Pipi putihnya kelihatan pucat sekarang. Aileen menatap pantulan wajahnya dari kubangan air tempat ia berteduh. Hujan turun cukup lebat, aroma hujan bercampur asap knalpot kendaraan menusuk ke penciuman. Aileen berdiri dengan pandangan kosong, sambil menghela napas berat berusaha menghilangkan pikiran tentang kejadian memuakkan beberapa waktu lalu.
“Aileen kau memang terlalu bodoh!” Gadis malang itu mengumpat menyaksikan kebodohan dirinya sendiri. Rasanya ingin memutar kembali waktu untuk menghajar laki-laki brengsek yang sudah membuat hatinya hancur. Namun semua tidak mungkin, semuanya telah terlanjur. Di saat hatinya sedang kacau, mobil melaju kencang hingga membuat genangan air mengenai dirinya. Aileen memejamkan mata, ia hanya ingin teriak sekuatnya. “Sialan!!” Aileen menarik napas panjang. “Kenapa aku sangat sial!!!” “Kenapa, Tuhan!!!” Seorang pria yang tak sengaja melihat pemandangan gadis berteriak di tengah hujan deras pun tersenyum, mungkin juga merasa terhibur dengan pemandangan itu. “Sebentar,” katanya pada sopir pribadinya. “Baik, Tuan.” Ia membuka kaca jendela mobilnya lalu menatap wajah gadis itu. Aileen terkesiap, tak menyadari jika ada orang yang memperhatikan tingkah memalukannya barusan. “A-Ada apa!!” sentak Aileen. Ia tak peduli betapa ketusnya itu. Orang lain yang berpikir mungkin menganggap ia sudah gila karena marah sendirian. . “Nona baik-baik saja?” tanyanya seolah tak peduli barusan Aileen ketus begitu. Aileen terdiam sambil memalingkan wajah. “Untuk apa Anda bertanya. Silakan lewat sesukamu! Kalau perlu kau cipratkan sekalian genangan air lebih banyak ke arahku!” ocehnya kesal. Saat itu air mata Aileen tak dapat berhenti mengalir. Seolah ia semakin teriris perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya. “Cepat sana pergi!” “Nona butuh tumpangan?” tawarnya. Aileen berdecih. “Anda mengasihaniku?” sahutnya geram. “Tidak juga.” Aileen menggeram kesal, padahal dia sedang tak berselera untung basa-basi tak penting. “Jalan saja, saya tidak butuh tumpangan. Saya bukan tunawisma.” Siapa, sih. Batin Aileen kesal dan sedikit takut. Orang itu jelas tidak dikenalnya, tapi malah menawarkan tumpangan. Namun pria itu malah keluar dari mobil. Di tengah hujan deras ia menarik tangan Aileen. “Masuklah, akan saya antar.” Aileen melepas paksa genggaman tangan pria itu. “Lepaskan atau aku akan teriak!” "Anda yakin?" "Anda siapa, sih. Lagipula kenapa bersikeras ingin mengantar saya!" tegas Aileen. "Tidak apa, sebagai manusia harus saling tolong menolong." "Tidak perlu! Saya tak butuh bantuan Anda." “Baik, saya mengerti.” Meski Aileen masih tidak mengerti akan situasi tersebut. Tapi sejujurnya saat menatap mata pria itu, dia tak yakin orang itu punya niat buruk. “Anda sudah lebih tenang?” tanya pria itu pada Aileen. “Apa Anda berusaha menipu saya? Ah, begini, ya. Anda tahu, kan? Jaman sekarang banyak sekali penipuan, atau mungkin ... penculikan? Anda mau menculik saya?” Aileen menutup mulutnya rapat. Pria itu sejenak terdiam. “Hem..." “Menyingkir.” Aileen sudah lelah. “Saya pikir Anda terlalu berlebihan.” Ia masih mengikuti langkah kaki Aileen perlahan. Aileen mengerutkan kening. “Ya , terserah.” “Saya tidak mengira jika tampang saya seperti penipu dimata Anda.” Pria itu makin maju mendekati Aileen. Hal yang makin membuat Aileen curiga. Sontak Aileen memundurkan badan. “Jangan bergerak!” Baik dari ujung kepala sampai ujung kaki, pria itu kelihatan sempurna di mata Aileen. Sempurna sebagai pria tampan nan berkelas. “Jadi, mau masuk atau?” kata pria itu masih berusaha mengajak Aileen ke mobilnya. Aileen menggeleng secepat kilat. “Sudahlah! Tidak peduli Anda penipu atau bukan. Saya akan pulang sendiri!” “Ya, baiklah kalau Anda