Share

last update Last Updated: 2022-12-21 00:57:16

Sampai saat ini aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi.

Ketika bertemu, kami berdua tidak banyak bicara karena Mama dan Papa selalu mendominasi. Dia lebih banyak tertawa menanggapi pertanyaan-pertanyaan orangtuaku sesekali curi pandang melihatku. Hanya sekitar 15 menit sebelum pada akhirnya pamit pulang dan meminta nomor ponselku.

Sekarang, disinilah aku berada. Duduk diatas kasur sambil memikirkan semuanya. Mungkin bayanganku soal Richard tidak seburuk kenyataannya. Dia memang tidak terlihat tua seperti yang kubayangkan. Tidak juga jelek. Bahkan dia yang paling tampan diantara pria-pria yang sebelumnya datang. Tapi semua itu tetap saja tidak membuatku jatuh hati.

Aku ingin menangis karena rencana pernikahan ini. Aku tidak mau menikah sekarang. Aku tidak bisa. Ada banyak target yang belum kupenuhi dan banyak hal yang belum kucapai. Bagaimana jika menikah lalu hamil? Lalu memiliki anak? Lalu Richard mengatur-atur kebebasanku? Lalu aku hanya bisa melakukan apa yang dia inginkan sebagaimana harusnya perempuan yang baik? NOOOOO....!

Ini tidak boleh terjadi...

Andai aku bukan anak satu-satunya Mama dan Papa. Andai aku memiliki adik perempuan yang bisa kujadikan kambing hitam...

Belum selesai aku memikirkan semua ini, tiba-tiba ponselku berdering.

Nomor panggilan tersebut tidak kuketahui karena belum kusimpan. Aku curiga itu Richard karena sejak meminta nomorku, dia belum menghubungiku sama sekali. Begitu kuangkat.

"Hallo?"

"Siapa?"

"Richard. Jangan lupa simpan nomorku, Jasmine."

Sudah kuduga.

"Ah, iya, gampang." kataku.

"Mm-hmm..."

Kami berdua diam sesaat. "Richard, kau tahu... pernikahan ini sebenarnya--"

*Tok tok tok

"Jasmine, Papa ingin bicara padamu," Suara Papa dibalik pintu yang mengalihkan percakapanku.

"Sebenarnya?" tanya Richard menunggu.

"Tunggu sebentar. Nanti kuhubungi kau lagi," kataku, kemudian memutuskan panggilan dan membukakan pintu.

"Ada apa Pa?"

"Kau sedang apa?"

"Tidak ada. Ada apa?"

"Papa ingin bicara padamu soal Richard." Kata Papa memasuki kamar.

"Oh,"

Papa duduk disalah satu kursi yang ada di tengah kamar dan aku duduk dihadapannya.

"Kau tahu, sebelum Papa dan Mama memutuskan menerima lamaran Richard, tentu saja kami sudah cari tahu tentang mereka. Richard ini anak baik-baik, Jasmine. Tentu saja suatu kehormatan untuk Papa bisa punya menantu sepertinya."

Aku memutar mata.

"Jangan sampai pernikahan kalian batal karena ini harapan terbesar Papa. Selama ini, Papa dan Mama selalu menuruti kemauanmu. Papa dan Mama hanya minta sekali saja... Sekali saja kau menuruti permintaan Papa dan Mama."

"Aku tahu."

"Kau mau 'kan? Menikah?"

"Entahlah."

Papa menghela napas. Aku diam selama beberapa detik. Ketika melihat wajah Papa yang terlihat tua, rambut-rambut yang telah memutih juga kerutan di dahi, aku merasa iba. "Baiklah, Pa. Aku... bisa menikah."

Akhirnya Papa tersenyum. "Pintar."

Kemudian setelah berdiri, ia berkata, "Jadilah anak gadis yang baik. Papa dan Mama selalu mengharapkan kebahagiaanmu, Jasmine."

"Iya, Pa." kataku sambil mengantarkannya keluar kamar.

