Selama ini Aji memahami sekaligus meyakini, orang akan baik jika dia berteman dengan orang-orang baik, dan sebaliknya.
_____________
"Apa yang Kak Aris rahasiakan?" tanya Lintang yang penasaran mencecar sang kakak.
Dia yakin jika rahasia Aris yang dimaksud ayah tiri Laila ada sangkut pautnya pada kasus yang menimpa teman sebangkunya itu.
Aris mendesah. Ia tak berniat sedikit pun bercerita pada Lintang apa yang Heru ancamkan padanya. Pemuda yang memiliki faras rupawan dan menjadi idola banyak gadis itu lalu berjalan, meninggalkan Lintang ke mobil.
"Kak! Kok gitu, sih?!" dengkus Lintang yang mendapat respon dari Aris tak sesuai maunya. Ia memprotes sikap sang kakak yang terkesan menutup-nutupi sesuatu darinya.
Gadis itu pun mengekor Aris menuju mobil. Sementara pikirannya terus mengembara. Menyangkut pautkan kejadian demi kejadian, agar ditemui benang merahnya.
"Jangan-jangan Mas Aris sengaja membawaku semalam, karena untuk melindungi perbuatannya," gumam Lintang yang didengar oleh Aris yang berjalan di depannya.
Mendegar hal itu, sontak langkah lebar pemuda itu berhenti.
"Auh!" Lintang yang tak fokus membentur kepala Aris, rupanya pria itu sudah berbalik menatapnya lelah.
"Hiss. Mudah sekali kamu terpengaruh. Berpikirlah yang masuk akal! Apa kamu kira aku punya dua tubuh!" Aris kesal atas tuduhan adiknya.
Jelas-jelas sebelum ia memutuskan mengajak Lintang ke luar, Aris sedang main laptop di kamar. Karena Wi-Fi bermasalah, akhirnya memutuskan membeli kuota di luar.
"Hah, dua tubuh?" Lintang berlagak telmi. Dia pun baru mengingat kejadian semalam, sebelum mereka ke luar rumah.
"Ah, ya. Benar." Lintang meringis sambil menggaruk kepala tak gatal.
Aris geleng-geleng kepala, melihat kelakuan adiknya. "Bicara hati-hati pada orang tua kita. Jangan ceroboh!" tekannya sebelum kembali ke mobil.
Suara pintu yang dibuka membuat Lintang terhenyak. "Benar, aku tak boleh sembarangan bicara. Kalau tidak Kak Aris akan dalam masalah besar. Tapi ... apa rahasianya?!"
"Cepatlah! Sampai kapan kamu akan berdiri di situ?!" seru Aris yang sudah masuk ke dalam mobil. Pemuda itu sampai melongok demi agar Lintang memperhatikannya.
Mendengar seruan kakaknya, Lintang segera bergerak dan masuk ke mobil.
Tak lama kuda besi tersebut bergerak meninggalkan parkiran rumah sakit.
"Kenapa ayah Laila sepertinya sangat dendam sama Kakak? Apa terjadi sesuatu antar kalian? Apa ini menyangkut Laila." Kali ini suara Lintang terdengar serius.
Aris yang fokus ke jalanan mendesah panjang mendengar pertanyaan adiknya itu. Pikirannya pun mengembara, kala Heru menemuinya minggu lalu di depan kampus.
Pria itu memperlihatkan chat yang Aris kirim untuk Laila. Aris bisa memahami perasaan seorang ayah seperti Heru, kala anak gadisnya dilecehkan oleh laki-laki, walau itu hanya berupa kata-kata.
"Kalau aku katakan padamu, kamu akan percaya?" tanya Aris dengan tatapan kosong ke jalanan.
Seketika Lintang menoleh. Menatap sisi wajah rupawan di sampingnya.
"Katakan, Kak."
"Aku memang mengirim pesan pada Laila, tapi gadis itu yang memancingku pertama kali."
"Apa maksud Kakak?!" Mata Lintang melebar.
Jadi benar jika rahasia itu menyangkut Laila. Jangan-jangan sebelum Aris berada di kamar, dia sudah lebih dulu menemui Laila. Itu kenapa saat Laila minta tolong, Aris langsung tahu tempat tujuannya.
"Kami memang janjian ketemu di suatu tempat ... tapi ... karena menghormatinya. Aku tak datang ke sana."
_____________
"Yah, tolong. Bawa Om Ardian pergi dari sini!" Suara serak Laila terdengar untuk kali pertama sejak Aji datang. Gadis itu menghiba. Entah takut, atau sebenarnya dia malu pada Ardian? Aji tak mengerti.
