Share

4

Abiyya berjalan cepat ke arah lift. Dengan sesekali merapihkan rambutnya yang sudah berantakan. Hari ini Abiyya bangun kesiangan yang membuatnya terlambat berangkat ke kantor. Pintu lift terbuka dengan menampilkan sosok tinggi yang sedang menatapnya tajam juga tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Di belakangnya juga ada orang yang sempat Abiyya temui beberapa waktu yang lalu.

Abiyya menunduk, tak berani menatap Jeffin karena untuk pertama kalinya bertemu dengan lelaki itu di kantor. Apalagi dengan kondisinya yang baru saja datang dan dirinya sudah telat selama satu jam. “Saya tunggu kamu di ruangan saya nanti. Gaji kamu bulan ini saya potong,” katanya yang membuat mata Abiyya melotot. Ketika hendak protes, Jeffin sudah terlebih dahulu pergi dengan diikuti Ajen yang sempat sedikit meledek Abiyya.

“Bisa-bisanya lo telat heh?” tanya Shida heran ketika Abiyya selesai menghadap Mbak Nami yang tentu saja tak terlepas dari teguran. Apalagi Abiyya masih terbilang karyawan baru di kantor ini.

“Entahlah, terlalu nyenyak tidur kayanya. Tadi juga sempat ketemu Pak Jeffin dan di suruh ke ruangannya nanti.” Abiyya menghembuskan napasnya lelah. Merasa sial sekali pada hari ini.

“Serius? Lo ketemu Pak Jeffin. Siap-siap ajalah lo kena teguran sama dia. Syukur-syukur lo nggak sampai di pecat.” Tanggapan Shida membuat Abiyya sangat menyesali perbuatannya hari ini.

“Jangan nakut-nakutin gitu dong.”

“Gue nggak nakut-nakutin ya, cuma kasih tahu saja sama lo. Karena biasanya Pak Jeffin nggak pernah ikut campur masalah beginian.”

“Shida, gimana dong,” rengek Abiyya sambil memegangi lengan Shida dan menggoyangkannya pelan.

Shida mengangkat bahunya. “Ya coba aja deh, gimana nanti kalau lo udah ketemu sama Pak Jeffin.” Abiyya hanya mengangguk pasrah.

“Abiyya, ada pesan di suruh ke ruangannya Pak Jeffin sekarang ya,” ucap Mbak Nami menghampiri Abiyya ketika akan memasuki jam istirahat.

“Oh, iya Mbak Nami, makasih ya.”

“Gih pergi,” usir Shida tetapi wajahnya meledek Abiyya.

“Mau nemenin nggak?” Shida menggelengkan kepalanya. Abiyya segera pergi ke ruangan Jeffin yang ada di lantai paling atas.

“Eh, Abiyya nanti mau makan apa, biar gue pesanin deh. Takut lo nggak keburu nanti.”

“Apa aja deh Shida, yang penting bisa di makan.”

Abiyya berjalan di lorong menuju ruangan Jeffin yang tidak terlalu ramai. Sesampainya di depan ruangan Jeffin, ada Ajen yang sedang duduk terfokus pada layar komputer. Abiyya menghembuskan napas lalu menghampiri Ajen.

“Permisi.” Tanpa menjawab sapaan Abiyya, Ajen langsung mempersilahkan Abiyya untuk segera masuk karena Jeffin sudah menunggunya.

“Mas Ajen,” panggil Abiyya yang kali ini membuat Ajen mengalihkan pandangannya dari layar dan kini menatap Abiyya.

“Masuk saja, lo udah ditungguin soalnya.”

“Bukan itu, eee ... saya minta maaf ya soal yang waktu itu, saya merasa nggak enak banget belum minta maaf sama Mas Ajen.”

“Iya udah gue maafin, masuk sana.”

“Makasih Mas Ajen sebelumnya.”

Abiyya membuka pelan pintu ruangan Jeffin setelah tadi sudah mengetuk pintu dan mendapat izin masuk dari pemiliknya. Bisa Abiyya lihat Jeffin masih sibuk dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya. Abiyya berdiri diam di hadapan meja Jeffin. Memilih untuk menunggu Jeffin yang berbicara terlebih dahulu.

“Duduk!” Perintah Jeffin setelah beberapa saat hanya ada keheningan yang tercipta.

Kembali tidak ada pembicaraan. Jeffin yang kembali fokus lagi membaca dokumen yang ada di tangannya. Abiyya yang terlalu bosan menunggu Jeffin selesai, mengayunkan kedua kakinya.

