“Kenapa tuan Jagat selalu tidur di ruang kerjanya, padahal kamarnya sangat nyaman?”
“Stt! Sudah sana bersihkan kamar mandinya.” “Baiklah.” “Pastikan air panas dan semua kran berfungsi dengan baik, dan letakkan aroma terapi dekat bathtub.” “Tapi tuan Jagat kelihatannya jarang mandi di sini, peralatan mandinya banyak di kamar mandi ruang kerjanya.” “Diam. Itu bukan urusan kita, Nyonya Seruni yang akan menggunakannya.” “Dia bukan nyonya kita, dia cuma wanita yang menjebak tuan Jagat.” “Hust! Belajarlah tutup mulut jika kamu ingin bekerja lebih lama di sini.” Kedua pelayan itu terus berdebat. Seruni hanya diam membisu. Dia lebih memilih berpura-pura sibuk membaca buku di tangannya. Hari memang masih pagi, tapi dia sudah siap dengan baju kerjanya. Biasanya dia memang memilih bersiap lebih pagi dan memasak sarapan bersama Tita di kontrakan mereka, tapi sekarang paginya diisi hanya duduk diam menatap matahari pagi yang baru bersinar. Bukan Seruni tak mau membantu, menyiapkan sarapan untuk suaminya di dapur. Dia pernah melakukannya, tapi yang dia dapati hanya pengusiran oleh para juru masak meski tentu saja tidak dengan kasar. Rumah ini memang lebih mirip istana di mana banyak memiliki pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Suara langkah kaki yang mendekat membuat Seruni mengangkat kepalanya, dua pelayan tadi berdiri di depannya dan dengan sopan bertanya. “Apa nyonya ingin makan atau minum sesuatu biar kami ambilkan?” Perkataan mereka yang sopan dan senyum yang sempurna membuat Seruni sampai tak mempercayai telinganya sendiri, mereka yang beberapa saat lalu menggunjingnya sekarang memperlakukannya seperti ratu. “Tidak terima kasih, saya nanti akan ambil sendiri jika mau,” kata Seruni sambil tersenyum, memberi isyarat supaya kedua orang itu segera meninggalkan kamar ini. “Nyonya sangat beruntung menjadi istri tuan Jagat, tolonglah jangan mempersulit kami dengan mengerjakan semua sendiri itu tugas kami,” kata pelayan yang lebih muda kesal. Seruni hanya diam, dia memang tidak membutuhkan apapun. Dia seolah di awasi dengan ketat dengan banyaknya pelayan yang keluar masuk kamar ini tanpa dia minta. “Baiklah, sebentar lagi saya akan mengantarkan susu untuk anda,” kata salah satu dari mereka yang lebih tua akhirnya tanpa diminta, lalu menunduk hormat sebelum melangkah pergi. “Seharusnya yang pantas kita layani seperti ini nona Rira, sayang pernikahannya harus ditunda karena kedatangannya.” Seruni masih bisa mendengar gerutuan pelayan itu saat akan meninggalkan kamarnya, tapi dia hanya diam membisu seolah bukan dirinya yang mereka bicarakan. Seruni menghela napas lega saat tak ada lagi suara yang terdengar. Di sini dia kesepian. Tak ada teman yang bisa dia ajak bicara. Semua orang begitu sibuk dengan urusannya masing-masing, bahkan para pelayan juga hanya bicara formal padanya seperti robot yang telah diprogram. Mereka tak menyukainya. Rumah mewah ini bukan rumahnya, dia selalu merasa salah tempat saat berada di sini. Bahkan semua fasilitas yang ada membuatnya makin tak nyaman. Seruni dipaksa menerima kenyataan kalau dia dinikahi dan hanya diperlakukan seperti barang pajangan. Bukannya Seruni tak mencoba, dia bahkan pernah ikut duduk