“Masak begini aja gak becus? Dasar gak punya otak!”
Byurr!
Semangkuk sup panas itu melayang ke arah Vanya, membuat kepala wanita itu basah dengan cairah mendidih. Perih terbakar rasanya, tapi Vanya tak bergeming. Rasa sakit seperti ini sudah terlalu sering ia rasakan untuk bisa membuatnya kaget.
“Rasa supnya asin banget, tahu nggak? Kamu sengaja ya biar aku cepet darah tinggi dan mati? Kamu mau celakain aku, ‘kan?!” teriak Vira, kakak tiri Vanya, dengan emosi menggebu.
Vanya segera membungkuk, meski bagian belakang tubuhnya masih terasa panas dan basah.
“Maaf,” bisiknya lirih. “Aku akan buat yang baru.”
“Tidak perlu! Aku sudah tidak nafsu lagi! Lebih baik kamu pergi saja! Muak aku melihat wajahmu!”
Diperintahkan demikian, Vanya lekas membersihkan lantai dan meraih mangkuk sebelum kemudian berjalan pergi meninggalkan area ruang makan menuju dapur.
Di saat Vanya melewati sejumlah pelayan, beberapa komentar bisa didengarnya.
“Lagi-lagi anak haram itu yang berulah.”
“Heran, kenapa Tuan masih bersedia mengurusnya ya?”
“Betul, kenapa tidak dibuang saja kalau hanya tahu jadi beban?”
Mendengar itu, Vanya hanya diam, tidak berniat membalas. Hinaan-hinaan itu sudah seperti makanan sehari-hari.
Lagi pula, mereka benar. Dirinya, Vanya Dirgantara, adalah putri haram keluarga besar Dirgantara yang lahir dari hubungan terlarang antara Lesmana Dirgantara dan seorang pelayan.
Awalnya, Vanya hidup di desa bersama sang ibu yang diusir dari kediaman setelah diketahui pernah berhubungan dengan Lesmana. Namun, ibu Vanya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun, yang berakhir membuat Vanya dibawa kembali oleh sang ayah ke mansion keluarga ini. Bukan untuk diurus, tapi untuk diperbudak dan diamankan dari mata publik agar tidak mencoreng reputasi keluarga Dirgantara.
Sebagai anak haram keluarga, kedudukan Vanya adalah yang paling rendah di kediaman, bahkan pelayan saja lebih dihormati dibandingkan dirinya. Dan itu semua berkat ibu tiri sekaligus istri sah sang ayah, Febiola, yang begitu membencinya.
Demikian, kejadian seperti tadi adalah hal biasa. Lagi pula, Vanya dianggap sebagai dalang kehancuran keharmonisan keluarga tersebut.
Dan sang ayah … Lesmana, hanya bisa diam karena rasa bersalah kepada istrinya.
Saat dirinya baru saja selesai mencuci piring, tiba-tiba seseorang memanggil, “Nona.”
Vanya menoleh, lalu tersenyum saat melihat siapa yang memanggilnya. “Elena.”
Elena adalah salah satu pelayan di kediaman yang sempat berteman baik dengan ibu Vanya saat dia masih bekerja. Walau masih menjaga jarak karena khawatir menyinggung Febiola dan ketiga putrinya, tapi Elena adalah satu-satunya yang bersikap ramah dan sopan kepada Vanya.
“Tuan Besar memanggilmu ke ruang keluarga.”
“Ayah?” Vanya bertanya lagi, tampak bingung.
Selama empat belas tahun tinggal di kediaman ini, tidak pernah sebelumnya sang ayah meminta kehadirannya seperti ini.
Apa yang terjadi?
Samar, perasaan gugup melingkupi Vanya. Mungkinkah karena masalah dengan Vira tadi?
Walau merasa tidak tenang, tapi Vanya akhirnya melangkah cepat menuju ruang keluarga.
Begitu masuk, Vanya melihat semua anggota keluarga sudah berkumpul. Febiola, sang ibu tiri, duduk dengan anggun di sofa utama. Sementara itu, di seberangnya terduduk tiga wanita cantik yang samar memiliki sedikit gambaran wajahnya. Itu adalah Vira, Lira, dan Dira, tiga kakak tiri Vanya.
Dan di kursi tunggal yang selalu menjadi simbol kekuasaan, duduklah Lesmana Dirgantara, sosok berjas mewah dengan ekspresi dingin yang mengintimidasi, ayah Vanya.
Melihat Vanya datang, Vira langsung mendengus keras. “Kenapa anak haram itu ada di sini?” sindirnya dengan nada tajam.
Lira, putri sulung Lesmana yang bermuka dua persis sang ibu, berkata dengan nada memperingati, “Vira, jangan kasar. Ayah yang sudah mengundangnya.”
Dira, putri kedua Lesmana yang paling emosian dan tidak sabaran, memutar bola mata. Dia langsung menatap Vanya. “Apa kakimu mendadak cacat jadi tidak bisa bergerak? Mau sampai kapan berdiri seperti orang bodoh di situ? Cepat masuk!” titahnya, membuat Vanya langsung berjalan cepat ke pojokan, berdiri dalam diam selagi yang lain terduduk di sofa.
