Share

5

Crystal melangkahkan kakinya dengan anggun menuju ruangan Jeffin yang sudah biasa ia datangi. Bisa di bilang dulu ia sering datang sebelum Jeffin memperkenalkan seorang gadis sebagai kekasihnya kepada orang tuanya. Lalu ia juga merasakan bahwa Jeffin menghindarinya beberapa saat lalu bahkan sebelum ia membawa Abiyya ke rumah. Entah apa yang membuat Jeffin menghindarinya seperti itu membuat Crystal bertanya-tanya tetapi ketika menanyakan hal itu pada Jeffin, Crystal sama sekali tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

“Kak Jeffin ada?” tanyanya pada Ajen yang sudah ia kenal bahkan sebelum cowok itu bekerja di kantor ini.

“Eh, ada si cantik Crystal.” Alih-alih menjawab, Ajen malah menggoda Crystal. Sudah lama juga Ajen tidak bertemu dengan gadis cantik yang selalu mengikuti kemanapun Jeffin pergi. Dan yang Ajen tahu gadis ini juga menyukai sahabat mereka, yaitu Freja. Karena sejauh ini, Crystal kerap kali meminta Jeffin untuk mendekatkannya dengan Freja.

“Kak Jeffin ada apa enggak?” ulang Crystal dengan matanya yang tajam menatap Ajen.

“Lagi nggak bisa di ganggu,” jawab Ajen singkat lalu memilih untuk fokus pada pekerjaannya.

Tanpa menghiraukan jawaban Ajen, Crystal langsung berjalan memasuki ruangan Jeffin. Jeffin yang sedang memeriksa berbagai laporan, langsung mengalihkan matanya menuju sumber suara. “Maaf Pak, tadi saya sudah memberi tahu, bahwa Anda sedang tidak bisa diganggu,” ucap Ajen yang sekarang sudah berdiri di ambang pintu. Lalu Jeffin mengisyaratkan agar Ajen meninggalkan mereka berdua.

“Ada apa?” Crystal mendudukkan tubuhnya di sofa kemudian Jeffin berdiri menghampirinya.

“Kak Jeffin, boleh nggak sih kalau aku kangen sama kakak?” Jeffin mengernyitkan dahinya, ada apa dengan Crystal.

Meskipun sekarang Jeffin bersikap tidak selembut dulu pada Crystal, Crystal tetaplah adik yang tumbuh bersamanya sejak dulu. Sejak kecil Crystal selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Crystal kecil pasti akan menangis ketika Jeffin pergi tanpa membawanya. Sehingga Jeffin sangat menyayanginya.

“Kalau nggak ada yang penting, silahkan bisa pergi,” usir Jeffin tanpa menjawab pertanyaan Crystal.

“Kak Jeffin udah nggak sayang sama Crystal,” ucap Crystal pelan namun masih bisa terdengar di telinga Jeffin. “Kak Jeffin berubah.”

“Pergi. Masih banyak kerjaan yang harus ku kerjakan.” Jeffin berdiri untuk kembali ke kursi kerjanya. Setelah itu terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Ya, itu ulah Crystal setelah di usir oleh pemilik ruangan. Kemudian Jeffin mengirim pesan pada Ajen untuk mengantar Crystal.

“Kalau lo disuruh Kak Jeffin buat antar gue, mending nggak usah,” ucap Crystal yang mengetahui Ajen mengejarnya. Kini air matanya sudah tidak bisa ditahan dan keluar begitu saja. Ajen yang melihatnya hendak menenangkan tetapi mendapatkan penolakan dari gadis ini.

“Oke, lo tunggu di sini dan jangan kemana-mana. Gue panggil Freja buat nyamperin lo,” balas Ajen. Kemudian menghubungi Freja agar segera datang karena yang Ajen tahu selain Jeffin, Freja juga mampu menenangkan Crystal.

Tak berapa lama, muncullah Freja dengan pakaian kerjanya menghampiri mereka. Secara singkat Ajen menjelaskan apa yang terjadi pada Crystal saat bertemu dengan Jeffin. Setelah itu, Ajen pamit untuk kembali bekerja.

Freja menghampiri Crystal yang tengah duduk sambil menatap kosong ke arah depannya. Mengacak pelan puncak rambut gadis itu lalu ikut duduk di sampingnya. Bisa dibilang Freja sangat mengenal Crystal. Karena sejak ia bersahabat dengan Jeffin, Crystal selalu mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat, ternyata Crystal sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik.

