Seruni melewatkan makan malam hari ini.
Seperti yang diprediksi Rama, tubuhnya akan demam. Di ruangan yang sepi ini dia menggigil kedinginan meski selimut tebal sudah membungkus tubuhnya. Untuk meminum obat penurun panas Seruni tidak berani dia sangat takut akan mempengaruhi janin yang dikandungnya. Janin ini memang terbentuk bukan dengan cinta, tapi tetap saja Seruni mencintai Janin yang ada dalam kandungannya. Jangan harap Jagat akan ada di sini, setelah perdebatan mereka tadi. Laki-laki itu seolah tak mau tahu lagi dengan keadaan Seruni dia pergi begitu saja tanpa menoleh. Seharusnya Seruni tidak masalah dengan hal itu, bukankah Jagat memang selalu seperti itu. Mereka suami istri tapi bahkan sekalipun Jagat tak pernah berbagi tempat tidur dengannya, kecuali malam itu. Sekilas Seruni ingin mengambil ponselnya, mencari tahu obat apa yang bisa membantunya saat seperti ini, tapi dia segera mengurungkan niatnya. Keluarga ini pasti akan menilainya manja dan cari perhatian saja. Seruni sedang tidak ingin mendengar hinaan lagi untuknya. Dengan tertatih Seruni membuka selimutnya, tubuhnya makin tak nyaman, dia memang tidak bisa meminum obat tapidia bisa mengompres tubuhnya dengan air hangat. Bukankah tidur dan rasa nyaman adalah obat yang sangat mujarab untuk mengobati demam. Seruni berusaha keras untuk memejamkan matanya, dia harus tidur supaya sembuh. Sekarang dia sendiri tak ada tempat bergantung yang bisa dia andalkan di sini. Akan tetapi semakin dia coba, rasanya tubuhnya makin dingin. Perlahan kesadarannya mulai menipis dari bibirnya keluar rancauan yang tak jelas. Di kamar mewah ini, tubuh mungilnya tergolek dengan menyedihkan. *** “Dari mana kamu?” Jagat langsung menghentikan langkah mendengar suara sang ayah. Berdebat dengan sang istri membuat suasana hatinya sangat buruk. Istri? bahkan dia tidak pernah menganggap wanita itu istri. Dia hanya wanita yang ada ditempat yang salah dan waktu yang salah. Andai saja malam itu Seruni di ada di sana. Tapi nyatanya dia hamil dan itu menjadi masalah besar. Andaikan wanita itu sedikit lebih pintar dia pasti meminum obat pencegah kehamilan, Jagat pasti akan dengan senang hati memberikan uang yang banyak untuk itu. Dia sadar kalau dia telah merenggut kesucian seorang gadis, karena itu dia tidak masalah menggelontorkan banyak uang, baginya uang bisa dicari tapi cinta dan perhatian yang selama ini dia perjuangkan tak ternilai harganya. Hari Seruni mengatakan kehamilannya seperti hari kematian untuknya. Jagat ingin marah tapi dia tidak bisa melakukannya. Dalam rahim Seruni memang ada anaknya, mahluk kecil yang tercipta karena dirinya. Meski menyadari semua itu, hatinya tak bisa untuk bersikap layaknya seorang suami pada istrinya. Hatinya tak mengijinkannya, berada di dekat Seruni selalu mengingatkannya pada kehancuran hidupnya. “Mencari udara segar,” jawab laki-laki itu yang tanpa menoleh lagi naik ke lantai dua rumah ini. “Lalu di mana istrimu?” pertanyaan itu membuat Jagat menghentikan langkahnya dan menoleh. “Di kamar memangnya di mana lagi, aku hanya pergi sendiri.” Setidaknya itu yang dia tahu sebelum pergi meninggalkan kamarnya tadi. “Dia belum makan malam, kasihan dia sedang hamil.” Perkataan sang ayah membuat Jagat berdecak sebal. “Dia sudah besar, dia pasti akan makan sendiri kalau lapar, mungkin tadi