LOGINUsai menjalani sidang kode etik, Nathan resmi diturunkan dari jabatannya sebagai ketua BEM Fakultas. Layla pun mau tidak mau harus menjadi pengganti Nathan karena statusnya sebagai wakil ketua.
Laki-laki bermata hitam yang sedang duduk di tengah ruangan itu tidak banyak bicara, ia hanya sesekali menjawab pertanyaan dari senat seperlunya dan tidak menolak penurunannya sebagai ketua BEM.
Sidang kode etik itu dilihat oleh puluhan mahasiswa yang penasaran dengan kejadian saat itu. Banyak mahasiswa yang memotret berkali-kali meski dilarang. Kejadian tersebut tentu menjadi bahan pembicaraan panas karena ini pertama kalinya seorang ketua BEM diturunkan dari sebelum masa jabatannya berakhir.
Erin maupun Mina tidak terlihat datang untuk melihat Nathan. Gosip yang beredar tentang perselingkuhan itu pun semakin memanas hingga membuat berbagai macam asumsi liar berkembang.
Usai sidang kode etik selesai, Nathan keluar dari luar ruangan itu dengan memakai masker dan langsung pergi begitu saja. Dibandingkan merasa malu, ia lebih merasa marah karena menganggap Layla yang merencanakan itu semua untuk mendapatkan posisinya sebagai ketua BEM.
Nathan langsung pergi ke bar untuk mengalihkan pikirannya. Jika bisa ia ingin mengajukan cuti namun masa pengajuan cuti dibatasi pada Agustus lalu.
“Eh kamu tau nggak sih berita heboh baru-baru ini?” ucap seorang perempuan berambut hitam yang duduk tidak jauh dari Nathan.
“Apaan?”
“Itu tuh BEM Fakultas Ekonomi dilengserin dari jabatannya,” jawab perempuan berbaju hitam sambil tertawa.
“Serius? Kok bisa?”
“Waktu lagi pengenalan organisasi kampus, ada fotonya lagi ciuman sama sahabatnya sendiri waktu presentasi. Terus denger-denger nih ya, si ketua BEM itu aslinya udah tunangan.”
“Hah? Selingkuh maksud mu?”
“Iya, parah banget kan… Terus nih ya, tunangannya itu… .”
Prangg…
Belum sempat melanjutkan ucapannya, perempuan berbaju hitam itu dikagetkan dengan gelas yang dilempar ke lantai. Barista di tempat itu langsung menegur laki-laki yang melempar gelas itu.
Perempuan berbaju hitam itu menoleh ke arah laki-laki yang melempar gelas itu. Ia tampak sangat terkejut saat melihat laki-laki itu adalah orang yang baru saja dibicarakannya.
“Wah, kepribadiannya buruk sekali,” gumam perempuan berbaju hitam itu pelan.
Nathan keluar dari bar tersebut dengan ekspresi marah. Ia tidak tahu bahwa informasi tentang kejadian itu sudah diketahui banyak pihak.
Drrrtttt…
Klik…
“Ada apa bu?”
“Pulang kamu sekarang!”
Klik..
Nathan menghela nafas panjang. “Kenapa lagi sih?”
***
Sesampainya di rumah, ibu Nathan telah menunggu di ruang tengah dengan tatapan mata kosong. Mata permpuan paruh baya itu tampak sembab.
“Bu? Ada apa?” tanya Nathan pelan.
Amelian, ibu Nathan masih tetap memandang sebuah kotak berwarna hitam di atas meja dengan ekspresi kosong meski putra bungsunya sudah kembali ke rumah.
Nathan ikut melihat ke arah ibunya memandang, ia terdiam di tempatnya dalam waktu lama karena mengenali kotak kecil tersebut.
“Kamu bilang mau mengurus semua dan meminta maaf kepada Erin?” ucap Amelian tiba-tiba.
Laki-laki bermata hitam itu menunduk. “Nathan tidak bisa menghubungi Erin, bu.”
“Apa kamu tidak bisa memikirkan cara lain? Hahh… Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran mu, Nathan? Apa ibu mengajari mu untuk mengkhianati orang yang tulus pada mu?”
