LOGIN“Apa maksud mu hamil? Kita tidak pernah melakukan hal seperti itu, Mina,” ucap Nathan bingung.
“Aku tau… aku hanya ingin minta tolong kamu jelaskan kepada Andrian… ."
“Jangan libatin aku sama kebodohan yang kamu lakukan.”
“Hiks... Hiks… Aku udah coba hubungin Andrian dan ngabarin dia, tapi karena dia tau informasi tentang kejadian di kampus itu, dia ragu kalau ini anak dia… .”
Nathan mengepalkan tangannya. “Dulu kenapa kamu nyangkal waktu ku tanya tentang rumor kamu punya pacar?”
Suara di seberang telfon itu hening. Perempuan bernama Mina itu sebenarnya juga sedang bermain-main dengan Nathan saat merasa kesepian karena kekasihnya bekerja di luar kota. Meski begitu Nathan selalu menolak untuk melakukan hal lebih jauh dengannya.
“Jangan hubungin aku lagi, aku nggak mau berurusan lagi sama kamu!” ucap Nathan dengan ekspresi kesal. Ia segera mematikan telfon tersebut.
Klik…
Nathan langsung mematikan ponselnya. Kepalanya terasa sakit, entah kenapa masalah datang secara bersamaan ketika hidupnya sudah sekacau itu. Ia memang pernah mendengar bahwa Mina memiliki kekasih yang bekerja di kota yang berbeda, tapi saat Nathan bertanya tentang hal itu, Mina membantah hal tersebut.
Jari tangan Nathan menyentuh layar ponselnya lagi, tatapan matanya memandang ke arah kontak Erin. ‘Dengan cara apa aku harus meminta maaf ke Erin?’
Klek…
Nathan menoleh ke arah pintu. Ibunya berdiri dengan ekspresi dinginnya. “Ayah mu sudah menunggu di ruang keluarga.”
Nathan segera bangkit dari ranjangnya tanpa menjawab ucapan ibunya. Ia segera melangkah menuju ruang keluarga tanpa mengatakan apapun.
Hardion, ayah Nathan, telah berada di ruang tengah dengan ekspresi datar. Suasana itu mengingatkannya kejadian beberapa hari lalu saat foto dirinya dengan Mina tersebar di media sosial. Nathan duduk di seberang ayah dan ibunya, ia masih menunduk karena merasakan suasana yang membuatnya tidak nyaman.
“Apa kamu sudah meminta maaf kepada Erin?” tanya Hardion.
“Erin masih belum mau mengangkat telfon, tapi nanti Nathan bermaksud menemui ke rumahnya langsung.”
Hardion mengangguk. “Jika bisa, mintalah kesempatan kepadanya untuk menjalin hubungan lagi. Tunjukkan ketulusan dan kesungguhan mu dan jangan melakukan hal bodoh lagi.”
Nathan menatap ayahnya dengan ekspresi bingung. Namun ia tidak menanyakan apapun meski kepalanya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Laki-laki bermata hitam itu hanya mengangguk. Laki-laki bermata hitam itu memang sudah memikirkan semuanya selama beberapa hari belakangan ini dan menyadari kesalahannya. Ia telah sangat egois karena tidak memikirkan posisi Erin dan malah mencari perhatian kepada perempuan lain.
“Jika Erin tidak memaafkan mu, kembalilah lagi setiap hari di jam yang sama sampai dia mau bicara dengan mu. Kalau kamu menunjukkan kesungguhan mu ia pasti akan luluh,” ucap Hardion menyarankan.
“Iya, Nathan mengerti. Kalau begitu Nathan pergi dulu.” Laki-laki bermata hitam itu langsung bangkit dan melangkah pergi meninggalkan rumah itu.
Nathan berkali-kali menghela nafas. Ia sebenarnya hanya ingin meminta maaf tanpa mengharapkan hal lain, tapi hati kecilnya juga berharap bisa memperbaiki semua dan memulai kembali hubungannya dengan Erin.
Mobil hitam itu berhenti di sebuah toko bunga. Nathan membeli buket bunga tulip putih untuk diberikan kepada Erin sebagai permintaan maaf. Laki-laki bermata hitam itu tahu betul satu-satunya bunga yang disukai gadis itu.
Bunga tulip juga melambangkan perjalanan baru dan awal baru dalam hidup. Bagi Erin yang dulu pernah mengalami kehilangan yang amat sangat menyedihkan, bunga tulip putih selalu mengingatkannya bahwa segala sesuatu yang paling menyedihkan sekalipun bisa menjadi awal yang baru dalam hidup.
Nathan tersenyum, di saat seperti ini ia justru baru benar-benar memikirkan tentang Erin padahal sebelumnya yang ia khawatirkan pertama kali justru hal lain. Ia menyadari keegoisannya telah menghancurkan hati seorang gadis yang begitu mempercayainya.