“Jadi, kenapa Ayah memanggil kami? Tolong agak cepat, aku masih ada janji setelah ini,” tanya Dira, ketus.
Lesmana menyesap tehnya perlahan sebelum membuka laci meja. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah undangan berwarna hitam dengan aksen emas di tepinya. Dari tampilannya saja sudah jelas, itu undangan yang sangat eksklusif.
"Ini undangan khusus dari The K Group.” Lesmana melanjutkan, “Mereka akan mengadakan pesta eksklusif yang wajib dihadiri putri-putri tiap keluarga kalangan atas.”
Lira menautkan alis. “Mendadak? Kenapa?”
Lesmana menatap putrinya lurus “Mereka ingin mencari calon istri untuk pimpinan mereka, Kevin Wicaksana.”
"APA?!" seruan kaget serempak datang dari Febiola, Vira, Dira, dan Lira. Wajah mereka berubah seketika. Antara terkejut dan takut.
Di sisi lain, Vanya hanya terdiam, tenang. Dia paham pikiran ibu dan ketiga saudara tirinya.
Kevin Wicaksana, pria itu adalah pemimpin perusahaan multinasional terbesar di Asia, The K Group. Seorang pria yang dibicarakan orang dengan beragam sebutan mengerikan: berdarah dingin, kejam, iblis berwajah manusia. Konon, ia bisa menghabisi nyawa seseorang semudah membunuh seekor semut, terlepas orang tersebut pria maupun wanita.
Demikian, mendatangi pesta tersebut sama saja dengan membahayakan diri sendiri kalau-kalau terpilih oleh Kevin sebagai calon istri!
Namun, Vanya tidak merasa takut. Lagi pula, acara penting seperti itu, tidak mungkin dirinya dibiarkan ikut, terutama karena Lesmana selalu menyembunyikan keberadaannya dari publik.
Di saat ini, Febiola langsung berkata dengan cepat, “Sayang, kamu tidak bermaksud untuk mengirim putri kita ke acara itu, kan?”
“Semua anakku perempuan.” Suara Lesmana tenang, tapi dingin. “Bagaimana mungkin keluarga Dirgantara tidak mengirim satu pun? Apa kita mau kehilangan muka, atau bahkan menyinggung Keluarga Wicaksana?”
Mendengar hal itu, pandangan Vanya jatuh ke lantai. Memang khas seorang Lesmana Dirgantara. Demi reputasi dan koneksi, pria itu akan mengorbankan apa pun, bahkan keselamatan putrinya sendiri.
Di saat seperti ini, Vanya bersyukur dirinya adalah putri yang tidak dianggap.
“Tapi—”
Belum sempat Febiola mengutarakan bantahannya, tiba-tiba Lesmana menatap ke satu arah.
“Jadi, Vanya.” Suaranya terdengar mantap. “Kau yang akan pergi mewakili Keluarga Dirgantara.”
Seketika mata Vanya melebar.
Ayahnya itu … bilang apa?
Sekujur tubuh Vanya bergetar, wajahnya langsung menunduk, terlihat jelas ada rasa takut di sana. Dia benar-benar mengutuk tindakannya sendiri yang terlalu bodoh melakukan tindakan sekonyol itu.“Lihat aku,” ucap Kevin dengan nada datar, “jangan tundukan kepalamu itu.”Mendengar hal itu dengan perasaan ragu dan takut dia mendongakkan wajahnya. Memberanikan diri menatap mata Kevin.“Apa kamu baru saja melamarku, Nona Dirgantara?” ulang Kevin dengan pertanyaan sebelumnya.“A-aku … aku tidak bermaksud b-bertindak lancang, Tuan, aku hanya … hanya ….” Lidah Vanya mendadak kelu, jantungnya berdegup kencang tak karuan, dia benar-benar takut, terlihat jelas gemetar saat jari-jarinya saling bertautan.Apalagi saat dia mengingat tindakan Kevin yang mengusir Winda dan mengatakan pada orang-orangnya untuk mengusir wanita itu dan keluarganya dari kota Cavendra ini. Hal ini makin membuatnya ketakutan, bayangan siksaan dari keluarganya jelas akan sangat lebih kejam lagi untuk ke depannya. Lalu detik
Vanya benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini, apalagi semua perlakuan hangat dan juga pembelaan yang dilakukan Kevin semuanya adalah hal asing untuknya. Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya dibela dan diperhatikan oleh orang lain setelah masuk ke kediaman Dirgantara.Kemudian, Vanya melihat ke arah Febiola yang mana saat ini wajahnya terlihat kesal, tatapannya penuh amarah memandang punggung Kevin yang kian menjauh.“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan,” ucap Lesmana menenangkan Febiola dan merangkul istrinya itu.Febiola lalu menarik napas panjang kemudian tatapannya beralih ke arah Vanya. “Aku tidak akan menerima penghinaan seperti itu kalau anak harammu ini tidak membuat masalah!”Rasanya baru saja Vanya mendapatkan perlindungan, tetapi setelah pemilik kekuatan itu pergi dia kembali merasa ditekan oleh tatapan tajam dan sinis dari Febiola. Sungguh ironis memang.“Kita temui Keluarga Baskara saja, kebetulan kita butuh dukungannya juga.” Lesmana kemudian
