LOGINElyse berhenti dan menoleh. Ia melihat Ivanka menatap Jester, lalu Jester yang sekarang malah menatapnya.
Bohong kalau Elyse tidak berharap Jester akan mengejarnya… tapi jelas tidak. Jester tetap memilih berdiri di sisi Ivanka.Dengan napas berat, Elyse akhirnya pergi ke balkon. Ruangan pesta terasa terlalu sesak, terlalu banyak tatapan, terlalu banyak rasa sakit setiap kali melihat Jester gelisah saat Kaisar dan Ivanka menari. Dan yang paling memuakkan melihat Jester akan selalu memilih Ivanka.
Di balkon, udara lebih tenang. Elyse bersandar dan menyesap wine, berharap dadanya ikut tenang.
Namun baru beberapa detik berlalu, ia mendengar langkah seseorang mendekat dari belakangnya.
Gaun mewah berwarna perak masuk menyusul langkah pelan, Ivanka.
Tanpa salam, tanpa basa-basi, Ivanka membuka percakapan dengan nada penuh superioritas.
“Aku pikir dengan aku menjadi ratu, Jester akhirnya akan bersikap baik padamu,” ucap Ivanka santai, seolah kalimat itu tidak menyakitkan.
Elyse tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh pelan.
“Kau datang hanya untuk mengatakan hal ini?” tanyanya datar.
Ivanka menyilangkan tangan.
“Tidak. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa kehidupan ini hanya tertuju padaku, dan hanya akulah yang akan memiliki semuanya.”
“Seperti dulu.”
Elyse mengangkat sudut bibirnya, sebuah senyum sinis muncul.
“Jadi setelah mendapatkan Kaisar… kau juga ingin Jester?”
Ivanka tak menyembunyikan ambisinya.
“Aku akan mendapatkan semua yang kau inginkan.”Elyse menarik napas panjang dan mengalihkan pandangan ke langit.
“Ternyata seperti itu tujuanmu…”
Ivanka mendekat sedikit, berbisik tajam.
“Memangnya kenapa? Apakah kau ingin melihat dengan jelas apakah kau itu penting atau tidak?”
Elyse hendak menjawab, namun sesuatu terjadi begitu cepat.
Brugh!
“AKHHH-!”
Elyse membelalak. Ivanka, kini bergantung pada pagar balkon, seolah baru saja didorong.
“Iv?!” Elyse refleks bergerak maju.
Namun sebelum ia sempat mendekat, suara yang paling ingin ia hindari menggema keras dari balik pintu balkon.
“IVANKAAA!!”
Jester berlari, wajahnya panik. Dan tanpa berpikir, ia mendorong Elyse keras.
Gelas wine Elyse terjatuh, pecah. Punggungnya menghantam pagar balkon dengan keras hingga napasnya terhambat.
Jester menarik Ivanka naik dan memeluknya erat, seolah Elyse adalah ancaman.
“Apa yang kau lakukan, huh!?” teriak Jester, matanya penuh amarah.
Elyse mencoba berdiri dengan susah payah.
“Aku tidak melakukan apa pun,” jawab Elyse pelan, suaranya gemetar.
“Jadi maksudmu dia menjatuhkan dirinya sendiri!?” balas Jester penuh tuduhan.
“Ak-”
“Seharusnya kau yang jatuh!!”
Bisik-bisik tamu berubah menjadi suara setuju. Mereka mulai mengerubungi Ivanka, menanyakan keadaannya, memujinya, memuja Jester sebagai pahlawan.
Elyse mencoba mendekat.
“Jester… aku-”
Brugh-
“AAAKHH-!!”
Dorongan kedua jauh lebih kuat.
Elyse jatuh dari balkon, tubuhnya menghantam lantai bawah dengan suara yang membuat napasnya terputus.
Kesakitan menyebar dari tulang belakang hingga seluruh tubuhnya. Ia tak bisa bergerak.
Di atas sana, Jester menatap tajam dengan tatapan penuh kebencian.
“Kau pantas mendapatkannya!!”
Air mata Elyse jatuh tanpa bisa ditahan.
“Jester… tolong…” suaranya sangat pelan, rapuh, hampir tak terdengar.
Tak ada tangan yang membantu.
Semua orang sibuk, mengurus Ivanka, sang calon ratu.Elyse tetap di lantai, tubuhnya kaku dan sakit menjalar hebat. Ia mencoba bangkit, tapi hanya sampai pada posisi duduk dengan tubuh menelungkup, menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ia menangis, bukan hanya karena luka fisik… tapi karena kenyataan bahwa semua orang merasa ia pantas diperlakukan seperti itu.