Ajen masuk ke ruangan Jeffin dengan membawa makanan yang sebelumnya sudah Jeffin pesan padanya. Setelah meletakkan makanan di meja yang terletak di depan meja kerja Jeffin, Ajen langsung pergi. Abiyya sempat mengucapkan terima kasih karena Jeffin yang tak mengucapkan apapun pada sekretarisnya itu.

Jeffin merapikan dokumen yang ada di mejanya menjadi satu. “Ayo makan,” ajak Jeffin yang kini sudah berdiri.

“Hah?”

“Makan. Temani saya makan.”

“Tapi, kenapa harus di temani sih. Kan bisa makan sendiri atau ajak Mas Ajen?” tanya Abiyya bingung. Matanya bertemu dengan mata Jeffin yang terlihat seperti tidak menerima penolakan apapun dari Abiyya. “Ya udah, oke. Tapi jangan natap kayak gitu.”

Ternyata Abiyya tidak hanya di suruh menemani Jeffin makan, tetapi juga di suruh ikut makan. Katanya makanan sebanyak itu tidak mungkin Jeffin habiskan sendirian. Abiyya sempat menolak dengan alasan ia sudah menitip makanan pada Shida. Tapi lagi-lagi Abiyya hanya menurut saja ketika Jeffin menyuruhnya makan karena tatapan tajam matanya yang tidak Abiyya suka. Entah kenapa Abiyya tidak suka ketika Jeffin memberikan tatapan seperti itu.

“Eee... Jeffin, soal yang tadi pagi nggak beneran kan?” tanya Abiyya saat keduanya masih menikmati makanan di atas meja.

“Soal apa?”

“Yang tadi pagi kata kamu gaji bulan ini di potong.”

“Oh.”

“Cuma oh doang? Jadi nggak beneran kan?”

“Gaji kamu tetap di potong.”

“Loh, jangan gitu dong, ya ya ya ya.”

“Waktu adalah uang. Kamu tahu itu dan kamu terlambat berarti sudah siap dengan resiko yang terjadi.”

“Huft.”

Abiyya membersihkan sampah-sampah makanan yang tak terasa sudah habis. “Kalau gitu, aku balik kerja lagi. Makasih untuk makan siangnya. Permisi.” Abiyya keluar dari ruangan Jeffin tanpa menunggu balasan dari lelaki itu. Jam makan siang sudah habis tetapi Abiyya lebih memilih untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke ruangan dimana dirinya bekerja.

Ketika ingin mencuci tangan di westafel, Abiyya di hadang oleh dua orang perempuan yang waktu itu ia lihat di kantin yang sedang membahas Jeffin. Ah, padahal waktu itu Abiyya ingin bertanya pada Jeffin tentang wanita ini tetapi ia malah lupa. “Permisi,” ucap Abiyya sesopan mungkin, takut jika nanti di anggap tidak punya sopan santun ketika bertemu dengan orang yang lebih dulu bekerja di tempat ini.

“Lo siapanya Pak Jeffin?” tanya wanita yang Abiyya kira punya hubungan dengan Jeffin beberapa waktu lalu, kedua tangan terlipat di depan dadanya.

“Maaf, maksudnya apa ya Mbak?” tanya Abiyya bingung.

“Tadi gue liat lo keluar dari ruangan Pak Jeffin sesudah jam istirahat selesai dan lo masuk sebelum jam istirahat,” jelas wanita yang satunya lagi. Yang Abiyya ketahui sebelumnya dari Shida bahwa kedua wanita itu adalan Vian dan Lili.

“Lalu?” tanya Abiyya pura-pura tidak mengerti maksud dari kedua orang ini. Ini yang Abiyya takutkan sebelumnya. Mana mungkin orang setampan Jeffin tidak ada yang mengagumi atau menyukainya.

“Ya lo siapanya Pak Jeffin?” tanya Vian mengulangi pertanyaan sebelumnya, namun kali ini memakai penekanan di setiap kata yang di ucapkannya.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Abiyya singkat dan berniat untuk melanjutkan mencuci tangannya. Namun, tak disangka Vian malah mendorong bahunya sampai Abiyya sedikit kehilangan keseimbangan tubuhnya. Untung saja tangan Abiyya berpegangan pada tembok, kalau tidak maka Abiyya bisa jatuh tersungkur. Merasa tidak mendapatkan jawaban yang pasti, Lili mengajak Vian untuk segera pergi karena ada seseorang yang ingin masuk ke toilet juga. Sementara itu Abiyya melihat ke arah kakinya yang tadi sepertinya sedikit terkilir.