bersama Jagat dan orang tuanya setelah makan malam, tapi mereka dengan halus memintanya untuk kembali ke dalam kamar. Saat makan bersamapun, suasana akan menjadi dingin begitu dia datang ke meja makan. Seruni paham dia memang yang tak pernah diharapkan masuk dalam keluarga ini, dia hanya aib yang serapat mungkin disembunyikan. *** Seruni ingin sekali berbalik, tapi terlambat wanita itu sudah melihatnya dan tersenyum sambil melambai padanya seolah tidak pernah meruntuhkan harga diri yang susah payah dia jaga. Tidak cukupkah wanita itu menjadi momok yang menghantui hidupnya, kenapa harus bertemu juga. Bukan hanya Jagat, tapi juga para pelayan bahkan sang mertua juga membandingkannya dengan wanita itu. Dia tidak pernah ingin bersaing dengan Rira, sama sekali tidak. Tapi nasib kini seolah mempermainkannya. “Jagat bilang kamu sakit kemarin? Apa kamu baik-baik saja?” tanya wanita itu lembut seperti biasa. “Aku baik-baik saja, Rira terima kasih,” kata Seruni yang berusaha secepat mungkin pergi dari hadapan wanita itu, tapi sepertinya Rira tak melepaskannya semudah itu. “Oh syukurlah, kemarin malam Jagat agak telat mengantarku ke acara ulang tahun temanku.” Seruni menoleh dan mendapati wajah Rira yang mendung. Apa dia harus meminta maaf karena menyebabkan suaminya terlambat mengantar wanita terkasihnya ini ke acara itu? Itu jugakah alasannya Jagat tak terlihat lagi sejak dia masuk rumah sakit? bahkan tadi pagi saat dia akan berangkat kerja. Seruni tersenyum miris, bagi Jagat pasti mengantar Rira ke acara itu jauh lebih penting dari pada menungguinya di rumah sakit. Memangnya dia harus berharap apa lagi? Rasa sesak dalam hati Seruni kian bertambah saat mendengar suara yang sangat dia kenal. “Kenapa lama sekali Ra, aku khawatir kamu kesulitan menemukan dokumen itu-“ Pandangan mereka langsung bertemu saat Seruni menoleh ke belakang dan dia bisa melihat raut terkejut suaminya saat melihatnya di sana. Apa Jagat sama sekali tidak mengenalinya dari belakang? Setidak penting itukah dirinya dalam ingatan suaminya? “Kamu sudah keluar dari rumah sakit ternyata.” Jagat tak tahu dia sudah boleh pulang kemarin? “Iya. Aku permisi silahkan lanjutkan,” katanya tak ingin terlihat menyedihkan di depan dua orang itu. “Tunggu.” Seruni menghentikan langkahnya. “Kamu sudah baik-baik saja? kukira kamu akan langsung mengundurkan diri,” kata laki-laki itu. Seruni menguatkan dirinya untuk menatap ke dalam mata suaminya. “Aku tidak bilang setuju.” “Baiklah terserah padamu, tapi nanti kutunggu kamu di tempat parkir, kita pulang bersama.” Laki-laki itu lalu menoleh pada Rira dan senyumnya terkembang. “Ayo kita pergi, biar aku bawakan dokumen itu.” Seruni masih mematung di sana saat Jagat mengambil dokumen yang dibawa Rira dan membimbing wanita itu masuk ke dalam lift. Dia menatap dokumen tebal dalam pelukannya lalu bergumam. “Aku kan kuat, ini tidak berat kok.” Seruni melangkah kembali ke ruangannya. Meletakkan dokumen berat itu di mejanya “Lho kamu tidak pulang?” tanya Tita heran yang sudah siap dengan tas di bahunya. Setelah menikah dengan Jagat, jam pulang kerja tak pernah lagi Seruni sambut dengan antusias, tapi kali ini dia bahkan lebih malas lagi pulang ke rumah mewah itu. “Ayo, kamu mau aku antar atau naik taksi?” Seruni mencoba tersenyum. “Aku akan pulang dengan Jagat.” “Benarkah? Wow! Apa kamu yakin?” “Tidak,” kata Seruni menyambar tasnya dan melangkah gontai ke pintu keluar. Setiap pulang kerja Jagat selalu mengantar Rira lebih dulu. Lalu bagaimana dengan dirinya? Apa dia harus satu mobil dengan kedua orang itu? Membayangkanya saja sudah membuat perut Seruni melilit. Apa sebaiknya dia kabur saja?