"A-ada apa?" tanya Aji terbata. Seperti tengah terjadi sesuatu antara Laila dan Aji. Kini tatapannya beralih pada sang adik. Ardian. Pemuda itu tampak salah tingkah di depan kakaknya.
"E-em. Maaf Mas, aku hanya ingin tahu bagaimana kondisinya." Ardian menyahut dengan nada tak enak.
Hal itu membuatnya curiga. Apa Ardian pelakunya?
'Ah, tidak mungkin. Aku kenal siapa Ardian sejak kecil.' Aji menggeleng. Pemuda itu bahkan sudah siap menikah setelah sekian lama menolak karena takut tak bisa tanggung jawab pada keluarga yang baru lantaran belum siap.
Pemuda yang lebih sering dilihat di masjid berkumpul dengan anak-anak rohis. Meski cuma iseng duduk di teras selepas pulang kerja. Aji tahu, walau Ardian tak mengikuti kajian secera intensif, setidaknya dia mengobrolkan hal berguna mengenai agama. Sesuatu yang pasti mempengaruhi pribadinya.
Karena yang Aji pahami sekaligus yakini selama ini, orang akan baik jika dia berteman dengan orang-orang baik.
Selama ini pula, tak ada tanda-tanda Ardian sibuk mencari pelampiasan nafsu. Dia lebih banyak terlihat bekerja bersamanya, bahkan hari libur yang digunakan untuk lembur. Lagi pula Ardian tak mungkin tega, merusak ponakan yang sejak kecil dia pun menyayangi dan menjaganya.
Tapi ... sekelebat pikiran buruk hinggap. Bagaimana jika nafsu itu tiba-tiba datang karena ada kesempatan atau sesuatu yang memancing? Apa Ardian bisa mengendalikannya?
Aji kembali menggeleng. Menepis prasangka buruknya pada adik sendiri. 'Tidak ini sangat berlebihan.'
"Eum, aku akan keluar, Mas. Aku ... harap, Laila mendengarkan kata-kataku tadi." Ardian mengacungkan jempol ke belakang, menunjuk ke arah pintu, sebagai isyarat dia akan keluar dari sana.
Mungkin saja kakaknya itu memerlukan privasi. Tak ingin juga dianggap menganggu ponakannya, meski dia menginginkan sesuatu dari gadis itu.
Aji mengangguk ragu. Di matanya Ardian adalah pemuda baik. Namun, sikapnya mencurigakan saat di dekat anaknya.
"Kata-kata apa?" tanya Aji penasaran. Sebuah ancaman, peringatan atau motivasi agar Laila segera bangkit?
Namun, Ardian tak menjawab dan terus melangkah ke luar. Meninggalkan kakak dan keponakannya berdua saja.
Kini tatapan Aji sepenuhnya beralih pada puteri semata wayang yang berbaring di atas ranjang. Tatapan itu bukanlah tatapan iba, melainkan kesal kenapa Laila diam saja dan tak bicara, setidaknya pada sang bunda siapa pelakunya.
Ia sadar rasa sakit dan kesedihan yang Laila alami sekarang, tanpa perlu menanyakannya pada anaknya itu.
Bukan Aji membenci Laila. Dia kasihan, tapi juga memiliki kemarahan dalam hati. Tak tahu mesti melampiaskan pada siapa, selain pada Laila yang dianggap ceroboh. Tak semestinya seorang gadis keluar hingga larut malam. Juga ibunya, kenapa pula memberi izin, atau setidaknya mantan istrinya itu turut serta menemani jika keperluan Laila mendesak.
"Laila, kamu boleh bermanja dan cengeng. Tapi tidak dengan ayah. Katakan siapa pelakunya, atau kamu akan melihat mayat ayahmu sebab menanggung malu!"
"A-ayah. Kenapa ngomong gitu?!" suara Laila tercekat karena tangisnya kembali menderas.
Di waktu yang sama, Rani masuk. Dia tak bisa berbuat apa pun selain mendekati Laila dan memeluknya.
Mana mungkin dia sanggup kehilangan satu-satunya lelaki yang bisa dia andalkan sekarang. Lelaki yang menyayanginya dengan tulus sepenuh hati.
"Katakan! Ayah tak bisa mengancammu dengan hal lain selain nyawa Ayah. Ayah bahkan tak sanggup membunuhmu meski sekarang kamu sudah menyakiti dan membuat ayah kecewa, Laila!"
