Mitha harus merasakan kekecewaan. Ketika orang yang ada di hadapannya bukanlah Candra Danendra. Melainkan Cakrawala Bhadrika, adik dari Candra.
“Hai, Kak! Sorry aku tidak memberi kabar. Tapi, tadi aku sudah kasih tahu Mas kalau aku mau ke rumah,” ucap Cakra.“Ah!” Mitha mengangguk, walau masih merasa terkejut, “masuk, Cak. Tapi Mas Candra lagi nggak di rumah. Dia sedang ada perjalanan bisnis,” imbuh Mitha.Mendadak hati Mitha terasa disayat sekarang. Kembali mengingat suaminya yang tidak ada di rumah, cukup membuat goresan luka dalam hati Mitha.“Iya, Kak, tadi Mas Candra sudah kasih tahu. Aku cuman menginap sehari. Besok aku ada pekerjaan di daerah Ujung Berung. Cuman aku berangkat dari hari ini, supaya tidak terlalu capek.”Mitha hanya mengangguk, menanggapi cerita adik iparnya. Kemudian dia menuju dapur dan memberikan teh manis hangat untuk adik iparnya.“Kamu sudah makan, Cak?” tanya Mitha.Dengan canggung Cakra tersenyum, “Belum, sih.”“Ya sudah kita makan malam bersama saja. Kebetulan aku juga lagi makan,” ajak Mitha.Cakra mengangguk, lalu segera menghampiri Mitha.Tidak terlalu banyak menu yang tersaji di sana. Hanya ada dua piring steak sapi dengan saus mushroom.“Kak Mitha sengaja bikin dua porsi untuk sendirian?” tanya Cakra, seraya memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.Seketika Mitha tersenyum getir. Bahkan dia sampai menghentikan aktivitasnya ketika memotong daging.“Iya,” jawabnya singkat. Rasanya tidak mungkin mengatakan hal sejujurnya pada sang adik ipar. Bagaimanapun rahasia dapur sendiri tidak boleh sampai ada yang tahu.Sedangkan di depan Mitha, Cakra memandang wajah kakak iparnya—yang sebenarnya seumuran dengannya. Cakra bisa melihat Mitha seperti sedang merasakan kesedihan dan mencoba untuk menyembunyikannya.Setelah selesai makan malam, Mitha dan Cakra memutuskan untuk menonton film.“Kamu suka minum alkohol, Kak?” tanya Cakra, yang matanya mendapati sebotol wine pada rak hias di sebelah televisi.“Eh?” Mitha terkesiap, dia lupa belum menyembunyikan botol tersebut, “sebenarnya tidak juga. Tadi itu untuk Mas Candra.”“Sejak kapan?”Tiba-tiba Cakra mengajukan pertanyaan lagi. Hal itu membuat Mitha bingung.“Eh? Sejak kapan? Apanya?” tanya Mitha.“Kamu minum alkohol. Jawabanmu tadi sedikit ambigu,” timpal Cakra dengan tatapan yang serius.“Oh, itu … mungkin tahun lalu. Ya, masih bisa dihitung jari. Mungkin sekitar 3 atau 4 kali dalam setahun ini. Dan tadinya aku akan menghadiahkan minuman itu untuk Mas Candra, tapi dia mendadak pergi.”Tanpa Mitha sadari, dia memperlihatkan kesedihannya.“Oh, begitu.”Kening Mitha mengerut. Dia masih tidak paham dengan gelagat Cakra.“Tadi pas nanya, kayak yang ngotot banget mukanya. Sekarang sudah dijawab panjang lebar, dia respon cuman ‘oh, begitu’,” batin Mitha sambil menelisik sikap adik iparnya.Namun, sedetik kemudian Mitha sadar akan sesuatu.“Kamu mau minum? Rasanya sayang kalau tidak disentuh sama sekali,” kata Mitha.Pikirnya, Cakra menginginkan minuman itu. Makanya dia bertanya hal seperti itu pada Mitha. Karena dia juga tahu, semasa kuliah Cakra pernah meminum alkohol.“Boleh. Lumayan untuk menghangatkan diri, Bandung dingin,” kata Cakra.Mendengar jawaban Cakra, Mitha mendengus dan tersenyum. Ternyata dugaannya benar, kalau Cakra memang sedang memberikan sebuah kode padanya.