Cakra memijat kepalanya yang terasa sangat sakit. Selain itu, dia juga mencoba mengingat kejadian semalam, yang mengakibatkan dirinya berakhir di atas ranjang milik kakaknya.
“Bukannya aku sudah bilang untuk tidur di kamar tamu?” serang Mitha.Kepanikan kini nampak di wajah cantik wanita berumur 28 tahun itu. Kini dia sendiri tidak berani menatap Cakra.“Ah, Kak maaf. Sepertinya semalam aku terlalu mabuk,” aku Cakra dengan perasaan sesal.Kini Cakra ingat, selepas Mitha pamit menuju kamarnya dia menghabiskan hampir separuh minuman beralkohol itu. Kemudian karena rasa pusing menyerang diri, Cakra pun memutuskan untuk pergi menuju kamar tamu. Namun, bukannya dia menuju kamar yang ada di bagian belakang. Cakra malah masuk ke kamar milik kakak iparnya.“Terus apa yang kamu lakukan semalam? Kenapa kita berakhir dengan sama-sama tidak mengenakan pakaian sehelai pun?” cecar Mitha gelisah.Cakra mencoba memindai sekeliling. Dia melihat bajunya berserakan di atas lantai. Tidak hanya itu, dia melihat baju dinas malam perempuan pun ada di dekat bajunya. Kini pandangan Cakra beralih pada Mitha yang nampak ketakutan.Kepala Cakra lagi-lagi berdenyut nyeri, dia berusaha mengingat momen semalam. Namun, matanya membulat saat kepingan puzzle dalam otaknya mulai tersusun rapi.Seketika Cakra menyingkap selimut dan memperhatikan sprei yang berwarna putih tulang. Kemudian mata hitamnya mendapati sebuah bercak merah di atas sprei tersebut.“Ah, sial!” umpat Cakra mendesah kasar.“Sial? Sial kenapa? Sebenarnya apa yang kamu lakukan padaku, Cakra?” cerocos Mitha.Lagi-lagi Cakra mendesah kasar sambil mengacak rambutnya. Kemudian dia meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.“Cakra, jawab pertanyaanku!” sentak Mitha yang nampak panik.“Aku akan menjawab pertanyaan kamu, Kak. Tapi lebih baik, kita pakai baju dulu. Apa kamu mau tubuhmu yang putih dan mulus itu, terus dipertontonkan padaku?” sindir Cakra, seraya mengenakan pakaiannya.Mitha memejamkan mata dalam, lalu menggigit bibir bawahnya. Ia menghela napas kasar, mencoba menenangkan hatinya yang risau.“Kita bicara di luar.” Cakra kemudian pergi keluar dari kamar Mitha.Sendirian di kamar, membuat hati Mitha berdenyut nyeri. Dia beranjak dan memungut pakaiannya. Kemudian mata hitam Mitha tertuju pada kasur yang sudah berantakan itu.“Ahh,” resah Mitha seraya memijit keningnya.Dia langsung merasa lemas ketika melihat sebuah bercak merah pada sprei yang tersemat di ranjang. Selain itu, Mitha pun tidak menampik bahwa miliknya di bawah sana kini terasa perih.Setelah selesai Mitha keluar kamar dan melihat Cakra sedang duduk di sofa. Kepalanya menunduk, sehingga Mitha tidak bisa melihat ekspresi wajah adik iparnya.“Cak, jelaskan apa yang sudah terjadi?” tanya Mitha memberanikan diri.Kepala Cakra pun terangkat ke atas, lalu menatap Mitha. Kini terlihat wajah pria itu nampak kacau dan serba salah.“Maaf, Kak sepertinya aku membuat kesalahan besar,” sesal Cakra.Saat terbangun tadi, Cakra mencoba untuk tetap terlihat tenang. Namun, semakin dipikirkan Cakra malah merasa gusar.“Jujur aku dalam kondisi tidak sadar. Maaf kalau aku sudah melakukan kesalahan yang sangat sangat besar. Aku sudah melukai kehormatan kakak iparku sendiri. Aku … aku siap bertanggung jawab.”Jantung Mitha kini seperti dihantam benda keras. Dadanya berdenyut nyeri. Sekarang Mitha tahu arah pembicaraan mereka berdua ke mana.