“Jangan bertingkah seolah kau tidak mau Aliya! Bukankah wanita yang tidak mendapatkan cinta suaminya menginginkan cinta pada orang lain?”
“Tidak! Tolong hentikan Tuan! Tolong sadarlah!”
Aliya meneteskan air matanya begitu deras kala seorang pria mabuk bertubuh kekar itu terus saja berusaha menyatukan tubuh bagian bawahnya pada Aliya.
Aliya terus mendorong bahkan memukul-mukul tubuh di atasnya agar pria itu menghentikan perbuatan bejatnya. Namun, tenaganya sudah lemas untuk melawan. Sampai pada akhirnya deraian air mata yang dapat menggambarkan betapa perih tubuhnya merasakan kehormatannya direnggut paksa dan menyakitkan oleh CEO—nya di tempat bekerja.
“Kumohon hentikan! Aku sudah punya suami!” seru Aliya sambil mencakar punggung Jevan. Tetapi pria itu sama sekali tak kesakitan malah merasakan kenikmatan tiada tara dari tubuh Aliya.
“Nikmatilah! Kau bahkan tidak mendapatkan hal seperti ini pada suamimu sendiri!” bentak Jevan dengan seringaian lebar penuh kepuasan.
Jevan terus saja menghentakkan tubuhnya di atas Aliya sembari menatap tubuh polos tanpa busana yang indah di hadapannya itu dengan tatap penuh hasrat yang membara.
Hanya tangisan dan erangan yang kini terdengar dari mulut Aliya. Jika saja waktu dapat di ulang, ia tidak akan mau menemani bosnya itu menghadiri pertemuan bisnis dan berakhir seperti ini.
Jika saja ia mendengarkan perkataan Nadia, sahabatnya yang mana adalah istri pertama suaminya, jika wanita yang sudah menikah tidak boleh menggunakan baju ketat yang menampakkan bagian lekuk tubuhnya. Maka ia tidak akan menjadi objek seksual oleh bosnya yang mabuk.
“Kumohon hentikan!”
Aliya terus berteriak dan memberontak. Namun, semuanya sudah terlambat, kehormatannya yang selama ini ia jaga sudah terenggut paksa oleh pria lain bukan suami sahnya.
“Rupanya kau masih perawan, sudah kuduga si Arya itu sama sekali tidak menyentuhmu sebagai istri kedua!”
Rasanya begitu menyakitkan, seluruh tubuh Aliya memang terasa remuk dan bagian intinya terasa teramat perih hingga darah segar menetes di sprei ranjang. Namun, perkataan Jevan lebih menyayat hatinya, perkataannya memang benar jika ia sama sekali tidak disentuh oleh suaminya sendiri.
Alasannya, karena Aliya adalah istri kedua dari suami sahabatnya. Sahabatnya itu tiba-tiba datang menawarkan tawaran emas saat hidup Aliya dirundung kemalangan. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat saat perjalanan bisnis meninggalkan setumpuk hutang.
Hingga pada akhirnya Nadia datang berkata akan membantu melunasi semua hutangnya, namun dengan satu syarat. Menjadi istri kedua karena Nadia sekarat dan tak bisa memberikan keturunan.
“Dasar brengsek! Akhh!!” umpat Aliya diiringi tangisan serta erangan yang terdengar semakin pilu.
Sedangkan Jevan terus menyeringai puas merasakan kenikmatan surga dunia, hingga pada akhirnya Jevan menghentakkan tubuhnya makin keras dan mengakhiri hasrat bercintanya itu.
“Tubuh perawan memang luar biasa! Mulai sekarang jangan sungkan untuk meminta hal yang tak diberikan suamimu itu padaku.”
Dengan cepat Jevan melepaskan tubuh bagian bawahnya dari Aliya lalu segera menyambar kemeja yang berserakan di lantai kamar hotel dan memakainya asal lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi.
Sedangkan Aliya masih bergetar ketakutan, ia menggigit bibir bawahnya sampai berdarah. Nafasnya membara naik turun cepat karena amarah serta rasa kesal memenuhi ruang hatinya.