tidak mau. Saya tidak akan memaksa.” Aileen berdecih, ia lega pria itu tak memaksanya lagi. Dan memang Aileen tidak peduli sama sekali. Hujan semakin deras, Aileen berlari mencari tempat untuk berteduh. Namun suara petir menggelegar membuatnya menjerit keras. Aileen melupakan satu hal itu, bahwa dirinya takut petir. “Argh!!” Aileen yang lemah itu menangis, tak menyangka jika harinya akan berakhir sangat mengerikan. “Masuklah.” Lagi-lagi pria itu muncul, membuka kaca mobil dengan santai. “Kau!” Aileen melotot kaget. Tapi suara petir lagi-lagi membuatnya panik. Aileen refleks membuka pintu mobil pria asing itu. “Ya Tuhan kenapa petirnya sangat mengerikan sih!” “Saya akan mengantar Anda." Aileen menunduk, ia menatap wajah pria asing itu malu. Padahal tadi dia sendiri yang menolak tegas, tapi malah dia sendiri yang masuk ke dalam mobil itu. “Saya akan turun lagi,” kata Aileen. “Sudahlah, ini malam dan hujan deras. Ada petir, Anda kelihatannya takut dengan itu.” “Apa?” Aileen kesal, tapi itu tidak salah. Dia memang takut suara petir. “Tenang saja Nona, saya tidak berniat jahat.” Pikiran Aileen yang sedang kacau membuatnya tidak banyak bicara lagi. Sudahlah, jika memang dia akan diculik sekalipun, ia tak peduli lagi. Kondisinya sekarang sudah terpuruk, jadi tak masalah jika ada hal buruk lainnya. Pria itu hanya terus diam, berbeda dari sebelumnya yang berusaha mengajak Aileen bicara. Tapi baguslah, Aileen jadi tidak perlu menanggapi apa-apa lagi. Mobil pun terus melaju, jalanan yang dilewati memang benar jalan menuju ke rumahnya. Jadi, apa benar pria itu bukan orang jahat, pikirnya mulai takut jika tadi ia hanya salah sangka saja. “Kenapa Anda mengajak saya masuk ke mobil Anda, sih.” Aileen berkata pelan. “Tidak tau, hanya ingin.” “Hah?” Aileen makin kesal tapi ia terpaksa menerima bantuan karena petir sialan. “Ya, itu tidak terlalu penting.” Pria itu menjawabnya santai dan singkat. “Ah, begitu ya.” Aileen menyerah, ia tidak peduli lagi dengan alasannya. “Anda sendiri, apa yang Anda lakukan seperti tadi?” tanya pria asing. “Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu.” Aileen menghela napas. “Ya, benar juga. Putus asa itu bisa menimpa siapa saja.” Kata-kata itu membuat Aileen tersentak. Apa barusan orang itu sedang menyindirnya. “Maksudmu aku putus asa?” Pria itu menoleh. “Apa aku salah?” Aileen terhenyak. Tidak salah, tapi ia tidak menyangka jika keputusasaannya terlihat begitu jelas. Aileen mengusap matanya, ia sudah tidak ingin menangis tapi air matanya menetes begitu saja. "Ini," ucap pria itu sambil memberikan selembar sapu tangan warna abu-abu. "Untuk apa?" "Air mata," kata pria itu singkat. Aileen mengambilnya, lalu menatapnya sebentar untuk kemudian ia usap ke ujung matanya. “Tunjukkan saja jalan ke arah rumah Anda,” kata pria itu dan Aileen hanya terpaku. ** Ternyata kecurigaan Aileen sama sekali tidak beralasan. Pria itu bukan hendak menipu Aileen, apalagi menculiknya. Pria itu memang mengantarkan Aileen sampai ke rumahnya dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun. Sepanjang perjalanan tadi, pria itu juga tak mengajak Aileen bicara, itu membuat Aileen merasa lega. Karena jujur saja, Aileen sedang tidak berkeinginan untuk mengobrol dengan siapa pun. “Em, terima kasih,” ucap Aileen pada pria itu. “Ya, sama-sama.” “Ah, kalau begitu...” kata Aileen ragu-ragu ingin meminta maaf karena sudah salah paham. “Apa Anda masih curiga pada saya?” tanya pria asing itu. “Ti-tidak, maafkan saya,” sahut Aileen merasa bersalah sudah berlebihan menaruh curiga pada pria baik di depannya. “Tapi setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi.” “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Pria itu masuk ke dalam