🌾🌾🌾

Abiyya menahan rasa sakit di pergelangan kakinya yang baru saja ia rasakan. Abiyya rasa karena kejadian di toilet tadi. Baru terasa sekarang karena mungkin tadi Abiyya disibukkan dengan pekerjaannya.

Abiyya berjalan pelan ketika mendengar suara pintu terbuka. Menampilkan sosok Jeffin yang masih berpakaian lengkap dengan Ajen yang mengikutinya di belakang. Abiyya memilih pergi ke arah dapur karena tiba-tiba saja dirinya merasa haus. Dapat dilihat Ajen yang sudah duduk santai di sofa dan Abiyya tidak bisa melihat sosok Jeffin, yang sepertinya sudah masuk ke dalam kamar.

Jeffin keluar dengan celana jeans selutut dan kaos berwarna hitam. Rambutnya yang masih terlihat sedikit basah menandakan bahwa pria itu sudah membersihkan diri. “Mau di bahas sekarang?” tanya Jeffin ketika sudah duduk di hadapan Ajen.

“Nanti saja, tadi gue liat cewek lo jalan pincang. Lo samperin dia dulu aja.” Jeffin mengernyitkan dahinya tidak mengerti, padahal tadi siang Abiyya masih baik-baik saja.

“Gue samperin dulu.”

Jeffin membuka pintu kamar Abiyya tanpa permisi. Abiyya yang terlihat sedang memijat kakinya pelan merasa kaget karena pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba. “Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kaki lo kenapa? Tadi kata Ajen, lo jalannya pincang.”

“Ah, nggak papa kok. Mungkin karena capek aja.”

“Nggak bohong?” tanya Jeffin memastikan.

“Ng-nggak?”

“Benar?” sekali lagi Jeffin memastikan.

“Oke-oke, iya tadi jalannya pincang sedikit. Sedikit doang kok, nggak tahu kenapa tadi tiba-tiba kerasa sakit aja.”

“Panggil dokter aja ya?” Entah kenapa saat ini Jeffin merasa sedikit khawatir tentang Abiyya.

“Nggak usah deh, besok juga kayaknya udah nggak sakit lagi kok.”

“Yakin?”

“Iya. Sudah sana kasihan ada Mas Ajen yang udah nungguin kamu.”

“Kalau ada apa-apa, bilang sama saya.”

“Iya.” Abiyya merasakan hal yang berbeda ketika Jeffin bersikap lembut seperti tadi. Hatinya merasa senang karena mendapatkan perhatian dari Jeffin yang tidak pernah ia terima setelah kematian orang tua angkatnya.

Keesokan paginya, ternyata sakit di kakinya malah jadi lebih terasa. Abiyya mencoba berpegangan pada apa saja agar bisa keluar dari kamar. Semoga saja Abiyya masih sempat bertemu dengan Jeffin.

“Sebentar?” suara di dalam membuat Abiyya menghembuskan napas lega karena Jeffin belum berangkat bekerja. “Kenapa?” Abiyya mendongakkan kepalanya menatap Jeffin yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dapat dilihat dari tatapan Jeffin yang seolah menanyakan kenapa Abiyya masih memakai pakaian tidurnya.

“Mau minta tolong buat izin nggak masuk kerja bisa? Soalnya kakiku terasa makin nyeri padahal kemarin enggak.”

“Kenapa baru bilang sekarang, kan saya sudah bilang semalam ....”

“Ya karena baru kerasa sakitnya banget sekarang,” ucap Abiyya memotong kalimat Jeffin yang belum selesai. Tanpa pikir panjang, Jeffin langsung mengangkat tubuh Abiyya dan membawanya kembali ke dalam kamar yang ditempati Abiyya. Abiyya menahan napas dan mengerjapkan matanya beberapa kali sampai suara Jeffin yang menegurnya untuk bernapas kembali terdengar di telinga Abiyya.

Jantung Abiyya berdetak sangat kencang. Tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Dapat dilihat Jeffin dengan ponsel yang menempel di telinganya. Sepertinya sedang memanggil seorang dokter. Setelah itu terdengar menelepon Ajen untuk menunda meeting paginya hari ini.

“Jeffin.” Panggilan Abiyya menarik perhatian Jeffin terbukti dengan pria itu yang berjalan ke arah tempat tidurnya. “Kalau ada meeting mending kamu berangkat aja. Aku nggak apa-apa kok.”

“Nggak usah mikirin kerjaan saya, cukup diam saja sampai dokter datang Abiyya.”

