang bersama dengan Belinda. Gallen bilang kamu masih tidur jadi aku tidak mengganggu.”
Pipi Alina memanas. Dia tersenyum malu. Seketika itu juga ia merasa menjadi wanita paling malas di dunia.
“Ah, Gallen … kenapa dia tidak membangunkanku?” tanpa sadar bibirnya mengucapkan kata itu.
Amarantha kembali terkekeh pelan lantas menepuk punggung Alina beberapa kali. “Aku tidak akan mempermasalahkan itu.”
Bisa dibilang, menikah di keluarga Sankara Alina tidak sepenuhnya sial. Oma Gallen ini bukan seperti mertua pada umumnya yang akan marah-marah jika menantunya bangun sedikit siang.
Sejak ia masuk ke dalam keluarga ini, Amarantha selalu lembut padanya.
Jika bukan beliau entah lontaran pedas apa yang akan membuat telinganya merah pagi ini.
“Belinda, buatkan susu hangat untuk Alina,” pinta Amarantha dan Belinda segera mengangguk.
Sementara Amarantha segera menarik lengan Alina untuk duduk bersama di meja makan. Tak lama kemudian Belinda membawa segelas susu putih dan menyajikannya ke hadapan Alina.
Butuh beberapa detik Alina mencerna. Susu apa yang dibawakan Belinda ini? Mengapa baunya sama persis seperti yang diberikan Gallen padanya kemarin?
“Bibi … ini susu apa?”
Belinda tampak bingung mendengar pertanyaan Alina. “Nyonya jangan khawatir, ini susu hamil yang diberikan Tuan Gallen. Tadi pagi, Tuan berpesan agar membuatkan susu ini sehari dua kali untuk Nyonya.”
Detik itu juga Alina mendongak ke arah Belinda.
“Ja—jadi Bibi sudah tahu aku … hamil?” Lagi-lagi kalimat tanya itu meluncur begitu saja.
Sementara kebingungan Belinda langsung berubah menjadi tawa geli. “Bukan hanya saya, tetapi semua pelayan di kediaman Sankara, bahkan Oma juga sudah tahu,” jelasnya membuat Alina menelan ludahnya kasar.
“Tuan Gallen sendiri yang mengatakan kepada kami,” imbuh Belinda.
Sepasang mata Alina melebar sempurna, ia lantas menoleh ke arah Amarantha yang duduk di sebelahnya.
“O—oma, juga tahu?” tanyanya takut-takut.
Anggukan Amarantha membuat Alina ingin menenggelamkan dirinya dalam gelas susu hangat itu. Ingin meraung sekeras-kerasnya.
Ini di luar kendalinya.
Usaha yang baru saja ia rencanakan seakan tak memiliki harap lagi.
Jika semua orang sudah tahu begini, bagaimana cara dia mengakhiri sandiwaranya?
Di tengah pikirannya yang sedang berkecamuk, Amarantha justru terkekeh ringan, seolah tak keberatan reaksi Alina.
“Kenapa malah kamu yang terkejut?” tanyanya lembut tapi penuh arti. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah serius.
“Justru aku ingin bertanya padamu, mengapa tidak bilang sejak awal kalau kamu sedang mengandung, Alina?”
Andreas terkejut mendengar pernyataan Alina. Ketika sang nyonya baru saja menundukkan tubuhnya, pria itu cepat-cepat menahan tangan Alina, mencegahnya melanjutkan.“Nyonya, Anda tidak boleh seperti ini,” ujarnya lembut sambil membantu Alina berdiri tegak kembali. Pandangannya kemudian terarah ke papan nomor antrean. “Lebih baik kita ambil dulu obat untuk Nona Caroline. Setelah itu, saya akan menjelaskan semuanya.”Alina menatap mata Andreas. Ada ketulusan di sana, dan itu cukup untuk membuatnya mengangguk setuju. Setelah menunggu sekitar lima pasien, akhirnya Alina mendapatkan obat untuk adik iparnya.Begitu mereka sampai di lorong yang sepi, Alina langsung menuntut, “Sekarang, kamu harus menepati janjimu, Andreas.”Andreas menghela napas panjang. Nada suaranya berat, seolah apa yang akan diucapkannya bukan hal mudah.“Sebenarnya, selama di luar negeri, Tuan Gallen mengidap penyakit. Radang lambung akut dan insomnia…”"Selama di luar negeri?" ulang Alina, berusaha memahami setiap kata
"Caroline masuk rumah sakit."Hanya ith penjelasan singkat yang diberikan Gallen sebelum menarik tangannya meninggalkan pemakaman keluarga itu. Tanpa basa-basi, Gallen memacu mobilnya membelah jalanan raya menuju rumah sakit. ***Rumah Sakit. Di dalam Instalasi Gawat Darurat, Gallen dan Alina berdiri di sisi sebuah brankar tempat Caroline terduduk lemas.Wajah gadis itu pucat, tetapi rautnya tak menunjukkan rasa sakit, seolah kehilangan banyak darah tak berarti apa-apa baginya.“Sudah dibilang, tetaplah di rumah. Kalau mau pergi, tunggu kami pulang dulu,” tegur Gallen, menatap adik sepupunya itu dengan sorot mata tajam.Caroline hanya meringis sambil mengusap kakinya yang baru saja dijahit akibat luka robek di telapak. Sebuah perban selebar lima senti dan sepanjang satu jengkal menempel di sana.Pagi ini, ia nekat pergi ke pantai sendirian. Entah apa yang dilakukannya hingga tanpa sadar menginjak pecahan kerang dan terluka."Habisnya, kalian pergi tanpa mengajak aku. " Caroline men
