Share

Mikirin Mila

Mikirin Mila

Pulang acara kondangan, Rendra mengajak Dinda makan batagor langganannya. Katanya, batagor ini yang paling enak se-Indonesia raya.

Batagor Amerika, lewaaattt....

Batagor India, lewaaattt....

Apalagi batagor Korea, gak pernah tampak!

Emang ada?

"Gimana, enak kan, Dek?" tanyanya setelah menelan satu tahu isi bakso ukuran jumbo.

"Enak, Bang!" jawab Dinda bersemangat.

"Apalagi makannya sama Abang. Enaknya jadi tiga kali lipat. Enak... enak... enaaakkk!" Dinda melanjutkan sembari mengangkat jempolnya ke hadapan Rendra.

Rendra tersenyum senang mendengar ucapan Dinda. Gadis yang sudah resmi menjadi tunangan nya itu memang pandai menyenangkan hati Rendra. Setiap dekat dengan Dinda, hati Rendra pasti berbunga-bunga.

"Kalau makanan kesukaan Adek, apa?" Rendra bertanya, menunjukkan pada Dinda kalau dia  benar-benar calon suami idaman.

"Kerupuk, Bang!" jawab Dinda.

"Kerupuk?" Alis Rendra menaut, sebentar saja habis itu ekspresi wajahnya kembali ke semula.

Rendra lalu mangguk-mangguk kepala sambil tersenyum kecil.

"Nanti kalau sudah menikah, Abang akan beliin kerupuk tiap hari plus bonusnya...." Rendra menghentikan ucapannya, dia tampak berfikir sebentar sebelum melanjutkan ucapan.

"Rengginang!" Akhirnya Rendra memutuskan bonus yang akan dia berikan pada Dinda.

"Makasiiih ya, Bang!" ujar Dinda dengan wajah berbinar. Meskipun cuma dapat rengginang, hati nya tetap senang.

"Iya, Sayaaang."

Mendadak Dinda pingsan.

*

"Din...." 

Dinda membuka mata ketika mendengar suara Mak memanggil. Mak terlihat sangat cemas.

"Maaak, Dinda pingsan, ya?" tanya Dinda dengan suara sendat.

"Iyaaa...." Mak membelai lembut kepala Dinda. Gadis itu mengingat kembali kejadian yang membuat dia pingsan secara tiba-tiba.

Panggilan 'sayang'.

Ya, karena panggilan itu jantung Dinda langsung melompat keluar. Selama ini tidak pernah ada yang memanggil dia sayang. Mak dan Bapak saja selalu memanggil nya dengan sebutan nama, Dinda atau Adinda. Rendra-lah orang pertama yang memanggil Dinda dengan sebutan sayang.

Dinda terharu ketika Rendra memanggil nya dengan sebutan itu. Ini panggilan sayang pertama nya. Panggilan sayang dari Rendra tidak akan Dinda lupakan dan akan Dinda toreh dalam sejarah hidup nya.

Terlebih, Dinda sampai pingsan dibuatnya. Sangat cocok untuk Dinda jadikan kenangan yang akan dia ceritakan pada anak dan cucu nya nanti.

Tapi sebenarnya bukan panggilan sayang itu yang membuat Dinda pingsan. Sewaktu Rendra menyebut kata sayang, Dinda sedang mengunyah sebuah bakso ukuran sedang, sehingga dia keselek sewaktu kata sayang tersebut keluar dari mulut Rendra.

"Mak, siapa yang bawa Dinda pulang?" Dinda berusaha bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Rendra." jawab Mak singkat.

Reflek Dinda melihat ke seluruh tubuh nya. Baju yang dia pakai masih sama, rok yang dia  pakai, juga masih sama. Dinda meraba-raba seluruh tubuh nya, kalau-kalau ada yang hilang ataupun berkurang.

"Kamu kenapa?" tanya Mak. Mimik wajah cemas Mak berubah menjadi heran.

"Mak, Dinda tidak kenapa-napa, ‘kan?" 

"Kenapa-napa gimana?" Mak tidak mengerti dengan yang Dinda ucapkan.

"Mak, tadi Bang Rendra antar Dinda sama siapa? Siapa yang gendongin?" tanya Dinda penasaran.

"Ya Rendra lah, memang kamu mau di gendong siapa? Mamang batagor?" jawab Mak sewot.

"Makanya jangan pingsan sembarangan. Uli sampai repot bantuin Rendra bawa kamu pulang."

Dinda langsung bernafas lega, ada Uli ternyata disana. Tapi, kok bisa? Apa ini hanya kebetulan belaka? Atau Uli memang mau menjadi mata-mata?

"Yang nikah kan juga teman Uli. Kamu lupa, kalau Rendra dan Uli satu angkatan?" tutur Mak.

