Share

Ih Abaaang

Ih… Abaaang.

"Dek, nikah yuk! Abang sudah gak sabar," ucapnya pelan sambil memicingkan ke dua mata.

“Sama Bang, Adek juga udah gak sabar," balas Dinda dengan suara memelas, hilang sudah semangat dan harapan, akh… andai saja Mak tidak datang… pasti sudah terjadi adegan yang paling manis dan paling romantis seperti yang mereka inginkan.

Pletuk!

Tangan Mak mendarat di kepala Dinda, "Ayo pulang!" ajak Mak dengan suara ketusnya.

"I-iya, Mak!" Dinda berjalan mengekori Mak dari belakang.

Rendra melambaikan tangannya ketika Mak menyeret Dinda pulang, senyum yang paling manis pun dia berikan dan Dinda membalas lambaian tangan Rendra dengan satu kedipan mata. Oksigen yang Rendra hirup langsung berhenti di tenggorokan ketika menerima ulah nakal Dinda, seandainya Rendra punya kantong ajaib seperti milik doraemon pasti waktu tiga bulan akan Rendra percepat menjadi tiga jam atau tiga menit supaya dia bisa segera menikahi Dinda.

"Bikin malu saja," cerocos Mak ketika mereka sudah memasuki halaman rumah.

"Malu kenapa, Mak?" tanya Dinda lugu dan sok tidak tahu.

"Kalau Mak gak datang, kalian pasti sudah peluk-pelukan, iya ‘kan?" tuduh Mak.

"Gak kok, Mak! Mak jangan suudzon. Dosa main tuduh sembarangan." Dinda membela diri.

"Alaaah, itu apa tadi gaya-gaya slowmotion yang makin lama makin mendekat? Apalagi kalau bukan mau peluk-pelukan, tangan si Rendra saja sudah mengembang. Kamu pikir Mak gak tahu? Kamu pikir Mak gak pernah muda? Hah?!”

"Emang slowmotion itu, apa Mak?"

"Hadeeew, dah mau nikah masih juga gak gaul. Ck! Masa kalah sama Mak." Mak mendecak kesal lalu wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah dan mengunci Dinda dari dalam.

"Maaak, buka pintu. Pleeease!" teriak Dinda penuh permohonan.

“Gak akan,” balas Mak dari dalam.

“Dinda janji… gak akan Dinda ulangi lagi….”

Mak masih diam mendengarkan, menunggu janji apa yang akan Dinda ucapkan.

“Ya udah… kalau Mak gak mau bukakan pintu, Dinda mau tidur di kamar Bang Rendra saja. Bye… bye… Maaak….” Dinda berbalik dan melambaikan tangan.

Dengan cepat Mak membuka pintu serta menyeret Dinda masuk ke dalam.

“Enak saja tidur di kamar Rendra, memang kamu cewek murahan?” Telinga Dinda menjadi sasaran.

“Sakiit Maaak.”

*

Siang ini Dinda ada janji dengan Rendra, dia meminta Dinda menemaninya ke acara kondangan temannya. Teman mereka sewaktu SMA dulu ada yang menikah, teman Rendra dan teman Uli juga.

Tentu saja Dinda tidak menolak, kapan lagi Dinda bisa pergi berdua dengan Rendra. Momen seperti ini perlu Dinda manfaatkan sebaik-baiknya.

"Dek, dandan yang cantik ya! Dari SMP Abang kepengen ngajak Adek jalan, baru ini kesampaian," ucap Rendra kemaren sore setelah mendapat izin dari Mak dan Bapak akan membawa Dinda keluar siang ini.

Dinda tersipu malu menatap penampilan nya sendiri di cermin. Gadis itu menggerak-gerakkan badan, serong ke kiri dan serong ke kanan. Dalam hati Dinda mensyukuri ciptaan Tuhan yang ada pada tubuhnya, serta mengucapkan terima kasih pada Bapak dan Mak yang telah melahirkan putri dengan wajah yang cantik seperti Dinda serta wajah yang biasa seperti wajah Uli, kakaknya.

"Dinra kenapa senyum-senyum sendiri?" tiba-tiba Uli masuk ke kamar dan memergoki Dinda yang sedang mematut penampilan di kaca.

"Kak Uli kalau mau masuk kamar, baca salam dulu lah," protes Dinda tidak terima. Saat hal-hal privacy seperti ini kalau diketahui Uli, ‘kan jadi tidak nyaman.

"Alaaah, ini kan mantan kamarku. Gak baca salam juga gak apa-apa."

Begitulah Uli, mentang-mentang ini dulu kamarnya dia masih suka semena-mena. Bukan, sebenarnya bukan kamar Uli saja, itu kamar mereka berdua. Padahal sejak statusnya berubah menjadi Nyonya Reyhan kamar itu resmi diturunkan kepada Dinda. Menjadi milik Dinda seutuhnya.

"Kak Uli mau apa masuk ke kamar Dinda?" tanya Dinda sewot.