"Katakan, Sayang," bisik Rani.
Laila pun akhirnya bicara di sela isak tangisnya.
"Aris, Bund," ucapnya nyaris tak terdengar. Laila tak mengerti, siapa lagi nama yang akan disebut selain nama pemuda itu.
Bersambung
Hayo siapa yang salah tebak di bab sebelumnya?😁
Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya.__alhadits__💔Laila pun akhirnya meng-eja kata demi kata, di sela isak tangis. Meski hatinya perih mengatakannya. Bukan hal mudah menanggung rasa sakit dan rasa bersalah sekaligus.Kalau saja dia belum pernah mengenal pesantren dan punya iman yang tersemat dal dada, mungkin tak pikir panjang setelah kejadian menjijikkan itu, akan langsung bunuh diri.Gadis itu pernah mendengar dari ustazah di pesantren dulu,"Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya."Ucapan
Seorang pria sejati dinilai bukan dari bagaimana penampilannya. Apa yang lebih penting adalah bagaimana ia bersikap. Aris bukan hanya tampan dan menjaga sikap, lebih dari itu, dia seorang pemuda yang tak rela air mata ibunya menetes.***Lintang yang terbangun karena suara ribut dari depan segera bangkit dari ranjang untuk melihatnya. Kebetulan sejak pulang dari rumah sakit, gadis berparas ayu itu tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang menimpa Laila dan keterlibatan kakaknya Aris, sampai dipukuli oleh ayah tiri Laila.Besok, saat mamanya bertanya, dia akan menjawab Aris habis bertengkar dengan temannya. Sesuai apa yang kakaknya inginkan.Langkah Lintang sudah berada di ujung tangga.Mata gadis itu melebar dan sontak menutupi mulut mungilnya, melihat Aris tengah diintimidasi oleh seorang pria. Tak membuang waktu, ia pun berbalik dan mengetuk pintu sang mama."Aris. Kami ingin bicara." Bunda Laila langsung mengatakan maksud kedatangann
Setiap manusia yang memiliki hati pasti tahu, besarnya luka dan rasa takut yang dialami perempuan korban pelecehan.....***Pintu toilet terbuka. Tak ada yang Laila lakukan kecuali mennagis depan cermin. Gadis itu tak mengerti apa yang harus dilakukan sekarang selain menangis.Suster yang melihatnya, membiarkan itu. Dia tahu bagaimana rasa sakit yang dialami korban pelecehan. Jiwanya pasti sedang terguncang hebat. Yang penting, ia bisa mengawasi agar tak hal gila yang dilakukannya.Mata Laila melebar. Tubuhnya seketika bergetar. Takut. Kala melihat bayangan seorang pria di cermin mendekatinya dari belakang."Apa yang kamu lakukan?" Heru bertanya dengan lembut. Ada perawat yang tengah beraktifitas di kamar Laila. Namun, hanya ini kesempatannya menemui gadis itu."Jangan takut anak baik, aku ke sini hanya memberikan ponselmu."Pria itu menyodorkan benda pipih ke arah Laila. Ketika menoleh gadis itu bisa melihat ponselnya. Masih de
Kesucian wanita adalah tolak ukur sebuah kehormatan.Manusia patut malu ketika tak bisa menjaga nafsu birahinya sendiri, atau pun memancing orang lain dengan sesuatu yang sifatnya erotis.***Mata Ardian menyipit, baru saja dia kembali dari mushola, untuk menunaikan sholat subuh, seorang pria yang penampilannya tak mirip tenaga medis tengah keluar dari kamar Laila.Ia pun bergerak cepat melihat kondisi Laila. Matanya melebar, melihat gadis itu tengah duduk mennagis tersedu di lantai toilet. Dengan seorang suster yang membujuknya."Ada apa, Sus?" tanya Ardian."Em, saya nggak tau, Mas. Tadi padahal sudah agak tenang berdiri di situ." Suster menunjuk ke cermin.Belum lagi, suster selesai bicara, Ardian segera ingat pria yang barusan keluar dan mengejarnya. Mungkinkah ada hubungannya?"Siapa itu?" gumamnya. Gegas kaki kokohnya bergerak dengan cepat, untuk mencapainya dan mengetahui siapa pria itu.'Apa aku kecolongan? Mungk
