"Cepatlah, Paman! Jangan lambat!"
"Kamu yang lambat. Ikat dulu tali sepatumu!"
"Nanti saja di mobil."
Dave dan Taylor masuk ke mobil bersamaan. Duduk bersebelahan. Dave memakai sabuk pengaman, sedangkan Taylor mengikat tali sepatu sambil menggigit roti.
"Lepas dulu rotimu. Sini, biar kupegang." Dave mengambil roti Taylor. "Apa kamu selalu seperi ini, jika ingin berangkat sekolah?"
"Tidak. Ini karena Paman lambat, jadi aku sedikit kesiangan," tuduh Taylor sambil memakai sabuk pengaman.
Dave mengembalikan roti Taylor dengan wajah masam. "Bisanya menuduhku saja. Nanti pulang kabari aku, biar kujemput."
"Tidak perlu," balas Taylor sambil mengunyah. "Setelah sekolah, aku ada tugas kelompok dengan teman-teman di rumah teman."
Sambil menyetir, Dave menoleh sesekali pada Taylor dengan curiga. "Siapa temanmu? Brian?"
Seketika, salah satu ujung bibir Taylor terangkat. Sengaja membuat Dave kesal. "Ya. Ada tugas kelompok. Aku dan dia harus bekerja sama di rumahnya, entah sampai jam berapa. Tugas itu harus selesai malam ini." Seperti biasa, tatapan Taylor menatap ke arah lain.
Dave tahu, jika Taylor berbohong. Maka dari itu, Dave mencubit pipi Taylor, sehingga Taylor memukul lengan kekar Dave berkali-kali.
Sampai di sekolah, Taylor langsung keluar dari mobil Dave tanpa sepatah kata pun. Akan tetapi, Dave memanggil Taylor untuk memberi sesuatu.
"Gadis dingin." Merasa dipanggil, Taylor pun menoleh. Sesuatu yang diberikan adalah kecupan dari jarak jauh, dan mata genit.
"Dih, menjijikan," guman Taylor, setelah membuang wajah ke arah lain dan meninggalkan Dave. "Dasar, tidak ingat umur," lanjutnya bergumam. Namun, salah satu ujung bibir Taylor terangkat lagi.
***
"Apa? Mengundurkan diri? Kenapa?" Dave terkejut mendengar pernyataan wanita yang duduk di depan meja kerjanya.
Wanita dengan pakaian ketat dan minim adalah model dari perusahaan parfum milik Dave Jo, Madonna Ellenoir, yang biasa dipanggil Donna. Sudah bekerja selama dua tahun lebih. Dan sekarang, ingin mengundurkan diri.
"Kamu tidak bisa melakukan ini. Parfumku laris juga karenamu. Aku sudah membayarmu mahal. Akan kubayar tiga kali lipat, asalkan kamu tidak keluar." Dave berusaha mempertahankan wanita yang berhasil membuat perusahaannya lancar.
Donna berjalan mendekati Dave dengan menggoda, juga membelai pipi Dave dengan lembut. "Selain uang, aku juga ingin yang lain. Sudah lama kita tidak melakukannya."
Apa yang Dave katakan pada Taylor kemarin, berbanding terbalik. Nyatanya, ada yang menyukai Dave.
Bahkan, Dave dan Donna sudah pernah melakukan hubungan intim, entah itu berapa kali. Sayangnya, status mereka hanya sebatas CEO dan model.
Yang namanya napsu, jika tidak bisa ditahan, maka larangan pun dilawan. Dave tergoda dengan Donna, sehingga Dave menaruh Donna tiba-tiba di atas meja kerja.
Bibir mereka saling bertemu. Sudah lama tidak melakukan hubungan intim, napsu mereka terlihat sangat membara. Dave maupun Donna, mereka sama-sama menginginkan kehangatan.
Di tambah lagi, menara sutet Dave pernah terbangun karena Taylor yang berontak. Membuat Dave ingin meniduri kembali menara sutet yang tercekik di celana.
Donna melepas jas Dave tanpa sabaran. Begitu juga dengan Dave, yang menyingkap baju Donna.
Untung ruangan Dave kedap suara, jika tidak, maka para pegawai pasti mendengar suara erangan mereka.
Hasil hubungan intim mereka pun keluar, bahkan tercecer di lantai.
Mereka merapikan pakaian menjadi rapi, supaya tidak ada yang curiga.
"Donna, kumohon, jangan pergi. Caramu mengiklankan produk parfum yang kubuat, selalu bisa menarik perhatian, dan banyak peminat. Sangat sulit mencari yang sepertimu." Dave sesekali mengecup pundak Donna.
Senyuman Donna terpancar. Kedua lengannya melingkar di leher Dave. "Kalau begitu, nikahi aku."
Seketika, Dave menatap Donna terkejut. Permintaan Donna membuat Dave tidak bisa berpikir.
"Menikah? Aku ... Aku tidak tahu-"
"Dave, sampai kapan tidak tahu? Aku sangat mencintaimu, bahkan rela memberi tubuh padamu," potong Donna yang sedikit kecewa.
Dave melepas lengan Donna, ketika bertanya, "Kamu menjebakku?"