“Maaf jadi ngerepotin.” Abiyya menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya.

“Ada yang mengganggu kamu?”

Abiyya mendongak menatap Jeffin. “Nggak ada.”

“Yakin? Tapi saya nggak percaya. Kalau kamu nggak mau jujur, saya bisa cari tahu sendiri.”

“Jangan!”

“Jadi benar ada yang mengganggu kamu?”

“Nggak bisa dibilang mengganggu juga sih, soalnya kemarin ada yang tanya ada hubungan apa antara aku sama kamu, maaf.”

“Siapa?”

“Hah?”

“Siapa yang tanya soal itu ke kamu?”

“Emang mau di apain?”

“Mau saya kasih pengertian ke mereka.”

“Pengertian apa coba. Nggak usah macam-macam, mending kamu berangkat aja deh.” Tanpa menjawab perkataan Abiyya, Jeffin malah duduk di ranjang dekat kaki Abiyya.

Tak berapa lama dokter pun datang. Langsung saja dokter itu memeriksa kaki Abiyya. Menjelaskan pada Jeffin, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab dalam beberapa hari ke depan kondisi kaki Abiyya sudah bisa seperti biasa. Setelah memberikan obat pereda nyeri, dokter itu pun langsung pamit pergi.

🌾🌾🌾

Beberapa hari tidak masuk, membuat Abiyya tidak tahu apa yang terjadi. Pagi ini semua orang terlihat sangat aneh. Saat melihatnya mereka semua langsung tersenyum menyapa lalu menundukkan kepalanya. Sesampainya di meja kerja, Abiyya langsung mendapat kerumunan dari teman-temannya yang penasaran dengan gosip yang beredar.

“Lo beneran tunangannya Pak Jeffin?”

“Hah? Apaan deh.”

“Kemarin ada Bu Aera yang datang ke sini terus bilang kalau karyawan yang namanya Abiyya itu tunangan anaknya. Dan nama Abiyya di kantor ini, itu cuma lo doang ya,” jelas Putri yang menjawab pertanyaan Abiyya sekaligus menjelaskan mewakili teman-temannya yang lain.

“Ngaco deh lo semua.”

“Beneran Abiyya. Ini gosip udah menyebar luas di kantor ini ya, nggak ada satupun orang yang nggak tahu tentang ini,” sahut temannya yang lain.

“Ini gue baru tahu,” sahut Abiyya polos.

Semua orang yang mengerubunginya memutar bola mata mereka. Merasa gemas sendiri dengan respon Abiyya. “Ada apa ini? Kenapa berkerumun seperti itu?” suara Mbak Nami membuat semuanya membubarkan diri menuju meja kerja masing-masing.

“Abiyya, ikut saya.” Abiyya menatap ke arah Shida dan temannya yang lain seolah bertanya kenapa Mbak Nami memanggilnya. Mereka semua hanya mengangkat bahu secara kompak menandakan tidak tahu.

“Duduk!”

“Mbak Nami, kenapa saya di panggil ya? Saya ada salah apa ya Mbak?”

Mbak Nami hanya tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa Abiyya, saya cuma memanggil kamu supaya mereka semua tidak menanyakan lagi hal pribadi kamu.”

“Oh, kalau begitu terima kasih ya Mbak. Saya balik ke meja saya dulu,” pamit Abiyya. Dan sebelumnya Abiyya sempat bertukar senyum dengan Mbak Nami, barulah Abiyya keluar dari ruangan Mbak Nami.

Namun bukannya kembali ke tempat kerjanya, Abiyya malah menuju ke ruangan Jeffin. Meminta penjelasan akan yang ia lalui pagi ini. Setelah memastikan lelaki itu berada di dalam, kali ini tanpa permisi Abiyya langsung masuk begitu saja. Abiyya terdiam ketika mendapati Jeffin tidak hanya sendiri, tetapi ada Aera juga yang ada di sana. Abiyya merutuki dirinya di dalam hati.

“Maaf mengganggu, kalau begitu nanti saya kembali lagi saja.” Belum sempat Abiyya keluar, Aera sudah menyuruhnya terlebih dahulu untuk tetap berada di sana.

“Kenapa buru-buru keluar? Nggak kangen sama mama ya?” tanya Aera ketika Abiyya sudah duduk di sampingnya. Aera mengabaikan keberadaan Jeffin dan asyik bercerita dengan Abiyya.