“Jadi, semalam itu bukan mimpi? Semalam aku melakukan hal itu denganmu?” tanya Mitha dengan raut yang terlihat gamang.Cakra melipatkan bibirnya, lalu mendesah.“Aku melakukan hal itu untuk pertama kalinya dengan adik iparku?” kata Mitha lagi dengan suara yang gemetar.Suara Mitha sukses membuat perasaan bersalah kini semakin meradang di dalam diri Cakra. Dia menelan ludahnya dengan kasar, lalu memejamkan matanya.“Sekali lagi, maafkan aku, Kak. Ah, seharusnya aku tidak meminum alkohol terlalu banyak,” sesalnya.Seketika lutut Mitha lemas, kini dia ambruk terduduk di atas sofa. Tatapannya kosong memandang tak tentu arah. Bagaimana bisa Mitha melakukan hal itu dengan adik iparnya? Parahnya lagi, selama bertahun-tahun menikah, Mitha belum pernah melakukan hubungan intim dengan suaminya. Sekarang, kesuciannya itu malah direnggut oleh adik iparnya sendiri.“Anggap saja itu tidak terjadi, Cak. Anggap saja itu mimpi burukku,” kata Mitha dengan nada suara yang terdengar sangat dingin.“Baik, Kak. Anggap kita tidak pernah melakukan apa pun.”Cakra setuju dengan permintaan Mitha. Hanya itu yang bisa mereka lakukan. Melupakan.“Tapi ….” Cakra kembali membuka mulut. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya.Sekarang Cakra bisa mengingat dengan jelas, aktivitas semalam. Mulai dari sentuhan dan lenguhan Mitha yang meluluh lantakan kewarasannya. Dia juga bisa merasakan keamatiran dari sang lawan mainnya di ranjang.Sampai pada akhirnya kedua bola mata Cakra melihat satu tanda bekas permainan mereka semalam. Noda merah yang begitu jelas mengotori kain putih yang tersempat pada ranjang panas.“Boleh kah aku bertanya satu hal?” Cakra mencoba memberanikan dirinya. Selain masalah noda merah, ucapan Mitha sebelumnya membuat dirinya terus bertanya-tanya.Mitha langsung menoleh, dengan wajah yang lemas. Dia tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dia hanya memejamkan matanya sebentar lalu kembali menatap Cakra.“Maaf, Kak kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu. Tapi … apa benar dugaanku, kalau kamu masih perawan? Kamu belum pernah melakukan hubungan badan dengan suamimu sendiri, Kak?”Deg.Dada Mitha terasa sangat sakit. Pertanyaan yang dilontarkan Cakra barusan, sukses membuat harga dirinya jatuh ke dalam jurang yang sangat gelap dan dalam.BERSAMBUNG ….Cakra begitu terganggu saat melihat noda merah yang terdapat di sprei putih. Dia juga mengingat bahwa semalam, dirinya begitu kesusahan untuk memasuki labirin kenikmatan milik sang kakak ipar. Semburat merah kini nampak pada wajah Cakra. Tatkala dia mengingat momen yang terjadi tadi malam bersama dengan sang kakak ipar. Akan tetapi, sedetik kemudian wajah tersipu itu berubah kembali. Kini Cakra menunjukkan wajah penasarannya. “Apa maksud pertanyaanmu? Aku tahu dulu kita memang berteman. Tapi rasanya tidak etis kamu menanyakan hal seprivasi itu padaku, yang empat tahun sudah menjadi kakak iparmu!” elak Mitha. “Aku tahu, tapi aku butuh kejelasan. Jika iya, sungguh tega sekali kakakku tidak memberikan nafkah batin untuk istrinya. Padahal sudah empat tahun menikah!” Ada nada kesal yang terdengar dari setiap kalimat yang diucapkan Cakra. “Tapi bukannya lebih tega kamu, ya, Cak? Adik mana yang berlaku kurang ajar pada istri kakak kandungnya sendiri!” serang Mitha, yang bersikukuh tidak
