Share

6. Sungguh-Sungguh

0823365104xx

[Kamu lagi di mana?]

Keningku kembali berkerut mendapati pesan masuk dari nomor yang belum aku simpan. Kalau ingatanku tidak salah, ini adalah nomornya Master. Kemarin pesannya sudah aku hapus dan nomornya tidak aku simpan.

Balas nggak ya?

Aku tunggu sampai dua menit, kalau dia tidak telepon berarti tidak ada yang penting dan itu hanya pesan iseng saja dari dia.

Dua menit bahkan tiga menit sudah berlalu dan tidak ada telepon atau pesan darinya lagi, berarti tidak ada sesuatu yang penting. Maka aku memilih mengabaikan pesan itu dan kembali fokus pada es krimku yang mulai meleleh sambil menunggu jemputan dari Mas Haris.

Banyak yang bilang menunggu itu membosankan. Setuju sih. Apalagi yang ditunggu tidak ada kejelasannya. Tapi sebenarnya ada satu hal yang aku tak pernah bosan menunggunya. Rasanya masih ingin punya banyak waktu dan kesempatan agar saat itu tidak segera datang.

Menunggu apa itu? Menunggu malaikat izrail..

Hehe.. Agak seram ya? Tapi mau menghindar dengan cara apapun kalau emang udah waktunya, tetap saja akan datang, bahkan takdir itu sudah tertulis berpuluh ribu tahun sebelum kita lahir.

Kalau bahas ajal rasanya langsung mengkerut ya? Rasanya aku langsung nggak enak makan, nggak enak tidur, mikirin punya bekal berapa banyak untuk menghadap Allah, mikirin berapa besar dosaku yang sudah tercatat..

Tapi... Aku selalu ingat nasehat guruku, "seberapa besar dosa kamu, jangan khawatir tapi juga jangan dianggap remeh! Rahmat Allah jauh lebih besar dari itu, bahkan dari dosa seluruh umat manusia di dunia,"

Jadi, haqul yakin saja bahwa Allah pasti akan mengampuni dosa kita dan menyelamatkan kita asal sungguh-sungguh dalam memintanya.

Sungguh-sungguh itu ya sungguh-sungguh, nggak main-main. Tau kan?

Sungguh-sungguh dalam mengaku bahwa kita ini hanya butiran debu tanpa rahmat Gusti Allah.

Sungguh-sungguh mengaku bahwa hanya kepada Allah kita menyembah dan memohon pertolongan.

Sungguh-sungguh bertaubat dan sebisa mungkin tidak mengulangi kesalahan.

Tapi aku ngaku kalau itu semua sungguh-sungguh tidak mudah dilakukan. Harus punya niat yang sungguh-sungguh.

Intinya, mari kita tetap semangat menggapai Rahmat Gusti Allah, jangan pernah putus asa! Husnudzon sama Gusti Allah, kan sudah dibilang Allah itu sesuai prasangka hamban Nya, maka dari itu mari selalu berprasangka baik pada Allah.

Sanggup?

Di sanggup-sanggupin ya, mari kita bergandengan  tangan, saling menyemangati. Allahu akbar!!

Seruput dulu es kirimnya.. Alhamdulillah seger.

Hari ini aku tidak ke panti, karena ada kegiatan sekolah tempatku mengajar yang tidak bisa ditinggalkan. Rapat persiapan penerimaan siswa baru untuk tahun depan. Kepala sekolahnya baru saja ganti jadi akan ada perombakan kebijakan secara besar-besaran, makanya rapat ini wajib dihadiri seluruh pegawai.

Rapatnya tidak di  sekolah, melainkan di sebuah gedung pertemuan yang biasa untuk rapat dan alhamdulillah dekat dengan Mall jadinya setelah rapat selesai aku bisa melipir kesini, menikmati es krim sambil melihat orang yang berlalu lalang.

Tapi ngomong-ngomong, sudah hampir dua jam aku menunggu di sini dan Mas Haris belum juga sampai. Terakhir tadi yang kasih kabar Si Fadila, istrinya. Dia bilang agak telat jemput karena masih ada urusan.