***
Nathan tiba di depan rumah Erin pukul 5 sore. Biasanya Erin akan pulang di sekitar jam tersebut lalu akan kembali pergi pukul 7. Laki-laki bermata hitam itu sudah menghafal setiap kegiatan Erin karena dulu gadis bermata coklat itu selalu mengirim pesan kepadanya setiap akan melakukan rutinitasnya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna biru datang dan langsung masuk ke rumah bercat kombinasi hitam putih itu. Setelah mobil tersebut masuk, penjaga rumah langsung kembali menutup gerbang tanpa mempedulikan Nathan yang berdiri di depan gerbang sejak tadi.
Seorang gadis berpakaian hitam turun dari mobil biru tersebut, tapi ia sama sekali tidak menoleh ke arah gerbang tempat Nathan berada.
“Erin!”
Erin melanjutkan langkahnya dengan ekspresi datar tanpa menoleh atau menjawab panggilan Nathan.
“Erin… .”
Braakk… Pintu berwarna hitam itu ditutup dengan kasar seolah menunjukkan suasana hati sang pemilik rumah.
Nathan terdiam di tempatnya. Ia memandang ke arah jendela di lantai dua yang merupakan ruang kamar Erin. Laki-laki bermata hitam itu berharap Erin melihatnya dari jendela tersebut. Namun tentu saja hal tersebut tidak dilakukan oleh gadis bermata coklat itu.
Langit sudah semakin gelap seiring matahari yang mulai terbenam. Nathan tetap berdiri di depan gerbang hitam itu dengan ekspresi sendu. Tidak lama kemudian sebuah mobil hitam kembali masuk ke dalam rumah itu. Seorang pria paruh baya turun lalu menoleh sebentar ke arah Nathan sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
Beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan Nathan yang sejak tadi berdiri dengan buket bunga di tangan. Namun Nathan tampak tidak peduli, ia hanya menggenggam erat buket bunga itu sambil menatap ke arah jendela kamar Erin.
Waktu semakin berlalu, lampu di jalanan komplek tersebut mulai menyala. Nathan tetap di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Kali ini tatapannya fokus ke buket bunga tulip yang ia genggam erat. Ia tahu Erin tidak mungkin mau menemuinya begitu saja setelah apa yang ia lakukan kepadanya selama ini.
Drrrtttt…
Nathan langsung menerima panggilan telfion dari kontak bernama ‘Erin Sayang’ itu.
“Kamu ngapain sih di depan situ berjam-jam? Pulang sana!” ucap Erin dengan nada tinggi.
“Aku mau minta maaf… .”
“Pulang sekarang! Kamu ganggu pemandangan tau nggak?”
Klik…
Nathan melihat layar ponselnya dengan ekspresi sendu. Ia melihat ke arah rumah tersebut sejenak lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. Buket bunga tulip itu dibiarkan begitu saja di kursi sebelahnya.
Laki-laki bermata hitam itu mencoba mengirim pesan kepada Erin. Ia memberitahu gadis itu bahwa besok ia akan datang lagi sampai Erin mau berbicara dan menemuinya. Pesan yang dikirimkan oleh Nathan itu sepertinya sudah dibaca, namun tidak ada balasan dari Erin. Nathan hanya bisa menghela nafas panjang, penyesalannya sekarang sudah tidak ada gunanya lagi.
*****
Erin terdiam sejenak. Ia ragu antara harus menjelaskan niatnya atau mengatakan separuh hal saja.“Pa, apa papa bisa percaya sama Erin?”Keraguan terlihat jelas pada sorot mata tua itu. Namun Harsano tidak ingin terlalu mengatur apa yang ingin dilakukan putrinya.“Papa percaya padamu, tapi papa khawatir kalau kamu kesana sendiri dengan ingatan yang masih belum kembali sepenuhnya.”Perempuan bermata coklat itu tersenyum. “Kan ada nenek dan kakek disana, ada juga Alen. Mereka tentu akan menjaga ku.”Ada ketidakrelaan pada raut wajah Harsano. Namun pria tua itu tidak bisa menolak jika putrinya sudah menetapkan sesuatu.“Baiklah, tapi sering kabari papa dari sana.”“Pa… kan aku masih disini. Itu pun aku pergi setelah aku benar-benar sehat,” gerutu Erin pelan.Harsano membelai kepala putrinya. “Papa tau, papa hanya khawatir.”Sebenarnya Harsano tidak hanya mengkhawatirkan putrinya. Namun ia juga mencemaskan David.Menantunya itu sudah lama berusaha melakukan hal terbaik untuk Erin. Namun ji