Suara langkah mendekat. Elyse mendongak pelan, tubuhnya masih gemetar menahan sakit dan takut.
Saat melihat siapa yang berdiri di depannya, napasnya tertahan.
Kaisar Dyall.
“Yang mulia… bukan saya… saya tidak mendorongnya,” ucap Elyse pelan. Suaranya bergetar, kepalanya menunduk dalam-dalam karena semua orang menuduhnya.
Dyall tidak langsung bicara. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan,
“Aku percaya.”
Elyse langsung mengangkat kepala, terkejut.
“Anda… percaya pada saya?”Dyall berjongkok di hadapannya, membuat jarak mereka dekat.
Ia mengangguk.
“Apakah kau menyesal sekarang?”Elyse mengerutkan kening.
“Menyesal apa?”“Mengundurkan diri dari kandidat ratu… dan hidup seperti ini.”
Air mata Elyse akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Dyall lalu mengulurkan tangan ke arahnya.
“Mau aku bantu balas dendam?”
Elyse menatap tangan itu, mengingat malam pesta salon ketika dia melakukan hal yang sama.
Dengan suara lemah ia bertanya,
“B-bagaimana caranya?”Dyall menatapnya dengan ekspresi tenang, lalu berkata jelas:
“Menikahlah denganku dan kau akan mendapatkan apapun yang kau inginkan."
Elyse berhenti dan menoleh. Ia melihat Ivanka menatap Jester, lalu Jester yang sekarang malah menatapnya. Bohong kalau Elyse tidak berharap Jester akan mengejarnya… tapi jelas tidak. Jester tetap memilih berdiri di sisi Ivanka.Dengan napas berat, Elyse akhirnya pergi ke balkon. Ruangan pesta terasa terlalu sesak, terlalu banyak tatapan, terlalu banyak rasa sakit setiap kali melihat Jester gelisah saat Kaisar dan Ivanka menari. Dan yang paling memuakkan melihat Jester akan selalu memilih Ivanka.Di balkon, udara lebih tenang. Elyse bersandar dan menyesap wine, berharap dadanya ikut tenang.Namun baru beberapa detik berlalu, ia mendengar langkah seseorang mendekat dari belakangnya.Gaun mewah berwarna perak masuk menyusul langkah pelan, Ivanka.Tanpa salam, tanpa basa-basi, Ivanka membuka percakapan dengan nada penuh superioritas.“Aku pikir dengan aku menjadi ratu, Jester akhirnya akan bersikap baik padamu,” ucap Ivanka santai, seolah kalimat itu tidak menyakitkan.Elyse tak langsung
Pagi itu saat Elyse bangun tidur, ia berharap semuanya sudah berakhir setelah malam itu. Biarlah jika Jester ingin mengejar Ivanka. Ia bahkan sudah membayangkan hidup tanpa pertunangan dengan Jester dan hidup tanpa harapan kedua orang tuanya.Namun kenyataan tidak memberinya waktu untuk bernapas.Saat pelayan sedang membantunya menyisir rambut, pintu kamar terbuka kencang. Countess Leclair berjalan masuk.“Biarkan aku yang lakukan.”Pelayan langsung menunduk dan mundur. Countess berjalan mendekat dan mengambil sisir itu, gerakannya lembut… hampir penuh kasih.Elyse menahan napas.Countess jarang sekali melakukan hal seperti ini.Rasanya… aneh. Tapi juga sekaligus terasa hangat.Sisir bergerak perlahan melewati rambutnya, membuat Elyse tersenyum kecil. Tak ada tarik menarik atau kasar, Countess menyisir rambutnya seolah rambut itu miliknya sendiri.“Aku dengar kau mengatakan sesuatu pada Jester kemarin,” ucap Countess pelan.“Apa maksud ibu?” Elyse mencoba tenang, meski tubuhnya gemeta