“Ini dari tuan, nyonya. Pak Bayu tadi datang untuk memberikan ini tapi nyonya beliau minta maaf karena buru-buru.” Seruni menerima kotak besar yang diberikan padanya oleh simbok. Dia mengamati kotak itu sesaat, tapi tak mampu menebak apa isinya, Jagat bahkan tak bicara apapun tentang hadiah ini, lagi pula ulang tahunnya masih tiga bulan lagi. “Baiklah, terima kasih, Mbok.” Simbok hanya mengangguk sebelum memilih kembali ke dapur. Seruni meletakkan kotak itu di atas ranjang dan perlahan membuka pita cantik yang melingkarinya. “Wow!” Mata Seruni langsung membulat saat melihat sebuah gaun cantik ada di sana bersama sepasang sepatu dan juga tas tangan yang serasi. Seruni mengambil gaun itu dan mencobanya, kainnya yang lembut melekat dengan cantik di tubuhnya. Dia merasa menjadi wanita paling cantik saat menatap pantulannya di cermin.Senyumnya merekah indah. Puas mengagumi dirinya di depan cermin, Seruni melepas pakaian itu lagi dan melipatnya dengan rapi, saat itulah dia menyadar
“Kupikir kesempatanku menjadi ayah baby Day masih terbuka lebar.” Jagat dan Seruni langsung menoleh bersamaan, mereka yang sedang menunggu di ruang tunggu khusus menoleh dan mendapati Rama berjalan dengan tenang menghampiri mereka senyum ramah tak meninggalkan wajah laki-laki itu tapi bagi Jagat senyum itu malah seperti ejekan. “Apa maksud dokter!” Hatinya tiba-tiba terasa sangat panas. Ayah baby Day katanya, untuk apa anaknya mempunyai ayah lain jika dia masih hidup dan sanggup membiayainya. Rama tersenyum tapi matanya menatap Jagat penuh peringatan. “Saya menyukai anak-anak dan bekerja di panti anak yatim piatu milik kakak anda, tapi saya tidak keberatan untuk mempunyai anak asuh anak yang ditelantarkan ayahnya, apalagi baby Day sangat lucu dan cerdas, dia pasti akan punya masa depan cerah,” katanya manis lalu melangkah keluar dari ruangan itu tanpa merasa bersalah. Jagat menatap Seruni dengan pandangan antara kecewa, putus asa dan marah. “Kamu berselingkuh dengannya, itukah al
“Kita bisa menjadi orang tua untuk baby Day tapi tidak harus menjadi suami istri.” Seruni tahu ini keterlaluan apalagi dia mengatakan ini saat suaminya benar-benar butuh dukungannya, tapi dia juga tidak bisa terus menjadi tumbal hanya karena kasihan, dia lebih kasihan pada dirinya sendiri. Jagat menatap Seruni tajam sama sekali tak suka dengan apa yang dikatakan sang istri. “Aku memang bukan suami yang baik aku tahu itu, tapi tidakkah ada keinginanmu sedikit saja untuk bertahan denganku demi anak kita.” Seruni menghela napas panjang, teh manis yang dia buat tadi terlupakan begitu saja, dia tahu ini akan membuat Jagat makin hancur tapi jika tidak sekarang dia yakin tidak akan ada kesempatan lain. “Justru aku melakukan hal ini untuk diriku sendiri dan anak kita, mas pernah berpikir apa yang akan terjadi pada kami jika mas saja masih mengemis kasih sayang dari mama. Apa nanti kalau mama meminta mas menikah lagi dan meninggalkan kami mas akan penuhi.” Jagat seperti orang yang baru s
