Share

4. Bear Ternyaman

Ada sebuah pepatah yang berbunyi,

Baik mata di rantau orang, jangan sampai berbuat salah.

Saat berada di perantauan, harus selalu bisa menjaga sikap dan perilaku dengan baik.

Ya meskipun bukan hanya di perantauan saja, di manapun berapa juga harus selalu menjaga sikap, bahkan di rumah sendiri pun juga tetap harus menjaga sikap.

Apalagi jika sedang di perantauan, jangan pernah berbuat salah karena tidak akan pernah tau kita sedang berhadapan dengan siapa.

Seperti aku saat ini...

Siang ini aku ikut dr. Bams menghadiri rapat di salah satu lembaga daerah. Selama bergabung dengan lembaga tanggap bencana Peduli Saudara baru kali ini aku ikut rapat yang mana sebenarnya aku sendiri bingung tugasku di sini ngapain.

Aku hanya dokter umum biasa, masuk kerja juga baru genap satu bulan. Bisa-bisanya dr. Bambang Setiawan alias dr. Bams sang kepala klinik mengajakku hasir rapat yang cukup penting ini.

Kenapa aku bilang penting, karena berdasarkan insting manusia setengah dewaku, yang hadir rapat ini adalah pejabat-pejabat daerah yang cukup berpengaruh.

Kembali ke pepatah tadi! Mama dan papa juga tak pernah lelah menasihati ku agar selalu bisa menjaga sikap, maka saat ini aku mencoba menerapkan pepatah itu. Aku tetap diam dan bersikap sopan meskipun sejak tadi ada seseorang yang sepertinya sangat penasaran denganku.

Sebagian wajahku yang tertutup masker sepertinya sangat menarik perhatiannya. Terbukti dari matanya yang selalu terarah kepadaku.

Ya sudah, daripada dia tidak tenang selama rapat lebih baik aku buka maskerku agar kegantenganku yang paripurna ini jelas terlihat oleh matanya.

Dan benar saja, wajah orang itu langsung berbuah serius ketika melihat Wajahku dengan jelas.

Aku kasih senyum dikit dan orang itu malah semakin terkejut, matanya semakin tajam jelas sekali ada kilatan peperangan di sana.

"Silahkan Pak Rangga barangkali ada tambahan?" pertanyaan salah satu anggota rapat berhasil mengalihkan pandangan orang itu dariku.

Ya. Orang itu tadi adalah Rangga. Mantan suami Shanum. Seseorang yang sudah meninggalkan luka teramat dalam di hati Shanum.

Aku baru dua kali ini bertemu dengan dia. Tapi sepertinya aku membuat kesan pertama yang tak terlupakan baginya karena buktinya dia masih ingat betul dengan Wajahku ini.

Aku dan Rangga pertama kali bertemu beberapa waktu yang lalu sebelum aku pindah kerja di Jombang. Saat itu Rangga sedang ada perjalanan dinas ke Semarang, dia mengaku sakit dan minta agar dirinya rawat inap di rumah sakit tempat aku kerja dulu, tapi secara tegas aku menolak karena semua hasil pemeriksaannya bagus dan tidak ada satu hal pun yang mengharuskannya opname.

Setelah itu Hal tidak menyenangkan terjadi, Rangga mencoba memberikan imbalan uang agar aku mau memberikan pengantar rawat inap untuknya, dan dia semakin marah ketika secara terang-terangan aku menolak bahkan menantangnya. Sampai akhirnya dia pergi dengan perasaan marah.

Awalnya aku hanya menganggapnya pasien biasa tapi sebelum pergi dari rumah sakit dia berpapasan dengan Shanum. Jelas sekali ketegangan di wajah Shanum waktu itu membuat rasa penasaranku semakin tinggi. Dan akhirnya Shanum mau cerita tentang Rangga padaku.

Setelah beberapa waktu kemudian, berkat kecanggihan ilmu Intel yang aku miliki akhirnya aku tahu kenapa Rangga begitu kekeh ingin opname, usut punya usut dia menghindari suatu rapat nasional yang mana dia harus mempresentasikan capaian kerja lembaga yang dia pimpin.

