Setelah hari itu, Laura di rawat beberapa hari di rumah sakit yang sama. Namun, Indah tidak pernah sekalipun menjenguk Laura. Peristiwa itu, cukup membuat Laura trauma."Di tinjau dari gejalanya, tampaknya anak bapak mengalami trauma akibat kejadian beberapa hari yang lalu."Dokter menjelaskan bagaimana keadaan Laura kepada Iswan, ayahnya. Setelah kejadian itu, hanya Iswan yang mengurus keperluan Laura di rumah sakit. Ia juga mengurus istrinya di rumah, menjalani terapi karena suatu penyakit psikis yang di alaminya. Situasi kacau balau."Apa yang akan terjadi selanjutnya, dok? Apa putri saya akan baik-baik saja?""Akibat tekanan batin tersebut, beberapa saraf di otak Laura tidak berjalan sesuai fungsinya. Mengakibatkan, Laura kehilangan ingatannya secara permanen."Iswan terdiam, masalah apa lagi ini? Apa yang harus dilakukannya?"Apa Laura juga akan lupa dengan keluarganya, dok?" Lantas ia bertanya, takut Laura melupakan semua orang."Hal itu belum bisa di pastikan, kemungkinan kecil
Pagi hari, Laura bangun dari tidurnya. Tubuh Laura terasa kaku dan lemas. Tidak di sangka, menangis dapat menghabisi hampir seluruh tenaga yang tersisa dalam tubuhnya. Laura berpikir, jika ia adalah robot, mungkin daya baterai nya sudah habis.Atau bahkan bisa lebih buruk lagi, sistem pertukaran energi dalam baterai mengalami konsleting. Tapi, robot bahkan tidak busa menangis, terkena sedikit percikan air sudah cukup untuk merusak sistem robot.Sudah puas membahas tentang robot dalam benaknya, Laura beranjak dari ranjang, menuju kamar kecil untuk mandi dan melakukan rutinitas lain yang biasa di lakukannya selama sekolah. Walaupun kini ia telah menyelesaikan pendidikan tingkat atas, tapi rutinitas itu sudah melekat dalam dirinya.Sembab dan bengkak di matanya tidak hilang begitu saja, bahkan setelah di kompres dengan air dingin. Laura menghembuskan nafas perlahan. Mungkin ad
Laura bersantai di tepi koam renang, duduk berdiam diri. Kurangnya aktivitas membuatnya sesekali termenung. Dala pikirannya, selalu saja muncul pertanyaan.Setelah ingatannya kembali beberapa hari yang lalu, pikiran Laura terus tertuju di hari itu.Siapa sih, pelaku tabrak lari itu? Siapa yang dengan teganya menabrak kakaknya? Kalaupun ia mau melaporkan kejadian di hari itu, ingin mendapatkan keadilan, tentu saja tidak bisa. Sudah berlarut-larut.Insiden tersebut terjadi 14 tahun yang lalu. Bisa jadi, lembaran-lembaran kasusunya sudah berakhir di tempat sampah.Laura bosan. Memikirkan semua itu malah membuatnya semakin kacau. Tapi apa boleh buat? Ia tidak ingin hidup seperti ini. Kehadiran dirinya malah di anggap sebagai pembawa sial oleh ibunya sendiri.Laura ingin membuktikan, bahwa ia bukanlah pembawa sial, bahwa ia bukanlah pembunuh.