“Mas,” panggil Seruni pelan saat mereka sampai di rumah, tapi laki-laki itu hanya diam seolah tak mendengar apapun.Seruni menghela napas membiarkan suaminya untuk masuk terlebih dahulu ke kamar mereka, lalu dia berjalan ke dapur menyeduh dua cangkir teh hangat. Jagat memang pernah menyakitinya, sangat menyakitinya tapi dalam keadaan seperti ini dia sangat tidak tega kalau harus membiarkan suaminya sendiri. Lagi pula dia masih sah istri Jagat dan sudah seharusnya dia menenangkan suaminya. “Mas Jagat,” panggil Seruni saat tak mendapati sang suami di kamar mereka, padahal setahunya Jagat belum keluar kamar. “Mas.” Seruni menghela napas lega saat menemukan suaminya berdiri menatap langit malam ini dari balkon, tapi laki-laki itu seolah tak mendengar panggilannya. “Mas,” panggilnya sekali lagi kali ini sambil menyentuh pundak sang suami lembut, tapi ternyata Jagat malah terlonjak kaget untung saja pagar balkon cukup tinggi. “Kamu baik-baik saja? sebaiknya kamu istirahat aku sudah bua
Apa dia terlalu berprasangka buruk pada suaminya? Pertanyaan itu terus menggema dalam kepalanya bahkan saat malam hari mereka tidur berdampingan. Malam itu Seruni tak bisa tidur dia menghabiskan malam dengan menatap wajah tampan suaminya, sambil sesekali menghela napas berat. Dia merasa bersalah tidak mempercayai suaminya, meski di sisi lain keraguan itu sangat nyata. Apa dia salah kalau meragukan orang yang pernah menyakitinya. Dia sama sekali tak percaya Jagat yang bahkan cinta mati pada Rira bisa melupakan wanita itu begitu saja. Kesalahan Rira memang sangat besar, tapi cinta Jagat pada wanita itu pun tak kalah besar. Seruni pernah mendengar meski dalam kasus seperti ini seorang laki-laki memang bisa berpindah hati tapi tentu saja tipenya tetap saja dan bukan tidak mungkin akan mencari wanita yang mirip dengan Rira. Masalahnya Seruni sama sekali tidak mirip Rira dalam hal apapun, bahkan dia tidak sudi hanya dijadikan bayangan masa lalu seperti itu. Baru menjelang subuh, Ser
"Bunga ini untukmu." Seruni melongo menatap suaminya yang baru datang sambil menyodorkan bunga mawar merah yang indah. Dia menatap bunga dan sang suami bergantian, bahkan dia sampai mencubit tangannya sendiri saking tak percayanya. "Mas sedang apa?" Tanyanya. "Memberikan bunga untuk istriku, ayo ambil tanganku pegel ini." Seruni menghela napas dan mengambil bunga mawar dari tangan suaminya, lalu menatap bunga itu tak tahu apa yang harus dia lakukan. "Kamu nggak suka?" Tanya Jagat, saat melihat wajah bingung istrinya bukan wajah bahagia seperti yang dia harapkan. "Bunganya maksud mas? Suka sih terima kasih." "Kok ada kata sihnya." Seruni menatap sang suami dengan seksama. "Karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan bunga ini? Lagi pula mas aneh sekali kenapa tiba-tiba memberi bunga." Jagat mendengus. "Itu ide Bayu." "Lalu?" "Aku hanya ingin kamu tahu aku serius." "Serius apa?" Tanya Seruni tak mengerti. "Aku sudah mengajukan pembatalan pernikahanku dengan Rir