Tatapan kosong Mitha mengundang teman di sampingnya penasaran. “Mith,” panggil Anin sambil menyikut tangannya. Mitha langsung menoleh dengan wajah yang nampak sangat linglung. “Kamu kenapa? Semalam lancar, kan?” tanya Anin sambil menggoda.“Oh.” Mitha langsung terkesiap, lalu tersenyum canggung. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk dengan tragedi semalam. “Kenapa ‘oh’ doang?” Anin nampak kecewa dengan jawaban temannya.Mitha kembali fokus dengan layar komputernya. Hari ini dia harus mengedit foto produk sebanyak 12 slot; 1 slot berisi 10 foto.“Kamu kepo banget, sih sama urusan ranjang orang, Anin,” sindir Mitha tapi sambil tersenyum kecil. Dia tidak ingin menampakkan rasa kesedihannya. Anin segera menggeser kursinya, mendekat ke arah Mitha. “Bukan begitu. Aku pengin tahu aja, kalau seragam dinasmu itu berhasil bikin suamimu kelepek-kelepek,” bisik Anin dengan suara pelan. Mitha kembali tersenyum. Mitha sudah sangat handal jika menampilkan senyuman palsu. Kemudian dia menggeser
Semalam Candra benar-benar tidak pulang. Padahal Mitha menunggu kedatangan suaminya semalaman. Bahkan dia sampai harus tertidur di ruang tamu.Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kini akhirnya Candra pulang ke rumah dengan masih memakai pakaian yang sama seperti semalam. “Sudah pulang, Mas?” sapa Mitha. Dia berusaha untuk bersikap normal. Mitha tidak ingin mengungkit kembali kejadian semalam. Sudah cukup sakit rasanya dia berdebat dengan suaminya. Sebenernya pertengkaran rumah tangga ini sudah berlangsung hampir satu tahun. Mereka sering kali meributkan hal yang sepele. “Iya.” Candra menjawab dengan sangat singkat. “Sudah sarapan? Aku sudah buatkan tumis cumi kemangi kesukaannya Mas.”“Nanti, aku mandi dulu,” jawabnya. Kemudian dia segera masuk ke kamar. Mitha tersenyum simpul. Kemudian dia kembali dengan pekerjaan rumahnya. Tidak lama Candra keluar dari kamar mandi. Kemudian segera menuju ruang makan. Mitha yang melihat suaminya sudah bersiap untuk makan, langsung sigap m
Kondisi Mitha dan Candra masih dalam mode perang dingin. Padahal sudah hampir satu minggu berlalu. Di rumah, mereka berdua tak banyak bertegur sapa. Bahkan Candra terkesan menghindar dari Mitha. Namun, siang ini tiba-tiba ponsel Mitha berdering. Wanita yang kini sedang menatap layar komputernya, mau tidak mau mengalihkan pandangannya. “Mas Candra?” gumam Mitha, saat layar ponselnya menampilkan kontak sang suami. Tanpa berpikir panjang, Mitha langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Mas. Ada apa?” tanya Mitha. “Kamu pulang jam berapa?” Tanpa berbasa-basi Candra langsung balik melemparkan pertanyaan. Mitha melirik ke arah jam digital yang ada di meja kerjanya, “Satu jam lagi,” jawabnya.“Nggak akan telat pulang, kan?” tanya Candra lagi.Tidak biasanya Candra menanyakan jam kepulangan Mitha. Bahkan sampai bertanya seperti itu. Hal itu sukses membuat Mitha tersenyum simpul. “Tidak, Mas. Ada apa? Mas pengin aku masakin sesuatu?” tebak Mitha. “Bukan. Cakra mau ke rumah,” jawabnya d
“Jadi malam ini ditraktir Anisa?” tanya seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dia adalah Dina.“Iya. Tapi aku pengin semuanya datang, ya. Males kalau ada yang absen, terus minta traktiran terpisah,” timpal Anisa.“Mas mas bagimana? Bisa, kan?” tanya Dina, sambil menoleh ke belakang bertanya kepada para pria yang ada di ruangan itu. “Aku absen dulu sekarang. Adikku datang,” kata Candra, yang sedang sibuk merapikan berkas dan memasukan pada tas hitamnya. Semua orang di sana kompak berdecak.“Adik doang, kan? Emangnya adikmu itu masih bocah sampai harus disambut masnya?” cibir Faisal.“Bukannya di rumah ada istrimu, Mas?” tanya Anisa. Candra mengangguk.“Ya sudah, adikmu itu biar jadi urusan istrimu saja. Lagi pula kita tidak akan sampai tengah malam, kok. Menolak rezeki itu tidak baik, Mas Candra,” imbuh Anisa. Candra terdiam, dia mencoba menimbang. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Terdapat pesan dari Mitha, yang memberi tahu kalau Cakra sudah ada di r
