Evelyn Rosalina. Seorang wanita muda berusia 20 tahun yang bekerja sebagai pelayan cafe. Dia tak memiliki orang tua, dan besar di sebuah panti asuhan. Evelyn hanya seorang lulusan SMA saja. Dia tidak kuliah, karena tidak memiliki biaya. Apesnya, dia juga tak memiliki otak cerdas hingga dia tak mendapatkan beasiswa apapun.
Sejak dua tahun yang lalu, Evelyn sudah bekerja di beberapa tempat. Toko sepatu, toko pakaian, kasir minimarket, hingga pekerjaannya sekarang sebagai pelayan cafe. Evelyn bersyukur karena masih bisa mendapatkan pekerjaan hanya dengan modal ijazah SMA saja. Hari ini, Evelyn terlihat lebih murung dari hari-hari kemarin. Teman-temannya tahu betul alasan kenapa Evelyn terlihat sangat murung dan pendiam hari ini. "Masih gak ada kabar darinya, Eve?" Salah satu teman Evelyn mendekat dan bertanya pada Evelyn yang baru saja meneguk segelas air. "Dia benar-benar kabur. Aku sudah bingung bagaimana melunasi semua hutangnya," jawab Evelyn mengeluh. Ya, kesalahan terbesar Evelyn adalah membantu teman satu kamar kosnya. Temannya waktu itu bilang kalau dia sedang butuh uang untuk biaya berobat ibunya. Evelyn yang memang tak tegaan akhirnya menawarkan diri untuk membantu. Dan bantuan yang Evelyn berikan adalah membiarkan temannya meminjam uang secara online memakai identitasnya. Evelyn merutuki hal itu, dan selalu memaki dirinya sendiri karena sudah bertindak bodoh. Sekarang, temannya tersebut sudah kabur entah ke mana dan tak bertanggung jawab atas hutangnya yang memakai nama Evelyn. Jelas, sekarang Evelyn lah yang dikejar-kejar pihak pinjaman online karena sudah menunggak lebih dari dua bulan. "Aku bingung harus pinjam uang pada siapa untuk melunasi hutang itu," keluh Evelyn lagi. Ya, hutang tersebut jumlahnya setara dengan enam bulan gajinya. Karena menunggak, jelas bunganya pun terus bertambah setiap hari hingga jumlah hutangnya terus bertambah dan membengkak. Teman Evelyn, yang bernama Bima tersebut hanya bisa merasa prihatin saja. Dia juga bukan berasal dari keluarga berada. Jadi jelas, dia tak bisa membantu apa-apa selain menyemangati. Saat sedang merenung dan melamun, tiba-tiba teman Evelyn yang lain datang seraya menyerukan namanya dengan nyaring. Evelyn terkejut, hingga dia hampir menjatuhkan gelas di tangannya. "Ada apa sih, Ta?" Evelyn bertanya dengan nada sebal. Temannya yang bernama Rita itu hanya cengengesan saja melihat wajah sebal Evelyn. "Tuh, ada teman langgananmu," jawab Rita seraya menunjuk ke arah depan. Mendengar itu, Evelyn langsung paham. Dia pun langsung berjalan meninggalkan dapur dan menghampiri teman langganannya yang dikatakan Rita barusan. "Eve! Di sini!" Seorang wanita seusia dirinya melambaikan tangan tinggi-tinggi untuk memberi kode. Evelyn tersenyum dan menghampiri wanita tersebut. "Hai, Ra. Lama tidak bertemu," ucap Evelyn. Mereka berpelukan sesaat kemudian duduk berhadapan. "Iya nih. Aku kangen tempat ini," ucap wanita bernama Zara tersebut. Evelyn tersenyum mendengarnya. Zara adalah temannya sejak masa SMA. Mereka sebenarnya tidak terlalu dekat saat sekolah. Namun Evelyn pernah menolong Zara sekali saat wanita itu butuh bantuan. Akhirnya, mereka pun jadi teman dekat. "Oh iya. Barusan temanmu bilang