Jeffin memperhatikan ibunya yang masih saja mengobrol dengan Abiyya. Sebelumnya Jeffin sudah menyuruh Ajen untuk memberitahukan pada Nami bahwa Abiyya izin sementara. Ibunya terlihat sangat bahagia ketika berbicara pada gadis yang ia kenalkan pada Aera sebagai kekasihnya. Jeffin jadi teringat pertama kali ia bertemu dengan Abiyya dengan pakaian wanita yang akan menikah. Lalu potongan-potongan kejadian dari awal mereka bertemu sampai pada akhirnya takdir seolah memaksa mereka untuk saling membantu.

Hubungan timbal balik di antara keduanya yang terlihat sangat menguntungkan tetapi jelas memiliki berbagai resiko. Jeffin yang memilih memberikan kesempatan Abiyya untuk memulai hidupnya yang baru dan memenuhi segala kebutuhan gadis itu. Dan Abiyya yang menggantungkan hidupnya pada Jeffin dengan cara berpura-pura untuk menjadi pasangan lelaki itu. Entah apa yang akan terjadi ketika semua kesepakatan di antara keduanya diketahui oleh orang lain terlebih orang tua Jeffin.

“Jadi mau kapan, main ke rumah lagi?”

“Kalau udah nggak sibuk, soalnya kan kemarin Abiyya sudah izin nggak masuk jadi pasti kerjaan Abiyya numpuk banget.”

“Ya udah deh, tapi janji ya bakal datang ke rumah lagi,” ucap Aera seolah mengerti mengapa Abiyya izin dari kemarin.

“Pasti, Ma.”

“Ma? Udah ngobrolnya? Abiyya masih banyak kerjaan yang lagi nungguin dia,” ucap Jeffin yang membuat Aera memukul paha putranya itu.

“Ma?” protes Jeffin yang membuat Aera tertawa.

“Biarin Abiyya nemenin mama sampai jam istirahat, habis itu mama nggak akan ganggu lagi. Kalau kamu mau kerja ya sana kerja aja, mama masih mau sama Abiyya. Masih kangen soalnya.”

“Astaga mama, Jeffin bilangin ke papa ya kalau gangguin Abiyya kerja.”

“Aduin aja, pasti papa juga berpihak ke mama. Udah ah sana, balik kerja aja kamu, ganggu waktu mama sama Abiyya aja.”

Jeffin berdecak pelan sebelum pada akhirnya ia beranjak ke meja kerjanya. Mencoba fokus pada laporan-laporan yang sedang di periksa di tengah obrolan Aera dan Abiyya. Meskipun berusaha untuk tidak mendengarkan, tetap saja telinganya tidak bisa lepas untuk tidak mendengarkan. Dari pada ia membuat kesalahan karena ikut mendengarkan obrolan dua orang wanita yang sepertinya tidak menganggap keberadaannya di ruangan ini, lebih baik Jeffin ia mengerjakan pekerjaannya nanti saja.

Sampai dimana satu pertanyaan muncul dari Aera membuat Abiyya terdiam. “Kapan kalian bakal nikah? Mama udah nggak sabar lihat kalian menikah.”

“Ma!”

“Iya Jef?”

“Abiyya kamu kembali saja ke ruangan kamu.” Belum sempat menjawab, Jeffin sudah memberikan tatapan tajamnya. Setelah berpamitan pada Aera, Abiyya langsung pergi meninggalkan ruangan Jeffin. “Kan udah dibahas sebelumnya. Abiyya baru aja lulus dan belum lama ini baru bekerja. Tolonglah, jangan tanya hal itu terus, Ma,” lanjut Jeffin ketika Abiyya sudah tak terlihat lagi.

“Mau sampai kapan? Toh kalian udah tinggal bareng kan, ya udah menikah saja sekalian. Lagian Abiyya masih bisa kerja dan cari pengalaman seperti yang kamu bilang sebelumnya.”

“Oke, nanti aku bicarakan dulu sama Abiyya. Jangan paksa kami buat menikah lagi, kalau sudah waktunya Abiyya siap, Jeffin bakal kasih tahu mama sebagai orang yang tahu untuk pertama kali.”

“Benar loh ya?” Jeffin mengangguk. “Ya udah nanti kamu bicarakan lagi sama Abiyya. Janji sama mama?”

“Iya, Jeffin janji.”

Setelah itu Aera pamit untuk pulang. Aera juga sempat menitip pesan maaf pada Abiyya perihal pertanyaan tadi. Jeffin merasa lega ketika Aera sudah pergi. Jeffin menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya, merasa lelah padahal tidak melakukan apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status