mobil. Aileen berdiri di depan rumahnya sambil menatap kendaraan itu menjauhinya. "Terima kasih," gumam Aileen. Dadanya terasa sakit, ia belum makan apa-apa karena terlalu bersemangat menemui Rio. Ternyata hari yang ia anggap akan menjadi momen pelepas rindu malah berujung menyesakkan. Pria itu menatap ponselnya lalu menghela napas. "Kenapa saya harus memilih perempuan itu."Aileen membaringkan tubuhnya di kasur. Ini hari kedua ia berada di kota, jauh dari kedua orang tuanya. Seharusnya saat ini ia sedang bersama Rio, tapi semuanya sudah berantakan. Rencana itu hanya menjadi kenangan pahit yang harus ia telan bersama pengkhianat bernama Rio. "Mama daritadi telepon," ucap Aileen saat melihat panggilan tak terjawab berulangkali dari sang mama. "Halo, Ma." Aileen menatap sapu tangan abu-abu yang tertinggal di dalam tasnya. Ia baru ingat, benda itu milik pria yang memberi tumpangan tadi. "Ai tadi tidak lihat mama telepon, maaf ya." Mamanya pasti cemas, apalagi selama ini Aileen tidak pernah cerita kalau ia berpacaran dengan seseorang yang ada di kota. "Ya, Aileen belum tau, tapi sementara Aileen akan kost di sini, Ma." Aileen terkejut saat mamanya bilang akan pindah ke kota untuk urusan bisnis. Mamanya jug bilang agar Aileen tidak perlu kost, ia bisa tinggal dengan mamanya. "Ah, begitu. Baik, Ma, atur saja." Aileen lelah, ia ingin memejamk
Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. "Halo, Ma." Aileen melotot. "Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..." Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama. "Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was. "Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi. Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu. "Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu. ** "Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio. "Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk
Aileen termenung di balkon apartemen sambil memikirkan penawaran dari Albani. Pria asing itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia ingin menolak tawaran pria itu, tapi setelah dipikir-pikir mungkin saja ini jalan dari Tuhan agar rasa sakitnya bisa terbalaskan. Namun, apa Tuhan merestui pernikahan kontrak, pikirnya ragu. Setelah nomor Rio kembali ia blokir, ia tak perlu cemas memikirkan telepon masuk dari laki-laki brengsek itu. Hanya saja, Aileen belum puas mengingat Rio sudah menguras tabungan miliknya. Ia ingin marah, tapi itu semua terjadi salah satunya karena kebodohan dia sendiri. Suara ponselnya berdering, mamanya menghubungi. "Halo, Ma." "Iya, Ai udah ketemu sama yang namanya Albani." Aileen menghela napas. Mamanya kedengaran tak sabar ingin tahu pendapatnya tentang pria itu. "Ya, menurut Ai sih lumayan." Aileen tidak tau harus berkata apa. Ia nyaris saja mengacaukan acara perkenalan itu karena emosi luar biasa. "Hem, mungkin kita harus saling kenal dulu, Ma. Ap
"Hei kau mengulanginya seolah-olah aku akan jatuh cinta padamu, begitu?" ucap Aileen. Ia mengibaskan tangannya sembari menggerutu. "Bagus, saya tenang sekarang. Kalau begitu, sekarang kau ceritakan sedikit saja tentang penyebab kau putus asa." Aileen terdiam. Ini pertama kalinya ada yang bertanya tentang perasaannya, deritanya, dan juga masalah yang ia hadapi. "Kau takkan paham, apalagi kau tidak percaya wanita," tukas Aileen. "Ini bagian dari perjanjian kita, jadi kau perlu cerita agar aku mudah membantu," terang Albani. "Begitu, ya." Albani menatap mata Aileen, di sana tampak jelas ada gurat kesedihan mendalam. "Katakan saja, aku mungkin takkan terlalu iba. Tapi aku bisa menganalisis cara apa yang tepat untuk digunakan sebagai alat balas dendam nantinya." Albani selalu saja mengatakan perkataan yang tajam, batin Aileen. Tapi dia tak peduli, perkataan kejam Albani itu lebih baik dibandingkan perkataan Rio yang manis tapi penuh dengan kebusukan. "Aku dibodohi ol