katanya kamu sedang ada masalah. Masalah apa memangnya?" Zara bertanya dengan tatapan penasaran. Walau sudah berteman lama, Evelyn memang tak pernah bercerita tentang masalahnya ini. Zara adalah anak orang kaya, dan Evelyn malu untuk bercerita. Takutnya nanti Zara menganggap dia berusaha mencari simpati. "Hanya masalah kecil, Ra." Evelyn menjawab dengan senyuman. Mata Zara memicing mendengar itu. Sorot mata Evelyn jelas tak bisa berbohong kalau dia memang sedang dihadapkan pada masalah yang cukup rumit. "Ayolah. Kamu tak percaya untuk berbagi cerita padaku?" tanya Zara merajuk. Evelyn tertawa pelan melihat raut wajah Zara yang lucu. "Bukan begitu, Ra. Hanya saja-" "Cepat cerita. Mungkin saja aku bisa bantu," ucap Zara mendesak. Evelyn diam beberapa saat, berpikir apakah harus dia bercerita tentang masalahnya sekarang pada Zara atau tidak. Namun setelah berpikir lama, akhirnya Evelyn memutuskan untuk bercerita saja. Ya, semoga saja Zara bisa membantunya dengan cara meminjaminya uang. "Jadi begini." Evelyn pun akhirnya bercerita pada Zara secara lengkap dan detail. Mata Zara berkali-kali melotot, terlihat kaget mendengar cerita dari temannya tersebut. Kadang dia mendesis, terlihat kesal juga. "Dia pergi membawa barang-barangnya saat kamu kerja? Wah, berarti sejak awal dia emang sudah niat memanfaatkan kamu, Eve." Zara berkata dengan nada kesal. Evelyn menghela nafas pelan mendengar itu lalu mengangguk pelan. Bodoh sekali dia. "Memangnya total hutangnya berapa? Mungkin aku bisa bantu bayar," ucap Zara. Evelyn langsung kaget mendengar itu. Dia pun menggeleng langsung. "Aku gak mau merepotkanmu, Zara." Evelyn menolak. "Jangan sungkan, Evelyn. Kamu pernah membantuku dan sekarang giliran aku membantumu." Zara berkata. Evelyn tetap menggeleng. "Justru kamu sudah banyak membantuku. Aku jadi tak enak sama kamu juga orang tuamu," balas Evelyn. Zara menghela nafas pelan mendengar itu. Dia diam beberapa saat, berusaha berpikir dan mencari cara membantu temannya tersebut tanpa harus membuatnya merasa malu atau tersinggung ataupun segan. "Ah ya. Emh, ada satu pekerjaan untukmu, hanya untuk semalam saja. Dan bayarannya lumayan besar," ucap Zara tiba-tiba. Evelyn langsung menatap Zara dengan tatapan curiga dan kaget. "Kamu gak berpikiran untuk menjualku kan?" tanya Evelyn. Zara mendesis pelan mendengar itu. "Enggaklah." Zara menjawab diakhiri dengan dengusan pelan. "Aku baru ingat kalau kemarin Om Alan memintaku mencari seorang kenalan yang bisa menemaninya makan malam di acara reuni SMA-nya. Mungkin kamu mau?" ujar Zara. Kening Evelyn mengernyit mendengar itu. "Om? Om kamu kah?" tanya Evelyn bingung. Zara pun mengangguk dengan semangat. "Iya, adik bungsu ibuku. Om Alan baru kembali dari Amerika setelah tinggal beberapa tahun di sana. Kebetulan besok malam Om Alan akan menghadiri acara reuni dan dia tak ada orang yang bisa diajak gitu," jawab Zara. "Hanya makan malam saja kan?" tanya Evelyn sedikit was-was. "Iya. Om Alan bercerai dengan istrinya dua tahun yang lalu. Dan mantan istrinya juga akan hadir di acara reuni itu. Jadi Om Alan butuh gandengan agar tak disangka gagal move on," jelas Zara. Evelyn terdiam mendengar itu. "Tunggu. Memangnya aku