LOGINEsoknya pada jam yang sama, Nathan kembali menunggu di depan rumah Erin dengan membawa buket bunga tulip putih yang baru saja dibelinya dari toko. Namun lagi-lagi Erin tetap masih belum ingin menemui maupun berbicara dengannya. Gadis bermata coklat itu hanya mengirim pesan kepada Nathan untuk meminta laki-laki itu pulang.
Pada hari berikutnya Nathan kembali melakukan hal serupa, namun respon Erin juga masih tetap sama. Erin akan langsung masuk ke dalam rumah tanpa menoleh meski Nathan memanggil namanya berkali-kali. Meski begitu hari ini laki-laki bermata hitam itu menunggu lebih lama daripada hari kemarin.
Angin malam itu bertiup lebih kencang namun Nathan tetap menunggu dengan sabar di depan gerbang. Ia tidak masalah jika harus melakukan hal itu puluhan atau bahkan ratusan kali. Nathan ingin menunjukkan rasa bersalahnya dan kesungguhannya meminta maaf.
Awan mendung dari arah utara mulai menyebar ke daerah tersebut. Tidak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Meski begitu Nathan tetap tidak beranjak dari tempat ia berdiri. Ia justru berusaha menutupi buket bunga itu dengan jaketnya agar tidak terkena air hujan. Supaya nantinya Erin tetap bisa menerima bunga itu dalam keadaan baik.
Klekk…
Erin keluar dari rumahnya dengan memakai payung. Ekspresi kesalnya tidak dapat disembunyikan lagi, dengan langkah cepat ia mendekat ke arah gerbang.
“Pulanglah! Jangan membuat pertunjukkan di pinggir jalan seperti ini!”
Erin langsung kembali masuk ke dalam rumah setelah mengatakan kalimat tersebut. Ia kesal karena Nathan biasanya baru akan pulang saat ia menyuruhnya pulang sedangkan sejak tadi telfon darinya tidak diangkat dan pesan yang ia kirimkan tidak dibaca oleh Nathan.
Laki-laki bermata hitam yang menunggu di depan gerbang itu menatap sejenak ke arah pintu rumah Erin lalu mulai melangkahkan kakinya menuju mobil miliknya. Ia lagi-lagi membawa kembali buket bunga tulip putih karena Erin masih tidak mau menerima.
Tubuhnya basah oleh air hujan, namun Nathan sama sekali tidak merasa kedinginan. Tatapan matanya tampak kosong saat melihat wallpaper ponselnya. Wallpaper yang menampilkan sebuah fotonya dengan Erin saat bertunangan.
‘Ya, puluhan kali pun nggak apa… Aku tau ini nggak sebanding dengan apa yang dirasakan Erin,’ gumam Nathan dalam hati. Laki-laki bermata hitam itu tahu hati Erin sudah sangat terluka karena tindakannya. Ia menghela nafas panjang lalu mulai menjalankan mobilnya untuk kembali ke rumah.
***
Di kediaman Erin…
.
.
Erin mengamati langit-langit kamarnya dengan tatapan mata kosong. Ia tidak menyangka Nathan justru akan bertindak seperti itu hanya untuk meminta maaf.
“Kalau kamu menyayangi ku, kenapa kamu berselingkuh? Padahal kamu satu-satunya orang yang paling ku percaya dari semua orang di sekitar ku,” gumam Erin pelan.
Suara hujan membuatnya teringat kembali dengan kenangan saat ia dan Nathan pergi kencan. Saat dalam perjalanan pulang, hujan tiba-tiba turun hingga membuat keduanya terpaksa berteduh di salah satu halte bus trans. Namun ternyata atap bus tersebut banyak yang berlubang hingga sebagian air hujan pun mengalir. Saat itu Nathan dengan sikap lembutnya memberikan jaketnya untuk Erin agar gadis bermata coklat itu tidak merasa kedinginan. Nathan sendiri membiarkan tubuhnya terkena sebagian air hujan.