Sebelum pria bengis itu kembali dari kamar mandi, Aliya segera memakai pakaian ketatnya lalu kabur dari kamar hotel walau langkahnya tertatih karena bagian sensitifnya itu terasa perih dan nyeri teramat menusuk. Segera Aliya naik angkutan umum untuk pulang ke rumahnya.
“Dari mana saja kau! Semalam ini baru pulang dengan pakaian ketatmu!”
Baru saja pulang, hinaan dari Arya—suaminya menusuk pendengarannya. Tanpa menanggapinya, Aliya segera berlalu menuju kamarnya di lantai dua karena tubuhnya benar-benar terasa lelah dan remuk ingin segera beristirahat.
“Jawab aku Aliya!” suara Arya meninggi, membuat Aliya berhenti berjalan menaiki tangga.
Wanita itu membalikkan badannya, menghembuskan napas kasar sambil memijat pelipis. Ia benci setiap saat mendengar suaminya itu terus saja berbicara membentak.
“Aku baru pulang bekerja Mas,” balasnya lirih.
Pria bertubuh atletis dengan tinggi di atas rata-rata itu hanya menatapnya dingin sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
“Sekarang pijat Nadia dan siapkan makan dan pastikan dia meminum obatnya, cepat!” bentaknya lagi.
Kembali terdengar lenguhan kasar dari mulut Aliya walau ia langsung mematuhi perintah Arya. Inilah dunia pernikahan yang telah dia masuki. Alih-alih mendapatkan cinta bahtera rumah tangga yang sempurna, ia malah seperti pembantu di rumah besar ini.
“Tunggu!” Arya cukup terkejut melihat tanda kemerahan di area leher sampai atas dada Aliya.
“Tanda apa itu?” tunjuk Arya kasar.
Aliya sendiri langsung menutupi tanda yang pasti di buat oleh Jevan saat menodainya tadi. Jantungnya berdebar kencang. Bahkan, tubuhnya bergetar tak karuan hingga kepalanya menunduk tak berani menatap Arya.
Tiba-tiba Arya mencengkeram kuat rahang Aliya, memaksa wanita itu menatap matanya. Jantung Aliya kian berdebar cepat seperti akan melompat pada tempatnya. Nafasnya naik turun karena gugup menjalar di seluruh tubuh kala netra mata hitam legam Arya bertabrakan dengan netra mata kecokelatannya.
Tatapan dinginnya berubah tajam dan mengerikan. “Jawab aku! Apa yang kau perbuat di luar sana Aliya!”
“Aku...aku hanya bekerja Mas!” seru Aliya dengan suara gemetar sambil menggerakkan kepala berusaha melepaskan rahangnya dari cengkeraman Arya. Tetapi, Arya langsung tertawa kesal dan menatap jijik pada istri keduanya itu. “Kau kira aku bodoh? Hah! Menjijikkan!” Arya melepaskan rahang Aliya begitu kasar sampai wanita itu kesakitan. Hati Aliya terasa tertusuk sekarang. Rasanya ia ingin berteriak menumpahkan semua kesedihannya. Dikata jijik oleh suaminya sendiri membuat perasaannya menggeram. Bukankah seorang suami harus menghormati seorang istri? Namun, Aliya hanya mendapatkan hinaan. “Tahukah kau apa yang terjadi denganku Mas? Apa jika aku mengatakan yang sebenarnya kau akan melindungiku? Apakah kau akan merasakan juga kesedihanku?” air matanya perlahan menetes. “Aku baru saja mengalami hal yang begitu buruk Mas! Tapi kau malah menghinaku juga?” “Jangan cengeng! Kau bahkan masih bisa bernafas dalam rumah ini setelah Nadia pungut! Kalau tidak kau masi
