LOGINElyse terbangun dengan kepala berat. Kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Pandangannya menyapu ruangan itu, ruangan yang sama seperti semalam.
Ruangan tempat dia dan-
Elyse membeku.Dengan cepat dia melihat dirinya sendiri. Bagian atas gaunnya masih rapi, tapi roknya… tersingkap berantakan. Napasnya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri sambil mencoba mengingat.
“Semalam… apa yang terjadi?” bisiknya.
Tidak ada jawaban. Hanya denyut jantungnya yang terdengar begitu keras.
“Kenapa aku tidak ingat…?” gumamnya lagi.
Matanya mencari sosok lelaki itu, sia-sia. Ruangan itu kosong. Hening. Udara masih beraroma wine dan wangi tubuh lelaki itu, seakan bukti bahwa semalam bukan mimpi.
“Apakah… sudah selesai? Apakah aku tidak suci lagi?” Elyse menelan ludah. “Ternyata… tidak semenakutkan yang dikatakan Viona dan yang lainnya.”
Ia terbaring lagi, menatap langit-langit sambil menghela napas panjang, hingga matanya menangkap sesuatu di meja kecil dekatnya.
Sekantung uang.
Dan secarik kertas.Aliran panas naik ke wajahnya.
Perlahan, dengan tangan gemetar, ia mengambil kertas itu.
Gunakan ini untuk membeli apapun. Terima kasih untuk semalam.
BRUK.
Kantung koin jatuh. Uang itu berhamburan ke lantai, bergulir ke segala arah.
“Apa… apa maksudnya ini?” Elyse membatu, lalu suaranya meninggi penuh amarah.
“Dia pikir aku wanita murahan?!”Suasana kacau, koin berserakan, napas Elyse memburu, wajahnya memerah antara malu dan marah.
“Jadi tuan putri sudah bangun?”
Elyse segera menoleh. Viona berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa ekspresi sebelum berjalan mendekat.
“Kenapa kau marah tidak jelas begitu?” tanya Viona santai.
“Lihat ini!” Elyse mengangkat kantung koin sambil menunjuk surat itu. “Dia membayar aku! Dia pikir aku seorang pelacur!”
Viona mengedip pelan lalu menghela napas panjang.
“Kau gila?”
“Apa maksudmu?”
“Kau MENDATANGI tempat seperti ini, melakukan sesuatu TANPA pikir panjang, lalu terkejut karena diperlakukan seperti seseorang yang… yah.” Viona mengangkat bahu. “Jangan drama.”
“Tapi-”
“Cukup.” Nada Viona berubah tajam. “Kalau kau tidak mau dianggap murahan, JANGAN melakukan sesuatu yang membuatmu terlihat seperti itu.”
Kata-kata itu menusuk. Dalam, dan menyakitkan.
Elyse menunduk. Lalu, perlahan namun pasti, ia mulai memunguti koin satu per satu.
Viona mengejek dengan suara dingin, “Kau bilang bukan wanita murahan, tapi uangnya tetap kau ambil?”
Elyse tidak menjawab. Tangannya hanya terus meraih setiap koin dengan rahang terkunci.
Uang itu, suka atau tida, sudah dibayar. Maka itu haknya.
Tanpa sepatah kata lagi, Elyse bangkit, merapikan gaunnya, dan melangkah keluar ruangan.
Ia hanya meninggalkan satu hal,
Secarik kertas itu.
Elyse baru saja melangkah masuk melewati pintu utama mansion Leclair ketika suara melengking itu mengguncang seluruh ruangan.
“ELYSE LECLAIR!”
Tubuh Elyse langsung membeku.
Countess Leclair muncul dari arah ruang tengah, wajahnya merah, rambutnya berantakan, dan tongkat panjang di tangannya terangkat tinggi.
BRUK!
“Akh—! Ibu! Maaf! Ampun!” Elyse langsung menutup kepala dan mundur cepat, mencoba menghindari pukulan berikutnya.
“Anak durhaka! Kau pergi ke pesta salon Marchioness Elgam?!” suara Countess meledak seperti petir. “Apa kau berniat menghancurkan nama keluarga ini?!”
Elyse berlari kecil mengitari sofa, Countess mengejar tanpa berhenti memaki.
