Langit sore itu mendung kelabu. Aileen keluar dari kamar kost dengan langkah gontai, mengenakan hoodie tipis yang sebetulnya tak cukup hangat untuk cuaca seperti ini. Hatinya masih remuk, pikirannya berantakan. Tapi perutnya berbunyi sejak satu jam lalu—setidaknya ia harus makan sesuatu.
Ia menyusuri trotoar sempit sambil menunduk. Udara lembap dan dingin menusuk kulit, namun ia terus berjalan menuju warung makan kecil di ujung jalan. Tangannya meremas uang receh yang tersisa di kantong jaket, sisa dari tabungan yang tak sempat ia amankan dari tangan Rio. Tubuhnya lelah, emosinya kering, tapi ia mencoba berdamai dengan kenyataan. "Aku cuma mau makan," gumam Aileen pelan. Namun, begitu sampai di depan warung, hujan deras turun tiba-tiba. Hujan seperti meledak dari langit—tanpa peringatan, tanpa jeda. Ia hanya bisa menunduk, berlari ke emperan terdekat, duduk memeluk lutut sambil menggigil. Nafasnya memburu. Warung itu pun buru-buru menutup terpalnya dan menolak pesanan. Ia hanya bisa menatap kucing liar yang sama basahnya seperti dirinya. Makanan gagal ia dapatkan. Tubuhnya makin lemah, dingin merayap hingga ke dalam tulang. Jangankan makan, berdiri pun ia mulai goyah. Beberapa kendaraan berlalu lalang dengan kecepatan tinggi. Dan seperti nasib buruk yang enggan menjauh, satu mobil melaju kencang di hadapannya—menyipratkan air genangan tepat ke tubuh Aileen. Byuur! "Aaakhh!" jeritnya kecil. Air kotor mengenai wajah dan bajunya. Gadis itu menutup mata, gemetar, dan akhirnya menjatuhkan wajah di antara lengannya. Di bawah siraman hujan, ia menangis. Bukan hanya karena cipratan air tadi. Tapi semuanya. Semua luka. Semua kehilangan. Semua penghinaan yang ia telan sejak tadi siang. Mulutnya menggigit bibir, berusaha menahan suara isak, tapi tak berhasil. "Sialan... semuanya sialan..." gumamnya penuh getir. Ia mengangkat wajahnya perlahan. Pantulan dirinya di genangan air tampak mengenaskan. Rambut lepek, wajah pucat, dan mata sembab. Ia hampir tak mengenali siapa dirinya kini. Aileen yang dulunya riang, yang ceria, yang punya cita-cita besar—kini hanya seorang gadis yang tersesat dalam hujan, dalam duka, dan dalam kebodohan yang ia sesali sendiri. Tanpa sadar, saat itulah sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempatnya berteduh. Kaca jendelanya perlahan turun, memperlihatkan seorang pria asing dengan tatapan tajam namun dalam. Wajahnya tidak asing bagi dunia kelas atas, tapi Aileen tidak mengenalinya. Ia hanya merasa risih diperhatikan saat ia berada di kondisi paling buruk. “Ada apa lihat-lihat?” umpat Aileen, ketus. Namun pria itu tetap memandangnya dengan ekspresi netral. Tak terkejut, tak iba. Justru seperti orang yang… penasaran. Ia membuka pintu mobilnya, lalu berdiri di tengah hujan. Dan pertemuan takdir itu pun dimulai. ** Pipi putihnya tampak pucat. Aileen menatap pantulan wajahnya dari genangan air di pinggir trotoar. Hujan turun lebat, menyatu dengan asap knalpot kendaraan dan aroma tanah basah. Matanya sembab, tubuhnya basah kuyup, dan langkahnya tak tentu arah. Ia berjalan sendirian di tengah hujan, seperti tak peduli dunia. “Bodoh, Aileen. Kau ini bodoh!” umpatnya lirih pada diri sendiri, menahan tangis yang sejak tadi sulit reda. Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia sadar. Rio tak pernah benar-benar mencintainya. Tapi ia memaksakan harap, menggenggam mimpi yang sebenarnya rapuh sejak awal. Demi mengejutkan kekasihnya, ia meninggalkan rumah ibunya di kota kecil dan sengaja menetap di kost kota tempat Rio tinggal. Tapi ternyata yang ia dapat hanyalah pengkhianatan dan kehinaan. “Kenapa harus aku, Tuhan?” bisiknya dengan suara tercekat. Mobil melintas kencang, mencipratkan air kotor ke arah tubuhnya. Aileen mendadak terdiam. Napasnya berat. “Kenapa harus seburuk ini?” Di balik kaca sebuah mobil