“Kenapa?” tanya Cakra yang sadar dengan suara yang dikeluarkan Mitha.“Oh?” Mitha terkesiap, lalu melambaikan kedua tangannya, “tidak apa-apa.”Segera, Mitha pun bangkit dan membawa dua buah gelas water goblet dan sebotol wine. Perlahan Mitha pun menuangkan wine tersebut ke dalam masing-masing gelas.“Terima kasih,” ucap Cakra, lalu dia meneguk minuman tersebut. Seketika tubuhnya terasa sedikit menghangat.Baik Mitha dan Cakra, kini sama-sama memfokuskan diri pada film yang sedang mereka tonton. Hanya saja, sikap Mitha tiba-tiba berubah.Wanita itu nampak gusar, tangannya kini diapit oleh kedua pahanya. Bahkan dia menarik bibirnya ke dalam. Napasnya pun sudah mulai hangat dan terasa cepat.“Ah, sial! Perasaan apa ini?” batin Mitha.Tingkah Mitha berubah, karena melihat adegan dalam film yang sedang dia tonton. Pasalnya kini film itu sedang menayangkan adegan dewasa. Di mana sangat jelas si pemeran utama sedang berhubungan badan. Bahkan suara lenguhan dari sang wanita terasa candu di telinga Mita.“A-aku juga ma-mau,” batin Mitha semakin menjadi. Kini dia meremas bajunya sendiri.Sebuah aktivitas yang selalu Mitha dambakan sejak pertama menikah. Namun, setelah malam pertama itu—yang sebenarnya tidak sampai tuntas—Candra sudah tidak pernah menyentuhnya lagi.Khawatir tidak bisa mengendalikan perasaan aneh itu. Mitha segera bangkit dari sofa.“Cak, aku tidur duluan. Kalau kamu mau tidur bisa ke kamar tamu, ya. Sudah aku rapikan,” ucap Mitha yang langsung melesat menuju kamar tidurnya.Di dalam sana Mitha duduk di depan meja riasnya. Dia menarik napas dalam, sambil memejamkan matanya. Namun, perasaan itu tak kunjung hilang. Bahkan sekarang Mitha merasa bagian bawahnya terasa berdenyut, menuntut untuk disentuh.“Ah. Selalu seperti ini kalau aku menonton film dewasa,” desah Mitha.Perasaan ingin menjadi seperti pemeran utama perempuan dalam film dewasa, sangat dinantikan Mitha.Tiba-tiba Mitha bangkit dan langsung membuka lemarinya. Mengeluarkan barang pemberian Anin, yang tadi siang sempat mereka bahas. Mitha pun segera mengenakannya dan menatap dirinya lekat-lekat dalam pantulan cermin.“Kenapa kamu malah pergi, sih, Mas? Aku ingin menunjukkan tubuh indahku dalam balutan baju dinas ini,” kata Mitha.Kini Mitha menyentuh tubuhnya sendiri. Sentuhan yang sangat lembut, tapi menuntut. Membuat darah dalam tubuhnya berdesir.“Ah.”Mitha mendesah, ketika tangannya memegang kedua bukit kembar miliknya.Dengan fantasi liarnya, Mitha mencoba memuaskan dirinya sendiri. Sampai akhirnya dia tertidur di atas ranjang, dengan masih mengenakan baju dinas malamnya. ***“Ah, Mas, geli.” Mitha melenguh, saat merasa ceruknya itu dicium oleh seorang pria.Tak hanya itu, bagian intinya terasa ada yang menyentuh dan itu membuat Mitha merasa melayang.“Aku menginginkanmu malam ini, Mitha,” ucap pria itu tepat di daun telinga Mitha.“Yes, sure, honey!” timpal Mitha yang merasakan kebahagiaan dunia tiada dua.Kemudian mereka berdua melakukan aktivitas malam di atas ranjang dengan penuh gairah. Bahkan peluh mereka pun kini sudah bercampur.Mitha tidak ingin cepat terbangun. Dia ingin mimpi ini berjalan dengan sangat lama.