Share

Peringatan

Nathan kembali ke rumah dengan keadaan basah kuyup. Kakaknya telah menunggu di ruang tengah dengan ekspresi datar. “Darimana saja kamu?”

“Dari rumah Erin… .”

“Berhentilah melakukan hal itu setiap hari.”

Nathan diam, ia melanjutkan langkahnya menuju kamar. Buket bunga yang sejak tadi dibawa itu diletakkan berjajar dengan buket bunga lainnya di dekat jendela ruangan bernuansa putih tersebut. Laki-laki bermata coklat itu menghela nafas panjang sambil menatap buket bunga tulip putih itu.

Tok..tok..tok..

“Ya?”

Klek…

Amelian tampak kaget saat melihat Nathan masih memakai pakaiannya yang basah.

“Kamu ini kenapa tidak mandi dan ganti baju langsung setelah kehujanan begitu?” ucap Amelian dengan eskpresi cemas.

“Iya ini baru mau mandi, ada apa ibu tiba-tiba ke kamar Nathan?”

“Ayah mu menyuruh mu ke ruang kerjanya.”

“Iya, nanti Nathan akan kesana setelah mandi.”

Amelian mengangguk lalu kembali ke ruang tengah. Wanita paruh baya itu tampak mengkhawatirkan sesuatu. Ia memang menginginkan putranya meminta maaf namun melihat Nathan pulang dengan basah kuyup seperti hari ini membuat Amelian merasa tidak tega. Wanita paruh baya itu melanjutkan langkahnya dan kembali ke ruang tengah.

“David, bukankah kamu dekat dengan Erin?” tanya Amelian tiba-tiba.

David yang sedang membaca majalah di ruang tengah menatap ibunya. “Ya, kenapa?”

“Apa kamu tidak bisa membujuk Erin untuk memaafkan Nathan?”

“Bu, itu urusan mereka, David tidak berhak untuk ikut campur.”

Amelian diam sejenak, ia duduk dengan ekspresi tidak tenang. “Apa menurut mu Erin bisa memaafkan Nathan?”

David terdiam sejenak, ia tidak bisa memberitahu hal yang sebenarnya kepada sang ibu. “Entahlah, tapi jika tidak dimaafkan bukankah itu hal yang wajar? Ibu kan tau sebelum ini Erin begitu mencintai Nathan, tapi yang dilakukan Nathan bodoh itu justru seperti itu… .”

Amelian diam, ia bukannya tidak memahami hal itu. Wanita paruh baya itu mengerti betul bagaimana besarnya perasaan Erin kepada Nathan. Ia mengetahui usaha Erin dalam menjalin hubungan dengan Nathan yang sering bersikap semaunya. Namun ketulusan gadis itu dibalas dengan perbuatan yang buruk.

Nathan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu bisa mendengar semua obrolan ibunya dengan sang kakak. Ia berdiam diri cukup lama sambil merenungi tindakannya yang sudah membuat banyak orang kecewa. Setelah obrolan David dan ibunya berganti topik, barulah Nathan melanjutkan langkahnya.

“Ayah masih di ruang kerja?”

“Ya, ayah mu masih disana karena masih ada pekerjaan yang harus diperiksa.”

Nathan mengangguk lalu segera melangkah menuju ruang kerja ayahnya.

Tok…tok..

“Masuk.”

Klek…

“Ayah memanggil saya?”

“Ya… ,” jawab Hardion dengan ekspresi datar.

Pria paruh baya itu melepas kacamatanya lalu menatap ke arah Nathan. “Apa Erin sudah memaafkan mu?”

Nathan terdiam sejenak. “Erin hanya berbicara saat menyuruh saya pulang… . Dia masih belum mau mendengarkan saya.”

Hardion menatap Nathan. “Kalau begitu lakukan setiap hari seperti biasa sampai dia bisa memaafkan mu.”

“Kalau Erin tidak memaafkan saya bagaimana?” ucap Nathan ragu.

“Tidak ada seorang gadis yang akan tetap marah terus menerus jika kamu menunjukkan kesungguhan mu.”

“Ya… .” Nathan diam memandangi cincin di jari tangannya. Meski tidak yakin, Nathan berharap Erin benar-benar bisa memaafkannya.

“Bagaimana kuliah mu? Apa ada teguran dari pihak kampus?”

“Saya mendapat teguran dari kepala jurusan karena kejadian itu menyebar di media sosial. Saya sudah menyampaikan permintaan maaf baik secara tertulis maupun langsung melalui media sosial… .”

Hardion menghela nafas, banyak juga karyawannya yang membicarakan putra bungsunya itu. “Lalu apa ada tindakan khusus yang kamu dapat dari pihak kampus?”

