POV Karina..."Kamu harus mengikuti keinginanku. Beruntung aku tidak melaporkan hubungan kalian ke meja hijau. Bayangkan bila aku melakukannya. Kamu akan mendekam di penjara," ujar Tiara dengan menggerutu. "Laporkan saja, aku tidak takut. Bila aku mendekam di penjara. Akan aku seret Arifin bersamaku," balasku dengan sengit.Tiara yang tidak bisa hamil, tentu mendapatkan tekanan yang sangat besar dari ibu mertuaku. Bu Tuti kerap kali memaksanya untuk melakukan program hamil. Berkali-kali dia mengikuti program hamil, tetapi tidak berhasil.Aku menyeringai ketika Tiara hanya bisa terdiam mendengar penuturanku. Dia tidak akan bisa membalas semua perkataanku karena ini semua bukan salahku.Perselingkuhanku dengan Arifin bukan merupakan hanya kesalahanku. Arifin juga memiliki andil dalam pengkhianatan kami. Jujur saja, aku tidak mengerti jalan pikiran Tiara yang menginginkan anakku. "Bagaimana bila kamu menjadi istri kedua Arifin saja?" tanya Bu Tuti dengan pelan.Aku terkejut mendenga
Kehidupan pernikahanku dengan Mas Rafli kembali membaik. Setelah membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Karina bukanlah anak Mas Rafli. Tidak lagi terdengar kabar tentang Karina. Aku bersyukur tidak lagi diganggu oleh keberadaannya."Kudengar kalau Karina akan menikah," ujar Kak Widya yang bertandang ke rumahku. "Oh ya? Menikah dengan siapa? Mungkin Ayah dari anaknya sudah bertanggung jawab pada dirinya," balasku dengan senyum di wajah. Kalau Karina sudah menikah, dia tidak lagi menjadi ganjalan dalam rumah tanggaku. Jadi, aku bahagia saja dia menikah dengan orang lain. "Kamu senang dia menikah?" tanya Kak Widya."Tentu saja, aku sangat senang bila dia menikah. Jadi, dia tidak bisa menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku," jawabku dengan tenang."Katanya dia menikah dengan adik suaminya sendiri. Aku tidak tahu mengapa dia memilih untuk menikah dengan adik suaminya. Bisa jadi, anak dalam kandungannya adalah miliknya," ujar Kak Widya. Sedikit terkejut dengan ucapan Kak Wi
Ketika Mas Rafli pulang, aku tidak menyadarinya. Hingga pria itu menepuk punggungku pelan. Aku sedang melamun di ruang keluarga hingga tidak mengindahkan suamiku yang baru pulang. "Ada apa?" tanya suamiku itu. "Tadi Karina menemuiku," jawabku tanpa menutupi apa pun. Ekspresi Mas Rafli menegang, tampak sekali kecemasan dalam dirinya. Mungkin, dia mengira kalau Karina kembali mengusik ketenanganku."Mau apa dia ke rumah kita? Kau baik-baik saja, kan? Dia tidak melakukan apa pun padamu?" balas Mas Rafli.Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Dia hanya meminta maaf dan berpamitan padaku," ujarku dengan tenang."Lalu, mengapa kamu sampai merenunginya seperti itu?" balas Rafli."Entahlah, dia mengatakan kalau sekarang dia telah menjadi istri kedua dari adik iparnya. Apakah dia melakukan hal itu dengan adik iparnya sendiri dan menjebakmu?" Dari tadi, aku selalu memikirkan hal tersebut. Tega sekali Karina melakukannya untuk menghancurkan rumah tanggaku. Membayangkan dirinya melakuka