Drrrttt…
Lamunan Erin buyar begitu panggilan telfon masuk. Sebuah kontak dengan nama mas David muncul di layar ponselnya. Erin hanya menatap sekilas ponsel tersebut lalu membiarkannya begitu saja di samping tempat ia sedang merebahkan tubuhnya. Ia sedang enggan berbicara dengan siapapun.
Pandangan mata gadis itu kembali fokus mengamati langit-langit kamarnya. Mengingat Nathan yang tampak serius meminta maaf sempat membuatnya goyah, namun permasalahan kali ini bukanlah permasalahan biasa bagi Erin.
Semua permasalahan bisa dibicarakan, namun menurut Erin perselingkuhan adalah pengecualian. Ia sama sekali tidak bisa memberikan toleransi kepada laki-laki yang berselingkuh. Rasa sakit hatinya masih tetap tidak berkurang meski menyaksikan Nathan yang berusaha meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
“Apa aku pura-pura memaafkannya saja lalu membuatnya merasakan dikhianati setelah rasa percayanya kepada ku semakin besar?” gumam Erin pelan.
Drrttt… Panggilan telfon dari David kembali masuk, Erin terdiam selama beberapa saat, kali ini ia memikirkan hal lainnya.
‘Hmm, sepertinya aku harus menunda pernikahan kontrak ku…,' gumam Erin dalam hati.
Klik.. Erin menerima panggulan telfon itu setelah ponselnya berbunyi beberapa kali.
“Ya?”
“Apa Nathan ke rumah mu lagi?”
“Iya. Apa mas David menelfon hanya untuk memastikan itu?”
David terdengar menghela nafas panjang. “Dia mungkin akan tetap seperti itu sampai kamu mau bicara dengannya.”
“Saya tau, karena itu saya bermaksud berbicara dengannya nanti… ..”
“Kamu akan memaafkannya?”
“Ya, jika itu diperlukan.”
“…”
“Karena itu saya ingin menunda pengajuan pernikahan kontrak kepada anda,” ucap Erin dengan ekspresi datar.
“Menunda? Apa maksud mu? Bukankah jika kamu memaafkannya berarti kamu tidak perlu balas dendam lagi? Kamu tidak perlu menikah kontrak lagi.”
“Saya akan memaafkannya secara lisan jika itu memang diperlukan, tapi saya tidak bisa benar-benar memaafkannya… .”
David terdiam, ia tidak tahu kenapa perempuan yang sebelumnya sangat sabar dan pemaaf itu berubah menjadi seperti orang lain hanya dalam waktu singkat.
“Jika tidak ada yang ingin anda bicarakan lagi, saya akan menutup telfonnya,” ucap Erin lagi.
“Erin… apa dengan melakukan itu semua perasaan mu akan membaik?”
Erin terdiam memandangi fotonya bersama Nathan yang masih ada di atas meja. Tatapan matanya yang sendu berubah menjadi tajam saat kembali mengingat beberapa adegan saat Nathan bersama Mina.
“Ya tidak tau, saya akan mencobanya, mungkin hati saya akan merasa lega setelah melihat ia merasakan rasa sakit yang sama seperti saya. Saya tidak ingin mendengar nasehat serupa, saya matikan dulu telfonnya.”
Klik…
Gadis bermata coklat itu meletakkan ponselnya di meja dekat ranjangnya. Ia melangkah mendekat ke arah meja belajar, tatapan matanya fokus pada barang-barang yang dulu diberikan oleh Nathan. Tangannya mengambil sebuah kotak kardus berukuran sedang selalu memasukkan semua benda tersebut ke dalam kotak tersebut.