Kenapa sampai dia harus menghindari rapat itu? Jawabannya rahasia, biar aku aja yang tau. Takut ghibah jadinya.. Manusia setengah dewa itu pantang ghibah.

"Saya cuma mau mengingatkan untuk terus melakukan koordinasi dengan baik, terutama untuk lembaga non pemerintah," mata Rangga langsung tertuju padaku. "Bulan lalu kita menemukan kasus Mark up besar-besaran dana bantuan tanggap bencana. Saya harap tidak ada lagi kasus serupa, peringatan juga di tujukan kepada anggota-anggota baru. Tunjukkan kinerja terbaik! Tidak usah terlalu memikirkan honor," lanjut Rangga dan selalu matanya tertuju padaku.

Dr. Bams seperti menyadari sikap Rangga, sampai dia menyenggolku dan aku hanya mengangkat pundak sebagai jawaban. Ya masa aku jawab Rangga naksir sama aku!

Idih gelay!!!

"Bekerja dengan tulus, niatkan ibadah hanya untuk Allah nanti insyaallah rejeki akan mengikuti! Banyak sekali sekarang anak muda yang rela jauh-jauh merantau tapi tujuannya bukan kerja sepenuh hati. Gaji itu bukan segalanya!" Rangga mengakhiri ucapannya dengan memberikan motivasi dan langsung disambut tepuk tangan dari anggota rapat yang lain.

Dalam hati aku hanya tertawa, radar dewaku berbunyi, menunjukkan bahwa orang ini tipe-tipe narsistik, dia merasa harus selalu dikagumi. Citra diri sangat penting baginya.

Kasihan! Mana masih muda!

"Apa ada yang ingin menambahkan lagi?" tanya sang moderator tadi.

Entah dewa apa yang sedang mendorongku, tiba-tiba tanganku terangkat sendiri.

"Mohon maaf, perkenalkan nama saya Reyshaka, saya dokter umum yang baru bergabung dengan lembaga non pemerintah Peduli Saudara. Mohon arahan dan bimbingan kepada anggota persatuan tanggap bencana yang sudah terlebih dulu bergabung. Terimakasih juga motivasi dari pak Rangga sungguh berharga, jangan terlalu memikirkan gaji karena kita harus bekerja dengan hati. Gaji bukan segalanya tapi segalanya butuh gaji," sambutanku terhenti karena sekarang sebagian besar anggota rapat tertawa.

Nggak salah kan ucapanku tadi?

Aku hanya sedikit tidak setuju dengan pernyataan Rangga yang seolah menghakimi orang-orang yang menganggap gaji itu sangat penting.

Nggak salah sih yang dia ucapkan, cuma kayaknya kurang pas aja. Orang kerja itu ada macam-macam tujuannya, ada yang memang suka berkarir dan sebagainya tapi aku yakin sebagian besar orang bekerja pasti mementingkan gaji.

Apa lantas mereka tidak tulus kerja?

Belum tentu.

Mereka bekerja tetap dengan sepenuh hati tapi juga mengharapkan gaji layak karena mereka punya tanggung jawab menghidupi keluarga. Lagian kalau ada yang menuntut gaji layak itu sah-sah saja karena mereka sudah melaksanakan kewajibannya. Yang salah itu yang kerjanya malas-malasan, laporan telat, berangkatnya telat, pulangnya pengin cepat tapi menuntut gaji meningkat.

"sekiranya Pak Rangga tidak terlalu butuh gajinya, kami lembaga non pemerintah sangat menunggu dan membuka lebar pintu untuk menerima sumbangan dana. Terimakasih." Aku mengakhiri sambutan dengan senyum lebar dan kembali memakai masker, teman-teman bertepuk tangan dan tertawa.

Mendadak aku jadi geli sendiri melihat ekspresi Rangga.

Astagfirullah..

Ini nggak termasuk nyari masalah kan?