Nathan menghela nafas panjang. “Erin terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, bu… .”
Amelian memandang ke arah putranya dengan ekspresi marah. “Kalau kamu mencintainya seharusnya kamu mengetahui posisi Erin! Kamu pikir ia sibuk bersenang-senang seperti mu?! Dia sibuk karena bekerja, Nathan! Meski begitu dia selalu menyempatkan diri menemui mu kan?”
Nathan terdiam, hatinya terasa sakit. Sebagai anak bungsu ia selalu menerima kasih sayang berlimpah dari keluarganya. Ibu nya selama ini tidak pernah sekalipun memarahinya, namun kali ini perempuan paruh baya tersebut terlihat sangat murka.
“Apa ibu selama ini terlalu memanjakan mu hingga kamu sulit memahami orang lain? Bagaimana mungkin kamu sebodoh itu mengkhianati perempuan yang begitu baik dan malah berselingkuh?!”
Amelian memijat dahinya, kepalanya terasa sakit. Ia benar-benar merasa kecewa karena kehilangan kesempatan memiliki menantu yang baik dan pengertian seperti Erin.
“Maaf… ,” ucap Nathan lirih. Ia tahu apapun yang dikatakannya hanya akan membuat suasana hati sang ibu memburuk.
“Berusahalah minta maaf kepada Erin dengan cara apapun lalu setelah itu jangan muncul lagi di hadapannya!”
Amelian langsung bangkit dan masuk ke dalam kamarnya. Hati perempuan paruh baya itu terasa sakit. Ia merasa gagal mendidik anaknya dengan baik. Nathan mengehela nafas panjang. Dibandingkan pembicaraan orang lain tentang dirinya, perkataan ibunya sendiri jauh terasa lebih menyakitkan.
Sejak orang tuanya memarahinya usai kejadian waktu itu, laki-laki bermata hitam itu sudah puluhan kali mencoba menghubungi Erin, tapi gadis bermata coklat itu tidak pernah sekalipun mengangkat telfon darinya.
Pandangan mata Nathan beralih kembali ke kotak kecil hitam di atas meja. Ia mendekat lalu mengambil benda tersebut. Dengan perlahan ia membuka kotak kecil hitam yang sangat dikenalinya itu. Sebuah cincin putih dengan hiasan berbentuk infinite berada di kotak hitam itu. Dulu Nathan membeli cincin itu dengan uang tabungannya yang ia kumpulkan dalam waktu bertahun-tahun.
Laki-laki bermata hitam itu menatap cincin itu dengan perasaan bercampur. Nathan dulu pernah sangat mencintai Erin. Saat itu ia bisa membayangkan masa depannya bersama gadis bermata coklat tersebut. Oleh karena itu setelah lulus SMA, ia langsung meminta untuk bertunangan dengan Erin.
Setelah memasuki dunia perkuliahan semua berubah, Erin menjadi lebih sibuk karena harus membantu pekerjaan ayahnya. Meski begitu Erin selalu menyempatkan diri menemui dan mengabari Nathan. Perlahan perasaan Nathan mulai berkurang seiring berkurangnya pertemuannya dengan Erin. Saat itulah perhatian-perhatian kecil dari teman perempuan lainnya membuatnya merasa nyaman.
Nathan sempat mengutarakan perasaannya kepada Erin namun gadis bermata coklat itu tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawab dan justru meminta Nathan untuk lebih pengertian terhadap kesibukannya.
Laki-laki bermata hitam itu juga pernah meminta solusi kepada kakak dan ibunya, namun saat itu ia justru dibandingkan dengan Erin.
Erin yang baik, pengertian, dewasa dan mandiri. Erin yang bisa memiliki berbagai usaha di usia muda. Erin yang tidak bermalas-malasan meski ayahnya disebut sebagai salah satu orang terkaya di Yogyakarta.
Semua yang diucapkan oleh ibunya itu mulai mengganggunya. Rasa rendah diri yang tiba-tiba muncul itu membuatnya semakin bingung dengan perasaannya. Nathan tahu betul Erin tidak bersalah dalam hal ini, tapi laki-laki bermata hitam itu terus mencari pembenaran dan menyalahkan siapapun yang bisa disalahkan.