"Oh iya," Dinda nyengir kuda. Mak tau saja yang Dinda pikirkan. Apakah Mak pernah menjadi cenayang? Besok akan Dinda tanya.

*

Malam harinya.

"Dinra, mana bayarannya?"

"Bayaran apa, Kak?" tanya Dinda tak suka.

"Bayaran sudah bawa kamu pulang dengan selamat. Coba kalau Kakak tidak ada di sana, Rendra pasti kesulitan." 

"Kok mintanya sama Dinda?" Dinda sewot memprotes permintaan Uli.

"Lha, gak mungkin Kakak minta sama Mak?" Uli balik sewot, protes juga dengan ucapan Dinda.

"Minta sama Bang Rendra lah, kan Kakak bantuin dia," ujar Dinda melemah. Dinda mulai takut kalau Uli sudah meninggikan suaranya, apalagi sampai melototkan mata.

Kakak nya itu masih saja matre. Sudah dapat jatah bulanan dari suaminya masih juga suka meras Dinda. Benar-benar tidak berpri ke-adek-an.

"Tapi kan kamu yang bikin repot, Dek!" Dinda juga mulai lembut. Mungkin karena melihat wajah Dinda yang tertunduk.

"Iya, tapi yang Kakak bantuin ‘kan Bang Rendra. Ya minta nya sama dia, Dinda kan gak punya apa-apa Kak. Dinda di sini hanya sebagai korban! Apa Kakak tega minta bayaran sama korban?" 

"Iya deh ... iya ... kakak minta maap." Uli membelai lembut kepala Dinda.

“Lain kali kalau sedang makan, jangan banyak bicara, fokus saja ke makanan yang akan kita telan. Untung saja bakso yang kamu makan bisa di keluarkan, kalau tidak… kamu bisa di bawa ke rumah sakit dan di operasi, di bedah lehernya. Mau?” Uli menakuti Dinda, melihat wajah Dinda yang ketakutan menjadi hiburan tersendiri bagi Uli.

Dinda mengangguk, setuju juga dengan yang Uli sampaikan.

“Maafin Kakak ya?” ujar Uli lagi.

"Dinda maapin, tapi ada syaratnya."

"Apa?"

Dinda mengangkat kepala, menatap serius wajah Uli yang sedang tersenyum kepadanya. 

"Kak, kakak kenal Mila?"

Dalam hati Dinda merasa yakin kalau Uli kenal sama Mila, kan mereka seangkatan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Raya merdeka! Eh, ups.

"Kenal, kenapa?" tanyanya penasaran.

"Mila cantik, ya, Kak?" Dinda balik bertanya.

"Cantik."

"Sudah nikah?"

"Belum."

"Pacarnya siapa?"

Kedua mata Uli membesar, tangannya dengan cepat menutup mulutnya.

"Dek, kamu suka Mila?" tanyanya khawatir.

"Iiih, kakak. Aku tuh suka sama Bang Rendra bukan Mila. Kakak gimana sih?" ujar Dinda sengit.

Kak Uli membuang nafasnya lega. Lalu Dinda bercerita, kalau di acara kondangan teman mereka ada yang bilang kalau Mila sudah lama suka sama Rendra.

"Itu mah, dah lama, Dek!" jelas Uli kemudian.

"Tapi masih suka ngejar-ngejar Bang Rendra kan, Kak?" tanya Dinda cemas.

"Kan... Rendra ngejar Dinda, gak ngejar Mila."

Dinda mesem-mesem mendengar jawaban Uli. Dalam hati dia bahagia, kakak nya itu ternyata ada gunanya juga.

"Kak, Mila tau kan kalau Dinda sudah tunangan sama Bang Rendra," tanya Dinda lagi. Berharap jika Mila tau dan dia tidak akan mengejar Rendra lagi.

"Ehm, kalau yang itu, Kakak kurang tau. Dia kemaren gak ikut di acara lamaran kamu. Dia sedang berada di luar kota dan Kakak juga sudah lama tidak bertemu dengan nya."

"Ho-oh," ujar Dinda lega. Setidaknya Mila berada jauh dari mereka berdua.

"Udah, gak usah dicemburuin." Uli menenangkan Dinda.

"Yang dekat di mata, siapa?" tanya Uli.

Dengan lugu Dinda menunjuk dada nya sendiri menjawab pertanyaan Uli.

"Yang dekat di hati, siapa?" tanya Uli lagi.

Mesti agak ragu-ragu, Dinda kembali melakukan hal yang sama, menunjuk dada nya sendiri. Yakin!

"Yang rumahnya dekat dengan rumah Rendra, siapa?" Lagi, Dinda kembali menunjuk dada nya sendiri.

"Trus? Ngapain mikirin Mila. Kek gak ada kerjaan aja!" Uli meninggalkan Dinda dengan tanda tanya besar di kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status