"Apa!?" gue ga salah denger? Kok bisa, sih!?" Kinan kaget dengan pernyataan yang di berikan Laura. Ia menceritakan tentang kuliahnya di luar negeri."Gue yakin lo gak tuli, Kinan.""Tapi kenapa? Kita kan udah punya rencana kuliah di kampus yang sama, tante Indah jahat banget, ih."Laura tetap diam, mencoba berfokus pada buku yang sedang ia genggam.Ke-empat sahabat itu sedang menikmati senja di tepi danau. Laura ingin berpamitan dengan mereka, sahabat-sahabat terbaiknya."Akbar sama Rafael ke mana, sih?" Laura mengalihkan topik pembicaraan, cukup penasaran dengan kedua cowok yang keberadaannya belum diketahui."Gak tau, katanya mau beli camilan, Ra.""Eh, Ra. Lo beneran kuliah di luar negeri? Terus gue gimana dong? Gue gak mau pisah sama lo, Ra!" Kinan kembali menyinggung tentang pendidikan selanj
"Laurel, dengerin bunda dulu, Rel." Indah menarik tangan Laurel agar tidak berada lebih jauh dari sebelumnya. Keluarga itu kembali ke rumah setelah mengantarkan Laura. Laurel, ia tetap saja belum ikhlas dengan kepergian adiknya. "Apa lagi, Bun? Sekarang bunda pasti senang, bukan?" "Tidak, bukan seperti itu, Rel." Indah mencoba menyangkalnya. "Lalu seperti apa, Bun? Seperti apa!?" "Kamu ... Membentak, bunda?" Indah melepas genggaman tangannya, menatap Laurel dengan tatapan tidak percaya. "Hanya karena anak sial itu, kamu membentak bunda, Laurel?" Lanjutnya. "Anak sial kata bunda? Siapa? Laura?" Laurel mendecih kesal, ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. "Bunda tahu, nggak? Siapa
Indah sedang bersantai di ruang keluarga, seorang diri. Ia sedang sibuk menggulir layar ponsel, entah apa yang sedang ia lihat. Mungkin saja, sedang melihat berita terkini yang terjadi di dunia, seperti insiden gunung Semeru atau gunung Merapi. Seseorang mendekati Indah, menatapnya lembut. Orang itu adalah Lenda, putrinya yang telah meninggal beberapa tahun silam. "Bunda?" "Ada apa, sayang?" Indah bertanya. Menatap sejenak wajah Lenda, lalu kembali memalingkan wajahnya untuk melihat layar ponsel. "Apa ponsel itu begitu penting buat bunda?" "Kamu berpikiran seperti itu?" Ia balik bertanya. "Tampaknya memang seperti itu." Lenda memalingkan wajahnya, lalu berdiri membelakangi ibunya. "Kamu kenapa, nak? Kamu marah sama bunda?"Lenda tidak menjawab, ia beranjak begitu saja. Sementara Indah, ia bingung dengan pemikiran Lenda. Kemana a
"Saya mau kamu melakukannya dengan senatural mungkin, jangan sampai ada kesalahan. Paham?"Alya melirik sekitar, memperhatikan gerak-gerik Laurel. Ia tidak ingin Laurel tahu keberadaannya sekarang. Namun tampaknya, ia sedang dalam misi serius."Baik, mba Alya. Akan saya lakukan sesuai perintah mbak." Kata seseorang yang telah menerima perintah tersebut.Alya kembali ke tempat semula. Saat ini, Alya dan Laurel sedang berjalan-jalan. Mereka bersantai di akhir pekan, karena kebetulan jatah libur mereka bertepatan."Dari mana aja, yank?""Dari toilet tadi, ada apa? Kamu perlu sesuatu, yank?" Alya balik bertanya sesaat setelah merapikan posisi duduk dan sabuk pengamannya."Tidak ada apa-apa, kok."Laurel kembali mengemudikan mobilnya setelah menepi beberapa saat yang lalu. Entah sudah berapa lama mereka mengemudikan mobil tersebut. Tampaknya, Alya dan Laurel tidak mempunyai tujuan."Ki
Suasana meja makan yang terbilang cukup sepi, hanya ada dua orang di meja makan. Walaupun begitu, mereka tetap saja tergolong keluarga yang bahagia. Ayah dan anak yang saling melengkapi mampu menutup kekurangan yang ada. "Bagaimana pekerjaanmu, nak?" Dirma bertanya pada anaknya, mengisi kehampaan ruang makan tersebut. "Berkembang menuju arah yan lebih baik, Pah. Semuanya tampak baik." "Bagaimana dengan Laurel?" Alya terdiam, kegiatannya terhenti. Ia meletakkan sendok, menunduk dalam. "Kamu belum bisa mengikhlaskannya, Alya?" Dirma bertanya dengan nada lembut, sembari merapikan peralatan makan bekasnya. "Bagaimana aku bisa mengikhlaskannya, Pa? Bagaimana bisa?" "Sudah bertahun-tahun, kamu tidak harus terjebak di masa lalu, nak." Dirma tetap tenang, ia berusaha menjelaskan secara perlahan pada anak semata wayangnya. "Aku tidak bisa, pah. Tidak akan pernah bisa, maafkan aku." "Papa yakin, ibumu tidak ingin kamu sep