dia sudah makan dengan laki-laki yang mengantarnya,” kata Jagat asal. “Dari mana kamu tahu? Pastikan padanya dulu jangan membuat masalah lagi.” Jagat mengepalkan tangannya dengan erat, selalu begitu. Padahal ini juga terjadi bukan atas kehendaknya tapi sang ayah tak mau tahu, baginya dia hanya anak tak berguna. Itu juga alasan Jagat yang lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain dari pada membantu mengelola perusahaan keluarganya. Jagat ingin melihat papanya melihatnya sebagai seseorang yang mampu berdiri sendiri tanpa harus mengemis pada keluarga ini. “Bukankah laki-laki tadi bilang dia menabrak istrimu, jangan sampai terjadi apa-apa dengannya.” Kali ini Jagat tak bisa membantah lagi, dia sempat melihat celana sang istri kotor dan di tangannya terdapat luka gores. Jagat memang tak mencintai istrinya tapi dia juga masih punya hati. Laki-laki itu berjalan cepat memasuki kamarnya dan saat tangannya menyentuh tubuh dingin istrinya dia mulai panik. Jagat sudah memberikan semua terbaik yang dia mampu berikan pada Seruni, uang jutaan dan juga kamar tidur yang nyaman dan mewah lengkap dengan para pelayan yang akan dengan senang hati melayani wanita itu. Seruni cukup menekan interkom di atas nakas kamar ini dan dia akan dilayani bak ratu. Tapi lihatlah wanita ini begitu bodoh, sakit sendirian di kamar sebesar ini, ataukah Seruni memang berniat bunuh diri. Sial! Dia akan langsung mencekik Seruni jika berpikiran seperti itu, ada anaknya dalam rahim Seruni dan wanita egois itu ingin membunuh anaknya juga. Jagat menghembuskan napas lega saat melihat sang istri masih bernapas meski lemah. Tak ingin mengambil resiko Jagat langsung menggendong tubuh lemah Seruni, rancuaan terdengar dari mulutnya tapi Jagat tak peduli. Yang jelas dia harus membawa istrinya ke rumah sakit. “Ada apa dengan istrimu?” tanya kedua orang tuanya saat dia turun dengan Seruni dalam gendongannya. “Demam, aku akan membawanya ke rumah sakit,” jawab Jagat cepat, dia sudah menghubungi sopir keluarga untuk meminta menyipkan mobil. “Kami akan ikut dengan mobil lain di belakang,” kata sang ayah yang hanya diangguki Jagat yang sudah duduk dalam mobil dengan Seruni dalam pondongannya. Antara sadar dan tidak Seruni merasakan tubuhnya dipindahkan, suara orang-orang berbicara dengan cepat sama sekali tak mampu dia pahami. Tubuhnya makin lemah dan dingin. Apa dia akan mati malam ini? Tapi bukankah dia hanya demam? Lalu janin yang ada dalam kandungannya pasti ikut mati jika dia mati. Tidak. dia tidak bisa membiarkan anak yang dia kandung mati hanya karena kecerobohannya, sekuat tenaga Seruni membuka matanya meski terasa sangat berat. Hal pertama yang dia lihat adalah... putih di semua sisi. Ruangan luas ini bukan kamar Jagat, tempati ini... “Syukurlah nyonya sudah sadar.” Seruni menoleh dan melihat wanita cantik dengan sneli tersenyum ramah kepadanya. “Anda di rumah sakit, bagaimana perasaan anda?” tanya wanita itu lagi. Rasa dingin menusuk tulang yang tadi dia rasakan sudah hilang, kepalanya juga tidak lagi pusing hanya saja. Seruni mengangkat tangannya dan mendapati infus di sana. “Lebih baik,” katanya sambil berusaha tersenyum. Dokter wanita itu memeriksanya sejenak lalu mengangguk puas sebelum permisi keluar ruangan dan menyapa seseorang yang sejak tadi tak terlihat oleh Seruni. “Baguslah