Aku lupa kalau hari ini ada rapat, tadi nurut aja pas diantar oleh Mas Haris. Apa aku pulang duluan aja ya?

Ya sudahlah, apa boleh buat.

Aku menghabiskan es krimku lalu beranjak meninggalkan pusat keramaian ini. Sambil berjalan, mata ini tak bisa diam harus melihat ke kiri dan ke kanan, sekiranya ada yang menarik langsung baca taawudz. Agar bisikan setan itu segera lenyap.

Ingat jumlah honor, Shanum!

Dan sekarang aku berhenti di depan sebuah toko yang menjual produk rajutan, mataku tertuju pada sebuah sling bag rajut bewarna biru muda yang tergantung di kaca, cantik banget. Tanganku ini sudah terangkat ingin mendorong pintu tapi langsung saja ada bisikan dari langit, bahwa minggu kemarin aku sudah membali tas gara-gara tidak enak sama teman yang menawarkan barang dagangannya, untung saja sisi nurutku  masih banyak, akhirnya aku mundur lagi.

Baru saja lanjut jalan, langkahku berhenti begitu saja ketika di depanku, hanya berjarak dua meter dariku, berdiri seorang laki-laki yang kini juga menatapku dengan senyuman yang lebar. Walaupun hatiku bergejolak, tapi aku tetap berusaha tenang. Ini pertemuan kali kedua setelah kami resmi bercerai tahun lalu.

Ya, orang itu adalah Rangga, mantan suamiku. lelaki itu yang selalu ingin aku hindari, kalau bisa jangan pernah bertemu lagi.Masa lalu yang kelam itu sudah tertutup rapat, tapi jujur ketika melihat Rangga, rasanya masih terekam jelas bagaimana perlakuannya dulu. Rasanya hati ini masih sedikit bergejolak.

Dengan tanpa mempedulikannya aku tetap jalan tapi dia memanggilku dan mendekat. "Lama tidak jumpa," sapanya.

"Iya. Permisi!" Aku buru-buru menjauh darinya, entahlah rasanya kenapa masih begitu berat bertemu dengannya. 

Saat melihat wajahnya, aku jadi sedih karena teringat umi. Beliau meninggal di moment kehancuranku karena perceraian. Ditambah teringat sekali bagaimana orang-orang begitu memandangku rendah.

Tanpa aku sadari ternyata Rangga mengikutiku dan langsung mencengkal lenganku. Reflek aku langsung mengibaskan tanganku dan hampir berteriak. Rangga langsung menoleh ke sekitar, mungkin dia takut kita menjadi bahan perhatian.

"Aku hanya ingin minta tolong sama kamu," ujarnya.

"Maaf aku nggak bisa." jawabku cepat tapi Rangga tidak jera, dia tetap menyamakan langkah denganku sambil membenarkan letak masker dan topinya.

Sekali lagi Rangga ingin menahanku tapi tiba-tiba ada seseorang yang sengaja lewat dan menyenggol Rangga agak keras sehingga dia melompat maju.

"Mas Rey?"

"Astaghfirullah, maaf Pak saya nggak lihat! Gara-gara pakai kacamata hitam baru beli tadi, jadi gelap!" Mas Rey mengabaikanku dan langsung maju mendekati Rangga.

Rangga berdecak kesal lalu melempar tatapan tajam dan Mas Rey hanya diam di depannya. Mas Rey lalu membuka kacamata dan meletakkannya di kepala.

Rangga langsung beralih menatapku yang berada di belakang Mas Rey, entah apa yang sedang dia pikirkan tapi dari tatapannya aku tau dia sangat marah, aku hafal sekali tatapan penuh amarah itu.

"Dia siapanya kamu? Selalu ikut campur!" tanya Rangga padaku.

"Masa depannya!" sahut Mas Rey yang tentu saja membuat tatapan Rangga semakin tajam.

Kalau saja sedang tidak dalam keadaan seperti ini, pasti aku debat habis Mas Rey, tapi sekarang aku malah berterimakasih karena dia menyelematkan aku dari Rangga.

Rangga mengamati Mas Rey dari bawah ke atas dengan tatapan meremehkan. "Kamu tau siapa dia?" tanyanya sembari menunjukku.

