Share

2. Tuduhan Yang Menyakitkan

Pak Ujang, sopir yang sengaja Hendra tugaskan untuk mengakomodasi segala keperluan, menghantarkan Arini kembali ke rumahnya yang dulu. Yang Arini tinggali semenjak dari lahir, remaja, sampai menikah dengan Hendra, yang kemudian memboyong ke rumah kediamannya.

5 tahun sudah Arini meninggalkan rumah tua ini. Rumah yang berarsitektur kolonial Belanda. Di-dominasi cat berwarna putih dengan dikelilingi pohon-pohon rindang juga taman-taman kecil di depan muka rumah, semuanya masih sama seperti yang dulu.

Lasmi, seorang janda beranak satu, yang Arini percayai untuk mengurus rumah ini dan menempatinya, terkaget-kaget dengan kedatangan Arini yang mendadak dan tanpa memberi kabar. Apalagi ditambah dengan banyaknya barang-barang bawaan.

"Mbak Arini baik-baik saja, 'kan?" Pertanyaan itu dilontarkan Lasmi saat mereka baru saja selesai merapikan barang-barang, sembari duduk-duduk di pinggiran kasur kamar tidur Arini. 

Arini terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Hanya air mata yang mengembang, kemudian luruh perlahan membasahi pipi, dan mulai terisak-isak tangisan Arini. Sakit hatinya, sesak sekali untuk bernapas.

"Ya Allah, Mbak .... " Lasmi langsung memeluk dan ikut menangis. Arini menumpahkan semua kesedihan, kepedihan, dan sakitnya perasaan seorang istri yang terbuang ke dalam pelukan  Lasmi. 

Menangis sejadi-jadinya, sekencang-kencangnya. Arini hanya ingin merasakan lega.

Sakit rasanya terusir, karena Arini tidak merasa  berbuat kesalahan. Dia sudah berusaha keras menjadi istri yang terbaik untuk Hendra. Melakukan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya. Bukan ... bukan tamparan di pipi yang menyakitkan hatinya, tetapi tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan itu yang paling menyakitkan baginya.

"Aku mau tidur dulu Ya, Mbak?" ucap  Arini lirih kepada Lasmi. Lelah, Arini lelah menangis. Lasmi mengangguk dan segera meninggalkan kamar. menutup pintunya perlahan. Lasmi bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Arini, karena nasib mereka sama. 

Atika--putri dari Lasmi, seorang gadis kecil berusia 12 tahun, memanggil Arini dengan sebutan Bude. Seorang anak yang ceria, dan sedikit banyak sudah membantu Arini untuk kembali melangkah dan mencoba menjalani hidup normal.

Siang itu, saat mereka bertiga sedang duduk-duduk di teras rumah. Sembari Arini berpikir, usaha apa yang harus dilakukan untuk kembali menyambung hidup. Meskipun masih terbilang cukup tabungan yang dia punya. Namun Arini merasa dia harus punya kesibukan, agar pikirannya tidak selalu berkutat dengan masa lalu.

"Mbak Lasmi, kira-kira usaha apa ya, biar saya ada kesibukan?" tanya Arini kepada Lasmi.

"Usaha apa yah, Mbak?" Lasmi mengetuk ngetuk keningnya, seperti sedang berpikir.

"Bude ... Bude, aku masih ingat loh, saat dibuatkan kue bolu sama Bude dulu. Enaknya sampai sekarang masih terasa deh," ucap Atika,  tersenyum jenaka. Arini dan Lasmi tertawa mendengar candaan anak itu.

"Emang bener, kue bolu bikinan bude enak?Atika, kan makan kue buatan bude lima tahun yang lalu, saat Atika masih kelas satu SD?" Sembari Arinimengelus-elus rambut Atika yang duduk di lantai. Atika mendongakkan kepalanya ke arah Arini. 

"Tapi bener loh Bude, Atika ngga bohong. Memang kue bolu buatan Bude enak ko," jawab anak itu seperti meyakinkan Arini. 

"Iya Mbak Arini. Waktu masih gadis, kan, saat Mbak Arini libur kerja pasti bikin kue," ujar Lasmi menyambung ucapan putrinya. 

"Iya Bude ... bikin aja? Nanti Atika bantu jualin deh sama teman-teman,Tika." Sembari jemari Atika mengelus-elus lutut Arini.

"Ihhhh ... Atika, geli tau!" ujar Arini sambil menyingkirkan pelan tangan Atika.

"Memang Atika ngga malu kalo bantu bude dagang kue?" tanya Arini pada Atika. 

"Ya nggalah Bude. Dagang kue, kan halal. Lagipula Atika pengen jadi guru." jawabnya, yang membuat Arini dan Lasmi menjadi bingung. 

"Jadi Guru sama dagang kue apa hubungannya sayang?" Tanya Arini pada Atika. 

"Ngga ada." Enteng saja Atika menjawabnya. Arini  sampai tergelak, membuatnya senyum-senyum sendiri. Gadis kecil itu benar-benar membantunya melewati masa-masa sulit akibat perceraiannya dengan Hendra. 

"Ya sudah, besok kita mulai coba buat kue-kue yah. Semangat!" ucap Arini pada Atika, sambil mengangkat kedua tangannya.

"Semangat!" Atika sambil berdiri, dia pun mengikuti gaya Arini mengangkat tangan seperti emoticon.

"Mamah ko ngga ikut semangat, kaya aku dan Bude?" tanyanya pada Lasmi. Diplototi si Tika ini sama emaknya. Sakit perut Arini tertawa terpingkal-pingkal atas kelucuan dan keluguan ibu dan anak ini.

"Assalamualaikum." ucapan suara salam dari luar pintu pagar halaman rumah Arini. 

"Waalaikum salam!" hampir berbarengan jawaban salam mereka. Lasmi pun menuju pintu pagar. Arini mencoba mencari tahu dengan cara melongok ke arah pintu pagar, tapi tetap tidak terlihat karena terhalang pohon taman.

"Siapa, Atika?" tanya Arini pada Atika yang masih duduk tepat di bawah bangkunya. 

"Ngga tahu Bude, ngga kelihatan," jawab Atika, juga melongokan kepalanya seperti Arini. Tidak beberapa lama. 

"Assalamualaikum, Arini. Bagaimana kabarmu?" sapa dari tamu tersebut setelah melewati rindangnya pohon taman.

Terkaget Arini melihat siapa yang datang.

"Gazza," bisik pelan Arini. Seseorang dari masa lalunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status