“Mas Rafli, aku ingin bicara,” ucapku sambil menatap punggungnya yang sibuk dengan telepon genggam.Dia mendongak sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. “Nanti saja, Farah. Aku sedang membalas pesan Karina.”Jantungku mencelos. Lagi-lagi, Karina. Aku mendekatinya, berdiri di depan sofa tempat dia duduk. "Apa yang dia mau sekarang?" tanyaku, mencoba terdengar tenang, meski dalam hatiku sudah berkecamuk."Alia sedang demam. Dia butuh seseorang untuk membantunya mengantar Alia ke dokter," jawab Mas Rafli tanpa menatapku.Aku berusaha menahan amarah yang perlahan menggerogoti kesabaranku. “Dia tidak bisa menghubungi orang lain? Bukannya Karina punya keluarga atau teman lain selain kamu?”Mas Rafli menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. “Kamu tahu sendiri, Farah. Setelah Yudhi meninggal, Karina tidak punya siapa-siapa. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian.”Nada suaranya seolah mengatakan bahwa aku ini tidak berperasaan, bahwa aku salah karena mempertanyakan perhat
“Aku cuma butuh kamu sedikit lebih pengertian, Farah,” suara Mas Rafli memecah keheningan pagi. Dia berdiri di dekat meja makan, wajahnya tampak lelah namun tetap mencoba menampilkan kesabaran yang mulai menipis.“Pengertian?” aku meletakkan gelas di tanganku dengan sedikit keras, menatapnya tajam.“Seberapa pengertian lagi aku harus bersikap, Mas? Aku sudah mencoba memahami hubungan kalian, tapi ini sudah melewati batas. Karina tidak hanya bergantung padamu. Dia seperti menjadikanmu suaminya.” Aku benar-benar lelah dengan semua keadaan ini.Wajah Mas Rafli menegang. “Kamu terlalu jauh, Farah. Karina bukan orang seperti itu.”Aku tertawa kecil, penuh ironi. “Oh, tentu saja dia tidak terlihat seperti itu. Tapi apa kamu sadar, Mas? Setiap langkahnya, setiap permintaannya, selalu membuatmu memilih dia daripada aku.”“Dia tidak memilih, Farah,” ucap MasRafli membantah. “Aku yang memutuskan membantu dia karena dia membutuhkan itu. Kamu tahu sendiri, aku dan Yudhi bersahabat sejak lama. Aku
“Kenapa harus menuruti semua permintaan Karina?” tanyaku tajam ketika Mas Rafli menjelaskan rencananya.Dia baru pulang dari rumah Karina, dan kini dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tak masuk akal.“Ada masalah dengan atap rumah Karina. Bocor, dan tukangnya nggak bisa langsung datang. Aku nggak mungkin biarkan dia dan anaknya tidur di rumah yang nggak layak,” jawab Mas Rafli dengan nada datar.“Kenapa harus kamu, Mas? Ada banyak orang lain yang bisa dia hubungi. Dia bisa menyewa jasa apa pun. Kenapa harus kamu yang selalu ada untuknya?”“Karina nggak punya siapa-siapa lagi,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Dia cuma punya aku. Apa kamu nggak bisa mengerti itu?”Aku berdiri, memeluk perutku yang kian membesar.“Aku juga cuma punya kamu, Mas. Tapi apa aku harus teriak-teriak dulu baru kamu sadar kalau aku ini istrimu, dan aku sedang membutuhkanmu?” ucapku.Dia terdiam. Tapi bukan karena menyadari kesalahannya, melainkan karena kelelahan menghadapi argumen yang baginya tidak ber
Aku mengabaikan pesan dari Karina. Kalau aku semakin tersulut dengan ucapannya, dirinya akan semakin merasa menang. Kuhampiri suamiku yang baru pulang dari kantor. Mas Rafli sedang duduk sambil memainkan ponselnya.“Apa yang sebenarnya Karina inginkan darimu, Mas?” tanyaku di ruang tamu, memulai percakapan dengan nada lirih yang hampir tak terdengar. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak di dadaku.Dia menatapku dari deretan chat entah dari siapa. “Kenapa kamu terus-menerus mempermasalahkan ini, Farah?”“Karena aku merasa semakin hari aku kehilangan suamiku. Aku kehilangan kamu, Mas Rafli. Aku istrimu, tapi aku seperti tidak ada di hidupmu lagi.”Dia mendesah panjang, meletakkan korannya. “Farah, aku sudah bilang, Karina butuh bantuanku. Dia baru kehilangan suaminya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”“Dan aku? Aku ini siapa di hidupmu? Apakah aku harus menunggumu selesai mengurus Karina dulu baru kamu ingat kalau aku ini istrimu?” suaraku pecah, air mata mulai menggenang