Setelah tutup pintu, aku mengurungkan niatku memberitahu Richard bahwa pernikahan ini sebenarnya bukan keinginanku. Aku terpaksa dan tidak mau terikat dengannya. Tapi jika seperti ini, apakah aku akan tetap memberitahunya?

Beberapa hari berikutnya, aku menyadari bahwa kedua sahabatku belum tahu soal ini. Soal rencana pernikahanku dengan Richard. Ternyata apa yang dikatakan Sasha menjadi kenyataan, bahwa kami bertiga akan menikah di tahun yang sama.

Saat kami bertiga videocall, Harit memberitahu kami kalau dia akan menikah di bulan Juli. Sedangkan Sasha menceritakan pengalamannya honeymoon di Eropa. Dia terlihat paling bahagia diantara kami berdua dan aku terlihat paling sedih sekaligus lesu.

"Teman-teman... Aku ingin memberitahu kalian sesuatu." Kataku serius ketika keduanya sudah berhenti bicara.

"Ada apa?"

"Aku..."

Keduanya menunggu.

Dengan malas, aku menyelesaikan kalimat sebelumnya, "Akan menikah."

"What??!! Aaaaaaaa!!"

"Aaaaa!!"

Harit dan Sasha langsung bersorak senang sedangkan wajahku masih terlihat sama seperti sebelumnya. Malas...

"Jadi, kau sudah berhenti menolak lamaran pria?"

"Tidak. Lebih tepatnya aku terpaksa karena orangtuaku sudah menerima lamarannya."

"Kenapa? Siapa namanya? dia orang mana?"

"Orang dikota ini, namanya Richard Holmes, orangtuanya pemilik perusahaan Holmes. Entah perusahaan apa itu aku tidak tahu. Aku juga tidak peduli,"

Harit tertawa. "Kau akan menikah kapan?"

"Entahlah, aku belum tahu, semoga masih lama... Tenang saja, aku pasti memberitahu kalian jika sudah ada tanggal."

"Baiklah, baiklah," jawab Harit.

Kemudian terdengar suara seseorang yang memanggil Harit. "Hei, aku pergi dulu ya? Besok sambung lagi," kata Harit dan setelah kami berdua mengiyakan, dia mematikan panggilan.

Sekarang tinggal aku dan Sasha.

"Menurutmu bagaimana rasanya menikah?" tanyaku pada Sasha.

Dia tersenyum lebar dan menjawab, "Entahlah, Aku baru menikah 1 bulan tapi sejauh ini menyenangkan,"

"Apa menyenangkannya?"

Ia tertawa sambil menutup mulut. "Hehehe, kau tahu lah, apa yang menyenangkan."

"Apa?"

"Itu..."

"Apa?"

"Ah, kau ini... Pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu?"

"Jangan bilang malam pertama?"

Ia tertawa. "Tidak. Bukan malam pertama. Sebenarnya malam pertama sedikit sakit, tapi malam kedua."

"Dih!! Kau ini!!!!"

Sasha tertawa keras.

"Berarti itu kan?"

"Tidak, Jasmine. Sebenarnya bukan hanya itu. Sebenarnya banyak, seperti, kau sudah tidak tidur sendiri... kau memiliki seseorang yang mencintaimu, menjagamu, dan kau punya status, kau juga--"

Aku memutar mata. Segala yang Sasha katakan bukan hal yang selama ini kucari. Mungkin lebih tepatnya aku belum marasakan hal-hal semacam itu, seperti ingin dicintai, ingin dijaga, ingin memiliki status, dan lain-lain.

"Sekalipun sekarang kau terpaksa, mungkin nantinya kau senang dengan pernikahanmu."

"Huh, apa kau yakin?"

Sasha mengangguk. "Aku yakin."

"Hmmm..."

"Tunggu, sepertinya suamiku sudah pulang. Kalau begitu, aku pamit dulu ya?" kata Sasha.

"Baiklah," Kumatikan panggilan dan kembali rebahan.

Baru beberapa detik telfon mati, aku kembali mendengar nada pesan masuk. Saat ku cek, ternyata pesan dari Richard.