Gadis itu menatap cermin dengan mata lurus dan fokus. Namun sebenarnya hatinya sangat berisik, tangannya pun bergerak menunjukkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan hasilnya. Nampak wanita yang anggun dan juga memesona, sudah jelas itu bukan dia. Tapi seseorang muncul memanggil namanya, dan ia sadar pantulan di cermin itu benar dia. "Ai, kamu sudah selesai?" tanya mamanya. "Ma, ini benar-benar Ai?" sahut Aileen menampakkan ekspresi tidak percaya sama sekali. Ia menggeleng, menyentuh pipinya perlahan-lahan. "Pasti bukan." "Sayang, kau sangat cantik. Mama tau kau cantik sejak dulu," kata mamanya. Aileen hampir menangis, tapi ia secepatnya menghilangkan perasaan itu. Ia tak ingin makeup nya luntur. "Mama, jangan bicara begitu. Ai jadi sedih," ucap Aileen. Mamanya lalu memeluk Aileen, gadisnya yang beberapa menit lagi akan segera menjadi istri. "Terima kasih karena sudah mewujudkan keinginan terakhir papa, ya, Nak." Aileen tau dia tidak dirugikan jika menikah dengan A
Aileen menggeram, ia baru saja kelepasan. Semoga saja Lenka tidak langsung menyadari siapa dirinya. "Kau bilang apa barusan?" tanya Lenka dengan senyum sarkas. Ia dengar sedikit, tapi tidak terlalu jelas. "Ah, maaf. Terima kasih sudah datang." Aileen tersenyum tipis. Albani memegang tangan Aileen erat, ia memberikan isyarat dengan senyum ringan. "Kalian silakan nikmati pestanya," ucapnya pada Rio dan Lenka. Rio memperhatikan seksama wajah pengantin wanita di depan Lenka. Entah kenapa hatinya tersentuh saat menatap senyum wanita itu. "Boleh tau siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. Hal itu membuat Lenka kaget dan melotot. "Mau apa sih!" ketus Lenka. Albani sampai terbatuk karena tidak menyangka respon Rio terlalu cepat. Ini diluar prediksi, tapi justeru bagus. "Ah, maaf. Tapi saya hanya penasaran," kata Rio pelan. Albani menarik Aileen mendekat ke sisinya. "Panggil saja Haura," ucapnya. "H-Haura?" Rio sampai gagap. Aileen melirik Albani bingung. Kenapa Albani memakai na
Perasaan gundah dan ada sedikit kecemasan membuat Aileen lebih banyak diam dengan posisi membelakangi Albani yang baru saja selesai mandi. Keduanya berada di ranjang yang sama, biar bagaimanapun akan mencurigakan jika mereka tidur di kamar terpisah. "Biasa saja, tidurlah dan tidak perlu memikirkan apa pun," kata Albani. Aileen terkesiap, ia tidak menyangka jika Albani akan berkata begitu. Apa ketahuan sekali kalau sekarang ia tengah gugup, pikirnya. "B-baiklah, kau juga selamat beristirahat." "Ya, selamat istirahat Aileen." Mungkin benar, keduanya akan menjalani hubungan platonik. Jadi, meskipun bekerja sama, ia tak peduli merasa cemas akan terjadi hal seperti kontak fisik terkecuali saat keduanya harus berakting dihadapan orang lain. Aileen mulai memejamkan mata, tapi ia tetap saja gelisah. Sementara itu, ia melihat Albani sudah tidur dengan mudahnya. Aileen jadi sedikit lega, ia tak perlu terjaga bersama Albani yang hanya akan membuat situasinya makin canggung nanti. T
"Kau sedang apa?" Pagi-pagi sekali Aileen bersiap seperti akan pergi ke suatu tempat. Albani terheran, padahal ini masih waktu bulan madu mereka. Memang benar pernikahan keduanya hanya formalitas. Keduanya boleh melakukan aktifitasnya masing-masing. Hanya saja, ini masih terlalu dini setelah keduanya baru menikah kemarin. "Maaf Al, aku harus ke bank untuk mengurus sesuatu," jawab Aileen. Ia sibuk mengenakan pakaian khasnya, khas Aileen Haura yang lama. "Untuk apa kau kesana?" tanya Albani. "Em, sebenarnya aku pernah memberikan kombinasi pin atm pada Rio, aku juga memberikan kartu atm ku. Tapi itu sudah lama, dan pagi ini aku tidak bisa mengakses mobile banking." "Rio, mantan mu?" Aileen menghela napas. "Jangan sebut dia mantan ku. Aku tidak sudi!" "Ya, tapi itu kenyataan." Albani berkata seadanya. "Terserah, aku harus pergi sekarang," ucap Aileen. "Ini masih bulan madu kita," kata Albani. Seketika membuat Aileen yang mendengar jadi terkejut. "B-Bulan madu?" "Mak