"Jangan asal bicara, Farah. Justru, Karina yang memaksa aku untuk segera datang ke rumah sakit. Dia sangat peduli padamu," balas Mas Rafli membalas ucapanku.Mataku mengerjap mendengar semua ucapan Mas Rafli. Sangat mustahil bila Karina memaksa untuk segera datang. Kenyataannya, suamiku itu malah mengantarkan Alia ke rumah neneknya terlebih dahulu."Sudahlah, Nak Rafli. Farah terserempet motor hingga dirinya terbaring di rumah sakit. Syukurlah tidak terjadi apa pun dalam kandungannya. Bila memang kami peduli pada istrimu, seharusnya kamu yang pertama kali datang pada Farah," ujar Ibu angkat bicara.Aku menatap Ibu dengan nanar. Tidak pernah aku bermaksud membuat Ibu mengetahui tentang rumah tanggaku. Ditutupi seperti apa pun Mas Rafli tetapi membela sahabatnya."Seharusnya, Ibu bersyukur karena bisa saja Farah kehilangan janin yang ada dalam kandungannya," tukas Karina tanpa mempedulikan akibat dari ucapannya.Ibuku, Bu Reni adalah seorang perempuan yang lemah lembut. Dia membesarkank
Ketika Mas Rafli pulang, aku tidak menyadarinya. Hingga pria itu menepuk punggungku pelan. Aku sedang melamun di ruang keluarga hingga tidak mengindahkan suamiku yang baru pulang. "Ada apa?" tanya suamiku itu. "Tadi Karina menemuiku," jawabku tanpa menutupi apa pun. Ekspresi Mas Rafli menegang, tampak sekali kecemasan dalam dirinya. Mungkin, dia mengira kalau Karina kembali mengusik ketenanganku."Mau apa dia ke rumah kita? Kau baik-baik saja, kan? Dia tidak melakukan apa pun padamu?" balas Mas Rafli.Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Dia hanya meminta maaf dan berpamitan padaku," ujarku dengan tenang."Lalu, mengapa kamu sampai merenunginya seperti itu?" balas Rafli."Entahlah, dia mengatakan kalau sekarang dia telah menjadi istri kedua dari adik iparnya. Apakah dia melakukan hal itu dengan adik iparnya sendiri dan menjebakmu?" Dari tadi, aku selalu memikirkan hal tersebut. Tega sekali Karina melakukannya untuk menghancurkan rumah tanggaku. Membayangkan dirinya melakuka
Kehidupan pernikahanku dengan Mas Rafli kembali membaik. Setelah membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Karina bukanlah anak Mas Rafli. Tidak lagi terdengar kabar tentang Karina. Aku bersyukur tidak lagi diganggu oleh keberadaannya."Kudengar kalau Karina akan menikah," ujar Kak Widya yang bertandang ke rumahku. "Oh ya? Menikah dengan siapa? Mungkin Ayah dari anaknya sudah bertanggung jawab pada dirinya," balasku dengan senyum di wajah. Kalau Karina sudah menikah, dia tidak lagi menjadi ganjalan dalam rumah tanggaku. Jadi, aku bahagia saja dia menikah dengan orang lain. "Kamu senang dia menikah?" tanya Kak Widya."Tentu saja, aku sangat senang bila dia menikah. Jadi, dia tidak bisa menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku," jawabku dengan tenang."Katanya dia menikah dengan adik suaminya sendiri. Aku tidak tahu mengapa dia memilih untuk menikah dengan adik suaminya. Bisa jadi, anak dalam kandungannya adalah miliknya," ujar Kak Widya. Sedikit terkejut dengan ucapan Kak Wi
