Share

5. Konspirasi

Aiza

Shanum

Keshwari

Lebih suka senja atau pelangi?

Aku bertanya bukan untuk membandingkan, karena pernah aku bilang semua terlihat indah di mata yang tepat, aku hanya ingin tau alasannya.

Kalau aku lebih suka dengan senja. Alasannya simpel aja, mungkin sudah banyak yang bilang seperti ini. Senja itu walaupun hanya punya satu atau dua warna yang cenderung gelap tapi senja itu setia, walaupun hanya datang sebentar tapi senja selalu menepati janji untuk datang lagi di esok hari.

Sedangkan pelangi, dia memang indah punya banyak warna tapi kesetiaannya masih di bawah senja, dia hanya datang setelah hujan badai, itupun tidak pasti.

"Sampai kapan sih mau main kucing-kucingan?" pertanyaan Mas Haris mengusik lamunanku.

"Siapa yang main kucing-kucingan, Mas?" elakku.

Mas Haris menghela nafasnya, dia melirik arloji dan tanpa persetujuanku dia membelokkan mobil ke sebuah restoran kesukaan abah.

"Mampir sebentar, abah pesan sate kambing tadi!" ujarnya.

Aku membiarkan dia turun sendiri karena aku pikir dia hanya ingin membelikan sate untuk abah tapi ternyata dia menggedor pintu dan memintaku turun menemaninya.

Dan lagi-lagi tanpa meminta persetujuanku dia memesan dua porsi sate dan satu porsi tongseng lengkap dengan minumannya.

"Makan dulu, buat tambah darah! Biar nggak pucet tuh muka!" ujarnya lagi setelah 15 menit kemudian pesanan kami datang.

"Udah sih, Za! Ngaku aja ke Rey-Rey itu kalau aku bukan suami kamu!"

Aku tidak memperdulikan ocehannya, tetap fokus makan.

Oh iya Za itu penggalan dari Aiza bagian dari namaku. Mas Haris lebih suka memanggilku seperti itu.

Jadi, Mas Haris ini memang bukan suamiku seperti yang Mas Rey tau selama ini. Haris adalah kembaranku, kata almarhumah umi dulu pas hamil kita memang ada dua kantong janin, jadinya kita ini kembar tapi tidak identik. Secara kasat mata memang tidak begitu terlihat kemiripannya.

Mas Haris lahir 7 menit lebih dulu daripada aku, tapi itu cukup banget buat dia sombong dan mengharuskan aku untuk memanggilnya Mas. Tapi memang dari kecil umi dan abah juga membiasakan aku untuk memanggilnya mas. Selain Haris ini, aku juga punya satu abang lagi yang sekarang berusia 30 tahun, namanya Mas Nadim.

Kita semua tinggal di rumah abah karena permintaan abah sendiri. Abah tidak mau ditinggal jauh oleh anak-anaknya. Alhasil Mas Nadim beserta anak istrinya juga tinggal di rumah, untuk saja istrinya penurut banget.

Begitu juga dengan saudara kembarku ini, dia menikah beberapa bulan yang lalu dan juga masih tetap tinggal di rumah.

Rumah abah itu satu halaman dengan pesantren, sisa tanahnya juga masih agak luas jadi untuk melegakan hati abah Mas Nadim mulai membangun rumah di belakang rumah utama. Kalau Mas Haris ini nggak taulah gimana rencananya.

"Aku ngeri lihat tatapannya Rey, takutnya tiba-tiba aku di hajar sama dia! Kemarin aja pas aku kepergok makan sama Fadila aja dia udah pasang kuda-kuda. Tegang banget wajahnya." ocehnya lagi, beneran nggak ada bosannya ini orang.

Tapi aku jadi tertarik dengan kalimat yang terakhirnya. Dia bilang kepergok makan bareng istrinya? Waktu itu Mas Rey juga bilang sama aku kalau dia habis ketemu sama Mas Haris, jadi dia lihat Mas Haris sama Fadila?