kamu sudah lebih baik, lain kali jangan keras kepala, ingat kamu sedang hamil.” kata Jagat yang membuat Seruni tersenyum, hatinya sedikit menghangat dengan perhatian Jagat. Meski kalimat itu tidak dikatakan dengan lembut tapi bagi Seruni itu cukup. “Aku sudah membelikan banyak makanan untukmu-“ Ponsel Jagat berbunyi dia langsung mengangkat panggilan itu. “Aku segera ke sana, maafkan aku membuatmu menunggu,” katanya lembut. Jagat mengantongi lagi ponselnya. “Aku pergi dulu, Rira membutuhkanku.” Tanpa menunggu jawaban Seruni, Jagat melangkah pergi. Seruni hanya diam, wajahnya datar tanpa emosi. Seharusnya dia memang tidak melabuhkan harapan pada Jagat.“Ini dari tuan, nyonya. Pak Bayu tadi datang untuk memberikan ini tapi nyonya beliau minta maaf karena buru-buru.” Seruni menerima kotak besar yang diberikan padanya oleh simbok. Dia mengamati kotak itu sesaat, tapi tak mampu menebak apa isinya, Jagat bahkan tak bicara apapun tentang hadiah ini, lagi pula ulang tahunnya masih tiga bulan lagi. “Baiklah, terima kasih, Mbok.” Simbok hanya mengangguk sebelum memilih kembali ke dapur. Seruni meletakkan kotak itu di atas ranjang dan perlahan membuka pita cantik yang melingkarinya. “Wow!” Mata Seruni langsung membulat saat melihat sebuah gaun cantik ada di sana bersama sepasang sepatu dan juga tas tangan yang serasi. Seruni mengambil gaun itu dan mencobanya, kainnya yang lembut melekat dengan cantik di tubuhnya. Dia merasa menjadi wanita paling cantik saat menatap pantulannya di cermin.Senyumnya merekah indah. Puas mengagumi dirinya di depan cermin, Seruni melepas pakaian itu lagi dan melipatnya dengan rapi, saat itulah dia menyadar
“Kupikir kesempatanku menjadi ayah baby Day masih terbuka lebar.” Jagat dan Seruni langsung menoleh bersamaan, mereka yang sedang menunggu di ruang tunggu khusus menoleh dan mendapati Rama berjalan dengan tenang menghampiri mereka senyum ramah tak meninggalkan wajah laki-laki itu tapi bagi Jagat senyum itu malah seperti ejekan. “Apa maksud dokter!” Hatinya tiba-tiba terasa sangat panas. Ayah baby Day katanya, untuk apa anaknya mempunyai ayah lain jika dia masih hidup dan sanggup membiayainya. Rama tersenyum tapi matanya menatap Jagat penuh peringatan. “Saya menyukai anak-anak dan bekerja di panti anak yatim piatu milik kakak anda, tapi saya tidak keberatan untuk mempunyai anak asuh anak yang ditelantarkan ayahnya, apalagi baby Day sangat lucu dan cerdas, dia pasti akan punya masa depan cerah,” katanya manis lalu melangkah keluar dari ruangan itu tanpa merasa bersalah. Jagat menatap Seruni dengan pandangan antara kecewa, putus asa dan marah. “Kamu berselingkuh dengannya, itukah al
“Kita bisa menjadi orang tua untuk baby Day tapi tidak harus menjadi suami istri.” Seruni tahu ini keterlaluan apalagi dia mengatakan ini saat suaminya benar-benar butuh dukungannya, tapi dia juga tidak bisa terus menjadi tumbal hanya karena kasihan, dia lebih kasihan pada dirinya sendiri. Jagat menatap Seruni tajam sama sekali tak suka dengan apa yang dikatakan sang istri. “Aku memang bukan suami yang baik aku tahu itu, tapi tidakkah ada keinginanmu sedikit saja untuk bertahan denganku demi anak kita.” Seruni menghela napas panjang, teh manis yang dia buat tadi terlupakan begitu saja, dia tahu ini akan membuat Jagat makin hancur tapi jika tidak sekarang dia yakin tidak akan ada kesempatan lain. “Justru aku melakukan hal ini untuk diriku sendiri dan anak kita, mas pernah berpikir apa yang akan terjadi pada kami jika mas saja masih mengemis kasih sayang dari mama. Apa nanti kalau mama meminta mas menikah lagi dan meninggalkan kami mas akan penuhi.” Jagat seperti orang yang baru s