“Setidaknya aku bisa merasakan sentuhan yang memabukkan ini, walau hanya dalam mimpi,” ucap Mitha dengan penuh desahan.Dalam mimpinya Mitha merasa kini dia dan sang suami sedang menyatu. Seolah tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkan mereka.***Suara alarm membangunkan Mitha dari alam bawah sadar. Dengan mata yang masih terpejam, Mitha mencoba meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Dalam detik berikutnya, Mitha mematikan alarmnya.Mitha melenguh, menarik tangannya ke atas kepala. Kemudian dia berbalik ke arah belakang. Tangannya kini sedang menyentuh sesuatu.“Apa ini? Bukan guling, seperti tubuh seseorang,” batin Mitha, tapi matanya masih menolak untuk terbuka.Tangan Mitha mencoba meraba lebih jauh. Memastikan apa yang sebenarnya ada di sampingnya. Selang beberapa menit, Mitha akhirnya membuka kedua kelopak matanya.“Aaaaakkkk!” pekik Mitha dengan sangat keras.Mitha benar-benar terkejut sampai dia terjatuh dari atas ranjang. Kemudian teriakan kedua, kini ia keluarkan. Karena mendapati dirinya tidak menggunakan busana, barang sehelai pun.Dengan cepat, Mitha langsung menarik selimut dan menutupi tubuhnya.Mendengar kegaduhan yang dibuat Mitha. Pria yang kini berada di atas ranjang dengan kondisi telanjang bulat pun terbangun.“Aww!” ringisnya, ketika merasa kepalanya berdenyut. Kemudian dia pun bangkit dan berada di posisi duduk.Namun, tubuh laki-laki itu tiba-tiba menegang. Ketika mendapati dirinya terbangun dengan tanpa busana.“Apa-apaan ini?!” pekik sang pria yang masih ada di atas ranjang dengan wajah yang terkejut.“Harusnya aku yang bertanya seperti itu! Kenapa kamu ada di kamarku, Cakra?!” tanya Mitha dengan mata yang membulat sempurna.BERSAMBUNG ….Cakra memijat kepalanya yang terasa sangat sakit. Selain itu, dia juga mencoba mengingat kejadian semalam, yang mengakibatkan dirinya berakhir di atas ranjang milik kakaknya. “Bukannya aku sudah bilang untuk tidur di kamar tamu?” serang Mitha. Kepanikan kini nampak di wajah cantik wanita berumur 28 tahun itu. Kini dia sendiri tidak berani menatap Cakra. “Ah, Kak maaf. Sepertinya semalam aku terlalu mabuk,” aku Cakra dengan perasaan sesal. Kini Cakra ingat, selepas Mitha pamit menuju kamarnya dia menghabiskan hampir separuh minuman beralkohol itu. Kemudian karena rasa pusing menyerang diri, Cakra pun memutuskan untuk pergi menuju kamar tamu. Namun, bukannya dia menuju kamar yang ada di bagian belakang. Cakra malah masuk ke kamar milik kakak iparnya. “Terus apa yang kamu lakukan semalam? Kenapa kita berakhir dengan sama-sama tidak mengenakan pakaian sehelai pun?” cecar Mitha gelisah. Cakra mencoba memindai sekeliling. Dia melihat bajunya berserakan di atas lantai. Tidak hanya itu,
Cakra begitu terganggu saat melihat noda merah yang terdapat di sprei putih. Dia juga mengingat bahwa semalam, dirinya begitu kesusahan untuk memasuki labirin kenikmatan milik sang kakak ipar. Semburat merah kini nampak pada wajah Cakra. Tatkala dia mengingat momen yang terjadi tadi malam bersama dengan sang kakak ipar. Akan tetapi, sedetik kemudian wajah tersipu itu berubah kembali. Kini Cakra menunjukkan wajah penasarannya. “Apa maksud pertanyaanmu? Aku tahu dulu kita memang berteman. Tapi rasanya tidak etis kamu menanyakan hal seprivasi itu padaku, yang empat tahun sudah menjadi kakak iparmu!” elak Mitha. “Aku tahu, tapi aku butuh kejelasan. Jika iya, sungguh tega sekali kakakku tidak memberikan nafkah batin untuk istrinya. Padahal sudah empat tahun menikah!” Ada nada kesal yang terdengar dari setiap kalimat yang diucapkan Cakra. “Tapi bukannya lebih tega kamu, ya, Cak? Adik mana yang berlaku kurang ajar pada istri kakak kandungnya sendiri!” serang Mitha, yang bersikukuh tidak