"Kau berada di pesta semalam kan?"Elyse membeku seketika saat Dyall mengulang perkataannya. Tubuhnya seolah tak bisa bergerak, tatapannya tetap terpaku pada Dyall, yang menatapnya dengan tenang, seolah semua itu bukan hal besar.“Anda-” suara Elyse nyaris tercekat. Tidak mungkin Kaisar Dyall adalah pria bertopeng burung hantu yang menghabiskan malam bersamanya di pesta itu!“Ya, aku topeng burung hantu,” jujur Dyall tanpa ragu.Deg.Elyse menutup mulutnya rapat-rapat. Dia hampir berteriak jika logikanya tak bekerja. Jantungnya berdebar kencang, wajahnya memerah, dan rasa malu bercampur marah menimpa dirinya.“Kau baik-baik saja?” tanya Dyall, melihat perubahan wajah Elyse.“Bagaimana saya bisa baik-baik saja di depan orang yang… meniduri saya dan memperlakukan saya seperti pelacur?” ketus Elyse, berusaha menahan teriak. Bagaimana tidak? Setelah tidur dengan lelaki ini yang ternyata adalah seorang Kaisar, Elyse diberi sekantung uang dan diperlakukan layaknya pelacur. Ia ingin melempa
“Apa maksudnya ini sekarang?!” teriak Nyonya Levric, Duchess terdahulu keluarga itu, suaranya penuh keterkejutan mendengar ucapan Elyse.“Astaga! Apa yang dikatakannya?” bisik Duke Levric terdahulu, ayah Jester, sambil menatap putrinya dengan tak percaya.“Elyse, kau, apakah kau gila?” sahut Jester dengan nada hampir tidak percaya.“Saya tidak gila,” Elyse membalas dengan tajam. “Seharusnya saya yang menyadarkan anda. Berciuman dengan wanita lain di depan calon istri anda sendiri adalah tindakan yang tidak masuk akal!”Semua orang membeku, termasuk Jester.“Elyse, ini tidak seperti-” mulai Jester, namun terhenti.“Tidak seperti apa?” Elyse memotong. “Anda bahkan tidak melihat saya saat anda mencium wanita lain dengan begitu nyata, di depan kedua mata saya!”Ruang itu hening. Semua mata menatap Elyse, tak ada seorang pun yang bisa menegur. Kali ini, dia tak mau menahan diri. Ia tak mau lagi menikah dengan bajingan ini.“Apa maksudnya ini sekarang, Jester?” bentak ayah Jester, suaranya
Elyse terbangun dengan kepala berat. Kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya membuka sepenuhnya. Pandangannya menyapu ruangan itu, ruangan yang sama seperti semalam.Ruangan tempat dia dan-Elyse membeku.Dengan cepat dia melihat dirinya sendiri. Bagian atas gaunnya masih rapi, tapi roknya… tersingkap berantakan. Napasnya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri sambil mencoba mengingat.“Semalam… apa yang terjadi?” bisiknya.Tidak ada jawaban. Hanya denyut jantungnya yang terdengar begitu keras.“Kenapa aku tidak ingat…?” gumamnya lagi.Matanya mencari sosok lelaki itu, sia-sia. Ruangan itu kosong. Hening. Udara masih beraroma wine dan wangi tubuh lelaki itu, seakan bukti bahwa semalam bukan mimpi.“Apakah… sudah selesai? Apakah aku tidak suci lagi?” Elyse menelan ludah. “Ternyata… tidak semenakutkan yang dikatakan Viona dan yang lainnya.”Ia terbaring lagi, menatap langit-langit sambil menghela napas panjang, hingga matanya menangkap sesuatu di meja kecil dekatnya.Sekantung uan
"Elyse, hentikan! Ini sudah gelas keberapa? Kalau kau terus minum seperti ini, kau akan pingsan!" Nada suara Viona tidak membuat Elyse berhenti menenggak isi gelasnya, gelas keempat, atau mungkin kelima, ia sudah tidak peduli."Viona… lepaskan aku." Elyse menepis tangan temannya dengan gerakan putus asa.Mereka duduk di sebuah sofa beludru hitam di dalam Salon, pesta rahasia yang hanya diakses oleh bangsawan kelas tertinggi, tempat mereka melampiaskan hasrat terpendam. Seharusnya Elyse tidak ada di sini. Jika sang ayah tahu, sudah dipastikan dirinya akan mendapatkan hukuman yang mengerikan.Tapi, pagi ini Elyse mendengar calon suaminya, Jester, Duke Levric, terang-terangan berkata ia menikahi Elyse agar wanita yang ia cintai bisa menjadi Ratu. Dan yang lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Ivanka, sepupunya sendiri!"Aku tidak pernah mencintai Elyse, aku hanya menikahinya agar posisi ratu dimiliki Ivanka. Hanya Ivanka yang pantas. Dan aku akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan wa