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu
Albani keluar setelah yakin bahwa dirinya kini lebih tenang. Aileen sama sekali tidak bisa tidur, tapi gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata dan berpura-pura sudah terlelap. Tentu saja itu Aileen lakukan sebab ia tak ingin kalau nantinya Albani tidak nyaman dengannya. "Apa kau sudah tidur?" tanya Albani. Ia duduk di sisi Aileen dengan sedikit jarak. Aileen tidak menjawab karena ingin dianggap sudah tidur oleh Albani. "Jangan memaksakan diri kalau belum bisa tidur," ucap Albani. Ia tau, Aileen belum tidur dan hanya berpura-pura. "Em, kau tau ya. Maafkan aku, Al." "Tidak perlu minta maaf. Kau sudah lebih enakan?" "Ya, sudah tidak apa-apa." Albani berbaring di sisi Aileen, di tengah-tengah mereka ada bantal yang menjadi penghalang. "Sebenarnya baju ini kau dapat dari siapa, Al?" tanya Aileen. Ia penasaran, karena baju yang dia kenakan lebih mirip lingerie dibandingkan baju tidur biasa. "Asisten saya, besok akan saya tanya mengapa ia memilih baju begitu."
Melani benar-benar emosi dengan kejadian tadi. Ia benci harus melihat Albani dan gadis itu memiliki kemungkinan untuk saling mengisi dan berdekatan. Padahal sebelumnya ia yakin bahwa putranya takkan tertarik dengan gadis kampungan seperti Aileen. Namun yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, Albani malah mengusirnya. Apalagi tadi Aileen dengan tidak tau diri memanggil Albani, padahal sudah jelas Albani sedang berbicara dengan orang lain di pintu kamar. "Dia sudah jelas terlihat sangat cari perhatian. Aku takkan biarkan dia menguasai Al. Aku takkan biarkan gadis itu bertingkah seenaknya sendiri." "Kenapa kau bicara sendiri?" Suaminya tiba-tiba saja muncul membuat Melani terkejut. "Kau tak perlu tau!" tegas Melani. Ia takkan bicara tentang Albani lagi di depan Martin. Kini dia harus berhati-hati sebab Martin dan dirinya punya pemikiran dan cara yang berlawanan. "Kau mengganggu Al ya." Martin mengambil handuk, ia akan bersiap untuk mandi. Pria itu baru saja pulang, ia curiga m
"Kau tak masalah minum wine?" tanya Albani. "Mm, boleh kalau hanya sedikit," jawab Aileen. Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Tubuhnya terasa lengket karena terkena tumpahan minuman yang tak sengaja mengenainya. Kejadiannya begitu singkat saat seorang pelayan hotel masuk membawakan sebotol wine untuk mereka sebagai hadiah. Aileen bermaksud memutar gelas, namun wine itu malah tumpah mengenai pakaian yang ia pakai. "Ah bagaimana ini," kata Aileen sembari memeriksa bajunya yang basah. "Apa basah sekali?" tanya Albani. "Ya, ini lumayan," terang Aileen. "Kau bisa bersihkan dulu, lalu pakai ini," ujar Albani memberikan satu set perlengkapan tidur pada Aileen. . "Tadi saya pikir mungkin ini perlu untuk berjaga-jaga," ucap Albani sambil menggaruk tengkuknya canggung. Rupanya Albani juga mempersiapkan baju tidur segala, batin Aileen gugup. Itu wajar, tak ada yang aneh dengan hal itu. Aileen berusaha tetap biasa dan tidak perlu memikirkan hal-hal aneh walau pikiran itu sela