Erin tidak ingin menunjukkan betapa rindunya ia dengan sosok pria yang kaku itu. Ia enggan menunjukkan perasaannya untuk sementara karena suatu alasan.“Oh iya, David, Erin menanyakan ponselnya yang lama. Apa masih kamu simpan?” Tanya Harsano tiba-tiba.David yang sedang membawakan potongan kue, langsung mengalihkan pandangannya ke Erin.Perempuan yang duduk di ranjang rumah sakit itu terlihat terkejut. Namun ia langsung mengendalikan ekspresinya.“Masih kok, tapi di rumah. Kenapa tiba-tiba menanyakan ponsel mu yang lama?”“Emm, siapa tau ada sesuatu di ponsel itu yang membuat ku bisa ingat sesuatu,” balas Erin gugup.Ia tidak mengatakan kebohongan. Namun yang diucapkannya hanyalah sebagian dari kebenaran.Perempuan tersebut mencari ponsel lamanya untuk mencari catatan atau sesuatu yang bisa membuatnya ingat lebih cepat.‘Aku nggak bisa bilang kalau aku perlu menghubungi mantan istrinya untuk bertanya kan?’ pikir Erin dalam hati.Pria itu menyodorkan kue itu sambil mengamati eskpresi
David duduk, berdiri, berjalan pelan, lalu kembali duduk. Ia mengulangi itu berkali-kali. Pria itu bahkan lupa menghubungi keluarganya karena pikirannya sedang tidak tenang.Rasa ngeri itu kembali dengan lebih menyakitkan. Meski ia tau Erin sebelumnya dalam keadaan baik-baik saja, pikirannya tetap kembali mengingat bagaimana tubuh pucat Erin terbaring di ruangan yang dingin itu.15 menit kemudian, dokter yang bertugas beserta satu perawat, keluar dengan ekspresi lelah.“Bagaimana keadaan istri saya dok?”“Pasien sudah membaik, beliau akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa, anda bisa ikut saya.”David pun mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Dokter muda itu mencuci tangannya lalu melepas masker sebelum kemudian duduk.Ia menjelaskan dengan tenang lalu bertanya tentang keseharian Erin pasca menjalani perawatan di rumah.David pun menjelaskan secara singkat tentang kegiatan Erin. Baik ia maupun Har
Ada jeda yang cukup lama dan itu membuat keduanya diselimuti keheningan yang menyesakkan.David tidak mengatakan apapun, ia masih menungggu respon istrinya untuk cerita yang baru saja ia katakan.“Siapa saja yang tau tentang pernikahan kontrak ini?” tanya Erin dengan eskpresi cemas.Tatapan keduanya bertemu. Namun David langsung mengalihkannya ke arah lain. Ia merasa takut melihat tatapan Erin yang kadang terlihat berbeda.“Niki, mantan istriku, nenek mu, lalu – “ David sempat ragu untuk melanjutkan perkataannya. Namun ia akhirnya tetap mengatakannya. “Papa mu.”Erin terkejut meski sebenarnya ia sudah menebaknya sejak awal. Namun ia cepat mengendalikan dirinya.“Kapan papa tau tentang itu? Sejak awal?”“Aku nggak yakin kapan tepatnya, tapi sepertinya kalau sejak awal itu nggak mungkin.”Helaan nafas panjang terdengar dari Erin. Ia memejamkan matanya perlahan lalu memijit pelan kepalanya yang terasa sakit. “Apa kejadian sebelum kecelakaan ada kaitannya dengan itu?”Lagi-lagi David ter
Setelah menjalani perawatan tambahan selama hampir satu minggu, Erin akhirnya diperbolehkan pulang.Meski begitu perempuan itu masih tidak diperbolehkan langsung bekerja. Baik Harsano maupun David tampak lebih protektif. Bahkan Erin masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri.Kegiatan Erin sehari-hari lebih banyak di dalam kamarnya. Ia akan membaca buku, membaca artikel atau sekedar menonton berita.Namun hari itu ia merasa sangat bosan, akhirnya Erin memeriksa barang-barang yang ada di kamarnya. Namun tidak menemukan benda yang dicari.Pandangannya mengarah ke sofa di ruang kerja yang terhubung dengan kamar itu.Sejak ia pulang kerumah, David selalu tidur di ruang kerja itu, di sofa. Pria itu tidak tidur satu ranjang dengan Erin.‘Apa sejak dulu begitu? Apa tidak ada perjanjian atau pembahasan tentang itu?’Erin duduk di sofa itu lalu mengamati rak buku yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah kotak ya
Erin masih tetap menjalani perawatan di rumah sakit untuk memastikan kondisinya lebih lanjut.Meski keadaannya semakin hari semakin membaik, ingatannya masih belum kembali. Ia masih tidak mengingat tentang David.Walaupun begitu, David setiap hari datang berkunjung dan membawakan makanan kesukaan Erin. Ia sedikit merasa lega karena perempuan itu tidak kehilangan selera makannya.Saat itu Erin sedang duduk membaca buku yang dibawakan sang ayah atas permintaannya. Ia tampak serius, terlihat seperti Erin yang dulu.Tatapannya beralih, begitu pintu ruangan itu terbuka. Ia langsung menutup bukunya lalu tersenyum.Saat itulah David baru merasakan perbedaan Erin yang saat ini ada dihadapannya. Perempuan yang terlihat lebih ceria dan ekspresif.‘Mungkin Erin memang akan lebih bahagia jika pernikahan kontrak itu nggak terjadi.’“Anda datang lagi,” Ucap Erin dengan ekspresi senang.David tersenyum sedih, panggilan