Suara lantang Arya membuat Aliya membelalakkan mata. Dan hatinya pun mencelos mendengar kata mengejutkan yang lolos dari mulut suaminya. Seketika ia tidak bisa menahan emosinya lagi. “Brengsek! Jaga ucapanmu itu Mas!” pekik Aliya frustasi. “Bukankah benar? Tanda kemerahan yang ada di tubuh jijikmu kemarin malam, bukankah itu perbuatannya?” Jevan yang menyaksikan pertengkaran suami istri itu pun ikut menikmati ekspresi marah Arya dan ada kepuasan tersendiri di hatinya. Kemudian pria berusia 30 tahun itu menyunggingkan senyum miring. Jevan bertepuk tangan seolah menikmati apa yang dipertontonkan. Dia melangkah lebih dekat ke teman lamanya. “Ternyata kau memperlakukan istri keduamu dengan sangat buruk Arya. Pantas saja dia kesepian?” kata Jevan, memancing amarah Arya untuk bangkit. “Jangan ikut campur Jevan, kau tidak berhak mengomentari kehidupanku!” Rahang Aliya tampak berkedut mendengarnya. Raut mukanya semakin suram dan dia mendengus kasar
“Keadaan nyonya Nadia semakin buruk, sebaiknya mulai sekarang dia di rawat di rumah sakit saja,” saran Jiyo, wanita paruh baya yang berprofesi sebagai dokter keluarga. Aliya terdiam sesaat sambil menatap Nadia yang tidak sadarkan diri, wajah Nadia yang pucat itu terlihat damai meski sebenarnya dia merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya. Selama ini, perempuan tersebut masih bisa berkeliaran di sekitar rumah karena dokter keluarga merawatnya secara pribadi. “Baiklah, apapun yang terbaik untuknya Dok,” balas Aliya menyetujui, sebenarnya dia tak berani mengambil keputusan tanpa persetujuan Arya. Namun, jika menyangkut kesehatan Nadia, sang suami jelas tidak menentang sama sekali. Wajah pria berusia 30 tahun itu tampak khawatir. Arya menarik napas dalam-dalam saat memasuki bangsal, matanya yang selalu tajam tiba-tiba melembut begitu melihat sosok wanita yang dicintainya terbaring lemah di ranjang pasien. Arya menghampirinya, lalu membungkuk dan langsung mengecup ke
“Aku mau berselingkuh denganmu!” Aliya menyeringai menatap wajah tampan Jevan yang tampak senang mendengar permintaanya terkabul, matanya berbinar terang serta wajahnya mengembangkan senyum kepuasan. Membuat pria itu merasa percaya diri dan langsung mendekat pada Aliya, merentangkan tanganya siap merangkul tubuh indah Aliya. “Tunggu!” cegah Aliya ketika Jevan hendak membawanya ke pelukan. “Berselingkuhlah denganku dalam mimpi!” Aliya bahkan memicingkan matanya menatap wajah Jevan yang berubah kusut, sekarang dia merasa puas mempermainkanya. Seketika rahang Jevan mengeras, sorot matanya tampak suram seaolah-olah dia tak suka Aliya mempermainkanya. Dia mendengus kasar dan menatap Aliya dengan tajam. Tatapan tajamnya membuat wanita itu merasa waspada. Aliya memberanikan diri menatap wajah Jevan yang terlihat mengerikan. Namun, tubuhnya langsung meremang karena tatapan Jevan seolah melumpuhkan nyalinya. “Sudah kubilang, a-aku…aku bukan wanita murahan!”
