Home / Romansa / Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu! / Bab 2. Tuan Kevin yang Tampan

Share

Bab 2. Tuan Kevin yang Tampan

Author: Nychinta
last update Last Updated: 2025-08-04 17:29:15

Selagi Vanya masih terkejut dengan ucapan sang ayah, tiba-tiba dia mendengar sebuah jeritan kencang.

“Ayah!” 

Itu Vira. Wajahnya merah padam, penuh amarah. 

“Apa Ayah serius?! Kalau sampai orang tahu tentang keberadaan anak haram ini, reputasi kita akan hancur! Bagaimana aku bisa menghadapi teman-temanku nanti?!”

Menepis cara kasar penyampaian saudarinya, Dira—sang putri kedua—menimpali dengan tenang, “Vira benar, Ayah. Kalau dia yang pergi, bukankah itu sama saja dengan menghancurkan reputasi keluarga ini?”

Selagi kedua adiknya bereaksi heboh, Lira—sang putri sulung—tersenyum sinis. “Lalu, kalau bukan dia, apa kalian yang mau pergi ke pesta itu? Kalau kalian mau, silakan saja.”

Detik itu, dua saudari itu tersentak. Pun mereka malu kalau diketahui memiliki adik tiri yang lahir di luar nikah, tapi tetap saja mereka tidak mau mengorbankan diri untuk menjadi kandidat calon istri pria kejam seperti Kevin Wicaksana!

Akhirnya, mereka pun terdiam.

Di saat ini, Febiola angkat bicara, nadanya tenang namun menusuk. “Kapan pesta diadakan?”

“Lusa.” Lesmana menjawab singkat. Pandangannya lurus, dingin. “Persiapkan semuanya dengan baik.”

Senyum tipis terbentuk di wajah Febiola. “Tentu, suamiku.” Ia berdiri dengan anggun. “Ayo, anak-anak. Bantu Ibu memilihkan segala hal yang terbaik untuk adikmu yang tercinta.”

Ketiga putrinya langsung berdiri, lalu mengikuti sang ibu keluar dari ruangan. Saat melewati Vanya, mereka menoleh dengan tatapan puas, seolah akhirnya berhasil menyingkirkan beban yang selama ini menjadi duri dalam daging keluarga.

Setelah istri dan ketiga putrinya pergi, Lesmana mengalihkan pandangan pada Vanya yang mematung di tempat. Ia bangkit, langkahnya mantap hingga berdiri tepat di hadapan putrinya itu.

“Jalankan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan keluarga ini. Jika Kevin Wicaksana tidak tertarik padamu, gunakan kesempatan itu untuk menarik pria lain yang cukup berpengaruh. Mengerti?”

Vanya mendongak, tubuhnya bergetar. Ucapan ayahnya menusuk lebih dalam daripada perlakuan siapa pun di rumah ini.

Bukan hanya dijadikan pengganti saudari-saudarinya untuk dilempar ke kandang singa, kini ia bahkan diharapkan untuk berperilaku layaknya barang dagangan yang harus menunjukkan nilai jualnya?

Tangan Vanya mengepal, hanya sebentar, sebelum ia membungkuk dan menjawab lirih, “Baik… Ayah.”

Dalam hatinya, ia tertawa getir.

Kandang singa? Apa bedanya dengan lubang buaya yang selama ini dia tinggali?

Ke mana pun Vanya pergi… hasilnya tetap sama. Pada akhirnya, dia hanya akan disiksa. Tidak akan jauh berbeda.

*** 

Dua hari berlalu begitu cepat. Malam pesta pun tiba, dan Vanya telah siap untuk berangkat.

“Oh! Lihat bagaimana cantiknya dia!” seru Lira dengan senyum lebar, seolah sungguh berbahagia melihat Vanya yang berbeda malam itu.

“Kalau seperti ini, bukankah sudah pasti Kevin Wicaksana akan memilihnya?” sahut Vira dengan tawa sinis, matanya menyipit penuh ejekan.

Mendengar komentar kedua putrinya, Febiola yang berada di hadapan Vanya tersenyum anggun. “Kalau benar begitu, maka tidak sia-sia Mama menyewa perias terbaik se-Cavendra.”

Lalu, tiba-tiba ia meraih wajah Vanya dengan kasar. Tatapannya menelusuri wajah anak tiri yang dibencinya, lalu bibirnya melengkung lebih lebar seiring dia berbisik, “Karena jika Kevin Wicaksana benar-benar memilihmu… maka aku akan tersenyum paling lebar saat melihat hidupmu berubah jadi neraka.”