Duh Rey! Kalau mama tau pasti langsung dijewer nih!

~~~

"Kamu pinter ya Rey! Berani speak up! "

ujar dr. Bams ketika kita perjalanan pulang ke klinik.

"Biasalah...!" candaku dan beliau mendorong tubuhku hingga sedikit terpental. Ya bayangkan saja, tubuhnya besar dan tinggi. Aku berani bercanda dengannya karena memang orangnya asyik. Umurnya masih 35 tahun dan merakyat pada karyawan lain walaupun dirinya seorang kepala klinik.

"Sejak lama sebenarnya aku juga pengin ngomong, tapi belum ada kesempatan. Pak Rangga itu gimana ya? Baik sih, sholeh juga kelihatannya, tapi ya begitu suka banget memandang sebelah mata sama buruh-buruh non pemerintah seperti kita ini! Tapi kamu lain kali harus hati-hati. Kita ini hanya lembaga kecil dibanding lembaga pemerintah, kita ikuti alur saja karena nanti pengaruh ke izin lembaga kita!" tambahnya.

Aku meminta maaf karena mungkin terlalu berani ngomong, yang tadi menang spontan banget, lain kali aku akan lebih mengendalikan diri.

Setelah sampai klinik aku langsung absen pulang lewat fingerprintAku tidak langsung pulang melainkan jalan-jalan dulu ke tetangga depan, siapa tau bidadari sedang main ke bumi.

Katakanlah aku ini berdosa karena masih berupaya mengganggu istri orang. Sebenarnya aku sudah benar-benar ingin melupakan Shanum ketika Pak Basuki waktu itu membenarkan pernikahan Shanum.

Tapi ketika mendapati Haris yang waktu itu berduaan dengan wanita terlebih dia mengindikasikan kalau berpoligami, rasanya aku ingin kembali memperjuangkan Shanum.

Ngomong-ngomong kenapa nasibku harus selalu berurusan dengan istri orang ya? The real 'bojomu semangatku' kalau gini ceritanya.

Astagfirullah..

Walaupun agak nggak waras gini aku juga masih sadar diri, tau sampai mana batas yang nggak boleh aku lewati.

"Om Dokter!!!" teriak Eca begitu melihatku masuk ke halaman panti.

Anak kecil itu langsung berlari sambil membawa bukunya, meninggalkan teman-temannya begitu saja.

Aku langsung menyambut tangannya dan berjalan bareng ke kumpulan anak-anak yang sedang belajar. Ada yang sambil tengkurap, ada yang sambil menunggangi kuda-kudaan, ada juga yang bukunya sudah di buat untuk tutup wajah dan tertidur.

Begitu aku datang mereka langsung berebut minta diajari. Benar kata Pak Basuki waktu itu, butuh mencari orang yang tugasnya memperhatikan mereka karena semua pengurus selama ini tidak ada yang fokus menemani mereka main atau belajar. Ustadz dan ustadzah mereka hanya kesini saat jadwal mengajar, sedangkan Pak Basuki dan istrinya juga kurang maksimal. Sedangkan pengurus yang lain juga sibuk dengan tugas masing-masing.

Sekarang aku jadi tahu kenapa Shanum setiap hari datang kesini hanya sekedar menemani anak-anak ini main atau belajar. Mulai sekarang aku juga pengin setiap habis jaga pagi main ke sini, sekedar menemani mereka belajar. Syukur-syukur bisa sekalian.

Sekalian dapat ilmu mengelola panti.

Jangan suudzon sama manusia setengah dewa!

"Eca nanti aja deh, Om! Yang lain dulu!" ujar Eca sambil beringsut mundur karena berebutan dengan yang lain minta diajari.

Aku mengiyakan permintaannya lalu fokus ke anak lain, untung saja masih SD semua jadi masih bisa diusahakan lah pelajarannya.

Satu jam kemudian, tugas-tugas mereka selesai. Kini giliran Eca yang mendekat.

"Tugas Eca apa?" tanyaku. Kalau anak seusai TK seperti Eca paling mentok tugasnya ya mewarnai.

"Nama hewan, Om. "

Oh salah ternyata!