hitam mewah, seorang pria memperhatikannya. Ia memutar kaca, memperjelas pandangannya ke arah gadis yang berdiri gemetar di bawah guyuran hujan. Pemandangan itu tak biasa—bukan karena Aileen cantik, tapi karena sorot matanya penuh luka. “Berhenti sebentar,” ucapnya pada sopir. “Baik, Tuan.” Pria itu membuka pintu mobil, turun dengan payung, lalu berjalan mendekati Aileen. “Nona, Anda baik-baik saja?” Aileen mendongak dengan wajah masam. “Apa urusanmu?” “Tidak apa-apa. Anda terlihat kesulitan. Butuh tumpangan?” “Maaf, aku bukan pengemis yang menunggu dikasihani,” tukas Aileen dengan nada tajam. Namun pria itu tidak mundur. Wajahnya tetap tenang. “Saya tidak bermaksud seperti itu.” Aileen hendak pergi, tapi suara petir menggelegar memaku langkahnya. Refleks ia menjerit dan memeluk tubuhnya sendiri. Pria itu diam-diam menghela napas. “Masuklah. Saya antar. Anda bisa duduk tenang sampai hujan reda.” Aileen ragu. Otaknya masih dipenuhi rasa waspada. Tapi tubuhnya menggigil, dan suara petir terus menggetarkan langit. Ia akhirnya membuka pintu mobil pria asing itu. Dengan tubuh basah kuyup, ia duduk tanpa berkata apa-apa. Pria itu duduk di sebelahnya, memerintahkan sopir untuk tetap di jalur menuju area kost sekitar kampus tempat Aileen tinggal. Di dalam mobil hangat itu, Aileen diam membeku. Ia malu karena tadi menolak dengan kasar, tapi juga tak punya tenaga untuk menjelaskan apa pun. “Kenapa tadi Anda marah-marah di tengah hujan?” tanya pria itu akhirnya. “Bukan urusanmu,” jawab Aileen pelan. “Benar juga.” Pria itu tersenyum samar. Aileen menatap ke luar jendela, malas berinteraksi. Tapi tak bisa dipungkiri, pria di sampingnya tampak sangat berbeda. Ia tidak sok akrab. Tidak juga merendahkan. Hanya diam. Tapi kehadirannya terasa hangat. “Ini,” pria itu menyodorkan sapu tangan. “Untuk apa?” “Air mata.” Aileen mengerjap. Ia mengambilnya pelan, lalu menyeka matanya. Entah kenapa, justru karena sikap tenang pria itu, Aileen ingin menangis lagi. Mobil akhirnya sampai di depan kost Aileen. Gadis itu menghela napas dan membuka pintu. “Terima kasih,” ucapnya pelan. “Tidak masalah.” Aileen sempat menatap wajah pria itu. Tampan. Dingin. Tapi sorot matanya seperti menyimpan banyak cerita. Pria itu balas menatap tanpa berkata-kata. “Oh, dan—maaf soal tadi,” kata Aileen buru-buru. “Aku agak kasar.” Pria itu hanya mengangguk. “Saya mengerti. Hati-hati, Nona.” Mobil kembali melaju perlahan menjauh dari kost Aileen. Di dalamnya, pria itu masih memandangi jendela, menggenggam ponselnya. “Kenapa saya harus memilih perempuan itu?” gumamnya lirih. ** Di balik pintu kamar kost yang sunyi, Aileen terduduk lemas. Bajunya masih basah. Matanya masih sembab. Tapi hatinya mulai terasa berbeda. Tidak membaik, hanya… mulai hangat. Siapa pria itu? Kenapa bisa membuatnya sedikit lebih tenang tanpa melakukan banyak hal? Namanya belum ia ketahui. Tapi wajahnya terlalu jelas untuk dilupakan. Dan yang ia tak tahu, pria itu—Albani Raditya—juga belum berhenti memikirkan gadis polos yang bersikeras menyembunyikan kesedihannya di tengah hujan itu. ** Aileen duduk diam di pojok kasurnya. Rambutnya masih sedikit basah, meski tadi ia sempat mengeringkannya seadanya dengan handuk kecil miliknya. Di sudut meja, mangkuk mie instan yang tadi ia buat saat baru pulang kini sudah dingin, tak disentuh sama sekali. Pikirannya penuh. Tapi anehnya… bukan Rio yang memenuhi ruang pikir itu. Bukan wajah pria brengsek yang telah mencuri hatinya dan uangnya sekaligus. Bukan Lenka, wanita menyebalkan yang mencemoohnya dengan tanpa rasa malu. Bahkan bukan rasa marah yang seharusnya masih membara. Yang muncul justru… mata itu. Tatapan dalam dan misterius pria yang tadi menjemputnya di tengah hujan. Suaranya yang tenang. Caranya menawarkan saputangan abu-abu dengan kalimat singkat, “Air mata.” Caranya