Vanya menunduk, tidak membalas sepatah kata pun. Dan tak lama, Lesmana pun muncul dari balik pintu.

“Waktunya berangkat.”

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil keluarga Dirgantara akhirnya berhenti di depan hotel bintang lima. Lampu kristal di lobi berkilau seperti ribuan mata yang menatap. Para tamu turun dari mobil-mobil mewah, gaun dan jas berkelas berkilauan di bawah cahaya.

Begitu memasuki ruang acara pesta, Vanya yang berjalan di belakang Lesmana dan Febiola sedikit terpukau. Begitu banyak orang membungkuk hormat saat melihat ayah dan ibu tirinya, menambah aura kebangsawanan keduanya.

Di saat seperti ini, barulah Vanya ingat bahwa keluarganya adalah satu dari lima keluarga paling terhormat di Cavendra.

Saat Vanya melamun, tiba-tiba dia melihat seorang pria berperut tambun dengan setelan jas abu-abu mewah segera menghampiri. Senyumnya lebar, wajahnya mengilat karena keringat meski ruangan ber-AC.

“Tuan Lesmana!” serunya dengan nada penuh hormat, lalu mengulurkan tangan.

Lesmana membalas dengan tenang, menepuk bahu pria itu sebelum menjabat tangannya erat. “Tuan Wiratama,” ujarnya.

Vanya menunduk sopan, cara menyapa khas kalangan atas yang ibu tirinya ajarkan, lalu menatap pria tersebut. Ia mengenalinya. 

Wiratama Kusnadi, pemimpin keluarga Kusnadi yang dalam beberapa tahun terakhir mendadak melejit, disebut-sebut sebagai keluarga yang tengah naik daun di Cavendra. 

Dari bisikan para pelayan dulu, Vanya ingat bahwa keluarga Wiratama berhasil mendapatkan kontrak besar di bidang logistik setelah menjalin kerja sama erat dengan Keluarga Dirgantara.

“Senang melihatmu hadir di pesta ini,” kata Wiratama sambil terkekeh kecil, perutnya berguncang. Lalu, mata bulatnya tertuju pada sosok gadis berkulit putih sedikit pucat yang tampak mempesona di belakang Febiola. “Dan siapa nona cantik ini? Aku belum pernah melihat gadis secantik ini sebelumnya!” ujar Wiratama dengan mata menyipit penuh minat.

Lesmana tersenyum tipis, tidak terguncang. “Perkenalkan, ini putri bungsuku, Vanya.”

“Putri bungsu?” Wiratama tampak terkejut, tapi buru-buru menutupinya dengan tawa ramah. “Sungguh menyenangkan berkenalan denganmu, Nona Vanya.”

Febiola menarik lengan Vanya ke depan. “Perkenalkan dirimu,” bisiknya datar, seolah memberi perintah.

Vanya meneguk ludah, lalu  memaksakan sebuah senyuman palsu. “Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Wiratama.”

Pria tambun itu segera meraih tangan Vanya, mengangkatnya, lalu menempelkan bibir ke punggung tangannya. Senyumnya melebar, namun sorot matanya berubah. Tatapan penuh nafsu merayap dari wajah hingga ke tubuh Vanya, tanpa malu-malu.

Hati Vanya bergetar tidak nyaman. Jemarinya kaku di genggaman pria itu, namun ia tidak berani menarik diri.

Di saat ini, suara Lesmana kembali terdengar. “Kabarnya keluarga Anda sedang mengincar proyek baru dengan K Group, apa itu benar?” 

Ditanya seperti itu, Wiratama langsung melepaskan tangan Vanya. “Ah, mengenai itu—”

Belum sempat Wiratama selesai bicara, Lesmana beralih menatap Febiola. “Aku berbincang dulu dengan Tuan Wiratama. Kalian pergi nikmati pesta.” Lalu, tanpa menunggu balasan, dia pergi bersama dengan Wiratama ke sisi ruang pesta yang lain.

Di tempatnya, Vanya mematung. Apa … ayahnya baru saja menyelamatkannya?

Namun, tiba-tiba terdengar Febiola berkata, “Bahkan sebelum pesta dimulai, kau sudah menarik perhatian seorang pria. Memang benar kau mewarisi bakat dari ibumu, bakat seorang pelacur.”

Kata-kata itu menusuk jantung Vanya. Untuk sesaat, api amarah menyala dalam dadanya. Ia bisa menerima cacian apa pun yang ditujukan padanya, tapi tidak ketika ibunya—satu-satunya orang yang pernah memberinya kasih—dilecehkan. 

Bibirnya bergetar, matanya menajam, nyaris membuka suara untuk membalas.