"Gak ada, cuma mau survei aja," jawab Uli santai.

"Survei? Emang Dinda responden?" ketus Dinda.

"Hehehe...." Uli tertawa, nyengir kuda.

"Dinra, mau kemana?" tanya Uli kepo.

"Kondangan."

"Waaah, hari ini pergi kondangan, tiga bulan lagi di kondangin." Uli berdecak kagum dan kemudian melipat tangan di dada.

"Cantik gak, Kak?" tanya Dinda seraya membalikkan tubuhnya menghadap Uli.

"Yang mana? Baju apa orangnya?" 

"Dua-duanya, Kak! Baju sama orangnya."

"Hhhmm...." Dinda berfikir keras, pilihan yang sangat berat untuk di ucapkan.

"Kalau orangnya, cantik.” Dinda berkata dengan mimik wajah jujur, kedua mata Dinda berbinar mendengarnya.

"Kalau bajunya?" tanya Dinda tidak sabaran.

"Kalau bajunya cantik bangeeet, gak cocok sama orangnya." Dinda berkata dengan wajah exited. Seolah-olah baju lebih cantik dari adiknya.

Dinda langsung mendorong punggung Uli supaya keluar dari kamar. Dinda tidak butuh pendapat Uli tentang kecantikan yang Dinda punya. Rendra saja sudah mengakui tentang kecantikan alami yang Dinda punya, masa kakak sendiri responnya biasa? Dinda merasa terhina!

"Diiin... Dinraaa! Tunanganmu sudah datang menjemput tuh!" Tidak lama setelah Dinda mengusirnya ke luar kamar, Uli kembali datang dan berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar.

Dinda membuka pintu dengan cepat, kalau lama-lama, kemungkinan Uli tidak akan diam. Karena Dinda malas dengar suara cempreng Uli, biarlah secepatnya Dinda membuka pintu kamar.

Pandangan yang mempesona terpampang di depan Dinda. Tidak Dinda sangka, Rendra yang berdiri di balik pintu kamar, padahal suara yang berteriak suara Uli. Dimana kakak nya yang cerewet itu? Masa bodo, yang penting bagi Dinda sekarang adalah kehadiran Rendra di depan matanya.

"Eh Abang, tumben jemputnya sampai ke pintu kamar," ucap Dinda malu-malu mau.

"Kata Uli, Adek sakit tenggorokan, benarkah?" Rendra membalas pertanyaan Dinda dengan pertanyaan lain, terlihat jelas raut cemas di wajahnya.

"Tidak, Kak Uli memang suka mengada-ngada. Lagian, jika Adek sakit tenggorokan pun, Adek masih tetap bisa temani Abang pergi kondangan," jawab Dinda mengklarifikasi fitnah yang di berikan Uli.

"Syukurlah, Abang senang mendengarnya." Rendra tersenyum, Dinda pun balas tersenyum.

"Oh, ya. Bagaimana penampilan Adek? Cantikkan?" tanya Dinda memuji diri.

"Cantik, Abang memang tak salah pilih." Rendra menjawab penuh kejujuran.

"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Dinda bersemangat.

Sampai di tempat pesta, beberapa orang teman Rendra menyapa mereka, ada juga yang menggoda menanyakan kenapa harus menunggu tiga bulan lagi untuk menikah.

"Apa gak kelamaan nunggu sampai tiga bulan?"

"Kasian banget si Rendra, udah naksirnya dari SD, giliran di terima mesti nahan tiga bulan lagi."

"Hebat lo Ren, betah nunggu cintanya si Adinda. Kalau gue gak akan sanggup, mending nyari yang lain."

Banyak komentar yang Dinda dengar dan yang paling miris serta menyakitkan adalah komentar salah satu teman cewek Rendra.

"Tampang lurus kayak Dinda itu yang di kejar Rendra? Kalah banyak sama Mila. Heran! Mila yang cantik kok di anggurin?"

Mata Dinda terbelalak mendengarnya. Siapa Mila? Secantik apa dia?

"Bang, Adek cantik ‘kan?" tanya Dinda lagi untuk meyakinkan diri.

"Cantik, Dek."

"Cantik mana dari Mila?" Dinda bertanya lagi karena masih penasaran dengan sosok Mila yang dia dengar tadi.

"Mila? Adek kenal Mila?" tanya Rendra dengan ekspresi kaget luar biasa.

"Jawab dulu, cantik mana dari Mila?"

"Cantik Mila."

Dinda langsung memukul bahu Rendra, tapi Rendra berhasil menangkap tangan Dinda dengan cepat sebelum pukulan nya itu mendarat.

"Tapi cinta Abang kan sama Adek seorang, bukan sama Mila." Rendra mencoba mengklarifikasi.

"Bener?" tanya Dinda manyun, masih tidak percaya dan meragukan kebenaran.

"Iya, bener. Udah ah… bibir jangan di monyong-monyongin. Bikin abang gak sabar nunggu tiga  bulan aja."

"Ih, Abaaang...."

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status