"Shanum." jawab Mas Rey dengan entengnya.

Rangga mendengus lalu tersenyum meremehkan, "Dia mantan istriku!" ujar Rangga penuh penekanan.

"Alhamdulillah, udah tau!" jawab Mas Rey lagi dengan tenang, seperti tak ada beban yang jelas saja membuat Rangga semakin emosi.

Rangga tertawa pelan, "Lelaki itu yang penting adalah punya harga diri, dia akan mencari wanita yang terbaik," ucapnya dan matanya melirikku, seolah mengatakan bahwa aku ini bukan wanita baik, dan seketika membuat aku seperti dihempaskan ke jurang.

"Janda maksudnya?" tanya Mas Rey. Dia tertawa lalu menoleh ke belakang, menatap aku yang sudah berkaca-kaca. Tatapan matanya seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.

"Harga diri seorang lelaki itu tidak ditentukan oleh sesuatu yang tak terlihat seperti itu tapi ditentukan oleh sikap kita." lanjut Mas Rey. "Nangkap nggak maksudnya?" tanyanya lagi.

Rangga langsung bersedekap menantang.

"Lelaki nggak akan hilang harga dirinya hanya karena menikahi seorang wanita bersatatus janda, harga diri itu terlihat salah satunya dari bagaimana cara kita memperlakukan wanita, bagaimana cara kita menghargai dan menghormati wanita, karena kita lahir dan hidup dari kasih sayang wanita. Bukan begitu Pak Rangga yang terhormat?"

Bukan hanya Rangga yang terlihat kaget dengan ucapan Mas Rey, aku juga cukup kaget dan terharu dengan kalimatnya. Kenapa Mas Rey masih segini baiknya sama aku? sedangkan secara terang-terangan aku selalu mengabaikannya, bahkan aku bohongi dia tentang pernikahanku.

Rangga tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas Mas Rey, dia merapikan letak masker dan topinya kembali lalu pergi melewati kami berdua, sebelumnya dia sempat menyenggol pundak Mas Rey.

Aku masih terdiam menenangkan hati, rasanya masih terasa sakit sekali mendengar Rangga selalu merendahkan ku.

Aku juga diam saja melihat Mas Rey yang juga beranjak pergi tanpa pamit padaku. Aku melihat dia masuk sebuah Cafe yang tak jauh dari tempat ku berdiri.

Tidak lama kemudian dia kembali menghampiriku yang masih diam ditempat, jujur aku seperti orang linglung yang tak tau harus berbuat apa.

"Kata kasirnya ada diskon jika beli minumnya untuk dua orang," ucapnya sembari menunjuk ke arah Cafe tadi. "Ayo! Kasihanilah anak kos ini yang harus ngirit uang!" lanjutnya.

"Hah?" Aku masih terlalu bingung meresponnya.

Mas Rey tertawa lalu kembali memakai kacamatanya, dia mengisyaratkan agar aku ikut dia. Dan seperti aku bilang, aku masih terlalu linglung karena perlakuan Rangga tadi, aku seperti robot saja yang nurut mengikuti Mas Rey.

Aku masuk ke Cafe itu dengan sedikit ragu, efek bertemu Rangga tadi masih sangat luar biasa. Aku merasa kembali ke masa itu, masa di mana orang-orang menatapku rendah, masa di mana harga diriku benar-benar di jatuhkan.

Aku jadi minder melihat tatapan orang-orang yang sudah terlebih dulu ada di Cafe ini, rasanya aku rendah banget di mata mereka, padahal mungkin saja mereka tidak seperti itu.

"Kamu dijemput apa gimana pulangnya?" tanya Mas Rey.

"Iya." Aku memutuskan untuk menunggu Mas Haris saja, hatiku cukup kacau sekarang.

"Minum dulu!" Mas Rey membukakan air mineral untukku, dengan tangan yang masih sedikit bergetar aku menerima botol itu dan langsung meminumnya.

Tidak lama kemudian pesanan Mas Rey datang, dia memesan kopi untuk dirinya sendiri dan susu hangat untukku. Minuman yang cukup efektif membuat tenang.