Namun sebelum sepatah kata pun terucap, tiba-tiba keributan terdengar dari arah pintu utama ballroom.

“Di sana!”

“Dia tiba!”

Orang-orang bergegas menoleh, bisik-bisik bergemuruh seperti gelombang. Musik yang semula mengalun lembut seakan tenggelam di balik sorak kagum dan rasa takut bercampur jadi satu.

Vanya mendongak, jantungnya berdetak kencang. Seperti yang lain, pandangannya tertuju pada pria yang baru saja memasuki ruangan. 

Tubuh tegap pria itu dibalut tuksedo hitam yang jatuh pas di bahu bidangnya, memberi kesan gagah sekaligus berkelas. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, hidung lurus, dan alis rapi yang menajamkan sorot mata misteriusnya yang berwarna abu-abu gelap. 

Dingin, namun memikat, tatapan itu memancarkan wibawa alami yang membuat ruangan sontak hening. Tanpa perlu banyak gerakan, kehadirannya saja sudah cukup untuk menundukkan perhatian semua orang.

“Astaga, tidak pernah bisa kupercaya pria kejam itu memiliki paras yang begitu rupawan,” ujar Febiola yang berdiri di sebelah Vanya, membuat gadis itu menautkan alis.

Kebingungan Vanya tertangkap oleh Febiola, yang kemudian tersenyum lebar penuh makna. “Bagaimana? Bukankah calon suamimu tampan, Vanya? Apa kau sudah langsung jatuh cinta?”

Seketika, Vanya mematung. Dia langsung melemparkan pandangan pada pria itu lagi, dan kali ini … pria itu juga memandangnya.

Dia … Kevin Wicaksana!?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 74. Tidak Ada Hubungan Lagi

    Setelah acara selesai, tamu dari keluarga dekat dan orang-orang kepercayaan Keluarga Wicaksana sudah berangsur pulang. Di sisi lain, Keluarga Dirgantara perlahan melangkah mendekat ke arah Vanya yang kini berdiri agak jauh dari Kevin. Pria itu masih tampak berbincang ringan dengan beberapa kerabatnya. Orang pertama yang mendekatinya adalah Febiola, ibu tiri, diikuti oleh dua putrinya di belakangnya.Vanya sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan padanya dan juga kedua kakak tirinya yang hadir, Vira dan Dira,“Terima kasih sudah datang, Ibu, Kakak.” Vanya berkata dengan suara lembutnya.Seperti biasanya, Febiola tentu saja menunjukkan sisi malaikatnya di hadapan keluarga Kevin yang lain, dia tersenyum indah dan memberikan ucapan selamat padanya, lalu setelah itu memeluknya sambil berbisik pelan di telinga Vanya, “Dengar Vanya, kau pikir hidupmu akan aman di bawah pengaruh keluarga Wicaksana? Lihat saja nanti.”Vanya tidak lagi terkejut mendengarkan kalimat ancaman itu, ta

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 73. Acara Pernikahan

    Setelah Kevin dan Vanya tiba di depan altar, Seorang pembawa acara dengan suara lembut memecah keheningan. “Upacara penyatuan kedua mempelai akan segera dimulai.” Lampu kristal yang baru saja menyala terang saat keduanya tiba di depan altar, sekarang kembali meredup perlahan, berganti dengan cahaya hangat lilin-lilin aromatik yang menyala di sekeliling altar kecil di tengah aula. Kemudian, musik lembut perlahan berhenti ketika seorang tetua adat Averland melangkah maju. Suaranya berat namun tenang, mengisi seluruh ruangan yang kini hening. “Dalam adat Averland, sebelum dua jiwa disatukan oleh cahaya, mereka harus terlebih dahulu menghormati keluarga sebagai asal mereka datang ke dunia dan membesarkan mereka. Karena dari sanalah segala restu bermula.” Tetua itu memberi isyarat, dan dua keluarga besar dipersilakan naik ke atas. Dari pihak Wicaksana, Johnson dan Dellia melangkah anggun mendekati altar. Sementara dari pihak Dirgantara, Lesmana dan Febiola berdiri berseberangan. Suasa