POV Karina..."Kamu harus mengikuti keinginanku. Beruntung aku tidak melaporkan hubungan kalian ke meja hijau. Bayangkan bila aku melakukannya. Kamu akan mendekam di penjara," ujar Tiara dengan menggerutu. "Laporkan saja, aku tidak takut. Bila aku mendekam di penjara. Akan aku seret Arifin bersamaku," balasku dengan sengit.Tiara yang tidak bisa hamil, tentu mendapatkan tekanan yang sangat besar dari ibu mertuaku. Bu Tuti kerap kali memaksanya untuk melakukan program hamil. Berkali-kali dia mengikuti program hamil, tetapi tidak berhasil.Aku menyeringai ketika Tiara hanya bisa terdiam mendengar penuturanku. Dia tidak akan bisa membalas semua perkataanku karena ini semua bukan salahku.Perselingkuhanku dengan Arifin bukan merupakan hanya kesalahanku. Arifin juga memiliki andil dalam pengkhianatan kami. Jujur saja, aku tidak mengerti jalan pikiran Tiara yang menginginkan anakku. "Bagaimana bila kamu menjadi istri kedua Arifin saja?" tanya Bu Tuti dengan pelan.Aku terkejut mendenga
POV Karina ..Tidak! Mas Yudhi meninggal begitu cepat membuatku kehilangan semuanya. Dia memang tidak menguak perselingkuhanku. Akan tetapi, dia secepat ini meninggal karena kecelakaan naas tersebut. Kuusap perutku dengan lembut, ketika adik iparku datang untuk mengikuti pemakaman Mas Yudhi aku memanfaatkan kesempatan itu. Aku menginginkan nasib yang jelas untuk anak yang ada dalam kandunganku. Dia tidak boleh pergi dariku dan lepas dari genggamanku."Rif, kapan kamu menceraikan Tiara? Aku sudah tidak mungkin menutupi kehamilanku," ucapku dengan mimik serius.Arifin adalah adik iparku, dia dan Tiara sudah menikah cukup lama. Akan tetapi, keduanya belum dikarunia seorang anak. Hal itu membuatku menggodanya. Awalnya, kami dapat menutupi pengkhinatan ini, tetapi tidak ada lagi yang dapat kami lakukan setelah dengan mata kepalanya sendiri Mas Yudhi melihat kami bermesraan.Untungnya, ketika Mas Yudhi menyetir untuk memberitahukan perbuatan kami. Dia kecelakaan sehingga tidak sempat me
"Ini hasil tes Anda. Bila ada yang ingin dikonsultasikan, bisa Anda konsultasikan ke dokter dengan membawanya ke ruangan," ucap petugas kesehatan yang memberikan sebuah amplop pada suamiku. Hatiku berdebar menunggu hasil tes DNA Mas Rafli. Pria itu segera menghampiri yang duduk bersisian dengan Karina. Wanita di sampingku cukup diam hari ini. Tidak ada sama sekali tersirat kalau dirinya mengkhawatirkan hasil tes tersebut. Kupandangi wajah Karina yang terlihat cekung. Kami sama-sama sedang hamil. Namun, tidak jelas pria yang menghamili Karina. Kuharap semua ekspektasiku menjadi kenyataan dan anak yang ada dalam kandungannya bukanlah anak Mas Rafli."Aku bukan Ayah dari anak yang kamu kandung, Rin," ucap Rafli dengan senyum merekah di wajah. Aku tersenyum mendapati hasil tes yang sesuai harapan. Berbeda dengan Karina yang tampak tidak percaya dengan hasil itu."Apa maksudmu? Tidak mungkin. Pasti kalian melakukan sesuatu pada hasil tes tersebut!" tuduh Karina.Mas Rafli tersenyum meny
"Silakan bila Anda ingin menuntut rumah sakit. Kami juga akan menuntut balik Anda karena ingin melakukan penyuapan," ucap petugas keamanan membuat Karina terdiam. Aku tersenyum miring mendengar perkataan petugas. Kupandangi wajah Karina yang tampak merana. Perbuatan yang tidak sepantasnya itu diketahui oleh kami yang terlibat dengannya.Petugas keamanan memaksa Karina keluar dari rumah sakit. Aku dan Mas Rafli hanya memandanginya. Hatiku bersorak senang ketika dia mendapatkan perlakuan yang sepantasnya.Kutatap wajah Mas Rafli yang tidak terbaca. Apa dia memang memiliki perasaan pada Karina? Terlihat kalau bola mata Mas Rafli menyiratkan kesedihan."Mas sedih kalau anak yang dia kandung bukanlah anakmu?" tanyaku dengan pelan. Mas Rafli menatapku terkejut. "Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya tidak menyangka kalau Kirana dapat melakukan hal seperti ini. Ingin mengubah hasil tes agar aku mau bertanggung jawab," jawab Mas Rafli. Kuselami mata Mas Rafli, tidak ada kebohongan di dalam s