FlashbackKutajamkan pandangan saat melihat Laila keluar dari kamarnya. Tumben kali ini tak memakai kerudung. Bibirku seketika tertarik ke atas, membuat sebuah lengkung senyuman, senang melihatnya.Tak bisa kumengerti kesenangan dan tak bisa menarasikannya dengan apa pun.Menyayangi Laila dan menginginkannya sekaligus.Dia tampak cantik, sama seperti ibunya, hanya saja lebih menggemaskan. Terakhir kali memperhatikan anak itu saat pulang dari pesantren, kala usianya masih lulusan SMP.Namun, belakangan ... aku seperti tersihir oleh keberadaannya. Ini bukan salah dan mauku. Ini terjadi begitu saja."Laila!" kupanggil anak yang ceria itu untuk mendekat.Gadis itu menoleh dan mendekat ke meja makan di mana aku berada."Ya, Yah?""Ayah minta tolong bikinin kopi, bisa? Bunda kamu masih ke pasar.""Ya." Gadis itu tersenyum. Sampai lesung pipitnya terlihat menghiasi wajah manisnya.Kuamati pergerak
Laila bergeming. Seolah diamnya membenarkan tuduhan semua orang bahwa dia adalah gadis bi*al yang suka menggoda pria. Pantas saja diperkosa. Karena dia sendiri yang memancing dengan mengirim foto-fotonya bug*lnya.Gadis itu hanya bisa menangis, mendapat sebuah tamparan keras dan makian demi makian dari ayah yang dicintai. Ayah yang diharap perlindungan dan kepercayaannya.Saat akan melayangkan pukulan kedua, Rani segera meraih tangan Aji."Hentikan, Mas! Dia sudah cukup terluka dengan kejadian yang menimpa!" Bunda Laila berusaha menghentikan sambil menangis.Namun, juga tak cukup mampu untuk tidak ikut menyalahkan puterinya. Walau bagaimana, Laila berada di posisi yang salah. Memancing nafsu laki-laki sampai ada niat buruk memperkosanya. Ia bahkan tak sanggup untuk memeluk anak gadisnya itu. Ada perasaan jijik dan kesal, meski ini bukan sepenuhnya salah Laila.Aji yang murka mendesah panjang. Ketika ingat sesuatu, ia segera bergerak membuka semua t
Aji banyak diam. Dia sudah mengusulkan pada Rani dulu agar menaruh Laila di pesantren saja. Pria itu sungguh kecewa saat tahu, Laila pulang dari pondok dan menempuh pendidikan negeri di SMA.Setelah semua upaya, Aji bisa apa? Rani juga tak bisa berbuat apa pun untuk membujuk Laila kembali ke pesantren.Akhirnya, yang terjadi seperti sekarang. Laila dinodai dan harus nikah muda. Padahal gadis itu satu-satunya harapan Aji. Kelak bisa menyelesaikan sekolah. Kuliah hingga jadi sarjana, lalu mendapat pekerjaan yang bagus.Tidak sepertinya, jadi kuli bangunan, pekerja lepas di perusahaan. Kerjanya serabutan dan tak menentu. Aji mendesah. Dia tahu ini bukan takdir yang bisa dipilihnya. Dan ia tahu bahwa Tuhan mengirim ujian tidak mungkin di luar kemampuan hamba-Nya. Akan tetapi tetap saja berat.Ditatap wajah puterinya yang sembap meski telah memakai make up. Menutupi wajah lugu dengan lesung pipit, saat saat sedikit bibirnya ditarik.Laila tampaknya tak
"Ran, aku harus meeting." Heru melihat ke arah pergelangan tangan. Di mana sebuah arloji terlilit di sana."Hem?" Dahi Rani seketika mengerut. Berpikir, sikap suaminya sangat aneh. Sudah tahu ada acara sepenting sekarang, malah mau pergi."Tap ...""Kamu mau ditinggal?" Heru tak ingin berdebat."Ah, nggak." Rani menyahut cepat. Dia akan merasa canggung berada di antara keluarga barunya ini. "Malam-malam begini, apa iya meeting, Yah?""Ya, karena klien ayah hanya bisa bertemu malam, jadi manajer ayah mengaturkan waktunya saat makan malam." Heru mengemukakan alasannya."Oh, begitu." Rani manggut-manggut."Kalau gitu, aku pamit Laila dulu.""Ya."Namun, belum lagi melangkah. Wanita itu ditahan oleh Aji. Melihat itu ada kecemburuan yang membuat Heru kesal."Ran, kita perlu bicara hal lain dengan orang tua Aris." Aji mengucap serius."Ayok, Ran. Aku tak bisa menunggu lama." Heru menyela."Oh, ya. Mas. Maa