Besok keluarga kecilku akan datang ke rumahmu. Biar mereka semua melihat seperti apa calon istriku ini.

Huuuhhh!! tiba-tiba perasaaan geli menjalar keseluruh tubuh begitu membaca kalimat "ISTRIKU"

Astaga, apa aku benar-benar akan menikah?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikah Paksa!   ①⑦

    Aku menatap ponselku. Menunggu pesan masuk dari Emily. Kemudian...Ting!Tanda pesan masuk baru. 1 foto blur yang otomatis ku unduh. Ketika gambarnya jelas, aku berdecak kesal."Dasar!" kataku.Rivi yang berdiri di belakangku ikut melihat apa yang kulihat."Siapa itu?" tanya Rivi.Tanpa perlu memperbesar foto pun aku tahu siapa pria itu. "Ini Suaminya Sasha, Riv." Kataku."Dasar, Emily. Kupikir Istriku bersama siapa,"Kemudian kudengar dari rekaman, Emily mulai beraksi. Dia yang sudah membawa nampan makanan mendatangi Jasmine dan Sasha sambil pura-pura mengenal keduanya. Kemudian dia ingin bergabung bersama mereka.Emily mengatakan bahwa dirinya juga alumni sekolah Jasmine. Dia tahu Jasmine populer, ketua cheerleaders dan semacamnya. Kemudian Sasha memberitahu pria yang bersama mereka itu suaminya dan Emily mengajaknya berkenalan juga.Setelah bertanya basa-basi kenapa mereka disini dan sebagainya, akhirnya topik berganti soal masa-masa sekolah. Aku dan Rivi mulai tegang karena takut

  • Nikah Paksa!   ①⑥

    Malam hari jam pulang kerja, aku melihat CCTV rumah lewat ponselku. Ada Ibu datang entah sejak kapan. Kuputar mundur CCTV sampai di titik sore menjelang malam. Ibu datang pada saat itu. Kemudian aku kembali melihat apa yang sedang mereka bicarakan sekarang. Keduanya ada di dapur sambil tertawa. "Ibu memang tidak pintar memasak. Tapi untungnya Ayah mau makan ayam gosong itu," Jasmine masih tertawa. "Tapi seiring berjalannya waktu, Ibu mulai bisa beberapa resep. Hanya beberapa resep saja karena selebihnya sudah dikerjakan koki di rumah," Jasmine mengangguk-angguk. Aku ikut tersenyum melihatnya. Kemudian aku masuk ke dalam mobil. Meletakkan ponselku pada penyangga di dashboard, lalu menyalakan mesin. Selama perjalanan, aku tidak fokus mendengarkan pembicaraan mereka, tapi di lampu merah, Ibu berkata, "Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin memiliki cucu," Ibu melihat Jasmine sambil tersenyum lebar dan Jasmine merasa sedikit kikuk. "Apa kau sudah melakukan test pack?" Jasmine mulai b

  • Nikah Paksa!   ①⑤

    Pagi itu aku meminta 3 suruhanku mencari informasi apapun tentang persahabatan dan riwayat hidup Jasmine. Hanya dalam waktu seminggu, mereka sudah memberiku berbagai informasi tentang Sasha dan Harit. Berapa lama mereka bersahabat, kemana saja mereka pergi, apa saja yang biasa mereka lakukan, film apa yang biasa mereka tonton. Juga sekumpulan foto Jasmine dengan mereka. Foto berpelukkan, foto di kelas waktu mereka masih SMA, juga foto dengan teman-temannya yang lain. Aku menggelengkan kepala sambil mengamati foto itu satu per satu. Belum ada hal yang mencurigakan disana. Kemudian informasi tentang sahabat Jasmine waktu SD sampai SMP yang bernama Sally. Foto-foto mereka berdua yang lebih banyak memeluk. Jasmine dan Sally selalu berdekatan. Mereka selalu pergi bersama sambil bergandengan tangan, bahkan Sally sudah dianggap anak oleh Mama Sarah. Mereka sudah satu kelas sejak SD sampai SMP, sayangnya setelah kelulusan SMP, Sally pindah keluar negeri hingga keduanya mulai putus komunika