“Ayah! Tolong!” Elyse hampir menangis saat Count Leclair akhirnya turun tangan dan menahan tangan istrinya.
“Erika, cukup. Jangan buat ini semakin kacau.”
“Dia pantas mendapatkannya!” Countess masih mencoba menyerang, tapi Count menahannya. “Aku sudah melarangmu bergaul dengan Lady Katris! Tapi kau malah pergi mabuk dengannya! Apa kau kehilangan akal?!”
Elyse mengatur napas sambil bersembunyi di belakang ayahnya.
“Aku hanya-”
“Diam!” bentak Countess.
Count menatap Elyse dengan wajah kecewa, bukan marah, dan anehnya, itu jauh lebih menyakitkan.
“Sekarang bukan waktunya ribut,” katanya pelan. “Duke dan keluarganya akan tiba sebentar lagi.”
Elyse membeku.
“…apa?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Jester dan keluarganya pagi ini akan berkunjung,” ulang Count tenang.
Mata Elyse membulat. “Kenapa?! Untuk apa mereka ke sini? Bukankah-”
Countess menyilangkan tangan dan mendengus.
“Karena pernikahanmu, tentu saja.”
Nada suaranya sinis. “Atau kau lupa karena terlalu sibuk menari telanjang di pesta salon?!”“Ibu!” Elyse memerah, marah dan malu berbaur menjadi satu.
Count menepis pertengkaran itu dengan satu kalimat tambahan, datar namun jelas:
“Dan, hari ini juga Yang mulia Kaisar akan pergi ke kediaman Velcross untuk menemui Ivanka.”
Hening.
Udara seperti berhenti bergerak.
Nama itu, Ivanka Velcross.
Wanita yang selalu dibandingkan dengannya sejak kecil. Yang sempurna. Yang lembut. Yang pantas.Yang selalu diinginkan Jester.
Countess mendekat dan berbicara pelan tapi menusuk.
“Jadi pergilah bersiap. Cuci wajahmu, rapikan dirimu. Jangan mempermalukan kami di depan Duke.”
“Pernikahanmu adalah jalan keluarga ini tetap bernapas. Dan masa depan kakakmu bergantung padamu.”
Elyse menatap mereka bergantian. Marah. Sakit hati. Namun tak ada satu pun pilihan.
Tanpa menjawab, ia membalikkan badan.
Langkahnya pelan menaiki tangga, gaun pesta semalam masih kusut, rambut berantakan, sisa parfum lelaki asing masih menempel di kulitnya.
Ia masuk ke kamarnya.
Menutup pintu perlahan.
Dan barulah, air matanya jatuh.
Suara kereta berhenti di halaman depan mansion Leclair membuat seluruh mansion tegang. Para pelayan bergerak cepat, tirai ditata rapi, meja teh disiapkan, semua tampak seolah kedatangan tamu itu adalah kedatangan raja.
Elyse melangkah turun dari tangga tepat saat pintu utama dibuka untuk menyambut Duke Levric dan keluarganya.
Semua orang berhenti sejenak.
Jester, lelaki yang selama ini selalu berkata bahwa kesederhanaan adalah mahkota Duchess Levric, nyaris lupa bernapas.
Elyse berdiri anggun dalam gaun panjang berpotongan modern, bahu terbuka, dengan warna lembut yang menonjolkan kecantikan alami dan kesegaran wajahnya. Rambutnya dibiarkan terurai rapi, sedikit bergelombang, dihias permata ringan di atas kepalanya. Kalung dan anting sederhana tapi berkilau menambah kesan muda dan elegan, sangat berbeda dari tampilan formal glamor Ivanka yang biasa diberikan Jester.
Berani. Dewasa. Tapi tetap seperti gadis muda seusianya.
Countess Levric, ibu Jester, mengangkat alis tinggi dengan tatapan sinis.
“Elyse,” ucapannya terdengar manis tapi dingin, “seorang calon Duchess tidak seharusnya berdandan seperti… ini.”
Count Leclair memucat. “Elyse, apa yang-”
Namun Elyse tersenyum tenang.
“Apakah ini salah, Nyonya?” suaranya lembut tapi penuh duri. “Saya hanya berpikir… gadis muda seusia saya berhak memakai gaun indah dan permata cantik. Bukankah para Lady bangsawan lain juga begitu?”