“Udahan nangisnya?” tanya Freja setelah beberapa saat hanya diam saja menemani Crystal. Anggukan pelan dari Crystal sudah cukup untuk menjawab pertanyaan dari Freja.

🌾🌾🌾

Jeffin menatap kosong langit-langit ruangannya setelah kepergian Crystal. Sebenarnya ia tidak memiliki maksud untuk berbuat kasar pada adiknya itu. Tetapi harus ia lakukan agar semua tidak semakin berlanjut ke hal-hal yang tidak pernah Jeffin bayangkan sebelum-sebelumnya akan terjadi pada kehidupan mereka berdua.

“Permisi.” Suara perempuan yang sedang ditunggunya membuat Jeffin tersadar dari lamunannya. Kemudian Jeffin menyuruhnya untuk langsung masuk saja.

“Bisa temani saya di sini?” Abiyya menaikkan sebelah alisnya, lalu mengangguk pelan. “Kamu udah makan?” lagi-lagi Abiyya mengangguk.

“Kalau kamu?” gelengan kepala dari Jeffin membuat Abiyya berdecak pelan. “Mau makan apa? Biar aku beliin di kantin.”

“Nggak usah, cukup kamu di sini saja udah lebih dari cukup.”

“Oke deh,” balas Abiyya yang tidak ingin memaksa.

“Abiyya?”

“Ya?”

“Boleh saya peluk kamu sebentar?”

“Hah?”

“Nggak. Nggak jadi.”

“Lagi ada masalah ya?”

“Hmm.”

“Emang nggak papa, kalau peluk di sini? Eh maksudnya nanti kalau ada yang lihat gimana?” Jeffin tersenyum kecil mendengar perkataan Abiyya barusan.

“Boleh?” Abiyya mengangguk pelan meskipun bisa Jeffin lihat bahwa gadis yang ada di depannya kini sedang menggigit kecil bibirnya merasa ragu-ragu.

“Jangan di gigit,” ucap Jeffin ketika sudah berhadapan dengan Abiyya. Lalu tangannya merengkuh bahu Abiyya, membawanya ke dalam pelukannya. Jeffin menyandarkan kepalanya di bahu Abiyya.

Abiyya bisa merasakan ada sebuah beban dalam diri Jeffin. Hembusan napas Jeffin yang dapat Abiyya rasakan membuat jantung Abiyya berdegup dengan kencang. Tangannya perlahan naik dengan ragu, membalas pelukan Jeffin. Lalu mengusap pelan punggung Jeffin. Seolah menyalurkan sebuah kekuatan yang mungkin saja bisa menenangkan Jeffin sebentar.

“Terima kasih.” Jeffin melepaskan pelukannya pada Abiyya. Jeffin juga merasa lebih baik dari sebelumnya.

“Eh, sorry, gue nggak tahu kalau lo lagi sama Abiyya,” ucap Ajen ketika masuk dengan sebuah dokumen yang ada di tangannya. Kemudian menutup kembali pintu ruangan Jeffin yang jelas tidak ingin mengganggu kegiatan dua orang tersebut.

“Kalau gitu, aku balik kerja lagi,” pamit Abiyya.

“Abiyya, sekali lagi terima kasih.”

“Jeffin, kalau capek istirahat dulu. Nggak ada salahnya buat berhenti sejenak dari rutinitas yang bisa bikin tubuh lelah.” Setelah mengatakan itu, Abiyya langsung beranjak meninggalkan Jeffin sendiri di ruangannya.

🌾🌾🌾

Abiyya menghembuskan napas lega ketika keluar dari ruangan Jeffin. Abiyya berusaha mengatur jantungnya yang berdetak kencang tidak seperti biasanya. Apalagi tadi pada saat berada di pelukan Jeffin, Abiyya bisa mendengarkan detak jantungnya sendiri. Semoga saja Jeffin tidak mendengarnya. Abiyya akan merasa sangat malu jika Jeffin bisa mendengarnya.

“Kenapa lo?” tanya Shida ketika Abiyya mendudukkan dirinya di kursi kerjanya. Abiyya menggelengkan kepalanya sambil memegangi dadanya. “Lo yakin, beneran nggak apa-apa?”

“Iya beneran, nggak apa-apa kok.”

“Lo jadi aneh sumpah. Habis ngapain sama Pak Jeffin?”

“Habis ngapain apa? Nggak ngapa-ngapain kok.”

Shida menyipitkan matanya. “Kok lo kayak takut gitu, habis ngapain lo sama Pak Jeffin tadi hah?”

“Apaan sih, kan udah aku bilang tadi, Shida.”