Erin mengamati sekeliling kamarnya lalu mulai membersihkan segala benda yang ia dapatkan dari Nathan sebagai hadiah, termasuk sebuah foto di atas meja dekat ranjangnya. Dalam waktu beberapa menit, kotak kardus tersebut penuh berisi berbagai macam barang. Ia segera membawa benda-benda tersebut ke dalam gudang dan meletakkannya di antara barang-barang yang tidak terpakai.
Ruang kamar Erin menjadi tampak kosong karena banyak barang yang disingkirkan dari kamar tersebut. Gadis bermata coklat itu menghempaskan tubuhnya kembali di atas ranjang, ia mengela nafas panjang.
“Kamu harus datang lagi besok, jadi aku akan memberi kesempatan supaya kamu bicara dengan ku,” gumam Erin pelan.
‘Juga kesempatan untuk merasakan hal yang lebih menyakitkan lagi, jadi berusahalah agar kamu terlihat lebih menyedihkan lagi, supaya aku bisa berhenti…,’ ucap Erin dalam hati.
*****
Erin terdiam sejenak. Ia ragu antara harus menjelaskan niatnya atau mengatakan separuh hal saja.“Pa, apa papa bisa percaya sama Erin?”Keraguan terlihat jelas pada sorot mata tua itu. Namun Harsano tidak ingin terlalu mengatur apa yang ingin dilakukan putrinya.“Papa percaya padamu, tapi papa khawatir kalau kamu kesana sendiri dengan ingatan yang masih belum kembali sepenuhnya.”Perempuan bermata coklat itu tersenyum. “Kan ada nenek dan kakek disana, ada juga Alen. Mereka tentu akan menjaga ku.”Ada ketidakrelaan pada raut wajah Harsano. Namun pria tua itu tidak bisa menolak jika putrinya sudah menetapkan sesuatu.“Baiklah, tapi sering kabari papa dari sana.”“Pa… kan aku masih disini. Itu pun aku pergi setelah aku benar-benar sehat,” gerutu Erin pelan.Harsano membelai kepala putrinya. “Papa tau, papa hanya khawatir.”Sebenarnya Harsano tidak hanya mengkhawatirkan putrinya. Namun ia juga mencemaskan David.Menantunya itu sudah lama berusaha melakukan hal terbaik untuk Erin. Namun ji
Erin tidak ingin menunjukkan betapa rindunya ia dengan sosok pria yang kaku itu. Ia enggan menunjukkan perasaannya untuk sementara karena suatu alasan.“Oh iya, David, Erin menanyakan ponselnya yang lama. Apa masih kamu simpan?” Tanya Harsano tiba-tiba.David yang sedang membawakan potongan kue, langsung mengalihkan pandangannya ke Erin.Perempuan yang duduk di ranjang rumah sakit itu terlihat terkejut. Namun ia langsung mengendalikan ekspresinya.“Masih kok, tapi di rumah. Kenapa tiba-tiba menanyakan ponsel mu yang lama?”“Emm, siapa tau ada sesuatu di ponsel itu yang membuat ku bisa ingat sesuatu,” balas Erin gugup.Ia tidak mengatakan kebohongan. Namun yang diucapkannya hanyalah sebagian dari kebenaran.Perempuan tersebut mencari ponsel lamanya untuk mencari catatan atau sesuatu yang bisa membuatnya ingat lebih cepat.‘Aku nggak bisa bilang kalau aku perlu menghubungi mantan istrinya untuk bertanya kan?’ pikir Erin dalam hati.Pria itu menyodorkan kue itu sambil mengamati eskpresi
David duduk, berdiri, berjalan pelan, lalu kembali duduk. Ia mengulangi itu berkali-kali. Pria itu bahkan lupa menghubungi keluarganya karena pikirannya sedang tidak tenang.Rasa ngeri itu kembali dengan lebih menyakitkan. Meski ia tau Erin sebelumnya dalam keadaan baik-baik saja, pikirannya tetap kembali mengingat bagaimana tubuh pucat Erin terbaring di ruangan yang dingin itu.15 menit kemudian, dokter yang bertugas beserta satu perawat, keluar dengan ekspresi lelah.“Bagaimana keadaan istri saya dok?”“Pasien sudah membaik, beliau akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa, anda bisa ikut saya.”David pun mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Dokter muda itu mencuci tangannya lalu melepas masker sebelum kemudian duduk.Ia menjelaskan dengan tenang lalu bertanya tentang keseharian Erin pasca menjalani perawatan di rumah.David pun menjelaskan secara singkat tentang kegiatan Erin. Baik ia maupun Har
