Share

Enak di Kamu Aja

Enak di Kamu Aja.

Sekarang lagi musim hujan, mau pagi… siang… sore…. malam… kalau langit pengen menurunkan hujan yaaa…. bakalan hujan. Begitu juga halnya pagi ini, di saat Dinda bersiap ke sekolah, langit langsung memuntahkan airnya ke permukaan bumi. Padahal Dinda inginnya kucuran air tersebut akan datang di saat dia sudah berada di sekolah sehingga dia tidak perlu memusingkan bagaimana cara dia sampai di sekolah tanpa basah-basah.

Seandainya Dinda punya uang, dia ingin sekali meminta bantuan Rara untuk menghentikan hujan, atau seandainya Dinda punya keahlian, maka Dinda akan memindahkan hujan di kampungnya ke Korea sana. Biar Song Kang dan kawan-kawan nya saja yang menikmati hujan.

Dinda masih berdiri cemberut di depan pintu. Bagaimana dia akan pergi sekolah jika hujan lebat seperti ini? Memakai payung bukan solusi yang tepat saat ini, karena selain sangat deras, angin juga bertiup dengan kencang.

“Dindaaa…. Dindaaa….”

Terdengar suara seseorang berteriak, dahsyat sekali suaranya sehingga mampu mengalahkan suara hujan. Dinda memutar kepala mencari sumber suara, siapa gerangan yang menyebut namanya di saat hujan seperti ini? Apakah malaikat-malaikat ini khusus turun ke bumi hanya untuk memanggil namanya?

Cemberut di wajah Dinda semakin menjadi saat dia melihat lambaian tangan seseorang di seberang sana.

Dia lagiiii…. Dia lagiiiii….

Dengan semangat yang membara, menggunakan jas hujan yang membaluti tubuhnya, pria itu berlari mengejar Dinda yang sudah membalikkan badan.

“Dek… sini Abang antar,” tawar Rendra.

“Hujan Bang, nanti Abang sakit.” Meskipun Dinda tidak suka, tetapi Dinda berusaha untuk bersikap sopan pada Rendra, itu yang selalu diajarkan oleh mak dan bapak Dinda, selalu bersikap sopan pada makhluk yang berjenis pria.

“Kalau sakit karena mengantar Dindaaa, Abang rela!”

Dinda mengusap dada, dosa apa yang pernah dia lakukan sehingga dia bertemu dengan orang seperti Rendra?

“Ayo Dek, nanti telat sekolah loh. Atau mau ikut sama Abang ke KUA saja?”

Dinda melototkan mata, kenapa yang ada dalam pikiran Rendra terus itu saja?

Rendra tertawa, setiap ekspresi yang di tampilkan Dinda selalu lucu dalam pandangan nya. Bola mata Dinda yang hampir keluar itu saja terlihat seperti gummy jelly puppy di mata Rendra.

“Maaak… Rendra antar Dinda ke sekolah ya?”

Karena Dinda tidak kunjung menerima ajakan Rendra, pria itu berteriak kuat. Ngeriii… suaranya saja bisa sekeras itu? Gak level lah sama Dinda yang ayu dan kemayu seperti putri keraton Jogja.

Mak yang dari tadi berada di dapur jalan tergopoh-gopoh keluar.

“Eeeeh, ada Rendra. Kenapa berdiri di luar saja?”

“Mak, Rendra izin antar Dinda ke sekolah ya?”

“Loh, Dinda belum jadi berangkat? Mak pikir sudah pergi dari tadi.” Tatapan Mak beralih pada Dinda.

“Kan ujan, Mak,” sungut Dinda.

“Ya udah, kamu di antar Rendra aja.”

Rendra tersenyum lebar, mendapati persetujuan dari Mak, dia kembali berlari ke rumahnya dan datang kembali dengan mobil pick up yang biasa di gunakan bapaknya untuk membawa hasil panen ke balai desa.”

“Ayo Dek, kita berangkat,” ajak Rendra.

“Ogah! Dinda gak mau, Maaak…,” rengek Dinda.

“Ayo berangkat, nanti kamu telat!” Mak mengacungkan spatula yang sedang dia pegang sambil mendorong Dinda mendekati Rendra.

“Hati-hati ya Rendra, antar Dinda sampai sekolah dengan selamat yaaa.” Mak berteriak setelah Dinda duduk di samping Rendra.

“Beres Mak, habis ini boleh bawa ke KUA ya, Mak?” Rendra nyengir kuda.

“Boleeeehhhh… bawa aja!”