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 72. Tidak Sesuai Harapan

    Di antara decak kagum tamu undangan, Vanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum cepat. Tatapan-tatapan itu menusuk, sebagian memuja, sebagian heran, sebagian lagi ... tidak percaya. Akan tetapi, yang membuatnya paling gugup adalah suara kecil di kepalanya yang terus bertanya, “Apakah ini sungguh aku? Apakah ini nyata?”Musik lembut mulai mengalun. Kamera berputar, para tamu berdiri. Namun di sudut ruangan, keluarga Dirgantara masih terpaku, wajah-wajah mereka campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya tentu saja.Vira, yang sedari tadi selalu berkata penuh ejekan dan merendahkan sekarang malah menahan napas, menggigit bibir bawahnya. “Dia … ternyata sangat tampan,” gumamnya, hampir seperti mengutuk.Sama halnya yang dilakukan Dira, gadis itu tampak tak berkedip melihat Kevin dan Vanya. “Apa itu benar-benar Kevin? Lalu di sebelahnya itu si anak haram?”“Kenapa dia … jadi sangat berbeda?” Dira mendesis.Keduanya yang berekspektasi tinggi untuk kehancuran pernikahan i

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 71. Itu Benar Mereka?!

    Beberapa waktu sebelumnya di Kediaman Dirgantara.“Kak Lira, kau yakin tidak ingin pergi ke acara itu?” tanya Vira memastikan sekali lagi pada saudaranya itu.Lira melirik sebentar dari ponselnya, lalu menggeleng. “Tidak. Aku ada urusan malam ini. Pastikan saja kau merekam semuanya, terutama wajah si monster itu. Setelahnya, kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?”Vira mengangguk. Ia memang terbiasa memegang kamera dan tampil di depan publik. Sebagai influencer di bidang finansial, reputasinya di dunia maya cukup tinggi. Apalagi didukung oleh latar belakang pendidikan dan keluarganya. “Ya, aku tahu. Jujur saja, aku juga penasaran sama tampangnya itu. Sejak muncul di dunia bisnis, tidak ada satu pun foto Kevin Wicaksana yang bocor ke publik. sok misterius sekali, kan?”Lira tertawa pendek, dingin. “Itu karena wajahnya pasti memalukan. Jelek, gendut, pendek, dan menyeramkan. Makanya calon istrinya kabur dan mati sebelum sempat menikah.”Vira ikut terkekeh kecil. “Benar juga, kalau tid

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 70. Pujian Untuk Vanya

    “Vanya.” Suara itu terdengar begitu lembut di telinganya, namun terasa jauh … seolah datang dari mimpi.“Vanya, bangunlah. Kita akan melangsungkan acara adat pernikahan malam ini.” Nada itu kembali terdengar. Terasa hangat, sabar, mengetuk perlahan gendang telinganya. Sesaat kemudian, sesuatu yang lembut menyentuh keningnya. Sentuhan itu membuat kesadarannya perlahan kembali.Mata Vanya terbuka lebar. Wajah Kevin begitu dekat, hanya berjarak sejengkal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan untuk sepersekian detik Vanya baru menyadari sepertinya sentuhan lembut dan dingin itu adalah kecupan singkat yang diberikan Kevin untuknya.“Astaga! Aku ketiduran!” serunya terbata, suara seraknya memecah keheningan.Baru saat itu ia sadar, posisinya sudah berubah. Sebelumnya Kevin bersandar di pangkuannya, tapi kini dia malah berada dalam pelukan Kevin dan lengannya sendiri justru melingkar di tubuh pria itu, seolah enggan dilepaskan.Ini … benar-benar gila! Vanya menjadi panik, segera melarikan ta

  • Nona, Tuan Hanya Ingin Menikah Denganmu!   Bab 69. Aku Tidur Dulu

    Vanya tertegun mendengar ucapan suaminya barusan.“Kenapa diam? Apa kau dengar aku bilang apa?” tanya Kevin lagi.Vanya mengangguk. “Tapi ….” “Tidak ada yang salah kalau untuk membela diri.” Kevin lalu mengelus kepala Vanya dengan lembut menciptakan rasa tenang sekaligus tegang di tubuh Vanya.“Aku … bahkan tidak bisa membantah ucapan mereka, kalau sampai itu terjadi ….” Vanya menggantung kalimatnya, dia menarik napas dalam dan pandangannya ke arah depan tampak kosong.“Kau akan mendapatkan hukuman?” tebak Kevin. Diam. Hanya saja diamnya Vanya itu adalah sebuah jawaban.“Mulai saat ini, kalau ada yang kau tidak suka katakan saja, kau perlu mengeluarkan pendapatmu sendiri, jangan hanya ikut ucapan orang lain.”“Tapi aku takut kalau nantinya akan disebut menantang dan keras kepala.”Mendengar pernyataan Vanya barusan Kevin tersenyum.“Kenapa harus takut? Tidak ada yang perlu ditakuti di dunia, kecuali Penciptamu. Bedakan menantang dan membela diri, itu dua hal yang berbeda. Aku tahu i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status