"Pasti kamu ngomong aneh-aneh kan, Mas? Nggak mungkin banget kalau dia sampai pasang kuda-kuda kalau enggak kamu kerjain!"

Mas Haris malah tertawa sambil berulang kali menyendok nasi dari piringku, dipindahkan ke piringnya. "Cuma bilang kalau lelaki boleh punya istri sampai empat, soalnya pas dia lihat aku lagi disuapin sama Fadila." jelasnya lalu tertawa lagi.

Pantas saja!

"Gini deh Za! Nggak semua kasus ghosting

itu karena lelakinya nggak bener! Aku emang belum kenal banget sama Rey, tapi kelihatannya dia tidak seperti yang kamu kira selama ini. Apalagi om kaslan juga bilang dia baik dan berasal dari keluarga yang baik juga." Selesai makan dia langsung memulai sesi ceramah, selalu saja seperti ini. Aku makannya pelan, dan dia cepat banget.

Tapi aku sayang banget sama Mas Haris, bersyukur banget Allah kirimkan dia dalam hidupku, dia itu jagain aku banget meskipun kadang caranya ngeselin.

"Jangan mudah percaya tampilan luarnya, gudang garam aja isinya tembakau kok bukan garam!" jawabku.

"Dari mana kamu tau kalau isinya tembakau? Karena udah pernah lihat isinya kan? Kalau belum pernah gimana bisa kamu tau kalau isinya nggak sesuai luarnya?"

Masyaallah.. Ada aja jawabannya.

"Ya masa aku harus buka dalamnya dia sih?" maksud hati cuma bercanda tapi responnya beneran, dia melempar aku dengan tisu bekas lap mulutnya.

"Nggak gitu ilmunya, Za! Kelamaan di hutan sih kamu jadi nggak paham analogi!" protesnya.

Mas Haris meminum es jeruknya sampai habis lalu sempat-sempatnya mengambil satu tusuk sate ku sebelum melanjutkan ceramahnya.

"Ada tiga alasan kenapa lelaki tiba-tiba ngilang tanpa penjelasan gitu. Pertama karena memang hanya coba-coba ingin tau si wanita tertarik nggak sama dia, kedua karena wanitanya tidak sesuai dengan tipenya maka dia pergi mencari yang lebih sesuai tipenya, kemudian yang ketiga karena terpaksa dan bukan maunya sendiri," Mas Haris menjeda ceramahnya lalu kembali mengambil sateku.

Astaghfirullah..

Sate cuma enam tusuk yang dua diambil.. Sabar.. Sabar..

"terpaksa itu bisa karena ada masalah, karena dijodohkan, karena tidak direstui atau yang lainnya yang jelas bukan maunya dia sendiri tapi keadaan yang memaksa. Kamu cari tau pasti apa yang membuat dia menghilang tanpa kabar, jangan hanya berasumsi, apalagi menghakimi dia karena itu nggak akan menyelesaikan masalah. Bukannya aku membenarkan perilaku ghosting

ya, cuma aku gak setuju sama sikap kamu yang berasumsi sendiri, kalau kamu bisa cuek dan nerima ya nggak masalah, tapi nyatanya kamu itu tersiksa sendiri." lanjutnya yang kini sudah semakin menggebu-nggebu.

"Yang perlu kamu lakuin adalah pastiin alasannya apa karena itu untuk pelajaran kamu selanjutnya. Tapi setelah tau apa alasannya, jangan sampai kamu menjatuhkan diri sendiri, jangan sampai kamu merasa rendah diri dan insecure, kamu sholehah, kamu baik dan cantik. Tetap jalani hidup kamu dengan bahagia. Kalau pun dia ninggalin kamu karena memang hanya ingin main-main, berarti dia yang rugi, bukan kamu." Mas Haris kembali memberi nasehat dan kali ini sambil memegang tanganku.

Aku masih tetap diam, karena sebenarnya yang dikatakan Mas Haris sudah terjadi. Aku insecure.