cocok? Maksudku, aku hanya seorang pelayan cafe yang-" "Gak usah mikirin itu. Bagaimana? Mau apa enggak?" tanya Zara tak sabar. Evelyn diam beberapa saat, berpikir dulu. "Hanya makan malam saja kan? Emh, mungkin aku bisa," jawab Evelyn agak ragu. Zara langsung tersenyum lebar mendengar itu. "Bagus. Aku akan menghubunginya dulu," ucap Zara. Dengan semangat dia mengambil ponsel mahalnya dan menghubungi seseorang. "Halo, Tante. Tolong katakan pada Om Alan kalau aku sudah menemukan seseorang yang cocok untuk acaranya besok malam. Nanti akan aku kirimkan biografinya." Zara berkata pada seseorang di seberang telepon. Evelyn tak tahu siapa yang dihubungi oleh Zara, karena dia memang tak mengenal keluarga Zara. Dia hanya mengenal Zara saja. "Tenang saja. Om Alan gak mungkin macam-macam padamu. Hanya menemaninya makan malam saja sampai acara reuninya selesai," ujar Zara. Evelyn tersenyum mendengar itu, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Walau Zara berkata seperti itu, entah kenapa Evelyn tetap agak khawatir. Tapi, Evelyn percaya Zara tak mungkin berbohong. Baginya yang penting sekarang adalah uang agar dia bisa segera melunasi semua pinjaman online atas namanya.Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, dan setelah makan malam bertiga bersama Zara, Evelyn langsung mengajak Alan ke kamar. Evelyn melakukan itu karena tahu Alan akan banyak bertanya pada Zara tentang semua kejadian hari ini, sedangkan Zara belum siap bercerita. Evelyn tak mau Alan memaksa Zara untuk bercerita. "Dia tidak cerita apa-apa? Sedikit pun tidak?" Alan bertanya pada Evelyn dengan nada tak percaya. "Zara bilang dia belum siap bercerita untuk saat ini. Tak apalah, Mas. Mas Alan sudah membantunya menunjukkan jalan. Biarkan Zara melakukannya sendiri sekarang. Dia pasti punya rencana juga," ucap Evelyn seraya mengelus lembut rahang tegas suaminya. "Seharusnya dia cerita walau sedikit saja tentang yang terjadi tadi," balas Alan sedikit sebal. Ya, setelah sarapan dan bicara sebentar pada kakaknya Leon tentang kelakuan Leon yang tak menyenangkan terhadap Zara, Alan langsung berangkat kerja dan meninggalkan Zara berdua bersama dengan kakaknya Leon yang bernama Alfian Biantara
Alan duduk di sofa ruang keluarga bersama dengan Evelyn dan Zara. Dia dan Evelyn sama-sama sedang menikmati rujak buah, sementara Zara hanya memandangi mereka saja tanpa rasa ingin untuk ikut mencoba rujak tersebut. Alan yang sedang ngidam ingin memakan rujak buah memaksa Zara keluar rumah untuk mencari dan membeli untuknya. Zara sudah menolak dan menyuruh Alan beli rujak sendiri. Namun satu ancaman dari Alan berhasil membuat Zara turun dari atas ranjang dan berjalan keluar rumah untuk mencari rujak. Menyedihkan sekali. Yang hamil Evelyn, yang ngidam Alan, malah dia yang repot menuruti ngidam pamannya tersebut. "Zara, kamu gak mau cobain? Enak loh. Seger," ucap Evelyn seraya menyodorkan rujak miliknya pada Zara. Zara langsung mengangkat tangan ke hadapan Evelyn dan menggeleng. "Kalau mau aku pasti beli sendiri tadi, Eve," balas Zara. Dia lalu membaringkan tubuhnya di sofa panjang dan menghela nafas pelan. "Jadi ceritanya kamu sakit hati dijadikan bahan taruhan oleh laki-laki itu?