  • Nikah Paksa!   ①④ ~RICHARD POV~

    Namaku Richard Holmes, tapi orang-orang terdekatku biasa memanggilku Richie. Aku lahir di musim kemarau, tepatnya pada bulan april sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama keluarga Holmes. Ayahku adalah pengusaha besar pemilik perusahaan Holmes dan keluargaku cukup terkenal di kalangan para pengusaha sebagai orang yang baik dan terpandang. Sejak kecil, kedua orang tuaku sudah memberikan yang terbaik. Mereka menyekolahkanku di sekolah terbaik, mencarikanku guru les terbaik dan mengumpulkan ku dengan orang-orang terpelajar. Banyak orang yang mengatakan diriku sempurna. Terlahir dari keluarga terhormat, memiliki fisik yang tampan, dan memiliki sifat yang dermawan seperti Ayahku (kata mereka). Tapi diantara 3 pujian tersebut, yang paling sering kudengar adalah ketampanan fisik. Sejak masuk taman kanak-kanak, sudah banyak perempuan yang ingin dekat denganku. Waktu sekolah dasar, aku pernah curi dengar anak-anak perempuan yang sedang membicarakanku. Salah satu diantara mereka meng

  • Nikah Paksa!   ①③

    "K-kau..." Mama terbata-bata. "Apa yang kau pikirkan, Jasmine??" Tiba-tiba suaranya meninggi, tapi kemudian diam sambil menutup mata sejenak. Mama sadar kami sedang tidak berdua, ia manatap Lily dan memberinya isyarat untuk pergi. Lily yang sejak kemarin memang tidak tahu kejadian apapun langsung angkat kaki. Kemudian Mama kembali bertanya tapi kali ini suaranya jelas. "Jadi kemarin kau membentak Richard?""Hmm," Jawabku mengiyakan. "Astaga, Jasmine. Kau tahu? 21 tahun, Jasmine. 21 tahun Mama menikah dengan Papamu, sampai detik ini belum pernah Mama membentak. Kau baru 2 hari menikah langsung membentak suamimu seperti itu? Kau tahu posisi kita ini apa?" Suara Mama kembali meninggi hingga aku tak berani menatapnya lagi. "Tanpa keluarga Richard, Papa tidak bisa membesarkan perusahaannya menjadi seperti sekarang. 5 tahun lebih Papamu bekerja sama dengan keluarga Richard. Bisa-bisa hancur karena ulahmu!" "Tapi aku tidak mau menikah, Ma! Ini bukan kemauanku!" "Papa bilang kau sudah ma

  • Nikah Paksa!   ①②

    Aku langsung mengambil bantal dan menepuk wajahnya yang hendak mendekat, "NOO!!" Richard mundur seketika. "Sudah kubilang aku tidak mau, aku tidak siap sekarang Richard, aku tidak si--" "Baiklah, baiklah." Richard mengangkat kedua tangannya. "Aku menyerah sekarang, sungguh, aku mau tidur saja," Dia merebahkan tubuhnya di kasur sedangkan aku masih duduk. Aku mendengus kesal karena kasur ini tidak luas. Mau tidak mau jarakku dengan Richard selalu berdekatan. "Kenapa?" Tanya Richard. "Harusnya kasur ini diganti dengan kasur sebelah." "Aku tidak mau." Jawab Richard. "Kasur sebelah bekas tidur tamu, dan kasur satunya bekas Rivi. Ini satu-satunya kasurku." "Duuuh, apa penting kasur ini bekas tamu atau siapalah," "Penting." Richard menghadapkan tubuhnya kearahku dan menutup mata. "Nanti kubelikan kasur baru... kau mau yang seperti apa? King size? Tapi begini saja sudah nyaman." "Ya. Nyaman untukmu tapi tidak untukku." Richard tidak menjawab. Dia masih menutup matanya. Aku kembali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status