Dengan statusku yang janda aku memang sudah pesimis duluan dengan pernikahan, ditambah lagi Mas Rey yang tiba-tiba menghilang tanpa alasan setelah berencana melamarku, semakin membuatku insecure

lagi.

Bukannya aku tidak percaya kasih sayang Allah, aku hanya berusaha memperketat benteng hatiku, aku tidak mau hidupku dipermainkan lagi oleh lelaki.

"Ini aku sama Mas Nadim masih diem lho, nggak ngadu ke abah kalau kamu bikin konspirasi dosa, pakai ngajak Om Kaslan dan Pakde Bas untuk bohong lagi! Awas tuh dosa kamu yang nanggung! Kalau abah sampai tau, langsung dinikahkan juga kamu sama Rey!" ancamannya lumayan menakutkan, takut abah tau dan kepikiran.

"Nggak semudah itu kali abah nerima orang buat aku!" sanggahku.

"jangan salah! Kalau Mas Nadim udah maju, bisa apa kamu? Tau sendiri kan gimana percayanya abah sama Mas nadim? Apalagi tambah Om Kaslan maju, wah nikah malam ini juga kamu!"

Yang dia bilang memang benar, Mas Nadim adalah anak abah yang tawadhuknya luar biasa, dia kalem dan penurut banget sama abah makanya abah paling percaya sama masukan dari Mas Nadim, kalau kita berdua ya jangan ditanya lagi! Kita ini melengkapi warna dunia, kalau Mas Nadim tipe anak yang kalem dan santun, kita sebaliknya.

"Aku itu ngomong gini karena lihat kamu yang kayak nahan beban banget, luarnya aja yang dibikin seneng dan ceria tapi dalamnya hati kamu, aku bisa tebak dan pasti bener!"

Idih..

"Kamu jangan siksa diri, sudah cukup setahun yang waktu itu kamu tersiksa dan terpuruk! Nggak semua lelaki akan bersikap sama dengan Rangga. Kalau memang kamu ada harapan sama Rey, jangan bohongi diri sendiri terus!"

Kini aku terharu dengan ucannya, saudara kembarku ini memang paling jago mainin emosiku dalam satu waktu.

.

.

.

.

Hari ini adalah jadwalku mengajar di sekolah, walaupun hanya seminggu tiga kali pertemuan tapi aku sangat menikmatinya. Aku yakin sesuatu yang dilakukan dengan sepenuh hati pasti akan kembali ke kita juga kebaikannya.

Di madrasah ibtidaiyah ini aku menjadi guru bantu di kelas dua karena guru mereka sedang tugas belajar jadinya tidak bisa full mengajar dalam satu minggu.

Aku bisa masuk kesini karena bantuan Mas Haris, kebetulan dia punya kenalan guru di sini dan akhirnya aku bisa masuk.

Setiap hari mengajar itu aku menghabiskan waktu sampai jam 12 setelah itu pulang ke panti baru sorenya dijemput Mas Haris, sepulang dia kerja.

Lama-lama kasihan juga kalau dia harus antar jemput tapi ya salah sendiri, siapa yang melarang aku bawa kendaraan sendiri. Mobil abah masih ada, aku juga punya motor, tapi entahlah apa alasan kembaranku itu nggak membiarkan aku bawa kendaraan sendiri selama dia masih bisa antar jemput.

Walaupun seneng diperhatikan tapi kadang repot juga, seperti siang ini aku harus berlama-lama menunggu ojek online untuk pergi ke panti.

"Bu Shanum belum jadi pulang?" tanya seorang guru olahraga yang bernama Arga.

"Masih nunggu ojek, Pak!"

Dia tersenyum dan mendekat ke tempat aku duduk. "Mau bareng saya? Rumah saya searah kok sama panti Al Ikhlas." tawarnya dengan sopan.

Aku membalas senyumannya dan mengucapkan terima kasih sekaligus maaf karena harus menolak tawaran baiknya.

"Ya sudah saya temani Bu Shanum sampai ojeknya datang." ujarnya lagi lalu hendak turun dari motornya tapi buru-buru aku mencegahnya.