"Itu bukan jebakan, sayang. Itu tanda cintaku padamu," jawab Donna dengan memegang dagu pria yang dicintai. "Lagipula, kamu juga tidak bisa kehilanganku, 'kan? Gunakan aku untuk produk parfummu dan untuk anak kita di masa depan."
Bingung menjawab, Dave mengusap wajah. "Akan kupikirkan."
"Baiklah. Kuberi waktu sebulan. Lebih dari itu, aku sungguh akan mengundurkan diri," balas Donna dengan memberi kecupan di bibir Dave, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Dave membersihkan hasil hubungan intim yang begitu liar. Setelah itu, duduk di kursi kebesaran sambil menghela napas.
Sulit bagi Dave untuk memenuhi permintaan Donna, tetapi Donna adalah sumber keuangan.
Alasan Dave belum ingin menikah sampai sekarang adalah belum ada wanita yang mampu membuatnya tertarik. Tidak hanya suka pada fisik, tetapi dari hati yang terdalam.
Dave mengaku, jika banyak wanita yang menyukainya. Namun, Dave belum tertarik dan ragu. Apakah para wanita yang menyukainya itu sungguh dari hati, atau sekedar ucapan?
"Astaga. Tidak ada wanita satu pun yang menyukaimu? Omong kosong. Biar kucarikan." Tiba-tiba Dave teringat ucapan Taylor.
Suara dering ponsel membuat Dave terkejut. "Kenapa, gadis dinginku?" Panjang umur, Taylor.
"Paman Jo, aku bukan Taylor. Asma Taylor kambuh, dan inhaler-nya habis. Sekarang Taylor ada di UKS sekolah."
"Aku segera ke sana!" Dave langsung mematikan panggilan, dan meninggalkan perusahaan dengan terburu-buru.
Jika terjadi sesuatu pada Taylor, maka Tina, sahabat Dave, Mamanya Taylor, akan memarahi Dave habis-habisan. Dan Johan, Papanya Taylor, juga akan memarahi Dave dari langit.
***
Taylor terbaring di UKS sekolah dengan wajah pucat dan tubuh lemas. Kepala Taylor diberi sampai tiga bantal, supaya pernapasannya kembali berjalan normal.
"Aku sudah menghubungi pamanmu. Dia akan datang." Siswi dengan rambut ikal menaruh ponsel Taylor di nakas. "Biar kutebak, pasti kamu belum sarapan, 'kan?"
"Aku sarapan ...," jawab Taylor dengan lemah.
"Riley, lebih baik kamu kembali ke kelas. Taylor akan kujaga." Dokter wanita cantik bernama Elsa baru saja mengisi data murid yang masuk ke UKS.
Sebagai sahabat, Riley tidak ingin meninggalkan Taylor, walaupun ada Dokter Elsa yang menjaga. Namun, Riley sehat bugar, dan harus melanjutkan pelajaran.
Beberapa detik saat Riley keluar, Dave masuk dengan wajah cemas.
"Anda pasti Pamannya Taylor," sahut Dokter Elsa. "Saya ingin menyampaikan, kalau inhaler Taylor habis. Tadinya saya pikir, tidak ada inhaler di sini, karena jarang sekali murid yang terkena asma. Untung ada satu," jelasnya.
"Terima kasih, sudah membantu Taylor." Dave berterima kasih pada dokter, sambil memegang dan mengusap wajah Taylor.
Sebagai dokter, Elsa harus tahu apa yang terjadi pada Taylor. "Kalau boleh saya tahu, apa Taylor sudah sarapan?"
Sambil menatap sang dokter, Dave menjawab, "Hanya sarapan roti, dok."
"Jangan dibiasakan, Pak. Sepertinya, Taylor tidak bisa hanya sarapan roti di pagi hari. Wajahnya terlihat pucat. Selagi anda ada di sini, biar saya belikan sarapan untuk Taylor. Saya juga ingin beli sesuatu. Saya permisi." Dengan baik hati, Dokter Elsa rela mengeluarkan uang untuk Taylor.
Dave menatap Taylor, yang sedang menatap ke arah lain. "Kenapa tidak bilang, kalau inhaler-mu habis? Bisa kubelikan kemarin. Mamamu belum tahu?"
"Kupikir, inhaler-ku masih ada. Ternyata tidak, jadi aku tidak bilang," jawab Taylor sambil menutup mata.
Helaan napas Dave keluar. Ini bukan waktunya untuk marah. "Ingin lanjut belajar, atau pulang? Aku akan mengantarmu. Pelayan di rumah akan mengurusmu."
Jawaban Taylor adalah gelengan kepala. "Masih ingin belajar. Tolong belikan aku inhaler saja," pintanya sambil menatap mata Dave.
Sepertinya Dave lupa, jika mata Taylor sangat tajam. Jadi, apa pun yang terjadi pada orang yang ditatap Taylor, pasti Taylor bisa menebak. Ditambah lagi, Taylor juga hapal gerak-gerik Dave selama ini.
"Ada apa? Paman berkeringat, padahal di sini AC menyala."
Tidak ingin Taylor tahu apa yang terjadi di ruang kerja, Dave berusaha menetralkan diri. "Aku panik, setelah mendengar kabarmu. Jadi, aku berlari, dan berkeringat."
Taylor pun menganggukkan kepala, tanda percaya.
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.