Share

Bab 7

last update Last Updated: 2025-06-12 21:00:10

Dalam sekejap, ruang makan itu berubah seperti arena uji nyali.  Gallen hanya menatapnya tapi ia merasa seolah pria itu akan mengulitinya tanpa ampun.

Alina spontan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia meremas ujung bajunya di pangkuan. Semuanya terasa sudah ia perhitungkan, sebisa mungkin alasan disusun rapi, logis, dan tak seharusnya menimbulkan kecurigaan, tapi tetap saja Gallen ragu terhadapnya.

Gallen, oh Gallen ...

Kenapa pria ini semacam teka-teki yang tak bisa Alina pecahkan?

Tak ingin Gallen membaca ketakutannya, Alina merilekskan wajahnya. Ia menarik napas pelan, lalu berdehem ringan, mengusir gugup yang menyelinap dan membangun kembali kepercayaan dirinya.

Sedikit saja salah langkah, kecurigaan Gallen bisa memuncak, dan seluruh rencananya bisa gagal.

“Tentu saja masuk akal,” katanya dengan suara yang sengaja dibuat ringan, menghindari nada defensif. “Sejak kecil aku terbiasa melakukan semuanya sendirian. Dan itu, membuatku lebih nyaman.”

Matanya menatap Gallen, mencari secercah keyakinan dalam tatapannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah lorong-lorong hampa, tanpa sedikit pun petunjuk tentang apa yang sebenarnya dirasakan pria itu. 

Alina mengernyit, ragu apakah kata-katanya cukup meyakinkan. Setelah menarik napas, ia melanjutkan, “Aku tahu kamu khawatir tentang anak ini, tapi kamu sudah berikan susu dan vitamin mahal. Aku rasa itu cukup membuatku merasa sehat.”

Gallen masih bergeming. Sepatah kata pun masih enggan keluar dari bibirnya. Meski begitu, Alina bisa melihat pandangan mata lelaki itu kini mengendur.

“Aku janji akan menjaga bayi ini, sebaik mungkin.” Alina meyakinkannya sekali lagi. Ini usaha terakhirnya. 

Beberapa detik kemudian, Gallen bersuara. “Belinda bisa kembali besok pagi.”

Kelopak mata Alina berkedip pelan, tak menyangka permintaannya diterima.

“Pelayan lain tetap bekerja seminggu sekali. Kamu bisa minta Belinda mengatur jumlahnya.”

Dalam sekejap, wajah Alina kembali berubah penuh antusias. “Jadi, aku sudah boleh membantu pekerjaan rumah?”

Gallen tak mengangguk maupun menggeleng. Matanya tetap dingin saat berkata, “Saya yang menentukan mana yang kamu kerjakan”

Kedua sudut bibir Alina terangkat bersamaan. “Tidak masalah, yang penting aku tidak dikurung lagi!”

***

Gallen memang pria yang menepati setiap ucapannya.

Setelah semalam Alina berusaha keras meyakinkan pria itu untuk menyingkirkan semua pembantu yang ada di rumah ini, pagi harinya saat ia turun ke lantai satu, rumah itu terasa berbeda.

Sepi.

Saking sunyinya, Alina bisa menangkap suara gemericik air dari arah dapur. Ia pun melangkah pelan ke sana, dan mendapati Belinda sedang mencuci beberapa alat masak dan sebuah piring yang bisa ia pastikan bekas makan Gallen.

Ya, sudah pukul tujuh lebih, pria itu pasti sudah berangkat kerja. 

“Bibi!” serunya riang. Wanita itu segera berjalan cepat menghampiri pengurus rumah andalan keluarga Sankara itu.

Belinda menoleh setelah meletakkan cucian terakhir ke mesin pengering. Wajahnya hangat seperti biasa.

“Nyonya, selamat pagi,” sapanya.

“Akhirnya Bibi kembali bekerja,” kata Alina dengan senyum lega. “Maafkan aku karena sempat membuat Bibi dihukum Gallen.”

Belinda mengangguk sopan. “Sejak kecil, Tuan Gallen memang tegas seperti itu. Tapi saya justru berterima kasih pada Nyonya... karena telah memanggil saya kembali.”

“Sudah seharusnya aku lakukan. Bibi tidak perlu berterima kasih untuk itu,” ujar Alina kemudian. 