“Mas,” panggil Seruni pelan saat mereka sampai di rumah, tapi laki-laki itu hanya diam seolah tak mendengar apapun.Seruni menghela napas membiarkan suaminya untuk masuk terlebih dahulu ke kamar mereka, lalu dia berjalan ke dapur menyeduh dua cangkir teh hangat. Jagat memang pernah menyakitinya, sangat menyakitinya tapi dalam keadaan seperti ini dia sangat tidak tega kalau harus membiarkan suaminya sendiri. Lagi pula dia masih sah istri Jagat dan sudah seharusnya dia menenangkan suaminya. “Mas Jagat,” panggil Seruni saat tak mendapati sang suami di kamar mereka, padahal setahunya Jagat belum keluar kamar. “Mas.” Seruni menghela napas lega saat menemukan suaminya berdiri menatap langit malam ini dari balkon, tapi laki-laki itu seolah tak mendengar panggilannya. “Mas,” panggilnya sekali lagi kali ini sambil menyentuh pundak sang suami lembut, tapi ternyata Jagat malah terlonjak kaget untung saja pagar balkon cukup tinggi. “Kamu baik-baik saja? sebaiknya kamu istirahat aku sudah bua
Apa dia terlalu berprasangka buruk pada suaminya? Pertanyaan itu terus menggema dalam kepalanya bahkan saat malam hari mereka tidur berdampingan. Malam itu Seruni tak bisa tidur dia menghabiskan malam dengan menatap wajah tampan suaminya, sambil sesekali menghela napas berat. Dia merasa bersalah tidak mempercayai suaminya, meski di sisi lain keraguan itu sangat nyata. Apa dia salah kalau meragukan orang yang pernah menyakitinya. Dia sama sekali tak percaya Jagat yang bahkan cinta mati pada Rira bisa melupakan wanita itu begitu saja. Kesalahan Rira memang sangat besar, tapi cinta Jagat pada wanita itu pun tak kalah besar. Seruni pernah mendengar meski dalam kasus seperti ini seorang laki-laki memang bisa berpindah hati tapi tentu saja tipenya tetap saja dan bukan tidak mungkin akan mencari wanita yang mirip dengan Rira. Masalahnya Seruni sama sekali tidak mirip Rira dalam hal apapun, bahkan dia tidak sudi hanya dijadikan bayangan masa lalu seperti itu. Baru menjelang subuh, Ser
"Bunga ini untukmu." Seruni melongo menatap suaminya yang baru datang sambil menyodorkan bunga mawar merah yang indah. Dia menatap bunga dan sang suami bergantian, bahkan dia sampai mencubit tangannya sendiri saking tak percayanya. "Mas sedang apa?" Tanyanya. "Memberikan bunga untuk istriku, ayo ambil tanganku pegel ini." Seruni menghela napas dan mengambil bunga mawar dari tangan suaminya, lalu menatap bunga itu tak tahu apa yang harus dia lakukan. "Kamu nggak suka?" Tanya Jagat, saat melihat wajah bingung istrinya bukan wajah bahagia seperti yang dia harapkan. "Bunganya maksud mas? Suka sih terima kasih." "Kok ada kata sihnya." Seruni menatap sang suami dengan seksama. "Karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan bunga ini? Lagi pula mas aneh sekali kenapa tiba-tiba memberi bunga." Jagat mendengus. "Itu ide Bayu." "Lalu?" "Aku hanya ingin kamu tahu aku serius." "Serius apa?" Tanya Seruni tak mengerti. "Aku sudah mengajukan pembatalan pernikahanku dengan Rir