Eca membuka bukunya dan menunjukkan tugasnya. Di sana terlihat beberapa gambar hewan dan di sampingnya ada kotak kosong untuk mengisi namanya.

"Udah tau semua kan, Ca? Gampang itu!" ucapku dan Eca menggeleng.

"Belum tau semua, Om! Eca belum pernah ke kebun binatang, jadi ada yang belum tau!"

Masyaallah... Kok tiba-tiba jadi sedih .

"Om aja juga nggak pernah. Takut." sahutku

"Kenapa takut Om? Kata teman-teman Eca di kebun binatang bagus."

"Takut ditangkap petugasnya, kata mereka Om mirip buaya." candaku dan berhasil membuat Eca tertawa, alhamdulilah setidaknya wajah sendunya berubah.

Alhamdulillah lagi yang tertawa bukan hanya Eca tapi juga bidadari yang baru saja keluar membawa sebuah nampan berisi minuman berwarna hijau dengan bulir-bulir cair di gelasnya.

Masyaallah cantiknya..

Eh astagfirullah.. Salah.

Masyaallah segernya minuman itu...

"Ini namanya beruang kan, Om?" Eca menunjuk gambar yang benar.

"Betul."

Dia langsung menulis huruf demi huruf dengan penuh perjuangan dan penghayatan agar membentuk kata beruang, walaupun sampai kolom yang tersedia tidak muat menampung tulisan Eca yang besar sekali.

Shanum meletakkan nampan di sampingku dan mempersilahkan aku untuk minum. Saraf haluku langsung aktif begitu saja. Astagfirullah..

Dia langsung duduk dan ikut menemani anak-anak lain yang masih melanjutkan belajar.

"Bahasa inggrisnya beruang itu bear kan, Om?" tanya Eca setelah perjuangannya menulis kata beruang selesai. Dia menyebutkan kata bear dengan logat Jombang, bukan logat bule.

"Betul! Eca pinter!" pujiku.

"Nggak pinter-pinter amat sih, Om! Cuma di kulkas kan banyak susu yang gambarnya beruang terus tulisannya bear. Eca nebak aja sih, eh taunya benar."

Spontan aku tertawa mendengar penjelasannya, ditambah ekspresinya yang polos tapi lucu. Benar-benar mood booster Eca ini.

"Bacanya itu bear, Ca! Bukan be-ar."

Aku membenarkan cara bacanya, dengan antusias Eca menirukannya secara berulang.

"Tau nggak Ca? Bear apa yang membuat nyaman?"

Dia menggeleng, "Yang ada serem om! Emang apa bear yang buat nyaman?"

Lalu dari tengkurap Eca langsung duduk sempurna karena penasaran dengan jawabannya.

"bear-ada di pelukanmu mengajarkanku apa artinya kenyamanan.." Aku menjawab Eca sambil bernyanyi, bagi anak lain yang paham langsung bersorak tapi tidak dengan Eca. Dia malah menatapku penuh tanya karena tak paham joke yang baru saja aku mainkan.

Shanum sudah tertawa puas sekali melihat aku gagal menggombali Eca. Padahal kalau saja dia tau, gombalan ku berhasil karena orang yang aku tuju jadi tertawa.

"Papanya Master gamer bukan sih?" tiba-tiba Shanum bertanya dan membuatku heran.

"Kok tau?" tanyaku balik. Papa memang suka main game kalau lagi jenuh dengan kerjaan.

"Pantes, anaknya hobi mainin hati orang!" jawabnya lalu kembali terbahak.

Allahu akbar...

Seketika aku terjungkal, terpental dan tertinju...

Joke nya nyampe banget..

Maaf Shanum!

Eca makin terheran melihat Shanum yang tertawa bahkan sampai keluar airmata, tapi kemudian dia tidak lagi mempedulikan joke yang tadi karena bingung, dia memilih melanjutkan tugasnya. Begitu selesai semua anak langsung berhamburan ke kamar masing-masing karena sebentar lagi waktunya ngaji sore.

Aku menghabiskan minuman yang dibuatkan Shanum dengan tiga kali teguk. Bukan aku yang rakus, tapi Shanum yang pelit, ngasih minuman pakai gelas mungil banget.

"Terimakasih ya Master, udah meluangkan waktu untuk anak-anak. Tapi ini gratis kan? Nggak kuat bayar soalnya!" ucap Shanum ketika dia membereskan sisa-sisa belajar tadi.