“Bajingan!” Arya mengumpat dengan raut muka mengeras, hatinya memanas begitu mendengar kata ancaman dari Jevan. Tangan kananya kembali mengepal kuat dan langsung melayangkan tinju pada perut Jevan. Namun Jevan lebih lihai menghindar. “Ada apa? Kenapa kau marah padahal selama ini kau tak memedulikanya Arya! Apa akal pikiranmu yang bodoh itu sedikit terbuka?” tanya Jevan di sela-sela tawa remehnya. Sejenak Arya menghembuskan napas kasar, lalu kembali tenggelam dalam lautan api emosinya. Tatap matanya semakin tajam, seakan-akan ingin menghabisinya secara kejam detik ini juga. “Begitulah sifat manusia bodoh! Baru sadar dan peduli ketika hendak kehilangan!” tuding Jevan dengan mata memicing. Di saat keduanya masih saling adu mulut dalam suasana mencekam, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar, diikuti oleh Mahen – asisten pribadi Arya yang sedang terburu-buru dengan ekspresi tegang. “Tuan, baru saja saya mendapat telepon dari pihak rumah sakit. Merek
“Kau sungguh brengsek! Kenapa kau terus membuatku menderita Mas! Kau bukan manusia, kau binatang buas!” umpat Aliya dengan sarkas. Ia terpaksa berlutut supaya pria berjas hitam itu tidak menyambuknya lagi. Sosok jangkung berjas hitam itu menatap Aliya nyalang dengan ekspresi mengerikan dan mengayunkan cambuk di tanganya yang siap kapan saja menyambuk istrinya lagi. Arya mencondongkan tubuhnya lalu wajahnya mendekat pada wajah Aliya. “Kau sebut aku binatang buas?” lirihnya sembari menarik dagu Aliya ke atas menggunakan jemarinya, membuat mata wanita itu langsung beradu dengan sorot matanya yang tajam. Bahkan Aliya dapat merasakan napas panas pria itu menerpa wajahnya. “Kau salah, kau bisa menyebutku monster!” Arya tertawa puas, matanya yang tajam masih melotot, alisnya menukik tajam menunjukkan bahwa di balik tawanya ia menyimpan amarah yang besar. Cengkeramannya di dagu Aliya semakin kuat membuat Aliya menjerit kesakitan sambil memejamkan mata. “Baiklah, monst
"Ah tolong pelan-pelan, sakit," rengek Aliya ketika kapas yang dibasahi cairan antiseptik menyentuh memar kemerahan di lehernya. Setelah berhasil kabur dari rumahnya, Aliya dibawa Jevan ke sebuah vila mewah dengan nuansa tenang karena vila tersebut terletak sekitar dua puluh kilometer dari pusat kota. Vila ini tersembunyi di balik hutan yang menawarkan nuansa kedamaian. Keduanya kini duduk di sofa abu-abu di ruang tamu berukuran 10x10 meter persegi yang dindingnya didominasi cat abu-abu dan hitam. Jevan merawat luka Aliya dengan hati-hati agar tidak membekas dan merusak kulit putih mulus wanita itu. "Suamimu benar-benar kejam, setelah ini apa kau yakin masih mau kembali bersamanya?" Jevan bertanya sambil meniup-niup luka Aliya. Aliya tidak menjawab malah termenung cukup lama hingga ia tidak menyadari bahwa tangan Jevan mulai menangkupkan kemejanya untuk mengobati luka-luka lain di tubuhnya. Ketika kapas yang dibasahi cairan antiseptik mengenai tubuhnya, wanita itu secara reflek
"Dokter, apa pun yang terjadi, tolong selamatkan istri saya!" Perawat dan dokter merawat Nadia dengan cepat, melakukan segala cara untuk menyadarkannya dari henti jantung. Mereka menghubungkan Nadia ke monitor dan mesin pernapasan untuk memantau status kesehatannya secara terus menerus. Dokter di ICU juga memasang defibrilator ke tubuh Nadia untuk memberikan kejutan listrik, dengan harapan dapat membantu mengembalikan irama jantungnya yang terhenti. Akhirnya, defibrilator itu meledak dan memberikan sengatan listrik ke tubuh Nadia. Semua orang menahan napas dan menunggu perubahan. Namun pada akhirnya, napas Nadia tidak pernah kembali dan dia dinyatakan telah meninggal Dunia. "Kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan Nyonya Nadia, namun saya turut berduka cita dan menyampaikan maaf sebesar-besarnya karena nyonya Nadia telah meninggal Dunia." Dokter berbicara dengan suara bergetar menyampaikan berita duka tersebut, Para perawat juga merasakan kesedi