"Nggak usah Pak, terimakasih banyak, nanti merepotkan. Pak Arga pulang duluan nggak apa-apa."

Arga tersenyum pasrah dan akhirnya pulang lebih dulu. Bukannya kepedean tapi radar kepekaanku ini menangkap sinyal pendekatan darinya. Dia orangnya baik, aku hanya tidak ingin terlihat memberi harapan karena memang aku tak punya harapan apa-apa tentang percintaan. Atau lebih tepatnya menolak berharap.

Akhirnya ojek yang aku tunggu datang juga, segera saja aku berangkat.

Ketika aku sampai di panti, terlihat ada anak bernama Fajar menangis. Aku langsung mendekat dan menanyakan alasannya.

"Di tusuk pakai bolpen sama Eca, Bunda." jawabnya sambil terbata-bata.

"Nggak ditusuk kok, kan cuma di suntik dikit aja!" sahut Eca mencoba membela diri.

"Bohong! Eca nyuntiknya sakit, Bunda!" sahut Fajar lagi membuat Eca melotot dan hendak berteriak ke Fajar.

"Eca!" tegurku dengan nada sedikit keras dan membuat Eca menunduk.

Kemudian anak-anak yang lain menyoraki Eca alhasil Eca langsung beringsut mundur dan menangis.

Hatiku tertohok begitu saja melihat Eca menangis, mendadak rasa bersalah menyelimuti hatiku karena tadi sempat menegur Eca.

Aku menenangkan Fajar terlebih dahulu lalu mencari Eca. Kebiasaan anak itu kalau sedang nangis pasti sembunyi. Katanya nggak mau terlihat jelek. Tapi aku sudah hafal di mana dia sembunyi.

Eca biasanya akan menangis sambil main air di kamar mandi belakang, katanya biar tersamarkan air matanya dengan air bak. Kamar mandinya bukan shower bukan juga ember, tapi bak besar dan lebar yang terbuat dari semen.

Tapi aku berubah khawatir ketika tidak mendapati Eca di kamar mandi belakang. Langsung saja aku mencari di kamarnya, tidak juga menemukan. Aku kembali memutari seluruh panti tapi tidak ada Eca.

"Mbak, lihat Eca?" tanyaku pada Mbak Rina yang baru masuk.

"Lha ini, Mbak baru habis antar dia ke klinik depan. Katanya pengin ketemu Om dokter." jawabnya.

Tanpa pikir panjang aku langsung menyusul Eca ke klinik. Aku sangat menyesal kenapa tadi spontan menegur Eca tanpa mau mendengarkan penjelasannya.

Ketika aku sampai, Eca sudah bermain dengan perawat jaga karena sepertinya Mas Rey sedang ada pasien.

Eca hanya melirikku dan kembali berdialog dengan perawat itu. Hatiku rasanya benar-benar menyesal, aku selalu ingat pesan abah agar sabar menghadapi apapun kenakalan anak-anak panti, karena hanya panti keluarga mereka. Hanya panti juga yang mereka harapkan mendapat perlindungan.

Lama aku berdiri menunggu tapi Eca tetap mengabaikan aku. Hingga datang mas Rey dan langsung mendekati Eca dan mengajaknya masuk.

Dia mengisyaratkan padaku untuk menunggu sebentar, mungkin dia ingin membantu membujuk Eca.

Beberapa menit aku menunggu Eca di luar dengan perasaan gelisah. Menyesal sekali membuat Eca menangis. Aku tadi merasa lelah dan kepanasan baru dari perjalanan, jadinya nggak terkontrol.

Ampuni hamba, Ya Allah.

Kemudian terdengar suara tawa Eca, aku sedikit lega mendengarnya. Walaupun belum berhasil minta maaf.

Lalu aku merasakan hp yang ada dikantongku bergetar.

0823365104xx

[Masuklah, Eca sudah jinak]

Nomer nya Mas Rey? Kok dia bisa punya nomor buruku?