Ruangan seketika sunyi.
Jester menatapnya lama, kagum dan sedikit terkejut.
“Biarkan saja,” akhirnya ia berkata pelan, masih mencoba mencerna. “Kalau Elyse ingin tampil seperti ini, biarkan saja. Tapi setelah menikah, kau tidak boleh berpakaian seperti ini lagi, karena kau akan menjadi Duchess.”
“Benar, Nyonya,” gumam Countess sambil tersenyum tipis. “Sekarang Elyse tampak seperti Lady pada umumnya tentu untuk menarik perhatian calon suaminya.”
Jester menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan aku menyukaimu apa adanya. Kita tetap akan menikah, jadi jangan khawatir.”
Elyse tertawa pelan, tipis tapi mematikan. Lalu, sambil menyisir gelombang rambutnya yang jatuh indah di bahu, ia menatap Jester langsung dan berkata dengan tegas:
“Siapa bilang saya ingin menikah dengan anda?”
Elyse berhenti dan menoleh. Ia melihat Ivanka menatap Jester, lalu Jester yang sekarang malah menatapnya. Bohong kalau Elyse tidak berharap Jester akan mengejarnya… tapi jelas tidak. Jester tetap memilih berdiri di sisi Ivanka.Dengan napas berat, Elyse akhirnya pergi ke balkon. Ruangan pesta terasa terlalu sesak, terlalu banyak tatapan, terlalu banyak rasa sakit setiap kali melihat Jester gelisah saat Kaisar dan Ivanka menari. Dan yang paling memuakkan melihat Jester akan selalu memilih Ivanka.Di balkon, udara lebih tenang. Elyse bersandar dan menyesap wine, berharap dadanya ikut tenang.Namun baru beberapa detik berlalu, ia mendengar langkah seseorang mendekat dari belakangnya.Gaun mewah berwarna perak masuk menyusul langkah pelan, Ivanka.Tanpa salam, tanpa basa-basi, Ivanka membuka percakapan dengan nada penuh superioritas.“Aku pikir dengan aku menjadi ratu, Jester akhirnya akan bersikap baik padamu,” ucap Ivanka santai, seolah kalimat itu tidak menyakitkan.Elyse tak langsung
Pagi itu saat Elyse bangun tidur, ia berharap semuanya sudah berakhir setelah malam itu. Biarlah jika Jester ingin mengejar Ivanka. Ia bahkan sudah membayangkan hidup tanpa pertunangan dengan Jester dan hidup tanpa harapan kedua orang tuanya.Namun kenyataan tidak memberinya waktu untuk bernapas.Saat pelayan sedang membantunya menyisir rambut, pintu kamar terbuka kencang. Countess Leclair berjalan masuk.“Biarkan aku yang lakukan.”Pelayan langsung menunduk dan mundur. Countess berjalan mendekat dan mengambil sisir itu, gerakannya lembut… hampir penuh kasih.Elyse menahan napas.Countess jarang sekali melakukan hal seperti ini.Rasanya… aneh. Tapi juga sekaligus terasa hangat.Sisir bergerak perlahan melewati rambutnya, membuat Elyse tersenyum kecil. Tak ada tarik menarik atau kasar, Countess menyisir rambutnya seolah rambut itu miliknya sendiri.“Aku dengar kau mengatakan sesuatu pada Jester kemarin,” ucap Countess pelan.“Apa maksud ibu?” Elyse mencoba tenang, meski tubuhnya gemeta
"Kau berada di pesta semalam kan?"Elyse membeku seketika saat Dyall mengulang perkataannya. Tubuhnya seolah tak bisa bergerak, tatapannya tetap terpaku pada Dyall, yang menatapnya dengan tenang, seolah semua itu bukan hal besar.“Anda-” suara Elyse nyaris tercekat. Tidak mungkin Kaisar Dyall adalah pria bertopeng burung hantu yang menghabiskan malam bersamanya di pesta itu!“Ya, aku topeng burung hantu,” jujur Dyall tanpa ragu.Deg.Elyse menutup mulutnya rapat-rapat. Dia hampir berteriak jika logikanya tak bekerja. Jantungnya berdebar kencang, wajahnya memerah, dan rasa malu bercampur marah menimpa dirinya.“Kau baik-baik saja?” tanya Dyall, melihat perubahan wajah Elyse.“Bagaimana saya bisa baik-baik saja di depan orang yang… meniduri saya dan memperlakukan saya seperti pelacur?” ketus Elyse, berusaha menahan teriak. Bagaimana tidak? Setelah tidur dengan lelaki ini yang ternyata adalah seorang Kaisar, Elyse diberi sekantung uang dan diperlakukan layaknya pelacur. Ia ingin melempa