Aku merasa sangat lemas, tidak bertenaga malam ini. Semua makanan yang tadi kumakan telah keluar hingga membuat tubuhku terasa limbung."Bagaimana, Dok? Apa yang terjadi pada istri saya? tanya Mas Rafli dengan raut wajah penuh kekhawatiran.Jujur saja aku menyukai Mas Rafli yang mencemaskan kondisiku. Tidak pernah menyangka kalau hubungan kami akan kembali seperti sebelumnya. "Sebelumnya, saya ingin bertanya kapan terakhir kali Anda datang bulan?" jawab dokter yang membalas pertanyaan Mas Rafli dengan bertanya padaku.Aku terkejut mendengar pertanyaan dokter. Berpikir keras kapan terakhir kali aku mendapatkan menstruasiku. Sayangnya, aku tidak menemukan jawaban yang tepat. Setelah aku pulang dari rumah sakit pasca keguguran. Aku belum mendapatkan datang bulan. Mas Rafli langsung melakukannya padaku. Pria itu tampak mengerutkan dahi ketika aku hanya diam."Ehmm... Maaf, Dok. Saya bulan lalu baru saja keguguran. Hmm... Tidak mungkin kan kalau aku langsung hamil lagi. Kami...""Semua m
Kupegangi pipi yang memerah karena tamparan dari Karina. Mas Rafli, suamiku langsung menegur Karina dengan mengucapkan perkataan yang sepertinya menyakiti hati Karina. "Hentikan, si*lan. Kamu benar-benar tidak bisa aku percaya lagi, Karina. Pergi kamu sekarang juga! Aku sungguh muak dengan kelakuanmu," ucap Mas Rafli kemudian mengelus pipi yang ditampar oleh Karina.Di sudut hatiku, aku ingin menampar balik perempuan yang mengancam pernikahan kami itu. Akan tetapi, mendengar ucapan Mas Rafli aku mengingat kalau dia tidak menyukai wanita yang kasar. "Mas! Mengapa kamu berubah secepat ini? Kita ini saling mencintai. Farah menjadi penghalang bagi hubungan kita seperti ucapanmu dulu, tetapi kamu tetap tidak bisa menceraikannya," ujar Karina masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri.Sedangkan, Mas Rafli menemengiku sekarang. Dia tidak membiarkan Karina lebih dekat denganku lagi saat ini. "Aku tidak pernah mengatakan hal itu, Karina. Mungkin kamu saja yang mengkhayal. Dulu, aku memang
Aku memang tidak begitu mengenal Kakak iparku dengan baik. Dia lebih dekat dengan Karina dibandingkan dengan diriku. Namun, Karina yang menikah terlebih dahulu dengan suaminya. Hingga, akhirnya Mas Rafli mengenalku dan menjalin hubungan denganku.Sifat Kak Widya membuatku semakin kecewa. Dia hanya diam tidak menjawab ucapanku. Kerap kali dia mengirimkan pesan untuk mengakhiri saja hubunganku dengan adiknya. Akan tetapi, kali ini dia membelaku di depan Karina. "Jawab, pertanyaanku, Kak. Kakak memang tahu kalau Karina menyukai Mas Rafli? Lalu, apa Kakak menginginkan Karina menjadi adik ipar Kakak saat ini," ujarku sengaja memancing emosi Kak Widya."Jangan sembarangan, Farah. Kamu tahu kalau aku sangat membenci pengkhianatan. Jadi, mana mungkin aku menginginkan wanita ini menjadi adik iparku," tukas Kak Widya akhirnya menjawab ucapanku. "Sudahlah, lebih baik kamu pergi dari sini, Karina. Rafli sudah memiliki keluarga sendiri. Sebaiknya, kamu intropeksi diri. Kamu memiliki anak perempu