Tiba-tiba saja suara lain menyambutnya. “Bagaimana bisa kamu menyambut Belinda, tapi tidak denganku?”

Sontak saja Alina menoleh ketika mendengar suara yang familiar di telinganya. Suara serak yang khas milik seorang wanita paruh baya. Amarantha, Oma Gallen.

Sepasang mata Alina terbuka lebar kala mendapati wanita dengan rambut putih itu berdiri di belakangnya dengan senyum lebar.

“Oma?” Alina langsung bertolak ke arahnya dan berjalan mendekat. “Sejak kapan Oma datang ke sini?”

Amarantha hanya tertawa kecil. Betapa senang raut wajahnya ketika melihat Alina. Beliau bahkan tidak keberatan cucu menantunya itu masih mengenakan piyama tidur dan rambut yang berantakan. 

“Aku datang bersama dengan Belinda. Gallen bilang kamu masih tidur jadi aku tidak mengganggu.”

Pipi Alina memanas. Dia tersenyum malu. Seketika itu juga ia merasa menjadi wanita paling malas di dunia. 

“Ah, Gallen … kenapa dia tidak membangunkanku?” tanpa sadar bibirnya mengucapkan kata itu. 

Amarantha kembali terkekeh pelan lantas menepuk punggung Alina beberapa kali. “Aku tidak akan mempermasalahkan itu.”

Bisa dibilang, menikah di keluarga Sankara Alina tidak sepenuhnya sial. Oma Gallen ini bukan seperti mertua pada umumnya yang akan marah-marah jika menantunya bangun sedikit siang. 

Sejak ia masuk ke dalam keluarga ini, Amarantha selalu lembut padanya. 

Jika bukan beliau entah lontaran pedas apa yang akan membuat telinganya merah pagi ini. 

“Belinda, buatkan susu hangat untuk Alina,” pinta Amarantha dan Belinda segera mengangguk. 

Sementara Amarantha segera menarik lengan Alina untuk duduk bersama di meja makan. Tak lama kemudian Belinda membawa segelas susu putih dan menyajikannya ke hadapan Alina. 

Butuh beberapa detik Alina mencerna. Susu apa yang dibawakan Belinda ini? Mengapa baunya sama persis seperti yang diberikan Gallen padanya kemarin?

“Bibi … ini susu apa?” 

Belinda tampak bingung mendengar pertanyaan Alina. “Nyonya jangan khawatir, ini susu hamil yang diberikan Tuan Gallen. Tadi pagi, Tuan berpesan agar membuatkan susu ini sehari dua kali untuk Nyonya.”

Detik itu juga Alina mendongak ke arah Belinda. 

“Ja—jadi Bibi sudah tahu aku … hamil?” Lagi-lagi kalimat tanya itu meluncur begitu saja. 

Sementara kebingungan Belinda langsung berubah menjadi tawa geli. “Bukan hanya saya, tetapi semua pelayan di kediaman Sankara, bahkan Oma juga sudah tahu,” jelasnya membuat Alina menelan ludahnya kasar.

“Tuan Gallen sendiri yang mengatakan kepada kami,” imbuh Belinda.

Sepasang mata Alina melebar sempurna, ia lantas menoleh ke arah Amarantha yang duduk di sebelahnya. 

“O—oma, juga tahu?” tanyanya takut-takut.

Anggukan Amarantha membuat Alina ingin menenggelamkan dirinya dalam gelas susu hangat itu. Ingin meraung sekeras-kerasnya. 

Ini di luar kendalinya. 

Usaha yang baru saja ia rencanakan seakan tak memiliki harap lagi. 

Jika semua orang sudah tahu begini, bagaimana cara dia mengakhiri sandiwaranya?

Di tengah pikirannya yang sedang berkecamuk, Amarantha justru terkekeh ringan, seolah tak keberatan reaksi Alina. 

“Kenapa malah kamu yang terkejut?” tanyanya lembut tapi penuh arti. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah serius.

“Justru aku ingin bertanya padamu, mengapa tidak bilang sejak awal kalau kamu sedang mengandung, Alina?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Allensia Maren
kunjungi youtube allensia maren untuk lihat visual Gallen dan Alina yah :)
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 93

    Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 92

    Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 91

    Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 90

    Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 89

    Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua

  • Nikah Kilat: Terjebak Pesona Tuan Muda Posesif   Bab 88

    Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status