Aku minum masih sambil melirik orang-orang di sekitar sambil terus meyakinkan diri bahwa mereka bukan sedang menatapku, pokoknya aku bukan Shanum yang dulu.

"Hidup itu selain dompet yang harus tebal, telinga dan mata juga harus tebal. Nggak usah dengar dan lihat sesuatu yang tidak penting!" ucap Mas Rey sepertinya dia paham apa yang sedang aku rasakan.

Aku kembali menunduk, rasanya malu sekali selama ini aku susah payah bersikap ceria di depan orang-orang tapi hari ini harus terlihat lemah begini di depan Mas Rey.

"Terimakasih Mas untuk bantuannya." ucapku tulus.

Mas Rey tidak langsung menjawab, dia masih sibuk mengetik di hpnya. Baru satu menit kemudian dia meletakkan hpnya dan menjawabku, "Nggak ada yang gratis ya! Buang air aja bayar kok!"

Yang tadinya terharu malah jadi pengin memaki orang ini, kalau aja ada yang lihat ekspresi jumawanya saat ini pasti kalian setuju sama aku kalau orang ini pengin banget ditimpuk. Tapi anehnya sekarang mood ku membaik.

"Bidadari punya banyak hal, Master boleh minta apapun!" Aku serius karena tadi dia bantu aku.

Dia malah tertawa lagi lalu memegang dagunya, bergaya sedang mikir kira-kira apa yang harus dia minta.

"Tapi jangan minta waktuku lagi, udah habis waktunya!" ucapku lagi dengan buru-buru. Aku ingat waktu itu dia bilang minta waktu seumur hidupku tapi nyatanya dia kabur.

Astaghfirullah malah jadi keinget masalah per- ghostingan.

Ekspresi di wajahnya berubah meskipun masih bisa tersenyum, seperti ada sesuatu yang dia pendam. Aku jadi ingat nasehat Mas Haris waktu itu, dia bilang aku harus cari tau apa alasan Mas Rey tiba-tiba menghilang setelah bilang mau melamarku. Apa aku tanya sekarang saja? Tapi mulai dari mana?

"Aku nggak minta apapun untuk diriku, aku hanya minta kamu kuat untuk diri kamu sendiri."

Aku tertegun mendengar ucapannya, dia berbicara seperti orang bercanda malahan sambil menunduk sibuk dengan hpnya tapi rasa nya sangat bermakna.

"Itu pakde kamu datang." ujar Mas Rey lagi dan aku ikut menoleh ke arah Pakde Basuki yang berjalan menghampiri kami.

Mas Rey berdiri dan pamit padaku untuk pulang lebih dulu. Dia berjalan ke arah Pakde Bas lalu mencium tangannya, keduanya ngobrol sebentar laku terlihat Mas Rey berjalan menjauh sedangkan Pakde Bas mendekatiku.

"Pakde kok bisa di sini?" tanyaku.

"Tadi Nak Rey kirim pesan minta tolong disampaikan ke Haris atau keluarga kamu untuk segera jemput kamu, Pakde tanya di mana dan waktu dia jawab di sini, Pakde bilang biar Pakde saja yang jemput, kebetulan Pakde lagi ada di rumah teman yang nggak jauh dari sini." jelas Pakde sembari menatapku penuh tanya.

Jadi Mas Rey yang minta tolong pakde buat jemput aku?

"Ada masalah?" tanya pakde lagi.

Aku menghabiskan minumanku dulu lalu menceritakan pada pakde tentang pertemuanku dengan Rangga tadi.

"Ya sudah, ayo pulang! Pakde sudah kasih tau Haris kalau kamu pulang bareng Pakde."

Pakde tersenyum menenangkan, dia pasti paham kondisiku sekarang. Keluarga Pakde Bas dan Om Kaslan memang yang paling dekat dengan keluargaku. Mereka yang paling terdepan membantu jika keluargaku membutuhkan, bahkan tanpa diminta sekalipun. Bersyukur sekali memiliki mereka.

Aku berjalan sambil terus memikirkan sikap Mas Rey, dia bisa menghargai dan menghormati wanita dengan caranya sendiri. Aku sama sekali tidak kepikiran kalau dia sampai harus minta tolong keluarga ku untuk menjemput.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status