menyetir tanpa banyak bicara, tapi justru itu membuat Aileen merasa sedikit… aman? “Siapa, sih, dia?” Aileen memeluk bantal kecil di atas pangkuannya, mencoba mengabaikan degup jantung yang tiba-tiba berdetak tak teratur. Ia menatap saputangan abu-abu yang kini terlipat rapi di meja. Masih ada bekas basah air mata di bagian ujungnya. Bahkan bau parfum lembut yang tak ia kenal masih menempel samar di situ. “Apa dia… selalu begitu pada semua orang? Atau cuma karena aku kelihatan menyedihkan?” gumam Aileen, pelan. Ia menggigit bibir, lalu mendengus frustrasi. “Kenapa malah mikirin dia sih?!” Tangannya refleks menyalakan ponsel, membuka media sosial. Tapi entah kenapa, bahkan rasa ingin mengecek akun Rio pun hilang. Tak ada amarah yang meledak, tak ada keinginan menyumpahi, bahkan dendam pun terasa samar. Yang ada hanya satu: rasa penasaran. Siapa nama pria tadi? Kenapa dia muncul begitu saja? Kenapa dia membantu, padahal Aileen sudah memperlakukannya seperti orang asing yang tak sopan? Dan... kenapa pria itu bisa membuat luka lama terasa lebih ringan, walau hanya dalam hitungan menit? Aileen berdiri, menatap jendela kamar kost-nya yang kecil. Di luar, hujan sudah reda, hanya menyisakan tetes-tetes yang jatuh dari genteng dan daun-daun. Tapi di dalam hatinya, justru badai baru mulai bertiup. Bukan karena cinta yang dikhianati, tapi karena pria asing yang muncul seperti kilat dalam malam basah—dan pergi tanpa jejak. Ia menggenggam saputangan itu sekali lagi, mencium aromanya pelan, lalu meletakkannya di bawah bantal seolah ingin menyimpannya... dekat. Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu hancur, Aileen tersenyum samar.Ruangan kerja Aileen terasa berbeda hari itu. Meskipun sinar matahari menyinari meja dan sofa favoritnya, ada hawa dingin yang menggantung di udara. Hawa yang berasal dari satu benda kecil… amplop cokelat itu.Ia berdiri mematung di depan mejanya. Matanya menatap benda yang sejak hari pertama terasa seperti bom waktu. Amplop itu terselip rapi di dalam laci, tak pernah disentuh, tapi tak pernah juga benar-benar dilupakan.Kata-kata Albani terngiang di telinganya:> “Jangan buka itu sendirian, Sayang. Aku tidak mau kau menghadapi hal-hal buruk tanpa aku.”Tapi hari ini, Aileen merasa... cukup kuat. Dia sudah terlalu lama membiarkan tanda tanya mengendap di dalam hatinya. Dia mencintai Albani, benar. Tapi bukankah kepercayaan juga berarti berani melihat kebenaran?Tangannya gemetar saat menarik amplop itu keluar. Ia menatapnya sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.“Kalau pun ini menyakitkan,” bisiknya lirih, “aku akan menghadapinya.”Dengan napas yang berat, Aileen mero
Suasana di ruang rawat intensif kini jauh lebih tenang. Lampu temaram menyinari wajah pucat Albani yang kini mulai menunjukkan rona kembali. Di sisi ranjang, Aileen duduk sambil menggenggam tangan suaminya erat—tak mau melepas sedetik pun.“Sayang, kau yakin tidak pusing lagi?” bisik Aileen lembut sambil membelai rambut Albani yang sedikit berantakan.Albani tersenyum kecil, meski jelas tubuhnya masih lemah. “Aku tidak pusing... tapi jantungku sedikit berdebar.”Aileen langsung cemas. “Berdebar? Apa aku harus panggil dokter?”“Berdebar karena kau ada di sini, di dekatku, dengan wajah secantik itu...” lanjut Albani, senyum nakalnya mulai muncul.Aileen langsung mencubit pelan lengan Albani. “Al! Kau sedang sakit, masih bisa bercanda begitu?”“Aku sakit, iya. Tapi bukan berarti kehilangan akal sehat.” Ia menarik pelan jemari Aileen, menciumnya satu per satu. “Apa kau tahu, hanya dengan aroma tubuhmu saja aku bisa lupa rasa sakit ini.”“Al...” Aileen menunduk, wajahnya merona. Tapi senyu