“Ehmm… kepala jurusan hanya menyuruh saya untuk tidak berlama-lama di kampus sampai suasana mereda.”

“Untung saja ayah mu kenal baik dengan dekan fakultas mu… ,” gumam Hardion pelan.

Nathan diam, ia sebenarnya merasa malu karena mengandalkan koneksi ayahnya untuk meredakan akibat dari permasalahan yang ia lakukan itu. 

Hardion menghela nafas lagi. “Kamu tidak perlu sempurna seperti kakak mu, hiduplah biasa saja dengan baik, itu sudah cukup membantu ayah… .”

Pria paruh baya itu sengaja mengatakan hal tersebut agar Nathan lebih mau memikirkan tindakannya dan tidak mengulangi perbuatan buruknya. Ia tidak berharap banyak dengan putra bungsunya itu karena sejak kecil Nathan memang lebih sering bertindak semaunya.

“Saya mengerti… maafkan Nathan, yah.” Laki-laki bermata hitam itu mengepalkan tangannya perlahan. Ia selalu merasa kesal karena orang tuanya selalu lebih memuji kakaknya tapi justru tidak berharap apapun kepada anak bungsunya.

“Ya sudah, kamu bisa kembali.”

“Baik… .” Nathan bangkit lalu melangkah meninggalkan ruang kerja ayahnya tersebut. Ia masih bingung kenapa ayahnya begitu memperhatikan masalahnya dengan Erin dan memintanya untuk terus mencoba hingga ia dimaafkan.

‘Apa karena ayah sangat menyayangi Erin seperti anaknya sendiri, jadi ayah ingin aku memperbaiki hubungan?’

Nathan tidak tahu ada maksud lain dari tindakan ayahnya yang menginginkan perbaikan hubungan tersebut. Ia saat itu hanya berpikir ayahnya benar-benar menyayangi Erin seperti anaknya sendiri.

***

Saat akan kembali ke kamar, David sudah menunggu Nathan di dekat pintu dengan ekspresi datarnya.

“Ada apa, mas?” tanya Nathan begitu melihat David tampak tidak seperti biasanya.

“Berhentilah menemui Erin,” ucap David tiba-tiba.

Nathan menatap ke arah kakaknya dengan ekspresi tidak senang. “Mas David jangan ikut campur urusan ku.”

David menatap Nathan dengan ekspresi dinginnya. “Hanya itu nasehat yang bisa mas mu ini berikan.”

“Apa mas David mau menentang ayah?”

“Apa maksud mu?” David masih belum mengetahui jika ayahnya juga mendukung Nathan untuk meminta maaf kepada Erin.

“Ayah mendukung ku supaya aku minta maaf ke Erin dan… .” Nathan tidak melanjutkan perkataannya, ia merasa kakaknya tidak perlu mengetahui jika sang ayah berharap anaknya bisa menjalin hubungan lagi dengan Erin.

“Dan apa?”

“Dan itu tanggungjawab ku,” ucap Nathan meralat ucapannya.

“Tanggungjawab kamu bilang?! Kalau kamu mengerti tanggungjawab, sejak awal kamu nggak akan selingkuh dari Erin, Nathan!”

“Aku tau aku salah, karena itu aku mau belajar bertanggungjawab… ,” ucap Nathan dengan ekspresi serius.

Mendengar hal tersebut David menjadi semakin emosi. “Kamu bisa terapkan tanggungjawab mu itu dengan tidak mengganggu kehidupan Erina lagi!”

Nathan diam, ia mengerti itu dan pernah berpikir demikian saat melihat Erin menangis. Namun setelah ayahnya mendukung ia untuk minta maaf, Nathan menjadi berharap bisa diberi kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya.

“Aku mau tetap nyoba, mas. Kalau akhirnya Erin meminta ku pergi, tentu aku akan menurutinya, tapi aku mau nyoba minta maaf dulu.”

David diam, ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia mencoba memperingati Nathan karena khawatir dengan adiknya itu. Namun ia tidak bisa mengatakan lebih banyak karena ada janji yang harus ia tepati.

“Terserah kamu sajalah, mas hanya bisa memberi peringatan sebatas ini.” David langsung pergi begitu saja meninggalkan Nathan yang tampak bingung.

‘Peringatan? Apa maksudnya?’ gumam Nathan dalam hati dengan ekspresi bingung.

Laki-laki bermata hitam itu masuk kembali ke dalam kamarnya dengan penuh tanda tanya. ‘Kenapa ayah dan mas David kali ini berbeda pendapat?’

Nathan tidak menyadari jika apa yang diucapkan oleh ayahnya maupun kakaknya memiliki maksud lain.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status