Situasinya jadi amat canggung antara Albani dan Aileen. Mereka harus tetap di dalam kamar hotel sementara karena orang-orang yang membuntuti keduanya masih ada di sekitarnya. Aileen mencoba mengubur rasa tak nyaman itu dengan memainkan ponsel. Begitupun Albani, tapi pria itu memang sedang bekerja dengan ponselnya seperti biasa. "Kau sedang bekerja, ya?" tanya Aileen. "Ya, sedikit. Ada apa?" Aileen cepat menggeleng. "Tidak kok, hanya membuka obrolan karena terlalu sepi." Albani menatap Aileen sekilas kemudian memasukkan ponsel ke sakunya. "Kau bosan ya, apa kita keluar saja?" "Tidak, di sini saja. Maksudku memang ini rencananya untuk mengelabuhi mereka, kan," ujar Aileen. Albani juga sebenarnya bosan, tapi benar yang Aileen katakan barusan. Keberadaan keduanya di dalam kamar hotel demi mengelabuhi orang-orang di luar. "Em, sebenarnya ini membuatku penasaran, Al." "Penasaran?" "Ya, keluargamu, mengapa mereka harus mengawasi kita?" tanya Aileen ingin tau alasan
"Kau ini kenapa sih, Rio?" "Tidak, aku hanya bosan." "Bosan? Tumben sekali, mana pacarmu yang biasa menempel itu?" "Tidak usah membahas dia," tegas Rio. Seperti itulah kebiasaan Rio kalau sedang bosan, malas dengan Lenka. Dulu, setiap kali ia bosan, ia selalu ada pelarian yang bisa menghiburnya. Siapa lagi kalau bukan Aileen, sayangnya sekarang Aileen tak mungkin kembali. Tadinya ia ingin menyerah untuk mengambil hati Aileen, karena ia sadar sudah menyakiti gadis itu. Namun yang membuat Rio enggan menyerah adalah pria yang saat ini dekat dengan Aileen. Albani, pria itu jelas-jelas sudah menikah. Lantas untuk apa dia mendekati Aileen segala, pikirnya. Saat itu Rio tengah memperhatikan layar ponselnya. Ia sudah punya nomor telepon Albani yang ia dapat dari Lenka beberapa waktu lalu. Tapi untuk alasan apa ia menghubungi Albani lebih dulu, itu yang masih ia pikirkan. "Hei, buat apa kau menyewa ku di sini kalau hanya sibuk dengan ponsel saja sejak tadi?" Rio berdecih. "K
"Ah, terima kasih karena mengatakan itu," ucap Aileen. Meski itu terdengar tidak biasa, walaupun Aileen senang mendengarnya saat Albani memujinya. "Tentu, siapapun pasti akan memuji kecantikanmu itu." Albani memegang tangan Aileen membuat gadis itu menatap kaget untuk sesaat sebelum Albani makin menjadi-jadi dengan mengecup tangannya mendadak. Semburat senyum dengan pipi memerah yang menghiasi wajah Aileen tampak sedikit mengusik ketenangan Albani. Pria itu selalu berusaha menyimpan dirinya dengan baik dibalik sikap dewasa yang ia tunjukkan dihadapan Aileen. Namun kali ini Albani sedikit menunjukkan sisi pria yang sebenarnya dihadapan Aileen dengan dalih peran yang ia mainkan di sini. "Pipimu merah sekali, Sayang." Albani mengusap pipi gadis itu lembut. Mata Aileen membulat, jelas ia terkesiap menerima sentuhan kesekian kalinya itu. Saat itu Albani memegang ponsel lalu mendorongnya pelan ke hadapan Aileen. Awalnya Aileen bingung, lalu kemudian ia memahami situasi dan maksudn
"Kau mau kemana?" tanya wanita yang sejak tadi diam memperhatikan saat suaminya tengah sibuk dengan ponsel. "Bukan urusanmu," jawab laki-laki itu. "Apa? Sejak kapan urusanmu bukan urusanku?" "Melani, hentikan sikap sok dominan itu. Kau kira aku tidak tau, apa saja yang sudah kau lakukan untuk membuat rumah tangga yang baru dimulai Al rusak?" Keduanya memang seringkali berbeda pendapat dan cara memperlakukan putra tunggal mereka. Melani cenderung ingin menguasai Albani bagaimanapun caranya. Sedangkan Martin justru ingin Albani bisa berkembang dengan pola pikir laki-laki dewasa yang bijaksana. Kali ini Melani tidak setuju sama sekali dengan pilihan suaminya itu, menurutnya Albani layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Aileen dalam segala hal. Namun semuanya harus ia kesampingkan karena bagaimanapun juga itu wasiat mendiang mertuanya. Melani menghembuskan napas kasar. "Al anakku, jadi aku yang lebih tau mana yang baik untuknya atau tidak." Martin menggeleng ragu. Ia