“Kenapa selalu wanita itu yang menang?” desis Marsha geram, melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia tak mengerti, bagaimana bisa nasib begitu memihak Aileen. Padahal Marsha sudah menyusun rencana matang. Ia sudah menyerahkan amplop cokelat berisi foto dan dokumen masa lalu Albani yang kelam kepada sekretaris Aileen, Hasya. Amplop yang seharusnya menjadi senjata pemusnah rumah tangga Aileen. Marsha memijat pelipisnya. “Apa amplop itu belum dibuka? Atau Hasya tidak menyerahkannya?” Dugaan itu membuatnya semakin kesal. Ia ingat betul, ekspresi Hasya saat menerima amplop itu memang mencurigakan. Wajahnya tegang, bahkan seolah menolak secara halus. Dan kini Marsha yakin, amplop itu tidak sampai ke tangan Aileen. “Aku harus bertindak,” gumamnya lirih. Marsha membuka laptopnya dan mulai menelusuri media sosial, mencari celah baru. Ia menyimpan beberapa video lama yang memperlihatkan Albani di masa lalunya, saat masih dekat dengan wanita lain sebelum menikah dengan Aileen. Salah satu
Aileen duduk di bangku tunggu luar ruang ICU, jari-jarinya menggenggam erat kerah bajunya sendiri. Jantungnya tak karuan. Setiap detik menunggu terasa seperti siksaan.Martin berdiri di sampingnya, tangan ayah mertuanya menepuk pelan pundaknya. “Tenang, Nak. Dokter akan melakukan yang terbaik.”Namun Aileen hanya bisa menggeleng. “Tadi dia baik-baik saja, Pa. Lalu kenapa tiba-tiba... begitu?”Martin menghela napas panjang. “Kadang trauma kepala memang bisa muncul tiba-tiba. Tapi yang harus kau percaya, Al akan kuat.”Melani berdiri di seberang mereka, memperhatikan Aileen dengan tatapan yang... berbeda. Ada rasa bersalah, ada penyesalan, dan bahkan ada rasa sayang yang masih kaku dan tertahan.“Apa... apa ini karena aku memberitahunya bahwa aku hamil?” lirih Aileen dengan suara gemetar.Melani ikut terduduk. Suaranya pelan, nyaris seperti ibu sejati. “Itu bukan salahmu. Justru kau membawa kebahagiaan untuk anakku.” Ia menatap perut Aileen, lalu menarik napas. “Mungkin memang belum wak
Melani membeku, ia hanya bisa menangisi segala fakta yang baru terungkap. Bahkan Melani kini tidak tau apa yang harus diperbuat. Ia sudah salah paham, tapi tindakannya selama ini terlalu kentara saat membenci Aileen, ternyata selama ini bukan Aileen yang seharusnya ia jauhi, tapi melainkan Marsha.. Wanita itu terlalu terpengaruh oleh mulut manis dan hasutan Marsha, tanpa melakukan investigasi lebih lanjut tentang fakta kebenaran berita itu. Lalu kalau sudah begini, ia sendiri jadi bingung, apa yang harus dilakukan. Apa dia mungkin dimaafkan, sementara tabiat buruknya sudah sangat amat berlebihan. "Nyonya, kenapa Anda malah di sini?" Seseorang muncul, bertanya dengan nada lembut dan sopan. Saat Melani yang berjongkok lalu mendongak, wajah itu malah tersenyum, meski ada keraguan. "M-Maaf, bukan maksud saya menganggu Anda. Tapi Al sudah siuman. Anda ibunya, tentu lebih berhak untuk melihat kondisi Al lebih dulu." "Al sudah siuman?" Aileen agak kaget, melihat wajah Melani yang
"Al bagaimana Tante???" Dalam kondisi lemah, Aileen kembali ke ruangan ICU tempat suaminya kini dirawat. Lalu Melani, mama mertuanya malah sedang berdua dengan seorang wanita. Tampak belakang, sepertinya Aileen pernah melihat wanita itu. "Bu Aileen, sepertinya aku pernah lihat wanita itu," kata Hasya. "Benarkah, Hasya?" Martin buru-buru berlari ke arah sang istri. Ia menarik tangan Melani, membawanya pergi untuk bicara. Tak lupa, Martin juga membawa wanita yang bersama istrinya pergi dengannya. "Om lepaskan!!" "Martin kau apa-apaan sih!" Keduanya tampak kesal. "Kau ngapain ajak dia ke rumah sakit! Kau sadar kan Al tidak suka dia muncul di depan Aileen!!" tegasnya pada Melani. "Kau juga, apa kau wanita rendahan, Marsha!!" . "Om cukup ya. Aku kemari karena mencemaskan Al. Kenapa om malah memakiku sih??" "Cemas katamu? Apa kau punya hak untuk itu?" "Jelas aku punya hak!!" tegas Marsha, ia seolah tidak takut pada siapapun, termasuk orang tua Albani sekalipun. "Cukup