Akhirnya pertanyaan yang sebelumnya hanya Mitha pertanyakan pada dirinya sendiri, kini bisa ia lontarkan pada suaminya.“Apakah ada rasa cinta untukku, Mas? Rasanya selama empat tahun kita menikah, kamu terlihat tidak peduli padaku. Bahkan untuk menyentuhku saja, sepertinya kamu terkesan anti sekali,” cerocos Mitha. Walau begitu, terdengar getaran dari setiap kata yang terucap dari bibirnya. Candra hanya merespon dengan sebuah decakan. Dirinya nampak tidak peduli dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh istrinya.“Mas, jawab!” kata Mitha dengan sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Apa, sih, Mith?” Candra merasa gerah dan kesal dengan pertanyaan dari istrinya. “Jawab, Mas!” Mitha menuntut, bahkan sekarang matanya sudah berkaca. “Pertanyaanmu itu tidak penting untuk aku jawab,” sangkal Candra.Seakan pria itu menghindar untuk menjawab pertanyaan istirnya. “Penting! Itu penting untukku, Mas!” paksa Mitha.Selama empat tahun Mitha merasa kalau hanya dirinya saja yang mencinta
Candra terlihat terkejut, saat mendapati sosok adiknya berjalan dengan bergegas menghampiri dirinya. Cakrawala, kini berdiri tepat di hadapan Candra. Mencoba berdiri di antara Candra dan Mitha. “Apa yang kamu lakukan pada Mitha?” todong Cakra. Jelas, di dalam kamar Cakra bisa mendengar pertengkaran rumah tangga kakaknya. Awalnya Cakra merasa tidak peduli dan tak ingin ikut campur. Karena dia sendiri merasa bersalah pada kakaknya. Namun, ketika Candra mulai meninggikan suara dan sampai berbuat kekerasan fisik pada Mitha. Sebagai laki-laki tentu saja Cakra tidak bisa tinggal diam.“Cih! Aku lupa kalau ada orang yang menumpang,” cibir Candra, “sudah anggap saja kamu tidak mendengarkan apa-apa. Dan jangan sekali-kali kamu mengadukan ini pada Mama,” ancam Candra.Mendengar perkataan sang kakak, yang terdengar angkuh dan tidak ada sedikit pun terdengar nada bersalah dari perkataannya. Membuat Cakra harus mendengus dan menggelengkan kepalanya. “Mana bisa aku diam saja. Mas, melakukan keke
Dada Mitha bergemuruh, saat mendengar pernyataan Cakra yang terkesan tidak sopan.“Kenapa aku harus menggugat suamiku?” tanya Mitha dengan tatapan membulat.Namun, reaksi Cakra nampak terkejut sekaligus bingung, dengan pertanyaan dari Mitha. “Lho? Bukankah semalam kamu meminta diceraikan pada Mas Candra? Kenapa sekarang kamu malah melemparkan pertanyaan seperti itu?” kata Cakra tak terima. Semalam Cakra mendengar dengan jelas pertengkaran mereka berdua. Cakra juga kini mengetahui alasan kenapa kakak iparnya itu belum terjamah oleh suaminya. “Kamu tidak tahu bagaiman sifat perempuan, ya. Mereka akan bertindak sebelum berpikir panjang,” ucap Mitha. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu terasa dingin. Cakra hanya bisa mengerutkan kedua alisnya. “Sudahlah, Cak anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Aku dan Mas Candra juga sudah baikan. Dia sudah minta maaf padaku dan begitupun sebaliknya,” papar Mitha. Alih-alih ingin menenangkan Cakra, agar dia tidak berpikir macam-macam tentan