“Hih, nggak yakin gue nggak ada apa-apa tapi lo jadi aneh gini.”

“Udah ah, jangan bahas aku mulu. Mending lanjut kerja aja ayo.”

“Hmm, semakin membuat gue curiga, tahu nggak, Abiyya.” Abiyya mengangkat bahunya lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.

“Abiyya, bisa minta tolong kasih ini ke Pak Jeffin, bilang saja dari saya dan maaf baru bisa dikasih sekarang,” ucap Mbak Nami yang membuat Abiyya ingin menolak tetapi juga tidak mungkin. Dengan terpaksa Abiyya mengambil dokumen di tangan Mbak Nami.

“Terima kasih ya, Abiyya.”

“Sama-sama, Mbak.” Setelah kepergian Mbak Nami, Abiyya menatap Shida yang juga sedang menatapnya.

“Apa?”

“Galak banget kamu. Boleh minta tolong nggak?”

“Nggak!”

“Ish, kan aku belum bilang, Shida.”

“Gue tahu lo mau minta tolong buat anterin ke Pak Jeffin kan? Dih yang di suruh lo, kenapa jadi nyuruh gue lagi. Kecuali kalau tadi benar, lo udah ngelakuin sesuatu sama Pak Jeffin. Ngaku aja deh lo.”

“Apaan sih, orang nggak ada apa-apa kok, kan tadi udah aku jelasin.”

“Ya kalau nggak ada apa-apa, kenapa lo nggak mau ketemu Pak Jeffin lagi, lo kan tunangannya.”

“Udah ah, mau antar ini dulu.”

Abiyya tidak melihat keberadaan Ajen. Apa mungkin Jeffin juga tidak ada di ruangannya. Perlahan Abiyya mendekati pintu ruangan Jeffin. Membukanya pelan dan ternyata Jeffin masih ada di ruangannya. Abiyya mengetuk pelan pintu di depannya lalu mendorongnya perlahan.

Perhatian Jeffin teralihkan ketika perempuan yang tadi sempat meminjamkan bahunya kini kembali berada di sini. Membawa sebuah dokumen yang sepertinya sempat ia minta pada Nami. Abiyya berjalan mendekati meja Jeffin, kemudian meletakkan dokumen itu di sana.

“Dari Mbak Nami, katanya maaf baru bisa dikasih sekarang.” Jeffin tak menjawab perkataan Abiyya, tetapi malah menatap Abiyya yang tentu saja membuat gadis itu sedikit salah tingkah.

“Abiyya.”

“Ya?” balas Abiyya ketika sudah sampai di ambang pintu.

“Nanti pulang bareng sama saya mau?”

“Kalau enggak mau ya nggak apa-apa,” ucap Jeffin.

“Emang nggak apa-apa, kalau kita pulang bareng?” balas Abiyya malah bertanya balik.

“Ya enggak apa-apa, emang ada apa kalau kita pulang bareng?”

“Takut ada yang nggak suka.”

“Siapa?”

“Ya siapa aja yang nggak suka.”

“Nggak usah dipedulikan. Jadi nanti pulang bareng saya ya.”

“Iya, kalau gitu permisi dulu.”

🌾🌾🌾

Setelah memutuskan untuk pulang bersama, Abiyya tetap memilih untuk menunggu di depan halte yang juga kerap kali menjadi tempat dimana ia dengan Jeffin janjian seperti sebelum-sebelumnya. Hal itu sudah pasti karena Abiyya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Meskipun beberapa saat lalu ia menjadi perhatian orang-orang di kantor akibat Aera yang memberitahukan bahwa ia tunangan orang berpengaruh di perusahaan.

Abiyya segera masuk ketika mobil Jeffin sudah berada di hadapannya. Setelah memastikan Abiyya sudah memakai sabuk pengaman, Jeffin melajukan mobilnya perlahan. Ini kali pertama mereka pulang bersama langsung pulang ke apartemen.

“Mau makan malam dimana?” tanya Jeffin yang tetap fokus pada jalanan.

“Di rumah aja, tapi mampir dulu ke supermarket boleh?”

“Ada yang mau dibeli?”

“Iya.” Jeffin mengangguk mengerti, kemudian membelokkan mobilnya ke sebuah supermarket yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

“Tunggu disini, biar aku sendirian aja.”

Meskipun Abiyya sudah berkata seperti itu terlebih dahulu, Jeffin tetap turun dan mengikuti Abiyya yang tadi sempat protes. Jas yang dipakainya juga sudah dilepas. Menyisakan kemeja hitam yang tentu saja lengannya sudah digulung sebatas siku. Kehadiran Jeffin seolah menarik perhatian para pengunjung khususnya perempuan.