Alina mengangguk. Dengan satu gerakan lembut ia meraih satu tangan Gallen dan menggenggamnya. “Saat aku bertengkar dengan Ibu, saat aku menangis dan butuh sandaran, saat aku tak tahu harus mengadu pada siapa… kamu selalu ada untukku.” Sudut bibir Alina terangkat, meski sedikit canggung. Ia tahu mungkin Gallen akan merespons dingin, tapi ia tetap berusaha percaya diri. “Rasanya tidak adil kalau aku nggak peduli padamu, kan?” Gallen menyipitkan mata, tatapannya tajam. “Jadi kamu bagi beban cuma supaya kita impas?” Semangat Alina perlahan mengendur. Sejak awal, meyakinkan Gallen memang seperti menguras laut yang tak pernah surut. Namun, ia tidak akan menyerah. Ia tetap ingin bertahan sampai titik darah penghabisan. “Bukan begitu maksudku. Aku sadar, kita berdua punya masalah yang hampir sama. Kamu suamiku. Wajar kalau seorang istri ingin memahami suaminya. Bukannya malah menambah beban. Lagi pula, di hadapan makam Mama… mana mungkin aku cuma bicara omong kosong?” Hela napas mel
Alina hanya mengangguk sebagai jawaban.Dalam benaknya hanya ada dua kemungkinan: Gallen membawanya ke tempat bersantai sekadar menikmati liburan setelah hari yang sibuk dan panjang, atau ke tempat yang sangat spesial baginya.***Bagi keluarga Sankara, tidak ada yang mustahil.Dengan kekayaan dan kuasa yang mereka miliki, seribu candi pun bisa dibangun bila mereka mau.Termasuk tempat yang dikunjungi Alina pagi itu.Tanah seluas puluhan hektar, setara dengan lahan pabrik, telah disulap menjadi kompleks pemakaman mewah.Kalau bukan karena menjadi istri Gallen, orang biasa seperti Alina mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki di sana. Alina melangkah perlahan di atas lempengan andesit yang membentang rapi di halaman pemakaman. Langkahnya berusaha mengimbangi Gallen yang berjalan tenang tetapi cepat, sambil tetap menjaga keranjang bunga segar yang ia genggam erat di tangan kanan.Hingga akhirnya, Gallen berhenti di depan sebuah pusara besar.Saking megahnya, Alina sempat mengira seti
Alina sudah menarik napas dalam-dalam. Jika saja Carolline membuka pintu dan melihat mereka dalam posisi yang intim lagi, ia bisa salah paham. Bisa gawat kalau Carolline mengira Alina meninggalkannya hanya untuk bermesraan dengan Gallen.Untung saja, panggilan Belinda mengalihkan perhatian gadis itu. “Nona Carolline, ada panggilan dari ponsel Nona.” Begitulah suara Belinda yang terdengar oleh Gallen dan Alina. Tuas pintu kembali ke posisinya. Detik berikutnya mereka mendengar suara langkah yang menjauh. Darah Alina seketika kembali mengalir. Hanya saja jarak yang hanya sejengkal dengan tubuh Gallen tak bisa membuat dadanya tenang.“Gallen…,” Alina berbisik gugup. “Lepaskan aku.”Namun, Gallen tidak menjawab.Sebaliknya, pria itu justru mendekat. Tubuhnya condong ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa jari. Napas hangatnya menyapu pipi Alina, membuat bulu kuduknya meremang.Jantung Alina berdegup kencang, matanya membulat panik. Apa yang akan dilakukan pria ini?“Gallen...?” Ia
Gallen menurunkan ponselnya perlahan, jemarinya yang kokoh menyelipkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya yang tampak rapi tanpa cela. Tatapan matanya jatuh pada Alina, menelusuri wajah perempuan itu dengan diam penuh arti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Alina menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengulurkan tangan.Alina memandangnya dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” bisiknya, ragu.“Tanganmu,” balas Gallen pelan, datar, namun nadanya membuat Alina tak punya pilihan untuk menolak.Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski tak memahami maksud Gallen, ia tetap mengulurkan tangan, membiarkannya menggenggam jemarinya. Cengkeramannya tidak kasar, namun juga tidak lembut. Tegas—seolah menyampaikan bahwa ia tak mau dibantah.Tanpa menjelaskan apa pun, Gallen menarik Alina menyusuri lorong sunyi hingga berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Dengan satu tangan, ia mendorong daun pintu, membuka ruangan itu. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah ditata rapi. Piring,