Tatapan kosong Mitha mengundang teman di sampingnya penasaran. “Mith,” panggil Anin sambil menyikut tangannya. Mitha langsung menoleh dengan wajah yang nampak sangat linglung. “Kamu kenapa? Semalam lancar, kan?” tanya Anin sambil menggoda.“Oh.” Mitha langsung terkesiap, lalu tersenyum canggung. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk dengan tragedi semalam. “Kenapa ‘oh’ doang?” Anin nampak kecewa dengan jawaban temannya.Mitha kembali fokus dengan layar komputernya. Hari ini dia harus mengedit foto produk sebanyak 12 slot; 1 slot berisi 10 foto.“Kamu kepo banget, sih sama urusan ranjang orang, Anin,” sindir Mitha tapi sambil tersenyum kecil. Dia tidak ingin menampakkan rasa kesedihannya. Anin segera menggeser kursinya, mendekat ke arah Mitha. “Bukan begitu. Aku pengin tahu aja, kalau seragam dinasmu itu berhasil bikin suamimu kelepek-kelepek,” bisik Anin dengan suara pelan. Mitha kembali tersenyum. Mitha sudah sangat handal jika menampilkan senyuman palsu. Kemudian dia menggeser
Semalam Candra benar-benar tidak pulang. Padahal Mitha menunggu kedatangan suaminya semalaman. Bahkan dia sampai harus tertidur di ruang tamu.Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kini akhirnya Candra pulang ke rumah dengan masih memakai pakaian yang sama seperti semalam. “Sudah pulang, Mas?” sapa Mitha. Dia berusaha untuk bersikap normal. Mitha tidak ingin mengungkit kembali kejadian semalam. Sudah cukup sakit rasanya dia berdebat dengan suaminya. Sebenernya pertengkaran rumah tangga ini sudah berlangsung hampir satu tahun. Mereka sering kali meributkan hal yang sepele. “Iya.” Candra menjawab dengan sangat singkat. “Sudah sarapan? Aku sudah buatkan tumis cumi kemangi kesukaannya Mas.”“Nanti, aku mandi dulu,” jawabnya. Kemudian dia segera masuk ke kamar. Mitha tersenyum simpul. Kemudian dia kembali dengan pekerjaan rumahnya. Tidak lama Candra keluar dari kamar mandi. Kemudian segera menuju ruang makan. Mitha yang melihat suaminya sudah bersiap untuk makan, langsung sigap m
Kondisi Mitha dan Candra masih dalam mode perang dingin. Padahal sudah hampir satu minggu berlalu. Di rumah, mereka berdua tak banyak bertegur sapa. Bahkan Candra terkesan menghindar dari Mitha. Namun, siang ini tiba-tiba ponsel Mitha berdering. Wanita yang kini sedang menatap layar komputernya, mau tidak mau mengalihkan pandangannya. “Mas Candra?” gumam Mitha, saat layar ponselnya menampilkan kontak sang suami. Tanpa berpikir panjang, Mitha langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Mas. Ada apa?” tanya Mitha. “Kamu pulang jam berapa?” Tanpa berbasa-basi Candra langsung balik melemparkan pertanyaan. Mitha melirik ke arah jam digital yang ada di meja kerjanya, “Satu jam lagi,” jawabnya.“Nggak akan telat pulang, kan?” tanya Candra lagi.Tidak biasanya Candra menanyakan jam kepulangan Mitha. Bahkan sampai bertanya seperti itu. Hal itu sukses membuat Mitha tersenyum simpul. “Tidak, Mas. Ada apa? Mas pengin aku masakin sesuatu?” tebak Mitha. “Bukan. Cakra mau ke rumah,” jawabnya d