Abiyya menyusuri tempat dimana sayur-sayuran berada. Abiyya ingin membeli beberapa sayuran yang ingin ia buat. Ketika sudah merasa cukup, Abiyya berjalan ke arah kasir sebelum suara Jeffin menginterupsi.

“Cuma segitu saja? Nggak ada yang mau dibeli lagi?”

“Yah, ternyata itu pacarnya.”

“Udah punya pacar ternyata.”

“Ganteng banget lagi pacar orang.”

“Kapan gue punya pacar cakep kayak dia.”

“Beruntung banget mbaknya punya pacar modelan begitu.”

“Cocok sih, sama-sama ganteng dan cantik.”

Begitulah kata orang-orang yang berada disana ketika Jeffin mengeluarkan suaranya berbicara pada Abiyya. “Sudah cukup kok,” jawab Abiyya atas pertanyaan Jeffin yang tentu saja ingin cepat-cepat pergi dari sana.

“Nggak mau beli makanan ringan yang kamu pengen gitu?”

“Nggak, ini sudah cukup.”

Keduanya berjalan ke arah kasir. Abiyya yang sebenarnya berniat untuk membayar, tetapi malah sudah keduluan Jeffin. Abiyya ingin protes, namun Jeffin menyuruhnya untuk diam saja.

Sesampainya di apartemen, Jeffin menyuruh Abiyya untuk langsung mandi saja. Membiarkan dirinya untuk membereskan barang-barang belanjaan tadi. Sebelumnya Abiyya juga sempat menolak tetapi Jeffin tetap memaksanya. Abiyya keluar dari kamar sembari mengikat rambutnya. Jeffin yang tidak terlihat berarti sudah berada di kamarnya.

Abiyya mengambil beberapa bahan yang akan ia gunakan untuk masak. Hanya masakan sederhana saja yang akan ia buat untuk malam ini, yaitu tumis kangkung, sayur sop, dan ayam goreng. Sengaja Abiyya tidak memasak banyak hanya karena memang yang makan hanya mereka berdua saja.

Belum selesai memasak tetapi Jeffin sudah keluar dari kamarnya. Rambutnya yang masih sedikit basah membuat Abiyya menyuruhnya untuk mengeringkannya terlebih dahulu. Toh masakannya juga belum semuanya selesai.

Sembari menunggu Abiyya memasak, Jeffin membuka Ipad-nya. Memeriksa pekerjaan yang bisa ia lihat lewat benda tersebut. Jeffin mengernyitkan dahinya ketika merasa ada sesuatu yang tidak sesuai saat membacanya. Jeffin mengalihkan pandangannya ketika Abiyya menyuruhnya untuk segera datang ke meja makan.

Masakan sederhana Abiyya membuat Jeffin menjadi merasa lapar. Padahal sebelumnya tidak terlalu begitu. Abiyya mengambilkannya nasi untuk Jeffin. Lalu menanyakan Jeffin ingin memakan apa. Setelah itu keduanya menikmati makan malam pertama bagi mereka. Karena sebelum-sebelumnya biasanya Abiyya hanya makan sendirian dengan alasan Jeffin sudah makan di luar.

“Gimana? Enak nggak?”

“Hmm, lumayan.”

“Oh, jadi cuma lumayan ya?”

“Enak, Abiyya.”

“Tadi katanya cuma lumayan.”

“Udah, lanjut makannya. Nanti biar saya saja yang bereskan piring kotornya.”

“Mana bisa gitu, biar aku aja.”

“Nggak apa-apa, lagian kamu udah masak. Jadi biar saya aja yang cuci piringnya.”

“Aku aja ya, kan kamu sibuk.”

“Saya nggak sibuk, Abiyya.”

“Daripada kita rebutan siapa yang mau beresin ini semua, mending kita sama-sama aja beresinnya, biar cepat selesai juga.”

“Ah, saya tahu kamu pasti pengen berduaan sama saya ya?”

“Hah? Ngaco.”

“Jujur saja nggak apa-apa kok Abiyya.”

“Kamu kali yang pengen berduaan sama aku.” Jeffin hanya tertawa kecil mendengar perkataan Abiyya.

“Kalau iya kenapa?”