Dinda melototkan mata, dengan santai Mak menjawab pertanyaan Rendra. Gak sedih apa, anak gadisnya di bawa ke KUA begitu saja?

*

“Dek, gak salim dulu?”

“Malas.” Buru-buru Dinda mengeluarkan payung dari dalam tas, lima menit lagi bel sekolah akan berbunyi, dalam hati dia bersyukur bisa di antar Rendra.

“Gak ucapkan makasi, gitu?” ucap Rendra lagi saat Dinda sudah membuka pintu mobil dan bersiap turun.

“Makasiiii.” Ujar Dinda dengan senyum di paksakan. Dinda akui, dengan Rendra mengantarkannya ke sekolah dia datang tepat waktu dan tidak kurang satupun. Baju, sepatu dan tas tidak basah oleh air hujan.

Rendra tersenyum simpul memandang pujaan hatinya itu berlari kecil menerobos hujan dengan payung nya menuju ruang kelas. Kemudian pria itu menjalankan mobil yang di kendarainya dengan pelan.

Bukan main senangnya hati Rendra bisa mengantarkan Dinda, sudah lama dia mendekati gadis itu namun Dinda tidak pernah memberikan Rendra kesempatan.

Berawal dari Rendra yang suka main ke rumah Uli, belajar bersama atau sekedar bertanya tugas sekolah yang tidak Rendra pahami. Rendra tidak suka pelajaran hitung menghitung dan Uli kebalikan nya. Pria itu lebih mengerti kalau Uli yang menjelaskan dari pada guru mereka di sekolah.

Kenapa bisa seperti itu?

Jika dia belajar bersama Uli, selain Uli menjelaskan dengan sabar dan penuh  kelembutan, ada teh dan pisang goreng  juga yang di sediakan mak di meja. Perpaduan kelembutan suara Uli dan makanan yang ada di meja membuat semangat belajar Rendra membara. Sementara di sekolah, jangankan melihat teh atau pisang goreng, botol minum saja di suruh simpan ke dalam tas karena dianggap memenuhi meja.

Karena sering ke rumah Uli itulah bibit cinta di hati Rendra tumbuh untuk Dinda. Rendra sendiri heran dengan perasaan nya, padahal dia ke sana selalu menemui Uli, bercanda dengan Uli, belajar dengan Uli tetapi jatuh cinta justru pada Dinda yang tidak pernah menyapanya sama sekali.

Memang Dinda itu gadis sejuta pesona yang pernah Rendra kenal. Di cuekin pun Rendra pantang mundur untuk mendekati. Hatinya sudah mantap, sekuat tenaga dia akan berusaha mengambil hati Dinda. Apalagi sekarang Dinda sudah SMA, sebentar lagi Dinda sudah bisa di ajaknya ke KUA.

Hati Rendra berbunga-bunga, Senyum menghiasi wajah Rendra dalam perjalanan pulang ke rumah nya.

“Darimana?” Bu Sukma, Ibu Rendra bertanya.

“Pulang antar Dinda ke sekolah, Bu.” Rendra membuka jaket yang di pakainya dan masuk ke dalam rumah melewati Sukma yang sedang duduk di ruang tengah.

“Bapak mana, Bu?” Rendra kembali lagi dengan laptop di tangan nya, lalu duduk di depan Sukma.

“Sudah berangkat kerja.” Sukma menjawab pelan.

“Loh, Bapak gak bawa mobil?”

“Memang bapak mu punya berapa mobil?” Sukma membesarkan mata, kesal dengan pertanyaan Rendra. Sudah tahu kalau mereka hanya punya satu mobil, mobil itu pun sudah di bawa mengantarkan Dinda, masih juga bertanya.

Rendra menggaruk kepala, lalu….

“Yaaa, kali aja bapak tunggu Rendra pulang ke rumah dulu.”

“Bisa terlambat kalau bapak menunggu,”cicit Sukma.

“Maaf Bu… maaf…. Ini kan demi kebahagiaan anak Ibu juga.”

“Jadi sekarang kamu sudah bahagia?” selidik Sukma.

“Sedikit Bu.” Rendra memamerkan giginya.

“Pokoknya ibu harus bantu Rendra dengan doa. Supaya Rendra bisa menikahi Dinda,” lanjutnya.

“Kalau berhasil, kamu kasih ibu hadiah apa?” tanya Sukma.

“Kasih ibu cucu yang banyak, berapapun yang ibu minta, akan Rendra usahakan untuk membuatnya.”

Sukma langsung berdiri dan menjitak kepala Rendra. “Kalau yang itu, enak di kamu aja!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status