“Apa maksudnya ini sekarang?!” teriak Nyonya Levric, Duchess terdahulu keluarga itu, suaranya penuh keterkejutan mendengar ucapan Elyse.“Astaga! Apa yang dikatakannya?” bisik Duke Levric terdahulu, ayah Jester, sambil menatap putrinya dengan tak percaya.“Elyse, kau, apakah kau gila?” sahut Jester dengan nada hampir tidak percaya.“Saya tidak gila,” Elyse membalas dengan tajam. “Seharusnya saya yang menyadarkan anda. Berciuman dengan wanita lain di depan calon istri anda sendiri adalah tindakan yang tidak masuk akal!”Semua orang membeku, termasuk Jester.“Elyse, ini tidak seperti-” mulai Jester, namun terhenti.“Tidak seperti apa?” Elyse memotong. “Anda bahkan tidak melihat saya saat anda mencium wanita lain dengan begitu nyata, di depan kedua mata saya!”Ruang itu hening. Semua mata menatap Elyse, tak ada seorang pun yang bisa menegur. Kali ini, dia tak mau menahan diri. Ia tak mau lagi menikah dengan bajingan ini.“Apa maksudnya ini sekarang, Jester?” bentak ayah Jester, suaranya
Elyse terbangun dengan kepala berat. Kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Pandangannya menyapu ruangan itu, ruangan yang sama seperti semalam.Ruangan tempat dia dan-Elyse membeku.Dengan cepat dia melihat dirinya sendiri. Bagian atas gaunnya masih rapi, tapi roknya… tersingkap berantakan. Napasnya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri sambil mencoba mengingat.“Semalam… apa yang terjadi?” bisiknya.Tidak ada jawaban. Hanya denyut jantungnya yang terdengar begitu keras.“Kenapa aku tidak ingat…?” gumamnya lagi.Matanya mencari sosok lelaki itu, sia-sia. Ruangan itu kosong. Hening. Udara masih beraroma wine dan wangi tubuh lelaki itu, seakan bukti bahwa semalam bukan mimpi.“Apakah… sudah selesai? Apakah aku tidak suci lagi?” Elyse menelan ludah. “Ternyata… tidak semenakutkan yang dikatakan Viona dan yang lainnya.”Ia terbaring lagi, menatap langit-langit sambil menghela napas panjang, hingga matanya menangkap sesuatu di meja kecil dekatnya.Sekantung uan
"Elyse, hentikan! Ini sudah gelas keberapa? Kalau kau terus minum seperti ini, kau akan pingsan!" Nada suara Viona tidak membuat Elyse berhenti menenggak isi gelasnya, gelas keempat, atau mungkin kelima, ia sudah tidak peduli."Viona… lepaskan aku." Elyse menepis tangan temannya dengan gerakan putus asa.Mereka duduk di sebuah sofa beludru hitam di dalam Salon, pesta rahasia yang hanya diakses oleh bangsawan kelas tertinggi, tempat mereka melampiaskan hasrat terpendam. Seharusnya Elyse tidak ada di sini. Jika sang ayah tahu, sudah dipastikan dirinya akan mendapatkan hukuman yang mengerikan.Tapi, pagi ini Elyse mendengar calon suaminya, Jester, Duke Levric, terang-terangan berkata ia menikahi Elyse agar wanita yang ia cintai bisa menjadi Ratu. Dan yang lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Ivanka, sepupunya sendiri!"Aku tidak pernah mencintai Elyse, aku hanya menikahinya agar posisi ratu dimiliki Ivanka. Hanya Ivanka yang pantas. Dan aku akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan wa