Abiyya yang hendak mengarahkan sendok ke arah mulutnya jadi terhenti. Meletakkan sendoknya lalu kedua tangannya dilipat di atas meja. Menghembuskan napas pelan lalu menatap tepat pada mata lelaki itu. “Jeffin, jangan seperti itu. Kalau aku baper sama kamu gimana?”

“Hah?”

“Lupain, mending lanjut makan aja,” jawab Abiyya dengan memakan makanan yang sudah di sendoknya tadi. Abiyya merutuk dalam hati, bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Bagaimana kalau Jeffin menganggapnya aneh atau hal yang lainnya, yang tidak bisa Abiyya bayangkan.

Sesuai dengan pembicaraan sebelumnya, kini keduanya sedang membersihkan peralatan makan mereka. Jeffin memutuskan untuk mencuci piring, sedangkan Abiyya yang membersihkan meja makannya. Sempat terjadi perdebatan tentang siapa-siapanya yang melakukan kedua pekerjaan tersebut. Namun, lagi-lagi Abiyya dibuat kalah oleh Jeffin yang mengotot untuk mencuci piring.

“Abiyya, kalau udah selesai jangan dulu ke kamar ya. Ada yang mau saya bicarakan sama kamu. Tunggu aja di ruang tamu.”

“Tentang apa?”

“Nanti saja setelah saya selesai akan saya kasih tahu kamu.”

“Oke.” Abiyya menunggu Jeffin sembari menonton sebuah acara di televisi yang sebenarnya tidak menarik sama sekali.

“Sebentar, Abiyya, saya mau mengambil sesuatu dulu.” Abiyya menganggukkan kepalanya mengerti.

“Mau bicara soal apa?” tanya Abiyya langsung membuka pembicaraan ketika Jeffin sudah kembali dari kamarnya.

“Soal pertanyaan mama saya beberapa waktu lalu.”

“Ah, soal itu.”

“Nggak apa-apa saya mau membicarakan soal itu. Kalau kamu nggak nyaman, saya tidak akan melanjutkan pembicaraan ini.”

“Lanjut aja nggak apa-apa.”

“Oke. Pertama, saya mau minta maaf kalau sudah menyeret kamu ke dalam masalah saya. Apalagi setelah saya membawa kamu menemui orang tua saya, semua semakin rumit.”

“Terserah kamu mau bilang kalau saya cuma memanfaatkan kamu demi kepentingan saya sendiri, karena nyatanya memang seperti itu. Setelah sejauh ini, saya mau mengajak kamu untuk menikah.”

Abiyya tidak tahu harus merespon apa ketika kata menikah keluar dari mulut Jeffin. Tidak pernah Abiyya mengira akan ada kejadian seperti ini. Menikah? Yang benar saja. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menikah.

Namun, ketika menikah dengan orang yang belum terlalu lama dikenal. Menikah hanya karena sebuah kepentingan seseorang. Mengetahui menikah dengan orang yang secara terang-terangan mengaku tidak mencintainya. Dan tentunya menikah tanpa adanya cinta.

Berbagai pertanyaan langsung muncul di kepala Abiyya. Bagaimana nanti kehidupan mereka setelah menikah tanpa cinta di dalamnya. Kehidupan rumah tangga seperti apa yang bisa diharapkan dari pernikahan semacam itu. Akankah jika Abiyya melakukan itu, pernikahannya bisa bertahan atau justru sebaliknya.

“Saya hanya butuh jawaban iya atau tidak dari kamu. Jika kamu menolak, maka saya akan melepas kamu dan akan memberitahukan kepada mama saya bahwa kita berdua selesai. Jika kamu bersedia, maka kamu tahu bahwa saya akan segera melaksanakan pernikahan. Kamu bisa memberitahu jawabannya pada saya jika kamu sudah memutuskan.” Jeffin berhenti sejenak. Lalu mengambil tangan kanan Abiyya, meletakkan sebuah kotak tersebut di tangan Abiyya. “Jika kamu bersedia tolong kamu pakai apa yang ada di dalam kotak ini.”

“Sampai kapan, aku harus memikirkannya?”

“Terserah kamu, saya akan menunggu sampai kamu sudah memutuskannya dengan matang. Jangan berpikir terlalu keras. Sampai kamu siap memberikan jawaban, saya pasti akan menunggu.”

Setelah itu Jeffin menyuruh Abiyya untuk masuk ke dalam kamarnya agar segera beristirahat. Mungkin pembicaraan kali ini terasa sangat membebani Abiyya. Jeffin juga sudah mempertimbangkan kenapa ia memberikan waktu yang tidak terbatas buat Abiyya agar bisa memikirkan ajakannya itu dengan baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status