Nathan mulai berpikir Erin lebih mementingkan uang daripada dirinya. Ia selalu berpikir bahwa suatu waktu nanti mungkin saja gadis bermata coklat itu akan merendahkannya karena tidak bisa memiliki hal yang bisa dibanggakan.
Seiring waktu pergaulan Nathan berubah. Ia mulai mengikuti teman-temannya yang senang berfoya-foya. Kakaknya yang mengetahui hal tersebut akhirnya mulai membatasi uang jajan Nathan. Laki-laki bermata hitam itu mulai mengeluhkan sikap kakaknya kepada kekasihnya. Erin yang begitu mencintai Nathan pun mulai memberikan uang jajan tambahan kepada Nathan. Gadis bermata coklat itu memberikan cinta, kasih sayang dan materi sebanyak yang mampu ia berikan karena itu Nathan tidak memutuskannya meski perasaannya pada gadis itu telah berubah.
Drrtttt…
Lamunan Nathan terhenti begitu mendengar suara getaran ponsel. Ia memasukkan kotak cincin tersebut ke dalam sakunya.
Klik…
“Halo… .”
“Nathan, hikss… aku hamil… .”
*****
Erin terdiam sejenak. Ia ragu antara harus menjelaskan niatnya atau mengatakan separuh hal saja.“Pa, apa papa bisa percaya sama Erin?”Keraguan terlihat jelas pada sorot mata tua itu. Namun Harsano tidak ingin terlalu mengatur apa yang ingin dilakukan putrinya.“Papa percaya padamu, tapi papa khawatir kalau kamu kesana sendiri dengan ingatan yang masih belum kembali sepenuhnya.”Perempuan bermata coklat itu tersenyum. “Kan ada nenek dan kakek disana, ada juga Alen. Mereka tentu akan menjaga ku.”Ada ketidakrelaan pada raut wajah Harsano. Namun pria tua itu tidak bisa menolak jika putrinya sudah menetapkan sesuatu.“Baiklah, tapi sering kabari papa dari sana.”“Pa… kan aku masih disini. Itu pun aku pergi setelah aku benar-benar sehat,” gerutu Erin pelan.Harsano membelai kepala putrinya. “Papa tau, papa hanya khawatir.”Sebenarnya Harsano tidak hanya mengkhawatirkan putrinya. Namun ia juga mencemaskan David.Menantunya itu sudah lama berusaha melakukan hal terbaik untuk Erin. Namun ji
Erin tidak ingin menunjukkan betapa rindunya ia dengan sosok pria yang kaku itu. Ia enggan menunjukkan perasaannya untuk sementara karena suatu alasan.“Oh iya, David, Erin menanyakan ponselnya yang lama. Apa masih kamu simpan?” Tanya Harsano tiba-tiba.David yang sedang membawakan potongan kue, langsung mengalihkan pandangannya ke Erin.Perempuan yang duduk di ranjang rumah sakit itu terlihat terkejut. Namun ia langsung mengendalikan ekspresinya.“Masih kok, tapi di rumah. Kenapa tiba-tiba menanyakan ponsel mu yang lama?”“Emm, siapa tau ada sesuatu di ponsel itu yang membuat ku bisa ingat sesuatu,” balas Erin gugup.Ia tidak mengatakan kebohongan. Namun yang diucapkannya hanyalah sebagian dari kebenaran.Perempuan tersebut mencari ponsel lamanya untuk mencari catatan atau sesuatu yang bisa membuatnya ingat lebih cepat.‘Aku nggak bisa bilang kalau aku perlu menghubungi mantan istrinya untuk bertanya kan?’ pikir Erin dalam hati.Pria itu menyodorkan kue itu sambil mengamati eskpresi