Ah nggak penting itu sekarang.

Aku mengabaikan pernomoran hp itu, langsung saja aku masuk ke ruang kerja Mas Rey. Terlihat Eca sedang menggunakan stetoskop dan pura-pura memeriksa manekin.

"Kenapa tadi? Eca nggak mau cerita alasannya, dia cuma bilang kamu marah sama dia." ujar Mas Rey

Aku menunduk sedih, Eca pasti sedih banget karena mengira aku marah. Dan dengan suara pelan aku menjelaskan kejadian tadi pada Mas Rey.

"Kalau lagi capek biasanya emang emosi nggak terkontrol, tapi itu nggak berarti bisa dijadikan alasan juga. Aku tau kamu nggak sengaja, dan Eca nggak beneran marah, dia hanya kecewa." jelasnya dan aku membenarkan itu.

"Semakin besar rasa kecewa berarti semakin besar rasa sayangnya. Jangan khawatir!" imbuhnya sembari tersenyum lalu pamit keluar, meninggalkan aku dan Eca.

Semakin besar rasa kecewa berarti semakin besar rasa sayangnya.

Kalimat itu malah selalu terngiang di telinga, kok aku berasa tersindir ya?

Aku mendekati Eca yang masih asyik memeriksa manekin di depannya. Aku mengajaknya bicara tapi Eca tidak menjawab, dia tetap main.

"Bunda minta maaf ya, Bunda nggak marah kok sama Eca. Tadi kenapa kok Fajar nangis?"

Aku tidak menyerah, setidaknya sampai Eca mau bicara lagi padaku.

"lagi main dokter-dokteran, Bunda. Tadi pas giliran  Fajar jadi dokternya, dia juga nyuntik tangan Eca pakai bolpen, Eca nggak nangis. Tapi pas giliran Eca yang nyuntik dia nangis." jelasnya dengan wajah memerah ingin menangis lagi.

Aku langsung memeluknya dan minta maaf lagi, aku sekarang tau kenapa Eca nangis sampai lari kesini, dia bukan kecewa karena aku tegur tapi dia kecewa karena aku tidak mau mendengarkan penjelasannya dulu.

"Bunda minta maaf, Bunda salah sama Eca!"

Eca masih terdiam di pelukanku, membuat aku semakin cemas.

"Kata Bunda, kalau mau dimaafkan boleh kasih syarat kan?" tanyanya tanpa melepas pelukan.

"Iya. Eca kasih syarat apa biar Bunda bisa dapat maaf dari Eca?"

Eca melepas pelukannya dan mengacungkan kelingkingnya. "Bunda janji?" tanyanya.

Aku langsung mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya yang mungil. "Insyaallah, selama Bunda bisa, pasti Bunda lakukan." jawabku dengan mantap.

"Besok minggu Om dokter ngajak Eca dan teman-teman ke kebun binatang, Bunda harus ikut."

Ya Salaaam..

Syarat macam apa itu?

"Gimana Bunda, mau nggak? Keputusan ditangan Bunda!" ujarnya lagi tapi kini wajahnya sudah tidak sedih lagi, sudah kembali menjadi Eca yang biasanya.

Alhamdulillah lega, tapi kok ada semacam kejanggalan di sini..

Aku menoleh dan mendapati Mas Rey sudah tersenyum lebar di ambang pintu.

Aku mencium bau konspirasi..

"Mau nggak, Bunda?" tanya Eca sekali lagi.

Oke, kali ini bidadari mengalah. Awas saja, lain kali aku balas Si Master.

"Ya sudah, demi dimaafkan sama Eca Bunda mau!"

Eca langsung berteriak dan dan mencium pipiku. "Eca maafin Bunda!" ujarnya dengan ceria lalu dia berlari menghampiri Mas Rey.

Keduanya langsung berhigh five dan tanpa rasa malu kedunya langsung bernyanyi di sini senang, di sana senang sambil berjoget.

Baru kali ini Bidadari kalah...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status