Ada jeda yang cukup lama dan itu membuat keduanya diselimuti keheningan yang menyesakkan.David tidak mengatakan apapun, ia masih menungggu respon istrinya untuk cerita yang baru saja ia katakan.“Siapa saja yang tau tentang pernikahan kontrak ini?” tanya Erin dengan eskpresi cemas.Tatapan keduanya bertemu. Namun David langsung mengalihkannya ke arah lain. Ia merasa takut melihat tatapan Erin yang kadang terlihat berbeda.“Niki, mantan istriku, nenek mu, lalu – “ David sempat ragu untuk melanjutkan perkataannya. Namun ia akhirnya tetap mengatakannya. “Papa mu.”Erin terkejut meski sebenarnya ia sudah menebaknya sejak awal. Namun ia cepat mengendalikan dirinya.“Kapan papa tau tentang itu? Sejak awal?”“Aku nggak yakin kapan tepatnya, tapi sepertinya kalau sejak awal itu nggak mungkin.”Helaan nafas panjang terdengar dari Erin. Ia memejamkan matanya perlahan lalu memijit pelan kepalanya yang terasa sakit. “Apa kejadian sebelum kecelakaan ada kaitannya dengan itu?”Lagi-lagi David ter
Setelah menjalani perawatan tambahan selama hampir satu minggu, Erin akhirnya diperbolehkan pulang.Meski begitu perempuan itu masih tidak diperbolehkan langsung bekerja. Baik Harsano maupun David tampak lebih protektif. Bahkan Erin masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri.Kegiatan Erin sehari-hari lebih banyak di dalam kamarnya. Ia akan membaca buku, membaca artikel atau sekedar menonton berita.Namun hari itu ia merasa sangat bosan, akhirnya Erin memeriksa barang-barang yang ada di kamarnya. Namun tidak menemukan benda yang dicari.Pandangannya mengarah ke sofa di ruang kerja yang terhubung dengan kamar itu.Sejak ia pulang kerumah, David selalu tidur di ruang kerja itu, di sofa. Pria itu tidak tidur satu ranjang dengan Erin.‘Apa sejak dulu begitu? Apa tidak ada perjanjian atau pembahasan tentang itu?’Erin duduk di sofa itu lalu mengamati rak buku yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah kotak ya
Erin masih tetap menjalani perawatan di rumah sakit untuk memastikan kondisinya lebih lanjut.Meski keadaannya semakin hari semakin membaik, ingatannya masih belum kembali. Ia masih tidak mengingat tentang David.Walaupun begitu, David setiap hari datang berkunjung dan membawakan makanan kesukaan Erin. Ia sedikit merasa lega karena perempuan itu tidak kehilangan selera makannya.Saat itu Erin sedang duduk membaca buku yang dibawakan sang ayah atas permintaannya. Ia tampak serius, terlihat seperti Erin yang dulu.Tatapannya beralih, begitu pintu ruangan itu terbuka. Ia langsung menutup bukunya lalu tersenyum.Saat itulah David baru merasakan perbedaan Erin yang saat ini ada dihadapannya. Perempuan yang terlihat lebih ceria dan ekspresif.‘Mungkin Erin memang akan lebih bahagia jika pernikahan kontrak itu nggak terjadi.’“Anda datang lagi,” Ucap Erin dengan ekspresi senang.David tersenyum sedih, panggilan