Sebelum tahu kalau dirinya sedang hamil, Evelyn baik-baik saja. Dan bahkan setelah tahu dia kini sedang mengandung bayi kembar pun Evelyn tetap baik-baik saja, sehat tanpa ada masalah sedikit pun. Dia bisa beraktifitas dengan normal tanpa hambatan. Dan ternyata, fase ngidam yang cukup parah bukan dirasakan oleh Evelyn, tapi oleh suaminya sendiri, Alan. Satu minggu setelah kehamilan Evelyn diketahui, Alan masih sehat seperti biasa. Namun perlahan, setiap pagi dia merasa kurang enak badan. Setelah minum obat karena dipikir terlalu lelah bekerja, ternyata tak mempan sama sekali. Dan akhirnya Alan malah sering merasakan lemas pada tubuhnya. Tak ada semangat untuk bekerja, dan maunya tidur sepanjang hari ditemani oleh Evelyn. Seperti hari ini, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan Alan masih setia bergelung dengan selimut. Saat Evelyn membuka gorden kamar mereka dan membiarkan cahaya matahari masuk, Alan malah sengaja menaikkan selimut ke atas kepalanya. Pertanda kalau dia tak mau
Evelyn mengakui diri sendiri kalau setelah menikah dengan Alan, terutama setelah patah kakinya sembuh dan dia bisa bergerak bebas, dia sendiri yang sering meminta jatah pada Alan. Entah itu malam, atau siang. Kalau siang hari, Evelyn jelas meminta hanya saat Alan libur kerja dan Zara tak ada di rumah saja. Dulu, Evelyn suka malu-malu walau akhirnya menikmati juga. Namun setelah menikah, dia berani mengikuti Alan mengeksplor lebih jauh lagi tentang seks yang bisa membuat hubungan suami istri semakin harmonis dan intim. Saat Alan bekerja, Evelyn sering membuka internet. Mencari bacaan tentang berbagai macam nasehat dan cara agar hubungan suami istri tetap harmonis, dan seks yang terjadi tak terasa membosankan. Berbagai gaya hubungan intim selalu Evelyn cari tahu, dan pada malam harinya dia meminta pada Alan untuk mempraktekkan. Evelyn melakukan itu karena satu hal saja sebenarnya. Dia ingin Alan puas dengan semua pelayanan yang dia berikan. Dia ingin memberikan kepuasan yang maksimal
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan Zara sudah berangkat ke rumah temannya. Di rumah tinggallah Alan berdua dengan Evelyn. Dan mereka berdua lebih senang menghabiskan waktu bersama di dalam kamar saja. "Ini hari Minggu loh. Kamu gak ada keinginan untuk jalan-jalan?" Alan bertanya pada Evelyn. Sekarang, posisinya Evelyn duduk di atas ranjang dengan kaki selonjoran. Sedangkan Alan berbaring dengan paha Evelyn yang dijadikan sebagai bantal. "Kan dokter bilang kalau aku belum boleh banyak berjalan. Jadinya lebih baik diam di rumah saja. Aku gak bosan kok. Kan ada Mas Alan yang menemani aku," jawab Evelyn. Sebelah tangannya bergerak menyentuh dan memainkan rambut Alan yang lebat. "Itu benar." Alan bergumam pelan. Matanya terpejam, menikmati usapan lembut tangan Evelyn di kepalanya. "Mas, sekarang kan aku sudah bisa berjalan walau belum normal sepenuhnya. Jadi, bagaimana kalau kita merencanakan punya anak saja sekarang?" Evelyn bertanya pada Alan dengan perasaan sedikit khawatir aka
Delapan bulan kemudian.Bulan demi bulan terlewati, dan tak terasa semuanya sudah berlalu cukup lama sejak kecelakaan waktu itu terjadi. Hukuman sudah diberikan pada Citra dan suaminya, juga pada supir minibus yang mengaku di bayar oleh pasangan suami istri tersebut.Sebagaimana yang Alan katakan di awal, dia puas karena sudah berhasil menghajar suami Citra di kantor polisi, dan jelas tak ada yang membela pria itu. Dan yang Alan katakan tentang Citra pun benar terjadi. Satu bulan Citra dalam penjara, dia habis di siksa dan dipukuli oleh teman satu selnya. Kenapa bisa begitu? Simple saja. Alan punya banyak uang agar setiap yang dia inginkan bisa terlaksana.Setelah bulan demi bulan terlewati, kondisi kaki Evelyn pun terus membaik. Dokter bilang tulangnya yang patah sudah menyatu kembali. Evelyn sudah mulai bisa berjalan, walau begitu dokter menyarankan agar tidak terlalu lama saat berjalan. Namun, untuk kegiatan di rumah sekarang sudah bisa dilakukan."Eve, harusnya kamu istirahat saja