"Harus bayar dong, aku ini anak rantau yang jauh dari orang tua. Tau sendiri gimana harus ngirit sama kebutuhan! Tapi nggak harus dengan uang sih bayar ya!"

"Ogah! Master mau bilang bayar dengan cinta kan? Bidadari nggak akan tertipu lagi!" jawabnya dan langsung pergi begitu saja dengan ekspresi jijiknya.

Haha, masih Shanum yang sama ternyata.

Aku memilih tetap duduk di sini, enggan rasanya mau pulang. Lebih suka di sini. Seru.

Beberapa saat kemudian Eca keluar menemuiku katanya dia sudah maju pertama kali ngaji iqra' 6. Jadi langsung bisa keluar. Tiba-tiba muncul ide yang sangat luar biasa di kepalaku.

Aku membisiki Eca sesuatu, untung saja Eca mudah diajak kompromi. Lalu dengan semangat dia mulai menjalankan misi.

Lima belas menit kemudian dia kembali dan melanjutkan mewarnai gambarnya di sampingku.

"Beres, Om!" bisiknya lalu tos denganku.

"Mantap!" seruku.

Setelahnya aku ikut mewarnai gambar dengan Eca, tiba-tiba ada suara bising dari arah dalam. Tidak lama kemudian sumber suara bising itu keluar.

"Bunda kenapa sih?" tanya Eca.

"Bunda lagi cari hp, Ca! Lupa tadi di mana. Bunda harus menghubungi abah!" jawab Shanum sembari memutar tempat-tempat yang dia duduki tadi.

Eca dengan luwesnya ikut berdiri dan mencari hp Shanum. Aku juga pura-pura mengolak-alik buku Eca, siapa tau keselip tapi kayaknya nggak mungkin.

"Hpnya ada suaranya nggak, Bunda? Di telepon aja!" usul Eca dan Shanum langsung menepuk jidatnya.

Dia menoleh ke segala arah dan hanya aku satu-satunya makhluk Tuhan yang ada di situ dan punya hp.

Tanpa pikir panjang dia mendekat, "Master udah gajian belum? Ada uang buat beli kouta nggak? Kalau ada aku pinjam hpnya sebentar." ujarnya.

Astagfirullah,, bidadari beda ya cara minta tolongnya!

"Nih! Jangan lupa ganti koutanya!" jawabku.

"Bunda di situ saja, biar Eca yang dengerin bunyi hpnya di arah mana!" sahut Eca dan disetujui oleh Shanum.

Wanita itu langsung mengetikkan nomor hpnya. Beberapa saat kemudian Eca yang berdiri di ambang pintu langsung berteriak.

"Di lemari TV bunda!"

Shanum langsung mengembalikan hpku dan menyusul Eca yang sudah lebih dulu mengambil hpnya.

Alhamdulillah..

mission

complete!!

Dalam hati aku bersorak sambil memberi nama kontak pada nomor yang Shanum telepon tadi.

Ecaaaa...I lope you....

Bocah kecil periang itu berlari menuju buku-bukunya tadi. Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan dua jempolnya, lalu setelahnya aku dan Eca pura-pura serius mewarnai. Pura-pura tidak tau kalau hp Shanum sengaja di sembunyikan Eca agar aku dapat nomor teleponnya. Haha

Cerdas kan aku?

Namun tawa dalam hatiku sirna begitu saja saat ada mobil yang berhenti di halaman panti dan aku tau mobil siapa itu.

Shanum langsung mengambil tasnya dan pamit pulang karena Haris sudah menjemputnya. Haris turun dan menyapa Eca juga beberapa anak panti.

Dia juga bersalaman denganku dengan senyum tanpa beban.

"Pulang dulu ya, Rey!" pamitnya lalu dengan sengaja merangkul pundak Shanum dan mencium pelipisnya.

Tidak ada penolakan dari Shanum, wanita itu malah tersenyum bahagia lalu memeluk lengan Haris dan berterima kasih saat Haris membukakan pintu untuknya.

Sopankah begitu di depan mantan calon suami??

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Faith
kirain sama alea.....gmna dg alea
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status