“Jadi malam ini ditraktir Anisa?” tanya seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dia adalah Dina.“Iya. Tapi aku pengin semuanya datang, ya. Males kalau ada yang absen, terus minta traktiran terpisah,” timpal Anisa.“Mas mas bagimana? Bisa, kan?” tanya Dina, sambil menoleh ke belakang bertanya kepada para pria yang ada di ruangan itu. “Aku absen dulu sekarang. Adikku datang,” kata Candra, yang sedang sibuk merapikan berkas dan memasukan pada tas hitamnya. Semua orang di sana kompak berdecak.“Adik doang, kan? Emangnya adikmu itu masih bocah sampai harus disambut masnya?” cibir Faisal.“Bukannya di rumah ada istrimu, Mas?” tanya Anisa. Candra mengangguk.“Ya sudah, adikmu itu biar jadi urusan istrimu saja. Lagi pula kita tidak akan sampai tengah malam, kok. Menolak rezeki itu tidak baik, Mas Candra,” imbuh Anisa. Candra terdiam, dia mencoba menimbang. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Terdapat pesan dari Mitha, yang memberi tahu kalau Cakra sudah ada di r
Akhirnya pertanyaan yang sebelumnya hanya Mitha pertanyakan pada dirinya sendiri, kini bisa ia lontarkan pada suaminya.“Apakah ada rasa cinta untukku, Mas? Rasanya selama empat tahun kita menikah, kamu terlihat tidak peduli padaku. Bahkan untuk menyentuhku saja, sepertinya kamu terkesan anti sekali,” cerocos Mitha. Walau begitu, terdengar getaran dari setiap kata yang terucap dari bibirnya. Candra hanya merespon dengan sebuah decakan. Dirinya nampak tidak peduli dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh istrinya.“Mas, jawab!” kata Mitha dengan sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Apa, sih, Mith?” Candra merasa gerah dan kesal dengan pertanyaan dari istrinya. “Jawab, Mas!” Mitha menuntut, bahkan sekarang matanya sudah berkaca. “Pertanyaanmu itu tidak penting untuk aku jawab,” sangkal Candra.Seakan pria itu menghindar untuk menjawab pertanyaan istirnya. “Penting! Itu penting untukku, Mas!” paksa Mitha.Selama empat tahun Mitha merasa kalau hanya dirinya saja yang mencinta
Candra terlihat terkejut, saat mendapati sosok adiknya berjalan dengan bergegas menghampiri dirinya. Cakrawala, kini berdiri tepat di hadapan Candra. Mencoba berdiri di antara Candra dan Mitha. “Apa yang kamu lakukan pada Mitha?” todong Cakra. Jelas, di dalam kamar Cakra bisa mendengar pertengkaran rumah tangga kakaknya. Awalnya Cakra merasa tidak peduli dan tak ingin ikut campur. Karena dia sendiri merasa bersalah pada kakaknya. Namun, ketika Candra mulai meninggikan suara dan sampai berbuat kekerasan fisik pada Mitha. Sebagai laki-laki tentu saja Cakra tidak bisa tinggal diam.“Cih! Aku lupa kalau ada orang yang menumpang,” cibir Candra, “sudah anggap saja kamu tidak mendengarkan apa-apa. Dan jangan sekali-kali kamu mengadukan ini pada Mama,” ancam Candra.Mendengar perkataan sang kakak, yang terdengar angkuh dan tidak ada sedikit pun terdengar nada bersalah dari perkataannya. Membuat Cakra harus mendengus dan menggelengkan kepalanya. “Mana bisa aku diam saja. Mas, melakukan keke