David duduk, berdiri, berjalan pelan, lalu kembali duduk. Ia mengulangi itu berkali-kali. Pria itu bahkan lupa menghubungi keluarganya karena pikirannya sedang tidak tenang.Rasa ngeri itu kembali dengan lebih menyakitkan. Meski ia tau Erin sebelumnya dalam keadaan baik-baik saja, pikirannya tetap kembali mengingat bagaimana tubuh pucat Erin terbaring di ruangan yang dingin itu.15 menit kemudian, dokter yang bertugas beserta satu perawat, keluar dengan ekspresi lelah.“Bagaimana keadaan istri saya dok?”“Pasien sudah membaik, beliau akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa, anda bisa ikut saya.”David pun mengikuti langkah dokter menuju ruangannya. Dokter muda itu mencuci tangannya lalu melepas masker sebelum kemudian duduk.Ia menjelaskan dengan tenang lalu bertanya tentang keseharian Erin pasca menjalani perawatan di rumah.David pun menjelaskan secara singkat tentang kegiatan Erin. Baik ia maupun Har
Ada jeda yang cukup lama dan itu membuat keduanya diselimuti keheningan yang menyesakkan.David tidak mengatakan apapun, ia masih menungggu respon istrinya untuk cerita yang baru saja ia katakan.“Siapa saja yang tau tentang pernikahan kontrak ini?” tanya Erin dengan eskpresi cemas.Tatapan keduanya bertemu. Namun David langsung mengalihkannya ke arah lain. Ia merasa takut melihat tatapan Erin yang kadang terlihat berbeda.“Niki, mantan istriku, nenek mu, lalu – “ David sempat ragu untuk melanjutkan perkataannya. Namun ia akhirnya tetap mengatakannya. “Papa mu.”Erin terkejut meski sebenarnya ia sudah menebaknya sejak awal. Namun ia cepat mengendalikan dirinya.“Kapan papa tau tentang itu? Sejak awal?”“Aku nggak yakin kapan tepatnya, tapi sepertinya kalau sejak awal itu nggak mungkin.”Helaan nafas panjang terdengar dari Erin. Ia memejamkan matanya perlahan lalu memijit pelan kepalanya yang terasa sakit. “Apa kejadian sebelum kecelakaan ada kaitannya dengan itu?”Lagi-lagi David ter
Setelah menjalani perawatan tambahan selama hampir satu minggu, Erin akhirnya diperbolehkan pulang.Meski begitu perempuan itu masih tidak diperbolehkan langsung bekerja. Baik Harsano maupun David tampak lebih protektif. Bahkan Erin masih dilarang mengendarai kendaraan sendiri.Kegiatan Erin sehari-hari lebih banyak di dalam kamarnya. Ia akan membaca buku, membaca artikel atau sekedar menonton berita.Namun hari itu ia merasa sangat bosan, akhirnya Erin memeriksa barang-barang yang ada di kamarnya. Namun tidak menemukan benda yang dicari.Pandangannya mengarah ke sofa di ruang kerja yang terhubung dengan kamar itu.Sejak ia pulang kerumah, David selalu tidur di ruang kerja itu, di sofa. Pria itu tidak tidur satu ranjang dengan Erin.‘Apa sejak dulu begitu? Apa tidak ada perjanjian atau pembahasan tentang itu?’Erin duduk di sofa itu lalu mengamati rak buku yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah kotak ya
Erin masih tetap menjalani perawatan di rumah sakit untuk memastikan kondisinya lebih lanjut.Meski keadaannya semakin hari semakin membaik, ingatannya masih belum kembali. Ia masih tidak mengingat tentang David.Walaupun begitu, David setiap hari datang berkunjung dan membawakan makanan kesukaan Erin. Ia sedikit merasa lega karena perempuan itu tidak kehilangan selera makannya.Saat itu Erin sedang duduk membaca buku yang dibawakan sang ayah atas permintaannya. Ia tampak serius, terlihat seperti Erin yang dulu.Tatapannya beralih, begitu pintu ruangan itu terbuka. Ia langsung menutup bukunya lalu tersenyum.Saat itulah David baru merasakan perbedaan Erin yang saat ini ada dihadapannya. Perempuan yang terlihat lebih ceria dan ekspresif.‘Mungkin Erin memang akan lebih bahagia jika pernikahan kontrak itu nggak terjadi.’“Anda datang lagi,” Ucap Erin dengan ekspresi senang.David tersenyum sedih, panggilan