Mendengar ucapan Kevin, wanita itu sangat terkejut. “A-apa? A-aku tidak mungkin mendorongnya!”Menyadari kalau hal ini akan jauh lebih rumit, Amira berusaha untuk tenang dan menjelaskan. “Tuan Kevin, Nona Winda Bastian sudah mengatakan hal yang sebenarnya, jelas-jelas semua orang dia melihat kalau Nona Dirgantara yang berniat mendorong pelayan untuk mencelakai saya jadi—”“Maksudmu, kau ingin mengatakan kalau mataku bermasalah begitu?” potong Kevin dengan suara yang cukup dingin.Tatapan yang cukup mematikan dari Kevin dan juga pernyataannya barusan membuat Amira mematung dan suasana di ruangan itu berubah menjadi menegangkan.Kevin lalu mendengus, kemudian menatap ke arah Vanya, hanya saja tatapan itu berubah menjadi sedikit lebih lembut. “Katakan, apa kamu mendorong pelayan itu?”Vanya tersentak saat ditanya Kevin, lalu setelah terdiam sesaat karena keterkejutan itu, dia menggeleng pelan dan berkata dengan suara lemah, “Tidak ….”Saat Vanya mengatakan hal demikian, Winda, wanita tad
Ketika tatapan Kevin mengunci padanya, dunia seolah berhenti berputar bagi Vanya. Sejak awal dia sudah bertekad untuk tidak terlibat masalah, tapi nyatanya saat ini dia malah menyeret Kevin masuk ke dalam masalahnya!Kevin menggerakkan tubuhnya perlahan, bahunya sedikit condong ke depan, lalu satu tangannya mulai terangkat ke arah Vanya, membuat gadis itu mengira pria tersebut akan memukulnya, sama persis seperti ibu dan saudara tirinya.Refleks, Vanya menutup mata, tapi—Kenapa tidak kunjung ada pukulan yang Vanya terima?“Kenapa kamu menutup mata?”Pertanyaan itu membuat Vanya langsung membuka matanya, dan seketika, dia terperangah.Ternyata, Kevin menyodorkan tangan ke arahnya!Apa pria yang dirumorkan kejam dan berdarah dingin ini … sedang membantunya untuk berdiri?!“Tidak mau berdiri?” Suara berat Kevin terdengar, alis pria itu tertaut, menampakkan bingung bercampur sedikit rasa tidak sabar.Walau ragu, cepat Vanya menerima uluran tangan itu. Jarinya sedikit gemetar saat kehang
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Kevin Wicaksana!”Gejolak meriah dari para tamu undangan langsung menyadarkan Vanya dari lamunannya. Dia gegas mengalihkan wajah, memutus pandangannya yang sepersekian detik bertabrakan dengan manik kelabu milik Kevin Wicaksana.Vanya meletakkan tangan di dadanya. Jantungnya berdebar, kencang. Entah karena efek emosi yang sempat ada akibat cacian Febiola terhadap sang ibu … atau karena kehadiran sosok Kevin Wicaksana.Menarik napas dalam untuk menenangkan diri, Vanya kembali mengalihkan pandangan ke arah pria tersebut. Tampak sosok Kevin sedang berbincang dengan beberapa kepala keluarga besar yang hadir.Setiap kepala keluarga itu membawa putri mereka, yang terlihat malu-malu saat diperkenalkan. Mata mereka berbinar kala menatap Kevin, semuanya seolah terhipnotis pada sosok tampan itu.“Kau berbaurlah dengan putri dari keluarga lain, tunjukkan dirimu layak diperhitungkan! Ingat jangan membuat masalah!” perintah Febiola padanya.“Tuan Muda Wicaksana in
Selagi Vanya masih terkejut dengan ucapan sang ayah, tiba-tiba dia mendengar sebuah jeritan kencang.“Ayah!” Itu Vira. Wajahnya merah padam, penuh amarah. “Apa Ayah serius?! Kalau sampai orang tahu tentang keberadaan anak haram ini, reputasi kita akan hancur! Bagaimana aku bisa menghadapi teman-temanku nanti?!”Menepis cara kasar penyampaian saudarinya, Dira—sang putri kedua—menimpali dengan tenang, “Vira benar, Ayah. Kalau dia yang pergi, bukankah itu sama saja dengan menghancurkan reputasi keluarga ini?”Selagi kedua adiknya bereaksi heboh, Lira—sang putri sulung—tersenyum sinis. “Lalu, kalau bukan dia, apa kalian yang mau pergi ke pesta itu? Kalau kalian mau, silakan saja.”Detik itu, dua saudari itu tersentak. Pun mereka malu kalau diketahui memiliki adik tiri yang lahir di luar nikah, tapi tetap saja mereka tidak mau mengorbankan diri untuk menjadi kandidat calon istri pria kejam seperti Kevin Wicaksana!Akhirnya, mereka pun terdiam.Di saat ini, Febiola angkat bicara, nadanya